Anda di halaman 1dari 3

Menyoroti Pro dan Kontra Kenaikan Harga Rokok

02-Sep-2016 10:42
Tingkat prevalensi perokok pria di Indonesia termasuk paling tinggi, yakni 67,4%
perokok pria, berusia di atas 15 tahun. Harga rokok yang murah dituding sebagai
salah satu penyebab terus tingginya jumlah perokok di Indonesia.
Oleh Elisabeth YJ
Wacana pemerintah untuk menaikkan harga rokok menuai perdebatan di ruang
publik. Tulisan ini akan membedah pro-kontra kenaikan harga rokok, terutama
argumen-argumen statistik yang berdiri pada alasan kenaikan harga rokok.
Indonesia dan Rokok
Tingginya angka perokok menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia,
setelah Cina, Rusia, dan Amerika Serikat. Namun, sementara negara lain
mengontrol ketat industri rokok, Indonesia justru hendak meningkatkan jumlah
produksinya. Bukan tidak mungkin, Indonesia bakal menduduki peringkat
pertama di dunia, dalam waktu satu dekade mendatang.
Tingkat prevalensi perokok pria di Indonesia termasuk paling tinggi, yakni 67,4%
perokok pria, berusia di atas 15 tahun. Harga rokok yang murah dituding sebagai
salah satu penyebab terus tingginya jumlah perokok di Indonesia. Data
menunjukkan 74 persen pria di Indonesia telah menjadi perokok dan menjadi
negara yang memiliki jumlah perokok pria terbanyak di dunia.
Wacana kenaikan harga rokok hingga Rp 50.000 per bungkus yang belakangan
ramai dibahas di media sosial, sebetulnya berawal dari penelitian studi Fakultas
Kesehatan Masyarakat (PKEKK) Universitas Indonesia. Studi yang melibatkan
1000 responden dan berlangsung dari Desember 2015 hingga Januari 2016
mendapati bahwa sejumlah perokok menyatakan akan berhenti merokok jika
harga rokok dinaikkan dua kali lipat dari harga normal. Bahkan, 72% di antaranya
menyatakan akan berhenti merokok jika harga rokok di atas Rp 50.000. Penelitian
ini diacu menjadi argumen substansif menaikkan harga rokok.

Strategi Menaikkan Harga Rokok


Jika dicermati, argumen-argumen suportif terhadap kenaikan rokok dapat
diringkas sebagai berikut, pertama, perbandingan dengan negara-negara lain. Di
balik semua kehebohan itu, ada hal penting yang harus kita perhatikan. Sebetulnya
sejauh mana strategi menaikkan harga dan cukai rokok efektif untuk menurunkan
jumlah perokok. Data UN Office of Drugs and Crime mencatat Indonesia
termasuk salah satu negara dengan harga rokok termurah di dunia. Sebagai
perbandingan, rata-rata harga rokok di Indonesia adalah 1,32 dolar AS atau Rp
17.368. Di negara-negara maju, harga rokok di atas seratus ribu rupiah, misalnya
di Australia, sebungkus rokok bisa mencapai 16,11 dolar AS atau Rp 211.973.
Dalam satu tahun, produksi rokok mencapai 360 miliar batang rokok di seluruh
dunia. Jika dikalikan dengan harga Rp. 1000 per batang, maka dalam satu hari
pengeluaran untuk rokok mencapai 1 triliun rupiah.
Kedua, berbahaya bagi kaum muda. Di negara-negara berkembang, rokok dijual
murah karena menyasar perokok pemula, seperti anak-anak dan remaja. Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan, tahun 2013, mengungkap fakta bahwa tingkat
konsumsi rokok pada anak-anak usia 10-14 tahun masuk kategori sangat tinggi,
mencapai 8 batang per hari atau 240 batang sebulan.
Konsumsi rokok yang murah dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada
remaja, kecanduan rokok, dan kemungkinan gaya hidup boros. Jika dibaca dalam
konteks psikososial, ketergantungan pada rokok dapat menjadikan rokok sebagai
penanda identitas di antara para remaja.
Ketiga, dampak pada lingkungan dan kemiskinan. Dalam pernyataan
resminya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mendukung harga rokok
dinaikkan karena akan berefek positif untuk menurunkan konsumsi rokok di
rumah tangga miskin. Dana untuk membeli rokok bisa digunakan untuk membeli
bahan pangan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pemicu kemiskinan di
rumah tangga miskin adalah beras dan rokok. Para tukang becak, supir, yang
menikmati rokok sekaligus menjadi para pembayar cukai rokok. Rokok dapat

membuka kemungkinan tersumbatnya kebutuhan primer seperti kebutuhan makan


minum dan pendidikan. Tidak heran, dampak sosialnya sangat besar. Rokok
membuka kemungkinan yang miskin semakin miskin.
Keempat, kenaikan harga rokok berdampak pada penerimaan negara. Haula
Rosdiana, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak dari Universitas Indonesia
mengatakan sudah saatnya pemerintah menetapkan legislasi yang tegas untuk
rokok, guna mengendalikan dampak negatif rokok. Kenaikan harga rokok juga
berdampak bagi penerimaan negara, yaitu meningkatkan pendapatan cukai.
Sebagai komoditas, rokok dikenakan cukai (sin tax), karena rokok memiliki
dampak negatif bagi konsumennya, bahkan kepada kepada para perokok pasif dan
lingkungan. Di berbagai negara, cukai rokok sangat tinggi untuk mengendalikan
konsumsi rokok. Indonesia termasuk yang paling rendah, kata Haula.
Di satu sisi, legislasi rokok dianggap berdampak pada kesejahteraan para pekerja
industri rokok. Menurut peneliti dari Fakultas Universitas Indonesia, sebuah
kebijakan tidak bisa dipandang secara parsial. Kita tidak bisa hanya memakai para
buruh sebagai alasan menolak regulasi tembakau. Pemerintah bisa memberikan
solusi lain, misalnya, mengganti lahan cengkeh menjadi lahan komoditas pangan
lainnya. Negara ini lebih butuh ketahanan pangan, bukan ketahanan tembakau.
Penulis adalah Kontributor IndonesiaSatu.co
(sumber : http://indonesiasatu.co/detail/menyoroti-pro-dan-kontra-kenaikanharga-rokok )

Anda mungkin juga menyukai