Anda di halaman 1dari 5

Nama

Npm
Unit
Semester

: Sari Melati
:130411004
:3 (tiga)
:7 (tujuh)

Ulbalang
DAHULU, saat Aceh masih di era Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1903), diketahui ada
tiga kekuatan sosial politik yang saling mendukung satu sama lain untuk memperkokoh
pondasi tatanan Pemerintahan di Kerajaan yang pernah menjadi adikuasa di Asia Tenggara
pada masanya. (Fachry Ali: 1989)-(Kell, 1995: 46) Ketiga kekuatan itu, yakni :
1. Sultan;
2. Ulama; dan
3. Uleebalang.
Dalam menjalankan tugasnya, semua pihak di atas tidak serta merta bertindak sewenangwenang terhadap kekuasaan yang mereka miliki. Komunikasi dan saling mengawasi antar
ketiganya menjadikan jalannya roda Pemerintahan berjalan secara harmonis, efektif dan
efisien.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, hubungan ketiga pihak menjadi retak dan
pada akhirnya memang hancur sama sekali. Ini tidak terlepas dari kehadiran kolonial
Belanda, yang menjadi seteru utama bagi Aceh saat perang masih berkecamuk. Kedatangan
Belanda membuat salah satu pihak dari tiga kekuatan, membelot kepada penjajah. Siapakah
mereka? Tidak lain adalah raja-raja kecil alias Uleebalang. Walau pun tidak semuanya
memilih berpaling kepada Belanda, tapi mayoritas dari mereka memang memilih menjalin
kerja sama dengan penjajah, yang justru sangat merugikan bagi Aceh.

Pemimpin ulebalang

Teuku

Cut

Kesultanan Aceh

Mukim

Aparatur Dalam memimpin pemerintahan Nangroe,


Uleebalang dibantu oleh:

1. Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara Uleebalang, yang juga bertindak
sebagai Uleebalang, bila yang bersangkutan berhalangan.
2. Kadhi atau Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang
mengerti mengenai hukum Islam.
3. Rakan, yaitu sebagai pengawal Uleebalang, yang dapat diperintahnya
untuk bertindak dengan tangan besi. Rakan yang terbaik dalam perang
diberi gelar Panglima Prang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan kecil
yang biasa diberi gelar Pang.

ASALMULA ULEEBALANG

Identik dengan gelar Teuku (bagi lelaki) dan Cut (bagi perempuan),Uleebalang
adalah raja kecil yang memimpin suatu daerah sebagai kepanjangan tangan Sultan Aceh.
Mereka diangkat menjadi pemimpin melalui persetujuan Sultan Aceh, Ulama (Mufti)
Kerajaan serta Ulama lokal tempat seorang Uleebalang akan memimpin, dengan penguatan
sebuah surat Sarakata yang telah dibubuhi Cap Sikureueng. (Zakaria Ahmad, 1991: 89)

Di masa lalu, pada waktu Kerajaan Aceh berdiri, sudah ada beberapa Kerajaan di
Wilayah Aceh, seperti Perlak, Pasai, Samudra, Jeumpa, Pidie, Teunom, Daya, Trumon, dsb.
Sebagian dari Kerajaan-kerajaan ini dapat ditaklukkan dan diintegrasikan dengan Kerajaan
Aceh Darussalam semasa Sultan Ali Mughayat Shah (1496-1528). Selain Kerajaan-kerajaan
yang namanya terkenal dalam sejarah ini, terdapat pula daerah-daerah bebas lainnya yang
diperintah oleh raja-raja kecil yang dalam bahasa Inggris disebut Chieftains.Daerah-daerah
bebas seperti ini makin hari makin bertambah. Pada saat Sultan Iskandar Muda memimpin
Kerajaan Aceh Darussalam (1607-1636), semua daerah ini dapat diintegrasikan dengan
Kerajaan Aceh. Daerah-daerah ini dinamakan Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah yang
menjadi inti Kerajaan Aceh Darussalam, yang wilayahnya sekarang dikenal sebagai
Kabupaten Aceh Besar. Tiap daerah diperintah oleh seorang Uleebalang. Tidak ada lagi yang
memakai nama raja sebagai gelarnya. Pada tahun 1675, di daerah ini diadakan perubahan.
Kerajaan Aceh Darussalam dibagi ke dalam tiga federasi atau masyarakat Aceh lebih
mengenalnya dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe. Bentuk federasi ini dinamakan sebagai
Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 84)
Di wilayah yang kadang-kadang di huni oleh penduduk yang jumlahnya hanya sekitar
500 orang, tapi kadang-kadang hingga 50.000 orang, Uleebalang secara turun temurun
(keturunan) memegang kekuasaan atas nama Sultan dan dengan surat pengangkatan dari
Sultan yang terkenal dengan Sarakata yang dibubuhi dengan Cap Sikureueng (Cap
Sembilan), yaitu cap yang resmi dari Sultan Aceh.
Dalam bukunya The Achenese,Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Uleebalang di
dalam teori berperan sebagai kepanjangan kekuasaan atau pejabat dari Sultan Aceh, akan
tetapi dalam prakteknya, mereka dapat bertindak sesuka hati melebihi kewenangan yang telah
diberikan oleh Sultan Aceh. Tidak heran, bila di kemudian hari rakyat Aceh di perlakukan
secara semena-mena oleh Uleebalang.
Di wilayah Aceh yang luasnya sekitar 55.392 kilometer persegi, terdapat lebih dari
seratus Nanggroe, yang pada masa Hindia Belanda disebut Land Schoppen dan Uleebalanguleebalang-nyadisebut Zelfbestuurders, kecuali di wilayah Aceh Besar, di sini disebut Sagi
(Sagoe) dan Uleebalang yang memerintah disebut Sagi Hoofd. Uleebalang-uleebalang ini
merupakan raja-raja kecil di daerahnya, padahal di wilayah itu, kadang-kadang tidak lebih
dari 1 kilometer persegi dan penduduknya tidak lebih dari 500 jiwa, seperti Land Schoop Ilat
(Iloet) dan Krueng Seumideun di Pidie, serta Land Schoop Blouek di Aceh Utara. (M. Nur El

Ibrahimy, 2001: 85)

Wilayah-wilayah:
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pase,
Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat
daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda
semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe,
disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini
dipimpin oleh Ulbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H =
1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily
dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah
otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut
pembagian tiga segi (Lhe Sagoe):

Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa
Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga
diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli
Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi
Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda
Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat
menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).

Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah.
Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan salat
jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[11] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki
hak otonom yang luas [12].

PERAN ULEEBALANG
Sebagai penguasa daerah atau raja kecil, Uleebalang tidak hanya berperan sebagai
penguasa dalam hal administrasi Eksekutif semata, tetapi juga menguasai hampir semua lini
kehidupan rakyat Aceh, yang Sultan sekali pun hampir tidak pernah menyentuhnya. Lini yang
dimaksud antara lain: perdagangan, pengadilan, pertanian dan perkebunan. Sebut saja
pengadilan. Snouck menuliskan dalam bukunya The Achehnesebahwa Uleebalang
menjadikan pengadilan sebagai tempat untuk memeras rakyat dan memperkaya diri. (Siegel:
32)
Snouck menyatakannya sebagai berikut: Administrasi pengadilan yang buruk
merupakan sumber pendapatan bagi para Uleebalang. Mereka secara seenaknya campur
tangan dalam perkara-perkara intern Mukim yang sebenarnya bukan menjadi hak mereka.
Perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan di kampung dibawa ke pengadilan Uleebalang
dan diperiksa dengan bantuan seorang Kadhi yang menjadi alat-nya. Satu-satunya orang
yang memperoleh keuntungan dari perkara-perkara yang diputuskan itu adalah Uleebalang
sendiri. Mereka dapat memaksa seseorang membayar denda atau merampas harta
kekayaannya, bahkan menghukumnya dengan siksaan. Semuanya adalah untuk keuntungan

Uleebalang semata-mata. (Paul van t Veer, 1977: 129)

Selanjutnya, Snouck menuliskan, mengenai pembagian harta warisan, hanya


manakala jumlahnya kecil sekali, barulah boleh diselesaikan oleh ahli waris dikalangan
mereka sendiri. Dalam segala hal yang lain, Uleebalang turut ikut campur tangan. Alasannya
adalah sebagai berikut:
1. Menyangkut kepentingan waris yang belum dewasa;
2. Ada waris yang tidak puas, jika pembagian dilakukan dikalangan ahli waris; dan
3. Jumlah harta warisan yang terlalu besar, sehingga tidak dimungkinkan kalau
pembagian dilakukan oleh ahli waris sendiri. Sebab, mereka adalah orang-orang awan
yang bodoh.
Sebab sebenarnya adalah jika pembagian diselesaikan oleh Uleebalang, dia akan
mendapatkan kesempatan untuk memotong 10% dari jumlah harta warisan untuk dirinya
sendiri sebagai hak peurae (hak perail).
Alasan bahwa ahli waris adalah orang bodoh sungguh tidak dapat diterima. Sebab,
sebagian dari Uleebalang sendiri juga buta huruf, walau pun tidak buta huruf, mereka sama
sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang pembagian waris. Yang menyelesaikannya itu
semua adalah Kadhi, yang juga merupakan alat sepenuhnya dari Uleebalang.
Bahkan, zakat pun ikut diselewengkan oleh Uleebalang untuk menambah pundi-pundi
pendapatannya sebagaimana disebutkan oleh Antony Reid dalam bukunya The Blood of the
People.
Dari hasil penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh Uleebalang terhadap
rakyat Aceh, banyak Uleebalang yang menjadi tuan-tuan tanah (landlords) yang kaya raya.
Suatu aspek buruk dari kekayaan melimpah yang dinikmati oleh Uleebalang, dikalangan
mereka timbul perbuatan-perbuatan yang tidak pantas menurut budaya masyarakat Aceh,
seperti berjudi.
Melihat penindasan dan kebejatan yang dilakukan oleh Uleebalang, maka Ulama pun
bangkit untuk mengatasinya. Gerakan dakwah pun dimulai.
Paul van t Peer dalam bukunya De Atjeh Oorlog mengatakan sebagai berikut: tidaklah
mengherankan sama sekali bahwa golongan Ulama menjadi semakin disukai rakyat. Mereka
itu memberantas penyalahgunaan kekuasaan para Uleebalang yang menguasai hidup, mati,
perkawinan dan pengadilan rakyat mereka. (Paul van t Peer, 1977: 231)

Referensi

1. ^ Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com


2. ^ Sumatra and the Malay peninsula, 16th century
3. ^ a b Reid, Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatera, Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. hlm. 9799.

4. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
5. ^ a b c Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir
Kerajaan Aceh abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor.
6. ^ Zentgraft, Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de Unie.
7. ^ 20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan Universitas Syiah Kuala. 1980.
hlm. 376377.
8. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia. hlm. 104.
9. ^ a b Hasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 130
133.
10. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
11. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik
Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 4142.
12. ^ a b Hurgronje, Snouck. The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian. Leiden: B.J. Brill. hlm. 434.
13. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik
Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 51.
14. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia. hlm. 87.
15. ^ Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal. 465 [1]

Anda mungkin juga menyukai