Anda di halaman 1dari 8

ERISIPELAS

I. DEFINISI
Erisipelas adalah selulitis superfisial dengan keterlibatan limfatik. Erisipelas
sering terjadi pada bagian kaki. Hal ini mungkin saja diakibatkan oleh luka traumatik
maupun bedah, namun tidak ada jalan masuk yang dapat ditemukan dalam banyak
kasus. Dalam era preantibiotik, erisipelas adalah penyakit yang ditakuti dengan angka
kematian yang signifikan terutama pada bayi. Dalam sebagian besar kasus,
Strectococcus Grup A adalah adalah organisme yang berperan, pula adalah
Streptococcus Grup G. (1)
II. ETIOLOGI
Erisipelas adalah tipe yang berbeda dari selulitis pada kulit superfisial, ditandai
dengan terlibatnya pembuluh limfatik yang disebabkan oleh Group A -hemolitik
Streptococcus (kelompok yang sangat jarang streptokokus C atau G) dan jarang
disebabkan oleh Staphylococcus Aureus. Pada bayi yang baru lahir, Streptococcus B
dapat menyebabkan erisipelas. Limfedema, statis vena, intertrigo, dan obesitas
merupakan faktor risiko pada pasien dewasa.(2)
III.

PATOGENESIS
Seperti halnya organisme patogen lainnya, perlekatan Streptococcus group A

terhadap sel epitel dari dermis merupakan tahap inisiasi yang paling penting. Tanpa
adanya mekanisme perlekatan yang kuat, Streptococcus Group A tidak akan bisa
melekat pada jaringan tubuh manusia dan akan dihilangkan oleh mekanisme exfoliasi
dari jaringan epitel. Pada Streptococcus Group A, struktur permukaannya terdapat
protein M dan protein F yang berperan dalam proses perlekatan pada epidermis.

Dalam proses perlekatan ini, protein M mengikat CD46 dan kemungkinan reseptor
lainnya yang ada di permukaan keratinosit.(3)

Gambar 1 : Struktur S.pyogenes dan perlekatan pada sel epitel (3)

Aktivasi dari protein M dan F dari Streptococcus Group A diatur oleh


konsentrasi O2 dan CO2 dari lingkungan sekitar. Berdasarkan penelitian, kadar O2
yang tinggi dari lingkungan sekitar mengaktivasi protein F dan melakukan perlekatan
terhadap sel langerhans. Sedangkan pada lingkungan dengan kadar CO2 yang tinggi,
akan mengaktivasi protein M untuk melekat pada keratinosit. Setelah tahap
perlekatan dan invasi, aktivitas yang terjadi secara bersama-sama oleh protein M,
protein F, immunoglobulin-binding protein dan C5a peptidase memungkinkan infeksi
streptococcus terus berlanjut. Protein M berperan penting dalam resistensi
streptococcus group A terhadap aktifitas fagositosis. Aktivitas antifagositosis dari
protein M berhubungan dengan kemampuannya yang dapat mengikat fibrinogen dan
faktor H. Mekanisme antifagosit yang kedua adalah C5a peptidase menonaktifkan
C5a dan memblok kemotaksis dari PMNs dan fagosit lainnya menuju lokasi infeksi.(3)

IV.

DIAGNOSIS
Lesi erisipelas biasanya dimulai dari wajah atau ekstremitas bawah, ditandai

dengan nyeri, eritem superfisial, dan plaque-like edema dengan batas tegas terhadap
jaringan normal. Temuan ini biasa digambarkan sebagai peau d`orange
appereance. Paling sering disertai dengan gejala sistemik seperti demam, kekakuan,
dan kadang-kadang mual dan muntah. Erupsi dimulai pada salah satu titik sebagai lesi
eritem dan menyebar ke daerah lain secara ekstensi perifer. Pada tahap awal, kulit
yang terinfeksi akan menjadi kemerahan, rasa panas apabila disentuh, dan terjadi
pembengkakan. Nyeri adalah ciri utama yang berlangsung terus menerus.(2, 4, 5)

Gambar 2 : Erisipelas pada wajah. Nyeri, edema, eritema dengan batas jelas pada kedua pipi
dan hidung. Pasien mengalami demam. (3)

Daerah kaki merupakan bagian yang paling sering terkena infeksi penyakit
ini, dan disini biasanya jika ada luka bahkan yang superfisial, ulkus, atau lesi
inflamasi dapat dicurigai sebagai pintu masuk erisipelas yang memungkinkan.
Erisipelas pada wajah tidak terlalu sering terjadi dibandingkan dengan daerah
ekstremitas bawah dan dimulai secara unilateral namun dapat menyebar melalui
nasal prominence sehingga lesi pada wajah menjadi simetris. Orofaring mungkin
menjadi pintu masuk penyakit dan kultur mungkin menunjukkan Streptococcus
Group A. Edema inflamasi mungkin meluas ke kelopak mata, tapi komplikasi orbital
sangat jarang.(2)

Gambar 3 : Erisipelas pada ekstremitas bawah. Eritema yang nyeri pada ekstremitas bawah
dengan batas yang jelas. (3)

V. DIAGNOSIS BANDING
A. Selulitis
Selulitis merupakan infeksi lapisan dalam dermis dan jaringan subkutan,
sebagian besar disebabkan oleh infeksi streptococcous group A dan Staphylococcus
Aureus. Selulitis memberikan gambaran eritem, nyeri, dan batasnya tidak tegas.
Dalam beberapa kasus selulitis, pada lapisan epidermis akan muncul bula atau
nekrosis. Pada pasien yang imunokompeten, biasanya menjadi tahap awal dari dari
infeksi selulitis. (4, 6)

Gambar 4: Selulitis dengan pembengkakan, eritema, dan nyeri tekan. (3)

B. Fixed Drug Eruptions


Fixed drug eruptions biasanya muncul sebagai soliter, eritematosa, makula
merah terang merah atau kehitaman yang dapat berkembang menjadi plak edema.
Lesi tipe bulosa mungkin muncul. Fixed drug eruptions biasanya ditemukan pada alat
kelamin dan di daerah perianal, meskipun mereka dapat terjadi di mana saja pada
permukaan kulit. Beberapa pasien mungkin mengeluh terbakar atau menyengat, dan

lain-lain mungkin mengalami demam, malaise, dan gejala perut. Fixed drug
eruptions dapat berkembang dari 30 menit untuk 8-16 jam setelah konsumsi obat.(7)

Gambar 5 : Fixed drus eruptions: tetrasiklin. Sebuah plak yang didefinisikan pada lutut, penggabungan
dengan tiga lesi satelit. Plak besar epidermal kerutan, tanda pembentukan blister baru
mulai. Ini adalah episode kedua setelah konsumsi tetrasiklin. Tidak ada lesi lain yang
terlihat. (6)

VI.

PENATALAKSANAAN
Pemberian antibiotik yang sesuai harus diberikan dengan dosis penuh secara

intramuskular atau intravena pada kasus berat yang berhubungan dengan septikemia,
arthritis, atau suspek fascitis, meskipun terapi oral dapat diberikan pada kasus yang
lebih ringan atau infeksi yang tidak sulit. (5) Untuk obat pilihan pertama dapat
diberikan penicillin, procain intramuskular, Amoxicillin, Vancomycin. Sedangkan

untuk

pemberian

obat

alternative

dapat

diberikan

Cefoxitin,

Cephalexin,

Dicloxacillin, Amoxicillin, Clindamycin, serta Azithromycin.(6)


Perawatan untuk lesi lokal dari erisipelas dan selulitis adalah istirahat dan
elevasi daerah lesi untuk mengindari edema lokal. Untuk mengurangi nyerinya
dilakukan kompres sterile saline (NaCl 0.9 %) dingin dan terutama pada pasien
dengan lesi bulosa.(6) Jika telah terjadi nekrosis pada jaringan atau dengan kata lain
jika sudah terjadi komplikasi dari erisipelas. Drainase dan antibiotik dosis tinggi
diberikan dalam kasus ini. (6)

VII.

PROGNOSIS
Pada pasien erisipelas dapat membaik jika status gizi dan menerima

pengobatan yang sesuai. Namun jika tidak diobati akan menjalar terutama ke daerah
proksimal. Jika sering residif di tempat yang sama dapat terjadi elephantiasis. (8)

Daftar Pustaka

1. Habif TP. Bacterial Infection. In: Hodgson S, editor. A Colour Guide to


Diagnose and Therapy Clinical Dermatology. Fourth ed. Pensylvania:
Mosby; 2003. p. 276.
2. Saavedra A, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Soft Tissue
Infections:
Erysipelas,
Cellulitis,
Gangrenous
Cellulitis,
adn
Myonecrosis. In: Klaus Wolff LAG, Stephen I. Katz, Barbara A. Gilchrest,
Amy S. Paller, David J.Leffel, editor. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. United Stated of America: The McGraw-Hill; 2008. p.
1720-31.
3. Ryan KJ. Streptococci and Enterococci. In: Kennetj J. Ryan CGR, editor.
Sherris Medical Microbiology an Introduction to Infection Disease.
Fourth ed. USA: Blackwell Science; 2004. p. 273-9.
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Bacterial Infection. In: Hodgson S,
Bowler k, editors. Andrews' Disease of the Skin: Clinical Dermatology.
Canada: Elsevier Inc.; 2006. p. 260-1.
5. Hay RJ, Adriaans BM. Bacterial Infection. In: Tony Burns SB, Neil Cox,
Christopher Griffiths editor. Rook's Text Book of Dermatology. Seventh
ed. Australia: Blacweel Science; 2004. p. 27.16-27.0.
6. Lipworth AD, Saavedraa AP, Weinberg AN, Johnson RA. Non Necrotizing
Infections of the Dermis and Subcutaneous Tissue at a Glance. In:
Klaus Wolff LAG, Stephen I. Katz, Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller,
David J.Leffel, editor. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Seventh ed. United Stated of America: The McGraw-Hill; 2008. p.
3072-83.
7. Shear NH. Cutaneous Adverse Drug Eruptions at a glance. In: Klaus
Wolff LAG, Stephen I. Katz, Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller, David
J.Leffel, editor. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. United
Stated of America: The McGraw-Hill; 2008. p. 655-67.
8. Juandha A. Pioderma. In: Adhi Juandha MH, Siti Alsah, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 58-9.

Anda mungkin juga menyukai