Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 8

PEMICU 1 MODUL ETNOMEDIK


ET FARMAKA

Nama Anggota:
1. Chandra
2. Friska Silviantri
3. Riyan Wirawan
4. Sundari
5. Atika
6. Desra Aufar Alwali
7. Andi Wijaya
8. Siti Aulia Rahmah
9. Dendy Franuzul Ramadhan
10.Sari Irmayanti S.
11.Yohanes Satrio
12.Maylisa Santauli Manurung

I11112028
I11112045
I11112052
I1011131012
I1011131018
I1011131026
I1011131053
I1011131063
I1011131068
I1011131073
I1011131078
I1011131087

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2016
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Obat Kanker Herbal Sulit Diandalkan
Rabu, 24 Februari 2016
ANTARA/Asep Fathutahman
MASYARAKAT diminta untuk waspada dan kritis terhadap berbagai promosi
dan penawaran dari pihak obat-obatan yang mengklaim bisa menyembuhkan
dengan cepat penyakit kanker. Kurangnya sikap kritis dalam memilih obat
dan jenis pengobatan membuka peluang kematian akibat kanker semakin
besar.
Kanker ini penyakit yang semakin cepat ditangani akan semakin besar pula
peluang kesembuhannya. Sebaliknya, semakin tertunda akibat mencoba
berbagai obat yang belum terbukti secara ilmiah, semakin kecil peluang untuk
sembuh, ujar Soeharati, Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional
(KPNK), di Jakarta, Selasa (23/2).
Pilihan penggunaan obat tradisional yang belum teruji klinis dan mendapat
izin edar Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) masih terus terjadi di
kalangan pasien dengan tingkat pengetahuan dan kondisi ekonomi yang
terbatas.
Soehartati menjelaskan pengobatan dengan menggunakan ramuan herbal
untuk penanganan kanker masih belum dapat diandalkan. Hal tersebut juga
terbukti dengan belum adanya suatu bentuk penelitian yang menyatakan
tingkat kesembuhan dan keberhasilan pengobatan tradisional pada kanker
secara efektif dan menyeluruh. Hanya pengakuan-pengakuan dan kampanye
obat tradisional. Padahal, secara medis belum ada obat tradisional yang
terbukti berhasil menyembuhkan kenker. Ungkapnya, dalam acara seminar
bertema Cara cerdas memilih pengobatan kanker yang tepat.

Senada dengan Soehartati, dokter onkologi, Sonar Panirogo, mengatakan obat


dan pengobatan tradisional umumnya memiliki sistem kerja lebih lama jika
dibandingkan dengan terapi medis.
Pasien kanker yang masih stadiun 1 dan langsung diobati secara medis dan
terapi berpeluang sembuh 100%. Semakin terlambat deteksi dan lama
memilih pengobatan, tingkat kesembuhan semakin rendah di bawah 20%,
ungkap Sonar.
Lisensi Badan POM
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk
Komplemen Badan POM, Ondri Dwi Dampurno, mengatkaan hingga saat ini
belum pernah ada obat tradisional yang secara resmi mendapatkan lisensi dari
Badan POM sebagai obat penyembuh kanker.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
1.3 Kata Kunci
1. Obat kanker herbal
2. Belumada izin BPOM
3. Belum teruji klinis
4. Kurang sikap kritis
1.4 Rumusan Masalah
Penggunaan obat kanker herbal masih belum dapat diandalkan.

1.5 Analisis Masalah


Obat herbal
kanker

Pedoman uji
klinis obat
herbal

Uji preklinik:
1. farmakologi
2. toksikologi
Uji klinis

Obat jadi, teruji


klinis
BPOM:
pelayanan
masyarakat

1.6 Hipotesis
Obat kanker herbal belum teruji klinis dan belum mendapat izin edar BPOM.
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Bagaimana sejarah perkembangan pengobatan herbal?
2. Apa perbedaan obat tradisional dan jamu?
3. Jelaskan mengenai obat herbal secara umum!
4. Apa saja jenis-jenis obat herbal?
5. Apa bahaya obat herbal?
6. Jelaskan tahapan uji preklinik dan uji klinik!
7. Bagaimana pedoman uji klinik obat herbal?
8. Jelaskan mengenai kanker secara umum!
9. Bagaimana mekanisme kerja obat kanker?
10. Jelaskan mengenai BPOM!
11. Bagaimana kriteria dan tatalaksana izin pedaftaran obat tradisional?
12. Bagaimana BPOM mengatasi obat herbal yang belum memiliki izin edar?
13. Evidance based medicine dan bagaimana penerapannya?
14. Bagaimana mengedukasi masyarakat mengenai penggunaan obat herbal?
15. Apa program pemerintah untuk pengembangan fitofarmaka?

BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah perkembangan pengobatan herbal
Jawab:
Pada jaman mesir kuno, dimana para budak diberi ransum bawang setiap
hari untuk membantu menghilangkan banyak penyakit demam dan infeksi
yang umum terjadi pada masa itu. Sejak itu Catatan pertama tentang
penulisan tanaman obat dan berbagai khasiatnya telah dikumpulkan oleh
orang-orang mesir kuni. Dimana saat itu para pendeta Mesir kuno telah
melakukan dan mempraktekkan pengobatan herbal. Dari abad 1500 SM telah
dicatat membuat berbagai tanaman obat, termasuk jintan dan kayu manis.1
Orang-orang Yunani dan Romawi kuno juga telah melakukan pengobatan
herbal. Disaat mereka mengadakan perjaalanan ke berbagai daratan yang baru
para dokter mereka menemukan berbagai tanaman obat baru seperti rosemary
dan lavender. Hal itupun langsung diperkenalkan pada berbagai daerah baru.
Berbagai kebudayaan yang lain yang memiliki sejarah penggunaan
pengobatan dengan menggunakan tanaman obat atau herbal adalah orang
Cina dan India.1
Di Inggris, penggunaan tanaman obat di kembangkan bersamaan dengan
didirikannya biara-biara di seluruh negeri, dan memiliki tamanan obat
masing-masing yang digunakan untuk merawat para pendeta maupun para
penduduk setempat. Pada beberapa daerah, khususnya Wales dan Skotlandia,
orang-orang Druid dan para penyembuh Celtik memiliki tradisi lain tentang
herbalisme, dimana obat-obat dicampur adukkan dengan agama dan ritual.
Semakin berkembangnya pengetahuan herbal dan seiring dengan terciptanya
mesin cetak pada abad ke 15 telah ada pendistribusian yang pertama tentang
penulisan tanaman-tanaman Obat.1
Sekitar tahun 1630, John Parkinson dari London menulis tanaman obat
dari berbagai tanaman yang sangat berguna. Nicholas Culpepper ( 16161654 ) dengan karyanya yang paling terkenal yaitu The Complete Herbal
and English Physician, Enlarged, diterbitkan pada tahun 1649. pada tahun

1812, Henry Potter telah memulai bisinsnya menyediakan berbagai tanaman


obat dan berdagang lintah. Disaat itulah banyak sekali pengetahuan
tradisional dan cerita rakyat tentang tanaman obat dapat ditemukan mulai dari
Inggris, Eropa, Timur Tengah, Asia, dan Amerika. Sehingga Potter terdorong
untuk menulis kembali bukunya Potters Encyclopaedia of Botanical Drug
and Preparatians , yang sampai saat inipun masih diterbitkan.1
Tahun 1864 National Association of Medical Herbalists didirikan, untuk
mengorganisir

pelatihan

para

praktisi

pengobatan

herbal

serta

mempertahankan standart-standar praktek pengobatan. Hingga awal abad ini


banyak institute telah berdiri untuk mempelajari pengobatan herbal.
Berkembangnya penampilan obat-obatan herbal yang lebih alami telah
menyebabkan tumbuhnya dukungan dan popularitasnya. Obat-obatan herbal
dapat dipandang sebagai pendahuluan farmakologi modern, tetapi sekarang
obat-obatan herbal ini terus sebagai metode yang efektif dan lebih alami
untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit.1
2. Perbedaan obat tradisional dan jamu
Jawab:
a. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.2,3
b. Jamu adalah obat tradisional yang diracik dengen menggunakan bahan
tanaman sebagai penyusun jamu tersebut. Jamu disajikan secara tradisional
dalam bentuk serbuk seduhan, pil atau cairan. Satu jenis jamu yang
disusun dari berbagi tanaman oabt yang jumlhanya antara 5-10 macam,
bahkan bisa lebih. Jamu tidak memerlukan pembuktian ilmuah sampai uji
klinis.2
3. Obat herbal secara umum
Jawab:
Menurut WHO (World Health Organization) definisi herbal adalah
tanaman yang bagian tanamannya daun, bunga, buah, biji, batang kayu, kulit,
akar, rimpang atau bagian tanaman lainnya, yang mungkin seluruhnya dapat

terframentasi. Sedangkan definisi dari pengobatan herbal adalah penggunaan


obat dapat mengurangi, menghilangkan penyakit atau menyembuhkan
seseorang dari penyakit dengan menggunakan bagian-bagian dari tanaman
seperti biji, bunga, daun, batang dan akar yang kemudian diolah menjadi
tanaman obat herbal.
Obat herbal atau herbal medicine didefinisikan sebagai bahan baku atau
sediaan yang berasal dari tumbuhan yang memiliki efek terapi atau efek lain
yang bermanfaat bagi kesehatan manusia; komposisinya dapat berupa bahan
mentah atau bahan yang telah mengalami proses lebih lanjut yang berasal dari
satu jenis tumbuhan atau lebih.1,2 Sediaan herbal diproduksi melalui proses
ekstraksi, fraksinasi, purifikasi, pemekatan atau proses fisika lainnya; atau
diproduksi melalui proses biologi. Sediaan herbal dapat dikonsumsi secara
langsung atau digunakan sebagai bahan baku produk herbal. Produk herbal
dapat berisi eksipien atau bahan inert sebagai tambahan bahan aktif.4,5
Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan di negara
maju. Menurut WHO, hingga 65 % dari penduduk negara maju dan 80 %
penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Faktor
pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju
adalah :
a. meningkatnya usia harapan hidup pada saat prevalensi penyakit kronik
meningkat
b. adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu seperti
kanker, serta
c. semakin meluasnya akses informasi obat herbal di seluruh dunia
4. Apa bahaya obat herbal?
Jawab:
1. Bahan Beracun
suplemen herbal yang mengandung unsur beracun, seperti racun hati atau
karsinogen (zat kimia yang berpotensi menyebabkan kanker), kadangkadang menyebabkan reaksi yang merugikan, tetapi sebagai aturan,
suplemen ini cepat ditarik dari pasar setelah masalah potensial telah
diidentifikasi. Beberapa mungkin masih dijual dalam suplemen impor dari
Asia atau Eropa.6

2. Reaksi alergi
Reaksi alergi adalah kemungkinan, seperti dengan banyak makanan dan
obat-obatan. Mereka yang memiliki alergi, harus mencari kontraindikasi
dalam penelitian dan berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan
mereka. penggunaan sayuran sehari-hari seperti mentimun, kacang dll
juga bisa memicu alergi terhadap beberapa orang.6
3. Dosis atau penggunaan yang tidak tepat
reaksi merugikan juga dapat terjadi akibat penggunaan yang tidak pantas
atau tidak layak, seperti kelebihan dosis. Masalahnya dalam kasus ini,
terletak bukan pada suplemen herbal, tapi dengan kegagalan komunikasi.
Kesalahan serupa juga terjadi dengan obat-obatan farmasi, solusi dalam
kedua kasus termasuk edukasi yang benar dan komunikasi yang efektif.6
4. Interaksi obat dan makanan
Dalam prakteknya, reaksi samping yang paling sering untuk obat herbal
biasanya berasal dari interaksi dengan obat dari dokter, suplemen diet
lainnya, atau dalam beberapa kasus, dengan makanan. Jenetzky dan
Morreale (1997). Brinker (1998) telah mengidentifikasi interaksi herbal
farmasi paling berpotensi serius atau mengancam jiwa, dimana herbal:6
a. Mempengaruhi penyerapan obat
b. Meningkatkan kehilangan kalium jika diberikan dengan diuretik
c. Berinteraksi dengan inhibitor monoamine oxidase
d. Berinteraksi dengan glikosida jantung
e. Meningkatkan efek barbiturat
f. mengubah efek obat gula darah
g. Berinteraksi dengan obat antikoagulan (pengencer darah).
5. Kontaminasi dan pemalsuan
Kadang-kadang, suplemen terkontaminasi dengan konstituen yang tidak
diinginkan, seperti logam berat, atau bahkan sengaja dicampur dengan
bahan-bahan farmasi. kegagalan dalam pengendalian kualitas tersebut
sangat

langka,

tetapi

ketika

terjadi

bisa

berakibat

serius.6

5. Tahapan uji preklinik dan uji klinik!


Jawab:
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat.
Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil
farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi
obat) calon obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari

mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji


menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan
obat.8,9
Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan
dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli
teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentukbentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. Tahap-tahap
Pengembangan dan Penilaian Obat:8,9
1. Meneliti dan skrining bahan obat
2. Mensistesis dan meneliti zat/senyawa analog dari obat yang sudah ada
dan diketahui efek farmakologinya
3. Meneliti dan mensintesis serta membuat variasi struktur
4. Dikembangkan obat alami dengan serangkaian pengujian yang
dilaksanakan

secara

sistemik,

terencana

dan

terarah

untuk

mendapatkan data farmakologik yang mempunyai nilai terapeutik.


Pengembangan dan penilaian obat ini meliputi 2 tahap uji yaitu:7-9
1.Uji Praklinik
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih
dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan. Sebelum calon obat
baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk
meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya
pada hewan uji. Serangkaian uji praklinik yang dilakukan antara lain:
a) Uji Farmakodinamika
Untuk mengetahui apakah bahan obat menimbulkan efek farmakologik
seperti yang diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan mekanisme kerjanya.
Dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro.
b) Uji Farmakokinetik
-Untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan
Eliminasi)
-Merancang dosis dan aturan pakai
c) Uji Toksikologi
-Mengetahui keamanannya
d) Uji Farmasetika
-Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi,
stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai dan cara penggunaannya.

2.Uji Klinik
Uji Klinik Yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana
sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik (Katzung,
1989).
UJI KLINIK
Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran
efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji
klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV7:
a)

Uji Klinik Fase I


Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya
pada manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan tolerabilitas obat,
bukan efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan sehat, kecuali untuk obat
yang toksik (misalnya sitostatik), dilakukan pada pasien karena alasan etik
Tujuan fase ini adalah menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat
toleransi (maximally tolerated dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek
toksik yang tidak dapat diterima. Pada fase ini, diteliti juga sifat
farmakodinamik dan farmakokinetiknya pada manusia. Hasil penelitian
farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan ketepatan pemilihan dosis
pada penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan secara terbuka,
artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah subyek
bervariasi antara 20-50orang
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada sekelompok
kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat. Tujuannya ialah
melihat apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau tidak
untuk pengobatan. Fase II ini dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli dalam
masing-masing bidang yang terlibat. Mereka harus ikut berperan dalam
membuat protocol penelitian yang harus dinilai terlebih dulu oleh panitia
kode etik lokal. Protokol penelitian harus diikuti dengan dengan ketat, seleksi
penderita harus cermat, dan setiap penderita harus dimonitor dengan intensif.7

Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka
karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap biasanya belum
dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efek obat yang
bersangkutan karena terdapat berbagai factor yang mempengaruhi hasil
pengobatan, misalnya perjalanan klinik penyakit, keparahannya, efek
placebo.7
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu dilakukan uji
klinik komparatif yang membandingkannya dengan placebo; atau bila
penggunaan placebo tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan
obat standard yang telah dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal
fase III, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi penderita, dan
monitoring penderitanya. Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini,
alokasi penderita harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar
ganda. Ini dsebut uji klinik acak tersamar ganda berpembanding.
Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan
dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut
mengenai eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek yang
mendapat obat baru pada fase ini antara 100-200 penderita.7
b ) Uji Klinik Fase II
Pada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah melihat
apakah obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal, pengujian efek terapi
obat dikerjakan secara terbuka karena masih merupakan penelitian
eksploratif, karena itu belum dapat diambil kesimpulan yang mantap
mengenai efikasi obat yang bersangkutan. Untuk menunjukkan bahwa suatu
obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji klinik komparatif (dengan
pembading) yang membandingkannya dengan plasebo; atau jika penggunaan
plasebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan dengan obat
standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II akhir atau
awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien, dan monitoring
pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik komparatif ini , alokasi pasien
harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut

uji klinik berpembanding, acak, tersamar ganda. Fase ini terjakup juga studi
kisaran dosis untuk menetapkan dosis optimal yang akan digunakan
selanjutnya.7
c ) Uji Klinik Fase III
1. Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan kelompok pembanding
2. Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman (misal:
intra ras)
3. Setelah terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obatbaru benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II)
dan untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standard.
Penelitian ini sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1)
efeknya bila digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter yang
kurang ahli; (2) efek samping lain yang belum terlihat pada fase II; (3)
dan dampak penggunaannya pada penderita yang tidak diseleksi secara
ketat.7
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang
tidak terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu
ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan seharihari dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan
dilakukan dengan placebo, obat yang sama tapi dosis berbeda, obat
standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang indikasinya sama
dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan
tersamar ganda.
Bila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini cukup
aman dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah
penderita yang diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit 500 orang.7
d) Uji Klinik Fase IV
1.
2.
3.
4.

Uji terhadap obat yang telah dipasarkan (post marketing surveilance)


Mamantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya
Dug safety : drug mortality atau drug morbidity
MESO : Monitoring Efek Samping Obat

Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena


merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini
bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola
efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Survei ini
tidak tidak terikat pada protocol penelitian; tidak ada ketentuan tentang
pemilihan penderita, besarnya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada
fase ini kepatuhan penderita makan obat merupakan masalah.Penelitian
fase IV merupakan survey epidemiologic menyangkut efek samping
maupun efektif obat. Pada fase IV ini dapat diamati (1) efek samping yang
frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahuntahun lamanya, (2) efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau
berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah
penggunaan berulangkali dalam jangka panjang, dan (3) masalah
penggunaan berlebihan, penyalah-gunaan, dan lain-lain. Studi fase IV
dapat juga berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk
menentukan efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga
datanya menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.
Dewasa ini waktu yang diperluka untuk pengembangan suatu obat
baru, mulai dari sintetis bahan kimianya sampai dipasarkan, mencapai
waktu 10 tahun atau lebih. Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan
secara luas, dapat ditemukan kemungkinan manfaat lain yang mulanya
muncul sebagai efek samping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di
klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui uji fase I. Hal seperti ini
terjadi golongan salisilat yang semula ditemukan sebagai antireumatik dan
anti piretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemukan belakangan.
Hipoglikemik oral juga ditemukan dengan cara serupa.7

6. Kanker secara umum


Jawab:
Kanker adalah istilah umum untuk satu kelompok besar penyakit yang
dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan

adalah tumor ganas dan neoplasma. Salah satu fitur mendefinisikan kanker
adalah pertumbuhan sel-sel baru secara abnormal yang tumbuh melampaui
batas normal, dan yang kemudian dapat menyerang bagian sebelah tubuh dan
menyebar ke organ lain. Proses ini disebut dengan metastasis. Metastasis
merupakan penyebab utama kematian akibat kanker.
kanker adalah suatu istilah untuk penyakit di mana sel-sel membelah
secara abnormal tanpa kontrol dan dapat menyerang jaringan disekitarnya.
Sifat-sifat neoplasma yang dapat menunjukkan karakteristik tumor jinak
dan tumor ganas antara lain:10
1. Karakteristik
a. Tumor jinak: berdiferensiasi baik, struktur mungkin khas jaringan
asal
b. Tumor ganas: sebagian tidak memperlihatkan diferensiasi disertai
anaplasia, struktur sering tidak khas
2. Laju pertumbuhan
a. Tumor jinak: baisanya progresif dan lambat, mungkin berhenti
tumbuh atau menciut, gambaran mitotik jarang dan normal
b. Tumor ganas: tidak terduga dan meungkin cepat atau lambat,
gambaran mitotik mungkin banyak dan abnormal
3. Invasi lokal
a. Tumor jinak: biasanya kohesif dan ekspansil, massa berbatas tegas
yang tidak mengincasi atau menginfiltrasin jaringan normal
disekitarnya
b. Tumor ganas: invasif lokal, menginfiltrasi jaringan normal di
sekitarnya, kadang-kadang mungkin tampak kohesif dan ekspansil
tetapi dengan invasi mikroskopik
4. Metastasis
a. Tumor jinak: tidak ada
b. Tumor ganas: sering ditemukan, semakin besar dan semakin
kurang berdifferensiasi tumor primer, semakin besar kemungkinan
metastasis.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya karsinoma antara lain:
1. Faktor geografik dan lingkungan
2. Usia
3. Hereditas

7. Mekanisme kerja obat kanker


Jawab:
obat kemoterapi dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan
faktor-faktor seperti bagaimana mereka bekerja, struktur kimianya, dan
hubungan mereka dengan obat lain. Beberapa obat bertindak lebih dari satu
cara, dan mungkin milik lebih dari satu kelompok.11
1. Agen alkilasi
Agen alkilasi langsung merusak DNA untuk mencegah sel berkembang
biak. Obat ini bekerja dalam semua fase siklus sel dan digunakan
untuk mengobati banyak kanker yang berbeda, termasuk leukemia,
limfoma, penyakit Hodgkin, mieloma dan sarcoma multipel, serta
kanker paru-paru, payudara, dan ovarium.
2. Antimetabolit
Antimetabolit mengganggu DNA dan pertumbuhan RNA dengan
menggantikan blok bangunan normal RNA dan DNA. Agen ini
merusak sel-sel selama fase S, ketika kromosom sel sedang disalin.
Mereka umumnya digunakan untuk mengobati leukemia, kanker
payudara, ovarium, dan saluran usus, serta jenis kanker lainnya.
3. antibiotik anti-tumor
Obat ini tidak seperti antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi.
Mereka bekerja dengan mengubah DNA di dalam sel-sel kanker untuk
mencegah mereka tumbuh dan berkembang biak.
4. Antrasiklin
Antrasiklin adalah antibiotik anti-tumor yang mengganggu enzim yang
terlibat dalam replikasi DNA. Obat ini bekerja dalam semua fase siklus
sel. Mereka banyak digunakan untuk berbagai jenis kanker.
5. Inhibitor topoisomerase
Obat ini mengganggu enzim yang disebut topoisomerase, yang
membantu memisahkan untai DNA sehingga mereka dapat disalin
selama fase S. inhibitor topoisomerase digunakan untuk mengobati
leukemia tertentu, serta kanker paru-paru, indung telur, saluran
pencernaan, dan lainnya.
6. Inhibitor mitosis
Inhibitor mitosis sering kali adalah alkaloid tanaman dan senyawa lain
yang berasal dari produk alami. Mereka bekerja dengan menghentikan

mitosis pada fase M siklus sel, tetapi dapat merusak sel-sel dalam
semua tahap dengan mecegah enzim dari membuat protein yang
dibutuhkan untuk reproduksi sel.
7. Kortikosteroid
Kortikosteroid, sering hanya disebut steroid, hormon alami dan obat
seperti hormon yang berguna dalam pengobatan berbagai jenis kanker,
serta penyakit lainnya. Ketika obat ini digunakan sebagai bagian dari
pengobatan kanker, mereka dianggap obat kemoterapi.
8. Obat kemoterapi lainnya
Beberapa obat kemoterapi bertindak dengan cara yang sedikit berbeda
dan tidak cocok dengan baik ke kategori mana pun lainnya. Contohnya
termasuk obat-obatan seperti L-asparaginase, yang merupakan enzim,
dan bortezomib yang berupa proteasome inhibitor (Velcade).
9. Terapi target
obat baru yang menyerang sel-sel kanker lebih khusus dibandingkan
obat kemoterapi tradisional. Kebanyakan sel penyerang berupa versi
mutan gen tertentu, atau sel yang mengekspresikan terlalu banyak
salinan gen tertentu.
10. Agen diferensiasi
Obat ini bekerja pada sel-sel kanker untuk membuat mereka tumbuh
menjadi sel-sel normal.
11. Terapi hormon
Obat dalam kategori ini adalah hormon seks, atau obat seperti hormon,
yang mengubah tindakan atau produksi hormon wanita atau laki-laki.
Mereka

digunakan

untuk

memperlambat

pertumbuhan

kanker

payudara, prostat, dan kanker endometrium, yang biasanya tumbuh


sebagai respon terhadap hormon seks alami dalam tubuh. Hormon
pengobatan kanker ini tidak bekerja dengan cara yang sama seperti
obat kemoterapi standar. Mereka bekerja dengan membuat sel-sel
kanker tidak dapat menggunakan hormon yang mereka butuhkan untuk
tumbuh, atau dengan mencegah tubuh dari membuat hormon.
12. Imunoterapi
Beberapa obat yang diberikan kepada penderita kanker untuk
membantu sistem kekebalan tubuh mereka mengenali dan menyerang

sel kanker. Obat ini menawarkan metode unik pengobatan, dan sering
dianggap terpisah dari kemoterapi.
8. BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan)
Jawab:
BPOM adalah sebuah lembaga pemerintahan non kementrian yang
bertugas mengawasi peredaran obat, obat tradisional, suplemen kesehatan,
kosmetik dan makanan di wilayah Indonesia. Tugas, fungsi dan kewenagan
BPOM diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenagan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah non Departemen yang telah diubah terakhir kali dengan
peraturan Perpres No 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh atas
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001.
Dilihat dari fungsi BPOM secara garis besar, terdapat 3 inti kegiatan atau
pilar lembaga BPOM, yakni:12
1. Penapisan produk dalam rangka pengawasan obat dan sebelum beredar
melalui:
a. Perkuatan regulasi, standar dan pengawasan obat, obat dan makanan
serta dukungan regulatori kepada pelaku usaha untuk pemenuhan
standar dan kententuan yang berlaku
b. Peningkatan registrasi/penilaian obat dan makanan obat dan makanan
yang diselesaikan tepat waktu
c. Peningkatan inspeksi sarana produksi dan distribusi obat dan makanan
dalam rangka pemenuhan standar Good Manufacturing Practices
(GMP) dan Good Distribution Practices (GDP) terkini
d. Penguatan kapasitas laboratorium BPOM
2. Pengawasan obat dan makanan pasca beredar di masyarakat melalui:
a. Pengambilan sampel dan pengujian
b. Peningkatan cakupan pengawasan sarana produksi dan distribusi obat
dan makanan di seluruh Indonesia oleh 33 Balah Besar (BB)/ Balai
POM, termasuk pasar aman dari bahan berbahaya
c. Investigasi awal dan penyidikan kasus pelanggaran di bidang obat dan
makanan di pusat dan balai
3. Pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi
serta penguatan kerjasama kemitraan dengan pemangku kepentingan

dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan obat dan makanan di


pusat dan balai melalui:
a. Public warning
b. Pemberian informasi dan penyuluhan/komunikasi, informasi dan
edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang obat dan
makanan
c. Peningkatan pengawasan terhadap pangan jajanan anak sekolah
(PJAS), peningkatan kegiatan BPOM sahabat ibu dan advokasi serta
bekerjasama dengan masyarkat dan berbgai pihak/lembaga lainnya.
9. Kriteria dan tatalaksana izin pedaftaran obat tradisional
Jawab:
Persyaratan dan kriteria meliputi (Pasal 2):13
1. Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang dibuat
dan atau diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar dari
Kepala Badan.
2. Untuk memperoleh izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan pendaftaran.
Dikecualikan dari ketentuan Pasal 2 terhadap :
a. obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang
digunakan untuk penelitian;
b. obat tradisional impor untuk digunakan sendiri dalam jumlah
terbatas;
c. obat tradisional impor yang telah terdaftar dan beredar di negara

asal untuk tujuan pameran dalam jumlah terbatas;


d. obat tradisional tanpa penandaan yang dibuat oleh usaha jamu
racikan dan jamu gendong;
e. bahan baku berupa simplisia dan sedaan galenik.
Bagian Kedua
Kriteria
Pasal 4
Untuk dapat memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:13
a. Menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang
memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan / khasiat;

b. Dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan


Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik
yang berlaku;
Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat
menjamin penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan
fitofarmaka secara cepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi
dalam rangka pendaftaran.

10. Langkah BPOM mengatasi obat herbal yang belum memiliki izin edar
Jawab:
BAB X
SANKSI14
Pasal 35
1. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenai sanksi
administratif berupa :
a) peringatan tertulis;
b) penarikan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka
dari peredaran termasuk penarikan iklan;
c) penghentian
sementara
kegiatan
pembuatan,

distribusi,

penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan obat tradisional, obat


herbal terstandar dan fitofarmaka dan impor obat tradisional;
d) pembekuan dan atau pencabutan izin edarobat tradisional, obat
herbal terstandar dan fitofarmaka.
2. Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
11. Evidance based medicine dan bagaimana penerapannya
Jawab:
Adalah pengintegrasian antara:15
(a) Bukti ilmiah beupa hasil penelitian terbaik dengan
(b) Kemampuan klinis dokter serta
(c) Prefrensi pasien dalam proses pengambilan keputusan pelayanan
kedokteran
Jadi EBM daa diarikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara seksama,
eklisit dan bijaksana dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana
pasien. Langkah dan proses didalamnya meliputi15
1. Identifikasi masalah dari pasien atau yang timbul selama proses
tatalaksana penyakit pasien
2. Membuat formulasi pertanyaan dari masalah klinis tersebut
3. Mencari sumber yang tepat untuk mencari jawaban yang benarbagi
pertanyaan tersebut dari literatur ilmiah

4. Melakukan telaah kritis terhadap literatur yang didapatkan untuk


menilai validitas (mendekati kebenaran), peningnya hasil penelitian itu
serta kemungkinan penerapannya pada pasien
5. Integrasikan bukti tersebut dengan kemampuan klinis yang dimiliki
dan preferensi pasien yang seharusnya mendapatkan probabilitas
pemecahan masalah pelayanan pasien yang lebih baik
Evaluasi proses penatalaksanaan penyakit/masalah pasien tersebut. Apakah
sudah berhasil atau masih memerlukan tindakan lain
12. Edukasi masyarakat mengenai penggunaan obat herbal
Jawab:
Metode Cara Belajar Insan Aktif (CBIA) atau community based
interactive approach merupakan salah satu kegiatan pemberdayaan
masyarakat yang dapat digunakan dalam mengedukasi masyarakat untuk
memilih dan menggunakan obat yang benar pada swamedikasi. Melalui
metode ini diharapkan masyarakat, terutama para ibu agar lebih aktif dalam
mencari informasi mengenai obat yang digunakan oleh keluarga. Informasi
tersebut dapat berguna antara lain agar dapat menggunakan dan mengelola
obat di rumah tangga secara benar. Selain itu diharapkan agar tujuan selfmedication dapat tercapai secara optimal. Sumber informasi produk tersebut
dapat dicantumkan pada kemasan maupun package insert/brosur.20
Metode edukasi masyarakat melalui CBIA pertama kali dikembangkan
oleh Prof. Dr. Sri Suryawati sejak tahun 1992, guru besar farmakologi dari
Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada. Bersama timnya di Pusat
Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat UGM, metode ini telah
dikembangkan selama bertahun-tahun, dan telah diadopsi oleh beberapa
negara di Asia serta diakui oleh WHO. Pada tahun 2007, bekerja sama dengan
Direktorat Penggunaan Obat Rasional, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dilaksanakan kegiatan pilot
project selama dua hari di Pandeglang, Banten.20
Selanjutnya kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan metode CBIA
dilaksanakan secara rutin oleh Kementerian Kesehatan RI mulai tahun 2008
hingga saat ini. Agar kegiatan ini dapat dilaksanakan pada sasaran yang lebih
luas dan lebih banyak, maka pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan telah

menerbitkan Modul Peningkatan Keterampilan Memilih Obat untuk


Swamedikasi. Modul ini terdiri dari 2 (dua) buku, yaitu Modul I untuk Tenaga
Kesehatan dan Modul II untuk Kader Kesehatan. Modul ini dapat menjadi
panduan bagi Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kesehatan
Propinsi/Kabupaten/Kota

dan

institusi

lain

yang

berminat

untuk

melaksanakan kegiatan CBIA di wilayah kerjanya.20


Pelaksanaan Kegiatan
Berbeda dengan kegiatan edukasi atau pelatihan pada umumnya,
kegiatan edukasi masyarakat dengan metode CBIA dilaksanakan dengan cara
melibatkan peserta secara aktif. Salah satu studi yang dilakukan oleh UGM,
menunjukkan bahwa metode CBIA secara signifikan dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman peserta dibandingkan dengan metode ceramah
dan tanya jawab (presentasi/penyuluhan). Dengan CBIA, peserta dapat
mengingat dengan lebih baik, karena dilakukan secara aktif dan visual
melalui pengamatan secara langsung. Tutor dan fasilitator hanya berperan
sebagai pemandu dalam diskusi, sedangkan informasi lebih lanjut yang
dibutuhkan dapat disampaikan oleh Narasumber yang diundang. Dengan
demikian kader yang sudah pernah dilatih, atau mahasiswa juga dapat
dilibatkan sebagai tutor, sedangkan tenaga kesehatan Puskesmas atau Dinas
Kesehatan dapat menjadi fasilitator. Narasumber dapat didatangkan dari
profesi apoteker yang telah berpengalaman.20
Dalam CBIA, peserta dapat terdiri dari ibu rumah tangga, kader
kesehatan (posyandu), tokoh masyarakat, anggota tim penggerak PKK, atau
unsur/organisasi masyarakat lainnya. Untuk melatih cara melaksanakan
CBIA, dilakukan pelatihan untuk pelatih (training of trainer, TOT) sekaligus
melibatkan kader kesehatan di Puskesmas atau unsur masyarakat sebagai
peserta edukasi secara langsung. Kegiatan TOT yang dilaksanakan di Propinsi
umumnya melibatkan peserta dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau

tenaga kesehatan Puskesmas setempat serta kader kesehatan (Posyandu) atau


unsur/organisasi masyarakat lainnya.
Dalam kegiatan CBIA, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok
terdiri dari 6-8 orang kader. Kegiatan yang dilaksanakan dibagi menjadi 3
tahap yaitu:20
1. Kegiatan I ( kelompok)
Setiap kelompok dibagikan paket obat tertentu yang telah
disiapkan, lalu peserta diminta untuk:
Mengamati kemasan obat dan mempelajari informasi yang tertera
yaitu nama dagang, nama bahan aktif, dosis/kekuatan bahan aktif,
bahan aktif utama dan tambahan pada obat kombinasi.
Mengelompokkan

obat

berdasarkan

bahan

aktif,

bukan

berdasarkan indikasi.
Mendiskusikan hasil pengamatan di atas.
2. Kegiatan II (Kelompok)
Tahap kegiatan ini bertujuan agar peserta berlatih mencari
informasi dari kemasan, dengan cara meneliti setiap tulisan yang tersedia
pada produk. Beberapa sediaan obat dalam bentuk cairan seperti sirup,
eliksir, obat tetes atau obat luar berupa krim dan salep, disertakan brosur
dari pabrik sebagai informasi produk. Sedangkan sediaan tablet dalam
kemasan obat bebas (over the counter, OTC) seringkali hanya
menyediakan informasi produk pada kemasan terluar.
Tahap ini merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi
yang diperlukan sebagai dasar melakukan self-medication, yaitu nama
bahan aktif, indikasi, aturan penggunaan, efek samping dan kontraindikasi.

Peran Tutor dalam tahap ini cukup besar, untuk mendorong semua
kebutuhan informasi, yakni 5 (lima) komponen utama informasi
ditemukan secara lengkap.
Dalam kegiatan ini digunakan lembar kerja yang telah disediakan
dengan jumlah lembar kerja yang tidak perlu dibatasi. Kelengkapan
pengisian lembar kerja diharapkan dapat memacu aktifitas peserta pada
tahap selanjutnya. Dengan dipimpin ketua kelompok, pencarian informasi
dilakukan secara bersama sama, sambil membandingkan kelengkapan
informasi dari satu nama dagang dengan nama dagang yang lain.
Walaupun kegiatan ini dilakukan dalam kelompok, namun tiap
peserta harus mencatat untuk keperluan sendiri. Sambil mencatat
informasi, peserta sekaligus dapat menelaah secara sederhana kelengkapan
dan kejelasan informasi yang disajikan pada tiap kemasan.
3. Kegiatan 3 (individual)
Kegiatan ini bertujuan untuk memupuk keberanian peserta mencari
informasi sendiri. Perlu dipastikan dahulu bahwa lembar kerja pada
kegiatan 2 telah terisi dengan baik. Dalam tahap ini, peserta diminta untuk
mengerjakan pencatatan informasi seperti kegiatan 2, terhadap obat yang
ada di rumah masing masing. Setelah menjelaskan kegiatan 3, diskusi
ditutup dengan rangkuman oleh salah satu Tutor atau Narasumber,
mengidentifikasi kembali temuan temuan penting yang diperoleh di
masing masing kelompok, dan memberikan pesan-pesan untuk
memperkuat dampak intervensi.
13. Program pemerintah untuk pengembangan fitofarmaka.
Jawab:
Pemerintah telah menetapkan Kebijakan Obat Tradisional Nasional
(KOTRANAS), yang menjabarkan prioritas, strategi dan peran berbagai
pihak dalam menyusun program/kegiatan untuk mendukung pengembangan

dan ketersediaan bahan baku obat tradisional. Penetapan KONTRANAS ini


kemudian menjadi dasar dalam penentuan Rencana Induk Pengembangan
Bahan Baku Obat Tradisional yang di dalamnya meliputi:16,17
1. Rencana Induk ini merupakan dokumen turunan dari KONTRANAS
2. Merujuk pada KOTRANAS, obat tradisional yang dimaksud tidak
diartikan terbatas pada sediaan tradisonal yang digunakan secara turun
temurun (Jamu) tetapi juga meliputi bahan atau ramuan bahan tumbuhan,
hewan, termasuk biota laut atau sediaan galenik yang telah melalui uji praklinik/klinik seperti Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.
Bahan baku obat tradisional yang dimaksud adalah bahan baku simplisia
dan bahan baku ekstrak.
3. Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional meliputi
pemilihan prioritas

jenis tanaman obat, pengembangan teknologi

produksi pasca panen bahan baku simplisia dan teknologi produksi


ekstraksi.
4. Rencana Induk perlu disusun untuk mensinergikan program/kegiatan
terkait penelitian dan pengembangan bahan baku simplisia dan ekstrak
tanaman obat Indonesia, yang dilakukan oleh berbagai kementerian dan
lembaga, agar dapat mendukung kemandirian dan daya saing industri
bahan baku obat tradisional.
5. Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional perlu disusun
agar upaya penguatan industri obat tradisional (industri jamu dan industri
obat herbal) dapat berjalan dan mendapat dukungan penuh dari berbagai
pihak.

Dengan

demikian

Rencana

Induk

ini

disusun

dengan

mempertimbangkan situasi terkini (state of the art) industri industri obat


tradisional, ketersediaan sumber daya, kelembagaan, potensi pasar dan
perkembangan dan penguasaan iptek terkait.
Pemerintah juga berperan dalam tahap pemantauan pada uji klinik
berupa survailan efek samping yang langka ( rare, side effects) yang baru
muncul setelah pemberian jangka panjang yang tidak mungkin terkendali
pada fase-fase uji klinik sebelum pemasaran. System survailan ini

seyogyanya merupakan bagian dari system Monitoring Efek Samping Obat


(MESO) Nasional. Uji Klinik Tahap Pemantauan juga dilakukan untuk
melihat manfaat obat pada keadaan yang sesungguhnya dalam klinik, pada
populasi penderita yang khusus misalnya anakanak, orang lanjut usia dan
lain-lain.16,17
Jenis-jenis Obat Tradisional Yang dikembangkan Menjadi Fitofarmaka
Sesuai lampiran Permenkes RI No.760/Menkes/Per/IX/1992 tanggal 4
September 1992 berikut ini adalah daftar obat tradisional yang harus
dikembangkan menjadi Fitofarmaka yaitu :18,19
1.Antelmintik
2.Anti ansietas (anti cemas)
3.Anti asma
4.Anti diabetes (hipoglikemik)
5. Anti diare
6. Anti hepatitis kronik
7. Anti herpes genitalis
8. Anti hiperlipidemia
9. Anti hipertensi
10. Anti hipertiroidisma
11. Anti histamin
12.Anti inflamasi (anti Rematik)
13.Anti kanker
14.Anti malaria
15.Anti TBC
16.Antitusif / ekspektoransia
17.Disentri
18.Dispepsia (gastritis)
19.Diuretik
Produk Fitofarmaka
Saat

ini

di

Indonesia

baru

terdapat

5 fitofarmaka,

produk fitofarmaka yang sudah beredar adalah:18,19


1.Nodiar (anti diare) PT Kimia Farma (POM FF 031 500 361)
Komposisi:
Attapulgite 300 mg
Psidii Folium ekstrak 50 mg

contoh

Curcumae domesticae Rhizoma ekstrak 7,5 mg

2. Rheumaneer (pengurang nyeri) PT. Nyonya Meneer (POM FF 032 300 351)
Komposisi:
Curcumae domesticae Rhizoma 95 mg
Zingiberis Rhizoma ekstrak 85 mg
Curcumae Rhizoma ekstrak 120 mg
Panduratae Rhizoma ekstrak 75 mg
Retrofracti Fructus ekstrak 125 mg

3. Stimuno (peningkat sistem imun) PT Dexa Medica (POM FF 041 300 411,
POM FF 041 600 421)
Komposisi:
Phyllanthi Herba ekstrak 50 mg

4. Tensigard Agromed (Anti hipertensi) PT Phapros ( POM FF 031 300 031,


POM FF 031 300 041)
Komposisi:
Apii Herba ekstrak 95 mg

5. X-Gra PT Phapros (aphrodisiac) (POM FF 031 300 011, POM FF 031 300
021)
Komposisi:
Ganoderma lucidum 150 mg
Eurycomae Radix 50 mg
Panacis ginseng Radix 30 mg
Retrofracti Fructus 2,5 mg
Royal jelly 5 mg.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Obat kanker herbal belum teruji klinis dan belum mendapat izin edar BPOM.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hariana,

H. Arief.

(2006).

Tumbuhan

Obat

&

Khasiatnya

3.

Jakarta:Swadaya.
2. Badan Pengawan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan:
Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal dan
Fitofarmaka. 2005.
3. Badan Pengawan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan:
Pedoman Uji Klinik Obat Herbal. 2014
4. WHO. Legal Status of Traditional Medicine and Complementary/
Alternative Medicine : A Worldwide Review, Geneva. 2001.
5. WHO. National Policy on Traditional Medicine and Regulation of Herbal
Medicines, Report of a WHO global survey, Geneva.
6. George P. Concerns Regarding the Safety and Toxicity of Medicinal
Plants. Journal of Applied Pharmaceutical Science 01 (06); 2011: 40-44.
7. Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi
(Editor).1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.. Bagian Farmakologi FK
UI: Jakarta.
8. Hoan Tan Tjay,drs & Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat penting,
Khas penggunaan dan efek sampingnya : Elexmedia Computindo
9. Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta
10. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: EGC. 2012
11. American Cancer Society. (2015). Chemotherapy Drugs: How They Work.
Diakses

dari:

http://www.cancer.org/treatment/treatmentsandsideeffects/treatmenttypes/c
hemotherapy/how-chemotherapy-drugs-work
diakses pada tanggal 6 November 2016 pada pukul: 15:11
12. http://www. Jdih.pom.go.id.
Diakses pada tanggal 7 November 2016
13. Badan Pengawan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan:
Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal dan
Fitofarmaka. 2005.

14. PERATURAN

KEPALA

BADAN

PENGAWAS

OBAT

DAN

MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013


PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS
OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.23.10.11.08481 TAHUN
2011 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSA NA REGISTRASI
OBAT.
15. Alan R Tumbaleka. Evidence Based Medicine. Sari Pediatri, Vol.3 No.4.
Maret 2002 Hal: 247-248
16. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013
tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional
17. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
761/Menkes/SK/IX/1992 tentang Pedoman Fitofarmaka
18. Ansel, H.C., 2008,Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi,UI-Press,Jakarta.
19. Widaryanto Eko, 2008,Tanaman Obat Berkhasiat,Unit Penerbitan Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya,Malang.
20. http://binfar.kemkes.go.id/2014/09/mencerdaskan-masyarakat-dalampenggunaan-obat-melalui-metode-cara-belajar-insan-aktif-cbia/

Anda mungkin juga menyukai