Syekh Abdurrauf Singkil ( - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar
Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di
Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku
Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Masa muda dan pendidikan
Abdurrauf Singkil lahir di Singkil, Aceh pada 1024 H/1615 M, beliau memiliki nama lengkap
Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat
masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil,
Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya
sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya,
ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai
ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.
Tercatat sekitar 19 guru pernah mengajarinya berbagai disiplin ilmu Islam, selain 27 ulama
terkemuka lainnya.
Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari
Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Mekah, dan Madinah. Studi
keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd AlQadir al Mawrir.
Hasil karya
Sepanjang hidupnya, tercatat Syiah Kuala sudah menggarap sekitar 21 karya tulis yang terdiri
dari satu kitab tafsir, dua kitab hadis, tiga kitab fikih, dan selebihnya kitab tasawuf. Bahkan
Tarjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir Syiah Kuala yang
pertama dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.
Namun di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap penting bagi
kemajuan Islam di nusantara, yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid. Kitab ini
ditulis ketika Syiah Kuala masih berada di Aceh. Kitab ini beredar di kawasan MelayuIndonesia, bahkan luar negeri.
Diyakini banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan
Islam di Melayu. Selain itu, kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi
telaah tafsir Alquran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.
Karya tulis Syekh Abdurrauf kini masih bisa ditemukan di Pustaka Islam, Seulimum, Aceh
Besar. Hal ini merujuk pada buku yang dikarang Teuku Ibrahim Alfian berjudul Perjuangan
Ulama Aceh di Tengah Konflik yang berdasarkan hasil penelitian Al Yasa Abubakar.
Disebutkan dalam tulisan itu, karya tulis As-Singkili lebih kurang mencapai 36 buah kitab.
Bahkan salah satu kitab yang dikarangnya diabadikan oleh Profesor A. Meusingge dalam
buku yang wajib dibaca mahasiswa Koninklijke Academic Delft, Leiden. Di dalam buku
tersebut diulas isi kitab As-Singkili yang berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asySyari'yyah li al Malik al-Wahhab.
Mufti kerajaan
Selain sebagai penulis yang produktif, Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercayakan sebagai
mufti kerajaan Aceh pada masanya. Pengaruhnya sangat besar dalam mengembangkan Islam
di Aceh dan meredam gejolak politik di kerajaan tersebut. Salah satu kebijakan populis pada
abad pertengahan adalah restunya terhadap kepemerintahan ratu-ratu di Aceh.
Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad alQusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia
menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga
dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Quran bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi
berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun
1884.
Pengajaran dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta
mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya
banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama
terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) danSyekh Abdul
Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat
dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
Mir'at al-Thullab f Tasyil Mawa'iz al-Bad'rifat al-Ahkm al-Syar'iyyah li Malik alWahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah
Safiyatuddin.
Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah
Zakiyyatuddin.
Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia
dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya
Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh. Namanya kini dilakabkan menjadi nama
Universitas Syiah Kuala atau Unsyiah. Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh.
Keberadan makam
Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercaya memiliki dua makam. Satu berada di Desa Deah
Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Satu lagi di Desa Kilangan, Singkil. Makam di
Singkil berada di bibir Krueng Singkil. Banyak peziarah mendatangi makam ini, baik dari
Aceh maupun dari luar daerah seperti Sumatera Barat.
Sementara di Banda Aceh, lokasi makam Syiah Kuala berada di bibir Selat Malaka. Seperti
halnya di Singkil, lokasi makam ini juga banyak dikunjungi peziarah. Bahkan makam
dijadikan sebagai lokasi wisata religi di Tanah Rencong oleh pemerintah daerah.
BIOGRAFI WALISONGO
"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun
satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri
adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan
Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat
sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid
Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik
Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga
wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi
pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru:
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan
hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu.
Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan
Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri,
Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa
hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia.
Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka
yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali"
ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai
dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu
Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan
Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami
masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
Sunan Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.
Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah
yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan
Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kotaGresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di
tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa
yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak
menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya
memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramahtamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan
Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan
para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku
jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan
ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi
menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik.
Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut
diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat
Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari
Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan
menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang
merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini
makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama
Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai
berkunjung untuk berziarah.
Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, sesuai tanggal
wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran,
mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur
harisah.
Legenda Rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia.
Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana
Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal
di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro
dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh
Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan
adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai
negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang
memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau
Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa
dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek
Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan
berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah
dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan
bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa
Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.
Sunan Ampel
Sunan Ampel
Sunan Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam
perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari tangannya
lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi tanah jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah
Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel
atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya.
Ia dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan Champa
disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang menunjukkan Champa di
Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa adalah
sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh, oleh karena itu Champa berada dalam wilayah
kerejaan Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu bukan yang
di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di Aceh.
Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana
Maghribi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi
Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja
Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu: Dewi Karimah dan Dewi
Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang anak yaitu: Dewi
Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak Bintoro) dan
Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri. Dengan Istri
keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak, yaitu: Siti
Syareat, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau Sunan Bonang,
serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat
atau kadang-kadang disebut Sunan Sedayu.
Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan
mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal
mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang
tinggi terhadap masalah-masalah sosial.
Sunan Giri
Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang
berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri
memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih,
Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Silsilah
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian
babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari
Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari
Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah
SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir,
Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam,
Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (alAzhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini
(Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut
adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Saadah Ba
Alawi Hadramaut.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari
Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan
pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan
berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi
Sekardadu menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke
Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede
Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya keSurabaya untuk belajar agama
kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui
identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya
dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka
diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko
Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa
dia dulu dibuang.
Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah
Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi
Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa,
ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah
di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid
Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer
timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai
imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana
ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.
Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah
barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin,
tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang
yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan
kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan
intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal
ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah
satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al
Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung
laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta
Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,
dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,
dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang
mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati"
adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah
perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi
(peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
Sunan Dradjad
Sunan Drajat
Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain
yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang
Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari
perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel
lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng
Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan
halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung
halamannya di Ampeldenta,Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan
Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan
sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di
tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan,
sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu.
Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang
kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi
pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama
Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga
terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan
menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan
sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi
kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden
Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan
terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih
menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin
oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah
perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah
angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu.
Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat
kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan
Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan
hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang
kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid
agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah
menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu
kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat
termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas
tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Bapang
den simpangi, ana catur mungkur, demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan
pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak,
tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama,
lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan
pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu
masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang
pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual
adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta;
paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung
kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang
kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang
kehujanan.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun
1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut
Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan
seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam
versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung
Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di
sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab
"qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu)
yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan
seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta
Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk
Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di
Kadilangu -selatan Demak.
Beliau telah meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah selama 30 tahun dan Madinah
selama 5 tahun. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh sultan.
Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut adalah Syeikh `Abdus Shamad AlFalimbani, Syeikh Abdur Rahman Al-Mashri Al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis
(yang kemudian menjadi menantu Syaikh). Guru yang banyak disebut adalah Syeikh
Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul
Karim As-Sammani Al-Madani. Selama belajar di Mekah Syeikh Arsyad tinggal di sebuah
rumah di Samiyah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Syeikh Arsyad juga belajar kepada guruguru Melayu di Arab Saudi, seperti Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok AlFathani (Thailand Selatan), Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh
Muhammad `Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbani.
Hampir semua ilmu keislaman yang telah dipelajari di Mekah dan Madinah mempunyai sanad
atau silsilah hingga ke pengarangnya. Hal ini cukup jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh
Yasin bin Isa Al-Fadani (Padang, Sumatera Barat) dalam beberapa buah karya beliau. Selain
bukti berupa karya-karyanya, juga dapat diambil jasa-jasanya membuka mata rakyat Banjar
atau dunia Melayu.
Rekan-rekan Arsyad selama di Mekah kemudian juga menjadi ulama terkenal. Syeikh `Abdus
Shamad Al-Falimbani pengarang Sayrus Salaikin, Syeikh `Abdur Rahman Al-Mashri AlBatawi (akkek Sayid `Utsman bin Yahya, Mufti Betawi yang terkenal), Syeikh Muhammad
Nafis bin Idris Al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durrun Nafis, Syeikh Muhammad Shalih bin
`Umar As-Samarani (Semarang) yang digelar dengan Imam Ghazali Shaghir (Imam Ghazali
Kecil), Syeikh `Abdur Rahman bin `Abdullah bin Ahmad At-Tarmasi (Termas, Jawa Timur),
Syeikh Haji Zainuddin bin `Abdur Rahim Al-Fathani (Thailand Selatan), dan banyak lagi.
Penulisan
Tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di Mekah, sekali gus menulis
kitab di Mekah juga. Lain halnya dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah alBanjari, walaupun dipercayai bahawa beliau juga pernah mengajar di Mekah, namun karya
yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Lagi pula nampaknya beliau lebih mencurahkan
khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah-olah tanggungjawab
rakyat Banjar terbeban di bahunya. Ketika mulai pulang ke Banjar, sememangnya beliau
sangat sibuk mengajar dan menyusun segala macam bidang yang bersangkut-paut dengan
dakwah, pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat
menghasilkan beberapa buah karangan.
Karya-karya Syeikh Arsyad banyak ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Jawi yang
memang diperuntukkan untuk bangsanya. Meskipuin ia memiliki kemampuan menulis
berbagai kitab dalam bahasa Arab, tapi, ia lebih suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia
mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali kepada para
muridnya.
Karangannya yang sempat dicatat adalah seperti berikut di bawah ini:
1. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Muminin wa ma Yufsiduhu Riddah
ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M
2. Luqtah al-Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan,
diselesaikan tahun 1192 H/1778 M.
3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diseselesaikan pada hari Ahad,
27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M
3. Pada cetakan Istanbul, yang kemudian dicetak kembali oleh Mathbaah AlAhmadiah, Singapura tahun 1347 H, iaitu cetakan kedua dinyatakan, Tuhfatur
Raghibin talif al-Alim al-Allamah asy-Syeikh Muhammad Arsyad alBanjari. Di bawahnya tertulis, Telah ditashhihkan risalah oleh seorang daripada
zuriat muallifnya, iaitu `Abdur Rahman Shiddiq bin Muhammad `Afif mengikut
bagi khat muallifnya sendiri . Di bawahnya lagi tertulis, Ini kitab sudah cap
dari negeri Istanbul fi Mathbaah al-Haji Muharram Afandi.
4. Terakhir sekali Mahmud bin Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari mencetak
kitab Tuhfah ar-Raghibin itu disebutnya cetakan yang ketiga, nama Syeikh
Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari tetap dikekalkan sebagai
pengarangnya.
Daripada bukti-bukti di atas, terutama yang bersumber daripada Syeikh Daud bin `Abdullah
al-Fathani dan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq adalah cukup kuat untuk dipegang kerana
kedua-duanya ada hubungan dekat dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah alBanjari itu. Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani adalah sahabat Syeikh Muhammad Arsyad
bin `Abdullah al-Banjari sedangkan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq pula adalah keturunan
Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari. Mengenai karya-karya Syeikh
Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari yang tersebut dalam senarai, insya-Allah akan
dibicarakan pada kesempatan yang lain.
Masih banyak lagi tulisan dan catatan syaikh yang disimpan kalangan muridnya yang
kemudian diterbitkan di Istambul (Turki), Mesir, Arab Saudi, Mumbai (Bombai), Singapura,
dan kemudian Jakarta Surabaya, dan Cirebon. Di samping itu beliau menulis satu naskah al
Quranul Karim tulisan tentang beliau sedikit, yang sampai sekarang masih terpelihara dengan
baik.
Keturunan
Zurriyaat (anak dan cucu) beliau banyak sekali yang menjadi ulama besar, pemimpinpemimpin, yang semuanya teguh menganut Madzhab Syafii sebagai yang di wariskan oleh
Syeikh Muhammad Arsyad Banjar.
Diantara zurriyat beliau yang kemudian menjadi ulama besar turun temurun adalah :
l . H. Jamaluddin, Mufti, anak kandung, penulis kitab perukunan Jamaluddin.
2. H. Yusein, anak kandung, penulis kitab Hidayatul Mutafakkiriin.
3. H. Fathimah binti Arsyad, anak kandung, penulis kitab Perukunan Besar, tetapi namanya
tidak ditulis dalam kitab itu.
4. H. Abu Saud, Qadhi.
5. H. Abu Naim, Qadhi.
6. H. Ahmad, Mufti.
7. H. Syahabuddin, Mufti.
8. H.M. Thaib, Qadhi.
9. H. Asad, Mufti.
10. H. Jamaluddin II., Mufti.
11. H. Abdurrahman Sidiq, Mufti Kerajaan Indragiri Sapat (Riau), pengarang kitab Risalah
amal Marifat, Asranus Salah, Syair Qiyamat, Sejarah Arsyadiyah dan lain lain.
12. H.M. Thaib bin Masud bin H. Abu Saud, ulama Kedah, Malaysia, pengarang kitab
Miftahul jannah.
13. H. Thohah Qadhi-Qudhat, penbina Madrasah Sulamul ulum, Dalam Pagar Martapura.
14. H.M. Ali Junaedi, Qadhi.
15. Gunr H. Zainal Ilmi.
16. H. Ahmad Zainal Aqli, Imam Tentara.
Bahkan banyak negeri tetangga yang mengambil peraturan Meukuta Alam sebagai teladan
bagi hukum mereka, karena peraturan tersebut berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya
oleh hukum-hukum agama (Mohammad Said: 1981).
Keberhasilan membuat kodifikasi hukum Meukuta Alam ini tentunya tidak terlepas dari
siapakah mufti besar pada masa itu. Syamsuddin as Sumatrani pada masa Sultan Iskandar
Muda berkedudukan cukup tinggi, karena beliau selain sebagai Qadli Malikul Adil atau
sebagai orang nomor dua dalam kerajaan, juga sebagai Ketua Balai Gading yang
beranggotakan 7 ulama dan 8 Uleebalang (A.Hasjmi: 1983). Peranannya tidak hanya dalam
bidang agama tetapi juga mengambil peranan dalam soal dalam negeri bahkan politik luar
negeri. Mungkin bisa dikatakan sebagai Perdana Menteri dalam sistem parlementer.
As-Sumatrani, seorang negarawan. Bagaimana perannya dapat dilihat dalam The Voyages of
Sir James Lancaster menyebutkan kesan-kesan Lancaster terhadap Syeikh Syamsuddin.
Suatu dialog antara Lancaster dengan Syekh Syamsuddin as Sumatrani pada saat pembicaraan
perdagangan antara kedua kerajaan. Bertanya Syeikh Syamsuddin: Tuan, apa alasan Tuan,
yang kiranya dapat kita ajukan kepada Sultan, untuk meyakinkan baginda supaya beliau
bersedia menyetujui permintaan Tuan. Selanjutnya pada saat itu Syekh Syamsuddin
menyarankan supaya alasan-alasan dimaksud dijelaskan secara tertulis, dan akan
dipersembahkan kepada Sultan(1877, dalam Mohammad Said:1981 ).
Penjelasan terhadap bahan yang ditulis dari luar negeri, sudah bisa memberikan kesan bahwa,
Syeikh Syamsuddin as Sumatrani memiliki kedudukan sebagai juru runding dalam urusan
ekonomi dan politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam. Suatu kedudukan yang tinggi
dalam urusan kenegaraan. Tanpa adanya kepercayaan yang diberikan oleh Sultan, tidak
mungkin seseorang bisa melakukan pembicaraan yang bersifat politis dengan pihak dari luar.
Untuk sisi kenegaraan dalam bidang hukum, maka bisa kita temukan peran-peran yang sangat
penting dari seorang Syamsuddin as Sumatrani. Hukum memerlukan suatu studi aspek
filosofis, aspek sosiologis, serta aspek yuridis. Seluruh aspek tersebut akan membantu
menyusun kalimat-kalimat hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat. Apabila
hukum Meukuta Alam merupakan hukum yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum agama Islam,
maka kedudukan fiqih dan syariah merupakan bagian yang paling penting dalam aspek
filosofis dan aspek yuridis dari Meukuta Alam.
Jejak pemikiran
Seorang besar akan dinilai dari tiga hal. Pertama, kemampuan dia untuk menghasilkan
pemikiran yang diikuti oleh orang pada jamannya, Kedua, membangun suatu sistem yang
diakui tidak hanya dari dalam melainkan dari luar. Ketiga, pemikirannya ditujukan untuk
kebaikan dan dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama. Coba ketiga hal itu kita jadikan
sebagai pedoman untuk membedah seberapa masa Sultan Iskandar Muda dan Syeikh
Syamsuddin as Sumatrani.Beberapa kitab karangan Syamsuddin as Sumatrani yang bisa kita
ketahui adalah : Miratul Mukminin (cermin perbandingan bagi mukmin), Jauharul Haqaaiq
(permata kebenaran), Risalatun Baijin Mulahdhatil Muwwahidin Alal Mulhidi Zikrillah
(tinjauan ahli-ahli tauhid terhadap orang-orang sesat mengingat Allah), Kitabul Harakah,
Nurul Daqaaiq (cahaya yang murni), Miratul Imam (cermin keimanan), Syiratul Miratul
Qulub (uraian tentang cermin segala hati), Kitab Tayzim, Syarul Arifin, Kitabul Ushulut
Tahqiq (kitab dasar-dasar penguat), Miratul Haqiqah (cermin hakikat), Kitabul Martabah
(kitab tentang martabat manusia), Risalatul Wahhab (risalah tentang Mahapemberi), Miratul
Muhaqiqin (cermin para ahli pembukti), Tanbihullah (peringatan Allah), Sjarah Rubai
Hamzah Fansury (uraian dan tafsir tentang buku Hamzah Fansury berjudul Rubai Fansury).
Ada sebuah pepatah mengatakan bahwa Perbuatan yang dilakukan merupakan cerminan dari
apa yang dibaca. Maka apabila kita melihat kondisi pada waktu masa Sultan Iskandar Muda
yang begitu gilang gemilang, akan sangat dipengaruhi dengan bacaan (pemikiran) yang
berkembang pada saat itu. Begitu banyaknya kitab yang ditulis oleh Syeikh Syamsuddin as
Sumatrani menggambarkan bahwa beliau seorang yang produktif dalam pemikiran, dan hasil
pemikirannya pun merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat dan kenegaraan.
Pertanyaan kita, selaku masyarakat Melayu Nusantara, mengapa pemikiran beliau seolah
terkubur di antara tumpukan pemikiran-pemikiran yang lain? Bukankah menjadi tugas kita
bersama untuk menghidupkan serta menghidup-hidupkan pemikiran yang sudah jelas telah
membawa Peradaban Melayu Nusantara duduk berjejer dengan peradaban dari wilayah lain.
Entahlah
Biografi Nuruddin Ar-Raniri
Beliau adalah Ulama Besar Aceh yang tak asing lagi kebesaran namanya ditengahtengah orang Aceh, yaitu Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Nama lengkap beliau adalah Nuruddin
Muhammad bin Ali bin Hasanji Al-Hamid (atau Al-Syafi'i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri).
Ia dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar
pertengahan kedua abad XVI M. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya
berasal dari keluarga imigran Hadhramaut (Al-Attas: 1199 M).
Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di
tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang
ketika itu menjadi pusat studi agama Islam.
Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah
haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri menjalin hubungan
dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang
kebetulan berasal dari wilayah Nusantara. Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat
dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal
komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi
perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari.
Dalam perkembangannya, Nuruddin Ar-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat
Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui
ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari
Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba
Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti
Sayyid Umar b.'Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624
M), dan 'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri dibaiat
sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu
(Aboebakar Atjeh: 1979). Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan
tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari: tt)
Nuruddin adalah seorang yang berilmu tinggi, yaitu orang yang pengetahuannya tak terbatas
dalam satu cabangpengetahuan saja. Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah,
politik, sastra, filsafat, fikih, tasawwuf, perbedaan agama, dan sufism. ia menulis kurang-lebih
29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanul Salatin". Namanya kini diabadikan sebagai
nama perguruan tinggi agama (IAIN) di Banda Aceh.
Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri menulis sekitar dua puluh sembilan naskah,
di antaranya adalah: Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniri:
1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634)
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-Aqaid an Nasafiyah (1635)
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wal-Tarhib (1635)
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wal-Akhirin (1638)
5. Kitab Nubdzah fi dawa al-zhill maa shahibihi 6. Kitab Lathaif al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Marifat al-Ruh wa al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi marifat al-Adyan
Bagi kalangan santri dan alim ulama, nama beliau sudah tidak asing lagi. Beliau dikenal
sebagai tokoh Mazhab Syafi'i yang menjadi pengajar di Masjidil Haram di kota Mekkah.
Kitab-kitab yang beliau karang menjadi bahan ajar di berbagai pesantren dan perguruan Islam,
baik di Indonesia, Asia Tenggara maupun di dunia Islam pada umumnya. Sebut saja misalnya
kitab Nihayatuz Zain dan Maraqil Ubudiyyah yang sangat populer itu.
Namun patut disayangkan, saat ini banyak generasi muslim di negeri ini yang sudah
melupakan salah satu ulama tokoh kebanggaan ini, padahal beliau merupakan salah satu tokoh
berbangsa melayu yang keilmuannya diakui di negeri Hijaz.
Biografi Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani
Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Muti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara
Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi AlBantani.
Beliau lahir di kampung Tanara, (sekarang masuk dalam kecamatan Tirtayasa, Kabupaten
Serang) Banten pada tahun 1813 M atau 1230 H.
Ayah beliau bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari
mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit
menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab
beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia,
bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah.
Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of
Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya
Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu, Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi
Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di
kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang
beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk
mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani secara lebih lengkap antara lain adalah sebagai
berikut:
1.) al-Tsamr al-Yniah syarah al-Riydl al-Badah
2.) al-Aqd al-Tsamn syarah Fath al-Mubn
3.)Sullam al-Munjah syarah Safnah al-Shalh
4.)Bajah al-Wasil syarah al-Rislah al-Jmiah bayn al-Usl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5.)al-Tausyh/ Quwt al-Habb al-Gharb syarah Fath al-Qarb al-Mujb
6.)Niyah al-Zayyin syarah Qurrah al-Ain bi Muimmh al-Dn
7.)Marqi al-Ubdiyyah syarah Matan Bidyah al-idyah
8.)Nashih al-Ibd syarah al-Manbatu ala al-Istidd li yaum al-Mid
9.)Sallim al-Fadhl syarah Mandhmah idyah al-Azkiy
10.)Qmiu al-Thugyn syarah Mandhmah Syubu al-Imn
11.)al-Tafsir al-Munr li al-Mulim al-Tanzl al-Mufassir an wuj mahsin al-Tawil
musamm Murh Labd li Kasyafi Man Quran Majd
12.)Kasyf al-Marthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13.)Fath al-Ghfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musamm al-Kawkib alJaliyyah
14.)Nur al-Dhalm ala Mandhmah al-Musammh bi Aqdah al-Awwm
15.)Tanqh al-Qaul al-Hatsts syarah Lubb al-Hadts
16.)Madrij al-Shud syarah Maulid al-Barzanji
17.)Targhb al-Mustqn syarah Mandhmah Maulid al-Barzanj
18.)Fath al-Shamad al lam syarah Maulid Syarif al-Anm
19.)Fath al-Majd syarah al-Durr al-Fard
20.)Tjn al-Darry syarah Matan al-Baijry
21.)Fath al-Mujb syarah Mukhtashar al-Khathb
22.)Murqah Shud al-Tashdq syarah Sulam al-Taufq
23.)Ksyifah al-Saj syarah Safnah al-Naj
24.)al-Futhh al-Madaniyyah syarah al-Syub al-mniyyah
25.)Uqd al-Lujain fi Bayn Huqq al-Zaujain
26.)Qathr al-Ghais syarah Masil Ab al-Laits
27.)Naqwah al-Aqdah Mandhmah fi Tauhd
28.)al-Najah al-Jayyidah syarah Naqwah al-Aqdah
29.)Sulk al-Jdah syarah Lamah al-Mafdah fi bayn al-Jumuah wa almudah
30.)Hilyah al-Shibyn syarah Fath al-Rahman
31.)al-Fushsh al-Yqutiyyah ala al-Raudlah al-Bayyah fi Abwb al-Tashrfiyyah
32.)al-Riydl al-Fauliyyah
33.)Mishbh al-Dhalmala Minaj al-Atamma fi Tabwb al-Hukm
34.)Dzariyyah al-Yaqn ala Umm al-Barn fi al-Tauhd
35.)al-Ibrz al-Dniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnny
36.)Baghyah al-Awwm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anm
Ulama ini terkenal keras dalam imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan mengobarkan
pemberontakan yang terkenal sebagai pemberontakan Petani Banten. Namun sayang,
perjuangan fisiknya ini gagal, kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk
menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas.
Syeikh Ahmad Khatob Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan
para Syeikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon,
dan Syaikh Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura, keduanya pernah menetap di
Makkah.
Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa
sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu
ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam asti
intelektual), yan g juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang
pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara.
Hal ini dikarenakan perkumpulan Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah yang
didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di
wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura,
Thailand, dan Brunei Darussalam
Peranan dan Karyanya
Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa
Naqshabandiyyah yang dipimpin oleh Syeikh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang
melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda
juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Thariqoh yang didirikan oleh
Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.
Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan
muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia.
Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari
Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan
gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang
melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karyanya berupa
kitab FATHUL ARIFIN nang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis
oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di
Makkah pada tanggal tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir,
muqarobah dan silsilah Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah.
Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut
Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan
khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu
dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini.
Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun
Beliau juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah
Jumat. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang
berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah,
seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah
seputar Jumat, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.
Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini
ditutup dengan beberapa amalan wirid Beliau selain amalan Tariqat QadiriyahNaqsyabandiyah.
Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan
13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini
mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini
sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati
dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat
subhat.
22. KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23. KH. Zainudin : Nganjuk
24. KH. Maksum : Lasem
25. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27. KH. Munajad : Kertosono
28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36. KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.