Anda di halaman 1dari 65

DAMPAK PENGALIHAN PENGGUNAAN LAHAN

PERTANIAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI


MASYARAKAT KABUPATEN JEMBER

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Ekonomi Pembangunan (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Ekonomi

Oleh :
BAGUS CAHYO JAYA PRATAMA
NIM. 110810101103

ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS JEMBER
2015
1

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sumber daya lahan merupakan sumber daya alam yang sangat penting
untuk kelangsungan hidup manusia. Lahan diperlukan dalam setiap kegiatan
manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah permukiman, jalan untuk
transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya
untuk tujuan ilmiah. Salah satu yang menjadi fenomena dalam pemanfaatan lahan
adalah adanya alih fungsi lahan (konversi) lahan. Fenomena ini muncul seiring
dengan bertambahnya kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, baik dari sektor
pertanian maupun dari sektor non-pertanian akibat pertambahan penduduk dan
kegiatan pembangunan. Kustiawan (1997), mengemukakan bahwa fenomena alih
fungsi lahan terjadi akibat transformasi struktural perekonomian dan demografis,
khususnya di negara-negara berkembang (Valeriana Darwis, 2008).
Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan
manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk
mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh
manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses
umum dan fasilitas lain akan menyebabkan lahan yang tersedia semakin
menyempit. Timbulnya permasalahan penurunan kualitas lingkungan nantinya
akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Hal tersebut dikarenakan
penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kemampuan lahan, daya dukung dan
bentuk peruntukannya.
Untuk negara yang masih dalam tahap berkembang seperti Indonesia,
tuntutan pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, pemukiman, maupun
kawasan industri, turut mendorong permintaan terhadap lahan. Akibatnya, banyak
lahan sawah, terutama yang berada dekat dengan kawasan perkotaan, beralih
fungsi untuk penggunaan tersebut. Tindakan alih fungsi lahan pertanian
sebenarnya telah terjadi sejak adanya manusia di dunia (termasuk nenek moyang
bangsa Indonesia) dengan mengenal bermacam-macam sesuatu (obyek) yang
dikehendaki demi mempertahankan dan memperoleh kepuasan hidupnya seperti
pangan, sandang, papan dan sebagainya. Namun kebutuhan itu terus bertambah
baik macam, corak, jumlah, maupun kualitasnya seiring dengan bertambahnya
1

populasi manusia. Oleh karenanya dengan kebutuhan ini berarti menghendaki


lebih banyak lagi lahan pertanian yang perlu dirubah baik fungsi, pengelolaan
sekaligus menyangkut kepemilikannya. Kebijakan alih fungsi lahan pertanian
yang dibuat suatu Negara pada umumnya (termasuk Indonesia) dimaksudkan
terutama untuk mengatur ketersediaan lahan pertanian agar tidak cepat menyempit
maupun tetap stabil, tidak mudah/cepat rusak (tetap berfungsi baik) akibat ulah /
pemanfaatan para penghuninya, karena pada hakekatnya kegiatan alih fungsi
lahan pertanian sudah terjadi sejak adanya manusia di dunia yang memiliki
banyak keinginan untuk mempertahankan kehidupannya. Jadi alih fungsi lahan
pertanian di sini dapat menyangkut suatu tindakan untuk mengoptimalkan
(meningkatkan fungsi dan mengefektifkan) lahan pertanian menjadi lahan sejenis
dan atau merubah/mengganti fungsi lahan pertanian menjadi lahan jenis lain
(lahan non pertanian), bahkan ada yang langsung / sengaja atau tidak langsung
dapat merusak kondisi lahan tersebut, disamping dapatmenjadi sumber
ketegangan/konflik baik antar individu/kelompok / organisasi bahkan antar
Negara.
Pertumbuhan peduduk yang semakin pesat serta terjadinya kebutuhan
tempat tinggal tentu saja mempengaruhi kebutuhan lahan yang akan mengalami
peningkatan pula, yang akhirnya memanfaatkan lahan sawah sehingga luasannya
semakin berkurang yang kemudian akan menimbulkan ketimpangan antara luas
lahan sawah dengan kebutuhan lain yang beragam. Seperti yang dikemukakan
oleh Nursid Sumaatmadja (1980:87) yang menyatakan bahwa ... pertumbuhan
dan pertambahan penduduk akan mendorong pertumbuhan akan kebutuhannya,
kebutuhan tersebut antara lain kebutuhan perumahan dan tempat kegiatan
ekonomi seperti pabrik, pertokoan, pasar dan lain-lain dengan cara menggeser
lahan pertanian, terutama dari lahan pertanian ke non pertanian.
Menurut N. Daldjoeni (1998:231) bahwa bagi masyarakat petani, lahan
sawah mempunyai peran yang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya,
sekaligus sebagai modal utama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kebutuhan penduduk tidak hanya berhenti pada pemenuhan kebutuhan beras saja
tetapi masih banyak kebutuhan lain yang harus di penuhi seperti kebutuhan akan
bangunan, perindustrian, jalan dan sebagainya.
2

Lahan pertanian selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring


meningkatnya kebutuhan manusia akan lahan. Perubahan tersebut dikarenakan
memanfaatkan lahan untuk kepentingan hidup manusia. Oleh karena itu kajian ini
menarik untuk diteliti. Kebutuhan akan lahan non pertanian cenderung terus
mengalami peningkatan, seiring pertumbuhan dan perkembangan peradaban
manusia, maka penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralih fungsi. Alih
fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali apabila tidak ditanggulangi dapat
mendatangkan permasalahan yang serius, antara lain dapat mengancam kapasitas
penyediaan pangan (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).
Upaya meningkatkan produksi pertanian tanaman pangan di Jawa Timur
menjadi tidak mungkin karena disamping bertambahnya permintaan produk
pertanian akibat dari pertambahan penduduk, tuntutan konsumen akan kualitas
yang semakin tinggi, juga semakin terbatasnya lahan subur untuk budidaya
tanaman pangan akibat terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan untuk
bangunan industri maupun kawasan perumahan. Sedangkan sektor pertanian
memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai sumber
pendapatan, pembuka kesempatan kerja, pengentas kemiskinan dan peningkatan
ketahanan pangan nasional (Irawan et al.2003).
Kondisi peralihan fungsi lahan sawah per Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Timur berdasarkan Hasil Podes 2006, bahwa telah terjadi alih fungsi lahan
sawah selama 3 tahun (2003-2006) menjadi lahan pertanian bukan sawah sebesar
5.665 Ha (31,86%), lahan untuk perumahan sebesar 8.567,7 Ha (48,16%), lahan
untuk bangunan industri sebesar 1.204,2 Ha (6,77%), lahan untuk bangunan
perusahaan/perkantoran sebesar 693,1 Ha (3,90%), dan untuk keperluan lain-lain
sebesar 1.651,3 Ha (9,29%). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa luasan lahan
sawah telah terjadi penurunan, terjadinya alih fungsi lahan sawah sebagai salah
satu unsur produksi akan memberikan pengaruh terjadinya penurunan produksi
pangan. (Data Potensi Desa, 2006).
Tabel 1.1 Luas Lahan Pertanian Bukan Sawah Menurut Penggunaannya

97 524

5 024

128

Jumlah

Lainnya

20 693

TidakLahan Sementara

Hutan Rakyat

1. Malang

PadangPenggembalaan/

Perkebunan

HumaLadang/

KebunTegal/

KotaKabupaten/

20 961

Kabupaten

46 330

190 660

12 753

146 604

118 848

705

2 072

4 695

2 390

5 141

3. Banyuwangi

37 059

1 305

48 993

6 628

115

62

36 893

131 055

4. Jember

32 272

307

42 471

5 284

632

24 994

105 960

2. Sumenep

5. Pacitan
6. Bondowoso
7. Bojonegoro
8. Trenggalek

51 343

309

27 742
22 844
27 095

23 382
11 301

17 073
1 536

48
2 536

29 296
5 642
2 216
4 876

9. Situbondo

31 197

831

2 704

6 612

10. Tuban

70 146

227

710

1 466

11. Probolinggo
12. Sampang
13. Lumajang
14. Ponorogo
15. Bangkalan

49 900
78 514
55 674
36 013
62 586

978
-

16. Blitar

44 947

1 792

17. Ngawi

17 841

233

18. Pasuruan
19. Gresik
20. Lamongan

45 077
21 612
28 337

21.Tulungagung

31 113

22. Madiun

10 337

23. Jombang
24. Pamekasan
25. Kediri
26. Nganjuk
27. Mojokerto
28. Sidoarjo
29. Magetan

10 492
46 538
25 883
18 538
9 023

2. Surabaya
3. Malang
4. Kediri
5. Pasuruan
6. Probolinggo
7. Madiun
8. Mojokerto
9. Blitar
Jumlah

2 383
3 080
222

715
313
485

1 613
14 036

1 609
553

152
130
35
1 131 743

17 090

90 692

51 304

87 626

11 695

83 720

16 710

82 089

124

1 186

6 221

100

519

8 533

924

2 113
541

681
3 185

60

429

49

921

39 441

60 450

15

10 883

60 400

2 361

24 355

58 528

17 475

55 751

14 304

54 579

39 950

54 279

34 746

51 679

586

47 751

3 982

40 037

1 232
5

243

6 314

27 959

35

9 298

22 567

19 470

22 073

1 910

16 916

496

11 073

14 396

345

6 029

7 060

297

2 082

1 074

1 884

683

1 214

183

929

103

300

131

42

787 027

2 329 642

66

493
622

148

220

102 215

92 625

852

533

60 169

10 198

2 077

3 459

102 986

2 251

4 777

6 047

66 943

97 818

13 721

2 645

103 944

39 265

18

2 645

61 444

99 952

240

2 982

319

27 403

69

5 272

105 089

15

2 545

60 402

2 023

2 406

274

15 753

8 487

105 600

428

1 585

952

1 270
-

3 323
682

71

Kota
1. Batu

833

7 660

21

9
172
28

37 439

17

214 427

124
141 932

4 898

11 994

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2014

Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui bahwa Kabupaten Jember berada di


posisi ke-4 dari 38 kabupaten/kota dengan konversi lahan terbesar di Jawa Timur.
Berdasarkan Data BPS Provinsi Jawa Timur, bahwa lahan pertanian di Kabupaten
Jember beralih menjadi lahan pertanian non sawah dan lahan non pertanian. Hal
ini dikarenakan jumlah penduduk Kabupaten Jember terus mengalami
peningkatan sehingga jumlah lahan pertanian non sawah dan lahan lainnya juga
meningkat.
Tabel 1.2 Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Jember
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Kelas Lereng
Hutan
Perkampungan
Sawah
Tegal
Perkebunan
Tambak
Rawa
Semak/Padang rumput
Tanah rusak/Tandus
Lain-lain

Luas
Ha
121.039,61
31.877,00
86.568,18
43.522,84
34.590,46
368,66
35,62
289,06
1.469,26
9.574,26

%
36,75
9,68
26,29
13,22
10,50
0,11
0,01
0,09
0,45
2,91

Jumlah
329.334,00
100,0
Sumber: Jember Dalam Angka, 2012
Lokasi penelitian ini berada di Kabupaten Jember dikarenakan masih
adanya kekurangan lahan non pertanian untuk pembangunan kawasan perumahan,
industri, dan keperluan lain-lain. Fokus penelitian ini hanya pada satu Kabupaten,
yaitu Kabupaten Jember. Pembangunan di Kabupaten Jember terus meningkat dari
tahun ke tahun. Ironisnya, luasan lahan pertanian menyusut karena alih fungsi
menjadi kawasan Perumahan dan Industri. Jika dilihat dari data Jember dalam
angka, bahwa Kabupaten Jember memiliki jumlah buruh tani yang banyak
sedangkan luas lahan pertanian semakin berkurang. Jika sebagian besar lahan
pertanian yang terdapat di Kabupaten Jember dialih fungsikan ke lahan non
pertanian, maka pemilik lahan akan merasakan dampaknya, diduga banyaknya
buruh tani yang kehilangan pekerjaan sebagai tani kemudian beralih ke sektor non
pertanian.
Perkembangan dan proyeksi konversi lahan pertanian dilihat dari luasan,
peruntukan, dan pola konversi di Kabupaten Jember. Selama Tahun 2005-2013
6

terjadi pengurangan rata-rata luasan areal persawahan sebesar 81,86 ha/tahun


dengan laju pengurangan luasan areal sebesar 31,92 %. Sedangkan peningkatan
peruntukan perumahan dengan rata-rata peningkatan luasan areal untuk
pengembangan perumahan sebesar 72,90 ha/tahun dengan laju penambahan
sebesar 26,21 % pertahun. Untuk rata-rata perkembangan perumahan
perkecamatan adalah sebesar 2,35 pertahun sedangkan untuk kebutuhan industri
terjadi peningkatan luasan areal lahan rata-rata per tahun selama periode Tahun
2005-2013 sebesar 4,46 ha/tahun, demikian juga luasan areal untuk fasilitas dan
jasa sebesar 12,10 ha/tahun. Secara keseluruhan rata-rata perubahan peruntukan
lahan persawahan ke non pertanian di Kabupaten Jember selama Tahun 20052013 rata-rata perkecamatan sebesar 2,63 ha/tahun (Sunartomo, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
non pertanian di Kabupaten Jember ?
2. Bagaimana dampak alih fungsi lahan terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat Kabupaten Jember ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui :
1. Mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian di Kabupaten Jember
2. Mengetahui dampak alih fungsi lahan terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat Kabupaten Jember
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
1. Memberikan informasi bagi para pembaca dan penulis lain sebagai inspirasi
untuk mengembangkan ke topik lain

2. Sebagai bahan masukan dan bahan bacaan kepada rekan-rekan mahasiswa


yang ingin meneliti tentang dampak pengalihan penggunaan lahan pertanian
terhadap kondisi ekonomi masyarakat di Kabupaten Jember
3. Sebagai bahan referensi dan sebagai bahan pembanding bagi peneliti atau
pihak lain yang berkaitan dengan masalah ini.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Landasan Teori
2.1.1 Alih Fungsi Lahan
Menurut Lestari (2009), alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai
konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari
fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi
dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih
fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Peningkatan kebutuhan lahan didorong oleh peningkatan jumlah
penduduk, sementara ketersediaan dan luas lahan bersifat tetap. Hal ini
mengakibatkan terjadinya realokasi penggunaan lahan dari aktivitas yang kurang
menguntungkan pada aktivitas yang lebih menguntungkan. Aktivitas yang selalu
terancam terutama adalah aktivitas pertanian yang dinilai kurang menguntungkan
dibanding aktivitas ekonomi lainnya.
Kustiawan (1997) mengatakan, bahwa konversi lahan berarti alih fungsi
atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian
sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Secara umum
kasus yang tercantum pada bagian sebelumnya menjelaskan hal yang serupa
seperti pengubahan fungsi sawah menjadi kawasan pemukiman.
Menurut Irawan (2005), ada dua hal yang mempengaruhi alih fungsi lahan.
Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu

lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin
kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga
harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya
dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.
Fungsi utama lahan pertanian adalah untuk mendukung pengembangan

produksi pangan khususnya padi. Namun justifikasi tentang perlunya


pengendalian alih fungsi lahan pertanian harus berbasis pada pemahaman bahwa
lahan pertanian mempunyai manfaat ganda (multi fungsi). Secara holistik,
manfaat tersebut terdiri dari dua kategori yaitu nilai penggunaan (use values), dan
manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan mencakup:
a. Manfaat langsung, baik yang nilainya dapat diukur dengan harga (misalnya
keluaran usahatani) maupun yang tidak dapat diukur dengan harga (misalnya
tersedianya pangan, wahana rekreasi, penciptaan lapangan kerja),
b. Manfaat tidak langsung yang terkait dengan kontribusinya dalam pengendalian
banjir, menurunkan laju erosi, dan sebagainya. Manfaat bawaan mencakup
kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana
pendidikan, dan sebagainya. Pemahaman yang komprehensif terhadap multi
fungsi lahan sawah sangat diperlukan agar kecenderunganunder valued
terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan.
2.1.2 Alokasi Lahan
Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo. Menurut model ini,
alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus
ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan
yang ditentukan oleh kesuburannya. Perbedaan sewa tanah terjadi karena adanya
perbedaan kesuburan tanah. Tanah yang subur akan menerima sewa tanah yang
lebih tinggi dibandingkan tanah yang tidak subur. Karena tanah yang subur
mampu memberikan hasil yang lebih banyak dibanding tanah yang tidak subur.
Dengan demikian, tinggi rendahnya sewa tanah bergantung pada tingkat
kesuburan tanahnya. David Ricardo memberikan konsep sewa lahan atas dasar
perbedaan dalam kesuburan lahan terutama pada masalah sewa di sektor
pertanian. Teori sewa model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam

kualitas lahan yang hanya melihat faktor-faktor kemampuan lahan untuk


membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi lahan. (Suparmoko,1989)
Menurut Model Von Thunen nilai sewa lahan (land rent) bukan hanya
ditentukan oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya. Pendekatan
Von Thunen mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang
dikelilingi oleh lahan yang kualitasnya homogen. Tata guna lahan yang dihasilkan
dapat dipresentasikan sebagi cincin cincin lingkaran yang bentuknya konsentris
yang mengelilingi kota tersebut. Tanah yang letaknya paling jauh dari kota
memiliki sewa sebesar 0 dan sewa tanah itu meningkat secara linear kearah pusat
kota.

Keterangan :
A : Pusat Pasar
B : Industri
C : Perumahan

Kurva A
Kurva B

Kurva C
Kurva D
A

Jarak dari
pasar

Gambar 2.1 Diagram Cincin dan Perbedaan Kurva Sewa Tanah dari Von Thunen
Cincin A merepresentasikan aktivitas penggunaan lahan untuk jasa
komersial (pusat kota). Land rent pada wilayah ini mencapai nilai tertinggi.
Cincin-cincin B, C, dan D masing-masing merepresentasikan penggunaan lahan
untuk industri, perumahan, dan pertanian. Meningkatnya land rent secara relatif
akan meningkatkan nilai tukar (term of trade) jasa-jasa komersial sehingga
menggeser kurva land rent A ke kanan dan sebagian dari area cincin B (kawasan
industri) terkonversi menjadi A. Demikian seterusnya, sehingga konversi lahan
pertanian (cincin D) ke peruntukan pemukiman (cincin C) juga terjadi. Dalam
sistem pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas yang menghasilkan land

10

rent lebih rendah ke aktivitas yang menghasilkan land rent lebih tinggi (Tarigan,
2006).
Model Barlow menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan
alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan
sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi, sehingga
sektor tersebut berada pada kawasan strategis, sebaliknya sektor yang kurang
mempunyai nilai komersial maka nilai sewa lahan semakin kecil. Pertumbuhan
sektor tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila lahan sawah
letaknya lebih dekat dengan sumber ekonomi maka akan menggeser
penggunaannya kebentuk lain seperti pemukiman, industri manufaktur dan
fasilitas infrastruktur (Johanes Jonick, 2014).
2.1.3 Harga Lahan
Nilai lahan secara definisi diartikan sebagai kekuatan nilai dari lahan
untuk dipertukarkan dengan barang lain yang dapat didefinisikan sebagai harga
(diukur dalam satuan uang) yang dikehendaki oleh penjual dan pembeli. Nilai
lahan merupakan harga lahan yang diukur dalam satuan uang per meternya
(Michalski et al. 2010)
Pesatnya perkembangan suatu kota dan tingginya laju pertumbuhan jumlah
penduduk, secara langsung membuat kebutuhan lahan akan menjadi tinggi.
Ketersediaan lahan yang semakin terbatas dan jumlahnya relatif tetap membuat
nilai lahan juga akan meningkat pula. Nilai lahan juga menentukan penggunaan
lahan, karena penggunaan lahan ditentukan oleh kemampuan untuk membayar
lahan yang bersangkutan. Peningkatan nilai lahan terjadi di pusat kota dan
mengalami penurunan secara teratur menjauhi pusat kota (Berry 2008) dalam
(Yunus 2006).
Menurut Anwar (1995), dalam proses alih fungsi lahan, telah terjadi
asimetris informasi harga tanah, sehingga sistem harga tidak mengandung semua
informasi yang diperlukan untuk mendasari suatu keputusan transaksi. Artinya,
harga pasar belum mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan pertanian, sehingga
harga yang ditetapkan melalui mekanisme pasar cenderung under valuation.
Under valuation (penilaian bawah standar) memiliki istilah yang menunjuk pada
sebuah angka, harga atau nilai. Dapat menunjukkan sebuah perbandingan antara

11

satu dengan yang lain. Jika sebuah barang dinilai undervalued, berarti ia sedang
diperbandingkan dengan sebuah standar atau ukuran tertentu.
Menurut Winoto (2006:45), kegagalan mekanisme pasar dalam
mengalokasikan lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor rent lainnya dari
keberadaan lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan,
fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi
selanjutnya (Rahmanto dkk, 2008).
Tekanan penduduk terhadap lahan yang mengakibatkan adanya
peningkatan permintaan lahan telah direspon secara positif oleh sebagian petani
melalui peningkatan intensitas dan produktivitas. (Sinha, 1980; Sudrajat, 2010
dalam Sudrajat, 2013). Pernyataan tersebut mengindikasikan adanya sebagian
petani yang tergiur dengan harga lahan yang semakin tinggi, akibatnya petani
tersebut memindah tangankan kepemilikan lahan kepada pemilik lain. Yunus
(2001) mengatakan bahwa mengendurnya keinginan mempertahankan lahan
pertanian dari petani tercermin dari perilaku, semangat, dan motivasi petani.
Faktor-faktor penentu harga lahan antara lain adalah kondisi dan lokasi
lahan. Kondisi lahan dapat menentukan tingkat harga lahan, semakin baik kondisi
lahan yang ada, semakin mahal harga lahan tersebut. Lokasi juga menentukan
harga lahan yang ditentukan oleh jarak lokasi lahan terhadap akses umum seperti
pusat perbelanjaan, rumah sakit, tempat wisata, dan lain-lain.
2.1.4 Harga Hasil Pertanian
Harga produk hasil pertanian merupakan faktor yang sangat penting bagi
petani dan masyarakat, bila harga terlalu tinggi maka akan merugikan masyarakat.
Bila harga terlalu rendah maka akan merugikan bagi petani. Harga hasil produksi
usaha tani mempengaruhi keuntungan yang didapat, semakin tinggi hasil produksi
dan semakin mahal harganya maka keuntungan dari usahatani pun semakin tinggi
pula, namun harga saprodi juga mempengaruhi penerimaan hasil secara
keseluruhan Karena harga saprodi merupakan modal utama dalam berusahatani
entah itu harga alat-alat pertanian, bahan-bahan utama seperti benih, bibit, pupuk,
dan obat-obatan dan sebagainya. Maka perhitungan, analisis dan pengelolaan
/pengalokasian dana yang baik akan mempengaruhi hasil yang didapat dalam
berusaha tani.

12

Pengaruh harga hasil usaha tani dan harga input terhadap kuatnya daya
dorong petani untuk menaikkan produksi (A.T Mosher, 1965:131-132) dapat
jelaskan sebagai berikut :
1. Petani hanya akan menaikkan komoditi tertentu yang akan dijualnya, apabila
harga komoditi itu cukup menarik baginya.
2. Petani akan memberikan respons terhadap perubahan harga relatif dari
tanaman-tanaman yang sedang diusahakan dengan jalan menaikkan produksi
tanaman yang harganya di pasar lebih tinggi, kecuali hal tersebut akan
membahayakan persediaan makanan keluarganya sendiri.
3. Petani akan memberikan respons terhadap kenaikan harga hasil tanaman
tertentu dengan menggunakan teknologi yang lebih maju untuk menaikkan
produksi tanaman tersebut, jika (1) barang-barang input yang disediakan
tersedia secara lokal, (2) mengetahui bagaimana menggunakan input secara
selektif, (3) jika harga input tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan harga
yang diharapkan dari hasilnya.
4. Meningkatkan efisiensi tata niaga untuk menurunkan biaya berbagai mata
rantai tataniaga seperti pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan hasil-hasil
usata tani, dapat menaikkan harga setempat yang sampai ke tangan petani atau
menurunkan harga bagi konsumen terakhir atau kedua-duanya.
Hubungan antar harga hasil pertanian dengan alih fungsi memiliki kaitan
erat dan saling mengikat. Bila alih fungsi lahan dilakukan maka harga hasil
produk pertanian akan hilang atau berkurang. Hal inilah yang mengakibatkan
kurangnya bahan pangan, dan harga pangan semakin mahal. Imbas paling dalam
akan dirasakan oleh masyarakat kecil. Tingginya angka alih fungsi lahan pertanian
ini berdampak pada penurunan hasil produksi pertanian, penurunan itu terjadi
akibat berkurangnya lahan pertanian sawah. Hal ini berpengaruh terhadap
ketidakseimbangan penyediaan pangan (Ikhlas Saili dkk, 2012).
2.1.5 Perkembangan Sektor Industri
Perkembangan sektor industri yang cukup pesat diiringi dengan
peningkatan penduduk dan berdampak pada pembangunan di semua sektor.
Perkembangan industri selalu diiringi dengan konversi lahan, karena industri
membutuhkan lahan yang strategis untuk produksi aktivitas pendukung lainnya.
Lahan yang dikonversi adalah lahan pertanian berupa sawah atau ladang yang
13

bertempat pada zonasi kawasan yang dialokasikan sebagai kawasan industri


maupun pemukiman (Anggun Eka Erviani, 2011).
Sektor industri dan jasa yang berkembang pesat tentu saja diikuti oleh
kebutuhan akan lahan untuk sektor tersebut baik yang berhubungan langsung
maupun yang menjadi ikutannya. Karena lahan yang sudah ada terutama di
daerah kawasan industri sebagian besar adalah lahan pertanian, maka sebagai
akibatnya terjadi banyak alih fungsi lahan dari sektor pertanian ke sektor lain
terutama sektor industri, perumahan, perdagangan dan jasa (Badan Kebijakan
Fiskal, 2014).
Alih guna/konversi lahan sawah memiliki dampak positif dan negatif. Alih
guna lahan sawah menjadi lahan industri menjadi permasalahan nasional,
diantaranya berdampak pada ketahanan pangan, berkurangnya kesempatan kerja
di bidang pertanian (mengingat tenaga kerja yang berlatar belakang pertanian
mempunyai kesempatan kecil untuk memasuki lapangan kerja di bidang industri),
dan berdampak pula pada aspek lingkungan.
Terdapat beberapa penyebab tingginya tingkat alih guna lahan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Agus (2001), diantaranya yaitu rendahnya
tingkat keuntungan bertani padi sawah, tidak dipatuhinya peraturan peraturan tata
ruang, keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pengalihgunaan
lahan sawah, dan rendahnya koordinasi antar lembaga dan departemen terkait
dalam perencanaan penggunaan lahan. Kesempatan menjual sawah pada daerah
yang dicanangkan sebagai pusat pengembangan industri dan perumahan,
merupakan kesempatan yang menggiurkan bagi sebagian pemilik lahan sawah
ntuk mendapatkan uang tunai secara cepat untuk investasi pada sektor
nonpertanian.
2.1.6 Pertumbuhan Penduduk
Menurut Malthus (1978) dalam bukunya yang berjudul principles of
population menyebutkan bahwa perkembangan manusia lebih cepat di
bandingkan dengan produksi hasil-hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Malthus salah satu orang yang pesimis terhadap masa depan manusia.
Hal itu didasari dari kenyataan bahwa lahan pertanian sebagai salah satu faktor
produksi utama jumlahnya tetap. Kendati pemakaiannya untuk produksi pertanian

14

bisa ditingkatkan, peningkatannya tidak akan seberapa. di lain pihak justru lahan
pertanian akan semakin berkurang keberadaanya karena digunakan untuk
membangun perumahan, pabrik-pabrik serta infrastruktur yang lainnya.
Malthus berpendapat bahwa pada umumnya penduduk suatu negara
mempunyai kecenderungan untuk bertambah menurut suatu deret ukur yang akan
berlipat ganda tiap 30-40 tahun. Pada saat yang sama karena adanya ketentuan
pertambahan hasil yang semakin berkurang (deminishing return) dari suatu faktor
produksi yang jumlahnya tetap maka persediaan pangan hanya akan meningkat
menurut deret hitung. Hal ini karena setiap anggota masyarakat akan memiliki
lahan pertanian yang semakin sempit, maka kontribusi marjinalnya atas produksi
pangan akan semakin menurun. Berikut ini adalah Gambar model jebakan
populasi Malthus (Michael Todaro, 1995).

Persentase Tingkat
Pertumbuhan

Tingkat Pertumbuhan
Populasi (P/P)
Tingkat Pertumbuhan
Pendapatan (Y/P)

Pendapatan Perkapita (Y/P)

Gambar 2.2 Model Jebakan Populasi Malthus


Dari Gambar 2.1 di atas secara ringkas dapat dijelaskan bahwa pada
awalnya peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi, dapat diimbangi oleh
peningkatan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Tapi karena adanya hukum
yang semakin berkurang, sementara jumlah populasi terus berkembang, maka
peningkatan jumlah penduduk lebih tinggi dari pada tingkat pertumbuhan
pendapatan. Ini yang menjadi dasar pesimisme Malthus akan kehidupan manusia
di masa mendatang.

15

Menurut Collin Clark, menyatakan bahwa Pertumbuhan penduduk


membawa kesulitan ekonomi bagi masyarakat yang hidup dengan metode
tradisional, tetapi dengan cukup kuat masyarakat mampu mengubah metode
mereka, dan dalam jangka panjang akan beralih menjadi masyarakat yang lebih
maju dan produktif.
Menurut Hirschman (1958), menyatakan bahwa Tekanan penduduk pada
standar kehidupan akan melahirkan tekanan balik, melahirkan kegiatan yang
dirancang untuk mempertahankan atau memperbaiki standar kehidupan sehingga
kemampuan penduduk untuk menguasai lingkungannya dan untuk
mengorganisasikan dirinya sendiri menjadi semakin baik.
Teori Transisi Demografik adalah teori pertumbuhan penduduk yang dapat
diterima, teori ini tidak menekankan pada penawaran bahan makanan seperti Teori
Malthus, juga tidak mengembangkan harapan pesimis terhadap pertumbuhan
penduduk serta mengungguli Teori Optimum yang menekankan tekanan ekslusif
pada kenaikan pendapatan per kapita bagi pertumbuhan penduduk dan
mengabaikan faktor lain yang berpengaruh. Teori transisi demografik
mengungguli semua teori kependudukan yang ada, karena dilandaskan pada
kecenderungan pertumbuhan penduduk sebenarnya di negara-negara maju di
Eropa, dan teori ini dapat diterapkan secara universal.
Teori pertumbuhan penduduk menurut C. P. Blaker, ada lima tahap :
a. Fase stasioner tinggi yang ditandai oleh angka fertilitas dan mortalitas tinggi
tetapi menurun
b. Fase pengembangan awal yang ditandai oleh fertilitas tinggi dan mortalitas
tinggi tetapi menurun
c. Fase pengembangan akhir dengan fertilitas menurun tetapi dengan mortalitas
menurun lebih cepat
d. Fase stasioner rendah dengan fertalitas rendah yang berimbang dengan
mortalitas sama-sama rendah.
e. Fase penurunan dengan mortalitas rendah, fertilitas lebih rendah dan lebih
tinggi kematian (mortalitas) daripada kelahiran (fertilitas)
Menurut J. L Simon, menyatakan bahwa pengaruh pertumbuhan penduduk
terhadap pembangunan ekonomi dapat dibagi menjadi dua :
a. Pertumbuhan dalam jangka pendek memang berpengaruh negatif, sehingga
dapat merugikan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat

16

b. Dalam jangka panjang pertumbuhan penduduk mempunyai pengaruh yang


positif terhadap pembangunan ekonomi yang dapat mengembangkan proses
pembangunan ekonomi lebih lanjut.

2.1.7 Pertumbuhan Ekonomi


Tingkat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dihitung dari Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan rata-rata tertimbang dari tingkat
sektoralnya. Artinya, apabila sektor mempunyai peranan besar, namun
pertumbuhannya lambat hal ini akan mengakibatkan terhambatnya tingkat
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya, apabila sebuah sektor
mempunyai pertumbuhan yang tinggi, maka sektor tersebut sekaligus menjadi
lokomotif yang akan menarik pertumbuhan daerah tersebut yang secara total
pertumbuhan ekonominya menjadi besar.
Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri,
prasarana ekonomi, fasilitas umum, dan permukiman dimana seluruhnya
memerlukan lahan telah meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi
kebutuhan non pertanian. Namun pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan
kondisi sosial ekonomi pada lahan non pertanian. Kondisi inilah yang membuat
konversi lahan pertanian terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi yang tidak mungkin dapat dihindari (Sudaryanto, 2002).
Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor
pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja
yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan, dan pendapatan per kapita
keluarga tani. Konversi lahan pertanian juga mempercepat proses marjinalisasi
usaha tani sehingga menggerogoti daya saing produk pertanian domestik.
Konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam rangka pemantapan
ketahanan pangan nasional, peningkatan kesejahteraan petanidan pengentasan
kemiskinan, serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian.Berbagai peraturan
yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan sebenarnya telah diterbitkan
pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian namun pengalaman
menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut kurang efektif. Pada masa
17

pemerintahan otonomi daerah, peraturan-peraturan yang umumnya diterbitkan


oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi, semakin kurang efektif karena
pemerintah kabupaten/kotamadya memiliki kemandirian yang luas dalam
merumuskan kebijakan pembangunannya (Simatupang, 2001).
Terdapat banyak faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan
ekonomi suatu negara atau daerah. Dua teori yang populer dikembangkan
khususnya untuk menjelaskan mengenai faktor-faktor pembangunan ekonomi
daerah adalah teori export base dan resource base.
Ada tiga pendekatan (approach) guna mengukur pertumbuhan ekonomi :
a. Pendekatan tingkat penghidupan
b. Pendekatan arus output
c. Pendekatan jumlah sumber daya atau pendekatan aktiva produktif
W. W Rostow (The Process of Economics Growth), menggunakan sejumlah
variabel-variabel ekonomi, yang menurut pendapatnya harus dimasukkan ke
dalam analisis ekonomi, guna menyesuaikan keinginan untuk melakukan
pembangunan sesuai dengan kemungkinan fisik dan psikis. Dikemukakan olehnya
enam macam kecenderungan diantaranya :
a. Kecenderungan untuk memajukan pengetahuan
b. Kecenderungan untuk menggunakan ilmu pengetahuan, guna tujuan-tujuan
c.
d.
e.
f.

ekonomi
Kecenderungan untuk menerima perubahan-perubahan
Kecenderungan untuk meninginkan kemajuan material
Kecenderungan untuk mengkonsumsi
Kecenderungan untuk mempunyai anak
Menurut Milton H. Spencer, dalam bukunya yang berjudul, The

Contemporary Economics, pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pertambahan


dalam output nyata atau pendapatan sebuah perekonomian dengan
berlangsungnya waktu, maksudnya adalah kenaikan dalam output, Full
Employment-nya dengan harga konstan.
2.1.8 Faktor-Faktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Oleh Lestari (2009) dikemukakan, proses alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga
faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
a. Faktor Eksternal.
Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan
perkotaan, demografi maupun ekonomi.

18

b. Faktor Internal.
Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi
rumah tangga pertanian pengguna lahan.
c. Faktor Kebijakan.
Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun
daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada
aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan
hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui
faktor penyebab alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan
ekonomi pada saat krisis ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani
menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak
meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan
pada pihak-pihak pemilik modal.
Wicaksono (2007) mengatakan, faktor lain penyebab alih fungsi lahan
pertanian terutama ditentukan oleh :
a. Rendahnya nilai sewa tanah (land rent); lahan sawah yang berada disekitar
pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk
pemukiman dan industri.
b. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
c. Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan
asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability)
sumberdaya alam di era otonomi.
Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan
laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai
salah satu penyebab utama melandainya pertumbuhan produksi padi (Bapeda,
2006).
2.1.9 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat berdampak
terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang
lebih luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi,
sosial, budaya, dan politik masyarakat.

19

Menurut Firman (2005) dalam Widjianarko (2006) bahwa alih fungsi


lahan yang terjadi menimbulkan dampak langsung maupun dampak tidak
langsung. Dampak langsung yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa
hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi,
kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Investasi infrastruktur
sebagai salah satu prasyarat utama tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan berkelanjutan. Ketersediaan infrastruktur mencerminkan adanya investasi dan
investasi yang merata mencerminkan adanya pembangunan infrastruktur yang
memadai dan mampu melayani pergerakan ekonomi. Natural Landscape
dimaksudkan adalah bagian yang tampak dari lingkungan alam seperti permukaan
tanah, daerah perairan, vegetasi, air tanah, dll. Sedangkan masalah lingkungan
bisa terjadi melalui aspek negatif dari aktivitas manusia terhadap lingkungan
seperti perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya
semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak
negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo dkk,
1992). Kemudian dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa infasi
penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.
Menurut Situmeang (1998), perubahan struktur ekonomi dimana telah
terjadi peningkatan peranan sektor non-pertanian terhadap perekonomian dapat
mempercepat perubahan pola penggunaan lahan ke arah pengkotaan. Selanjutnya,
perubahan struktur perekonomian sendiri dapat dijelaskan dengan terjadinya
pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dapat mempercepat
terjadinya struktur ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa dan sektor nonpertanian lainnya.
Furi (2007) mengatakan bahwa perubahan dalam penguasaan lahan di
pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja
masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya
akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas
manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi
pergeseran kesempatan kerja ke sektor non-pertanian (sektor informal).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006)
terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa, di satu

20

sisi menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non pertanian seperti jasa
konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang
kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut antara lain :
1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang
mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya kerawanan
pangan serta mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor
pertanian ke nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan
meningkatkan angka pengangguran.
2. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi
tidak optimal pemanfaatannya.
3. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun
industri, sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan
mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh,
sehingga meningkatkan luas tanah tidur yang pada gilirannya juga
menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.
4. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa
sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau
Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.
2.1.10 Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat
Merton (1964) dalam Widodo (2008) menyatakan bahwa ciri dasar dari
suatu struktur sosial adalah status yang tidak hanya melibatkan satu peran,
melainkan sejumlah peran yang saling terkait. Merton memperkenalkan konsep
perangkat peran (role set). Social inequality merupakan konsep dasar yang
menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan
yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu
struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya.
Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau
stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan
merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Widodo, 2008)
2.2 Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian oleh Nurwadah Apriyanti, 2012 dengan judul Dampak Alih
Fungsi Sawah Menjadi Pemukiman Terhadap Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi

21

Penduduk di Desa Cigunungsari Kecamatan Tegalwaru Kabupaten Karawang.


Dalam penelitian ini menggunakan variabel bebas dan variabel terikat. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan deskriptif dan
pengambilan datanya dengan metode survey. Metode survey digunakan untuk
mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan menggunakan pedoman yang telah
ditentukan sebelum melakukan penelitian dan untuk mendapatkan informasi
secara deskriptif, asosiatif dan hubungan sebab akibat. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukan bahwa faktor paling dominan yang menyebabkan
perubahan lahan tersebut adalah semakin tingginya nilai lahan dan semakin
meningkatnya kebutuhan rumah tangga petani. Apalagi disertai dengan laju
pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak bisa ditekan lagi, sehingga petani
menjual lahan sawahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari dan untuk
biaya anak sekolah yang berdampak pada peningkatan alih fungsi lahan sawah
menjadi lahan pemukiman.
Penelitian oleh Dian Muharomi Eka Al Fajar dengan judul Perubahan
Status Kepemilikan Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi
Masyarakat Petani Desa Mekarwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung
Barat. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang akan
memberikan ilustrasi secara sistematik dengan menggunakan variabel bebas dan
variabel terikat. Pelaksanaan metode ini tidak hanya sebatas pada pengumpulan
dan penyusunan data saja, akan tetapi meliputi analisis dan interpretasi data.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi
perubahan status kepemilikan lahan pertanian di Desa Mekarwangi disebabkan
adanya alasan petani menjual lahan pertanian akibat kebutuhan ekonomi,
kebutuhan pendidikan, ingin membeli barang mewah, petani mengalami kerugian
dan harga lahan semakin tinggi, faktor lokasi dan transportasi menuju lahan
pertanian serta perubahan harga lahan pertanian yang menjadi daya taraik pembeli
untuk membeli lahan pertanian di Desa Mekarwangi
Penelitian oleh Ika Pewista dengan judul Faktor dan Pengaruh Alih
Fungsi Lahan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi
Penduduk di Kabupaten Bantul. Metode yang dapat digunakan untuk
memperoleh data primer pada penelitian ini adalah survey melalui wawancara
22

terstruktur dengan menggunakan kuesioner dan observasi. Sedangkan untuk


memperoleh data sekunder melalui studi pustaka dan inventarisasi data sekunder.
Teknik pemilihan responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
sensus. Metode penelitian sensus digunakan untuk mengumpulkan informasi dan
data secara keseluruhan dari populasi tanpa diambil sampel. Metode ini dipilih
karena jumlah penduduk yang masuk dalam kategori responden jumlahnya sedikit
yaitu 70 responden, hal tersebut dikarenakan telah pindah, meninggal dunia, serta
penduduk yang tidak melapor kepada kepala dukuh atau ketua kelompok tani
ketika mengalih fungsikan lahan pertaniannya. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap mata pencaharian penduduk
di desa Panggungharjo tidak berpengaruh besar, dimana jumlah petani masih
tetap. Alih fungsi lahan yang dilakukan dapat memunculkan jenis pekerjaan baru
bagi sebagian pelakunya, seperti yang terjadi pada penduduk desa Bantul dan desa
Kebonagung yang melakukan diversifikasi matapencaharian yaitu sebagai
pedagang dan wiraswasta. Strategi bertahan hidup penduduk dengan lahan sempit
yaitu terus mengusahakan lahan yang masih dimilikinya sehingga usahatani terus
berlanjut. Dengan ini keinginan mengalihfungsikan lahan pertanian berbanding
terbalik terhadap keberlangsungan usaha pertanian. Makin rendah keinginan untuk
mengalihfungsikan lahan pertanian maka keberlangsungan usaha pertanian akan
makin tinggi dan sebaliknya.
Penelitian oleh Johanes Jonick J. Ndawa dengan judul Dampak Alih
Penggunaan Lahan Pertanian Ke Non Pertanian Terhadap Kesempatan Kerja dan
Pendapatan Rumah Tangga Petani di Kota Batu. Penelitian ini menggunakan
metode survey yang tujuannya mengetahui hubungan antara perubahan luas lahan
sebelum dan sesudah alih penggunaan lahan terhadap kesempatan kerja petani dan
pendapatan rumah tangga petani. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
berupa data primer yang didapat dari kuisioner yang diperoleh dari responden
danwawancara mendalam dan observasi sedangkan data sekunder diperoleh dari
dokumen yang berada dalam instansi terkait. Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diambil beberapa
kesimpulan, bahwa perubahan luas lahan memberi pengaruh pada perubahan mata
23

pencaharian petani dikarenakan penyerapan tenaga kerja harian di sektor pertanian


menyusut seiring penyusutan luas lahan milik petani. Perubahan luas lahan
memberikan pengaruh pada perubahan tingkat pendapatan petani. Hal ini
dibuktikan dengan berubahnya luas lahan yang dimiliki oleh petani diikuti oleh
perubahan pendapatan rumah tangga petani yakni penurunan luas lahan dapat
berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Dalam artian bahwa menyiapkan
lapangan kerja bagi masyarakat lokal dengan upah yang layak serta lebih aktif
dalam mengatasi masalah lingkungan yang disebabkan pembangunan objek
wisata BNS ini berada saluran irigasi dan sering tersumbat karena adanya objek
wisata BNS ini yang mengakibatkan aliran air irigasi tidak menjangkau lahan
pertanian milik petani.

Dalampenelitianinipenulismemaparkanbeberapapenelitianterdahulu
yangrelevandenganpermasalahanyangakanditeliti.Berikutiniskematishasil
penelitiantersebutdalambentuktabelyangtelahdisusunberdasarkantahun
penelitiandariyangterdahuluhinggayangterkini.Untukmemudahkan
pemahamanterhadapbagianini,dapatdilihatpadatabel2.1berikut:
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
No.
1.

Nama Peneliti
Nurwadah
Apriyanti

Tahun
2012

Judul

Metode

Hasil Penelitian

Dampak Alih Fungsi


Sawah Menjadi
Pemukiman Terhadap
Perubahan Kondisi
Sosial Ekonomi
Penduduk di Desa
Cigunungsari
Kecamatan Tegalwaru
Kabupaten Karawang

Pendekatan
Deskriptif

a. Secara umum alih fungsi


ini akan berdampak terhadap
petani kecil, yang
diindikasikan oleh luas
kepemilikan lahan yang
menurun dan hanya sebagian
kecil petani yang bisa
memanfaatkan kegiatan
ekonomi yang muncul
dengan adanya alih fungsi

24

2.

Dian Muharomi
Eka Al Fajar

2013

Perubahan Status
Kepemilikan Lahan
Pertanian Terhadap
Kondisi Sosial
Ekonomi Masyarakat
Petani Desa
Mekarwangi
Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung
Barat

Pendekatan
Deskriptif

3.

Ika Pewista

2013

Faktor dan Pengaruh


Alih Fungsi Lahan dan
Alih Fungsi Lahan
Pertanian Terhadap
Kondisi Sosial
Ekonomi Penduduk di
Kabupaten Bantul

Explanator
y Survey

lahan tersebut
a. Faktor yang
mempengaruhi perubahan
status kepemilikan lahan
pertanian di Desa
Mekarwangi disebabkan
adanya alasan petani menjual
lahan pertanian akibat
kebutuhan ekonomi,
pendidikan dan kebutuhan
barang mewah
b. Akibat adanya perubahan
status kepemilikan lahan
pertanian maka berdampak
pada kondisi sosial ekonomi
masyarakat petani di Desa
Mekarwangi
a. Harga jual lahan menjadi
faktor yang paling
berpengaruh terhadap alih
fungsi lahan di desa
Panggungharjo, sedangkan
faktor yang paling
berpengaruh di desa Bantul
dan desa Kebonagung yaitu
lokasi lahan pertanian yang
tergolong strategis.
b. Dampak alih fungsi lahan
pertanian terhadap matapencaharian penduduk di
desa Panggungharjo tidak ber
pengaruh besar, dimana
jumlah petani masih tetap.
Alih fungsi lahan yang
dilakukan dapat
memunculkan jenis
pekerjaan baru bagi sebagian
pelakunya.

25

4.

Johanes Jonick J.
Ndawa

2014

Dampak Alih
Penggunaan Lahan
Pertanian Ke Non
Pertanian Terhadap
Kesempatan Kerja dan
Pendapatan Rumah
Tangga Petani di Kota
Batu

Explanator
y Survey

a. Adanya perbedaan antara


kesempatan kerja dan
pendapatan rumah tangga
petani sebelum alih
penggunaan lahan dan
setelah alih penggunaan
lahan atau dengan kata lain
perubahan kesempatan kerja
dan pendapatan memiliki
korelasi terhadap luas lahan
kepemilikan petani.
b. Perubahan luas lahan
memberi pengaruh pada
perubahan mata pencaharian
petani
dikarenakan
penyerapan tenaga kerja
harian di sektor pertanian
menyusut seiring penyusutan
luas lahan milik petani.

Pada penelitian terdahulu, dapat diperoleh persamaan dan perbedaan dari


hasil penelitian. Persamaan dari hasil penelitian terdahulu yaitu luas lahan
pertanian sama-sama mengalami penyusutan yang disebabkan banyaknya alih
fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Sedangkan perbedaan dari
hasil penelitian yaitu alasan petani melakukan alih fungsi lahan pertanian serta
dampaknya. Petani menjual lahannya dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan, harga jual lahan tinggi, berpindah ke matapencaharian lain dan
adanya pembangunan objek wisata yang akan berdampak pada penurunan tingkat
pendapatan petani, berkurangnya jumlah lahan garapan dan akan berdampak pada
hal lain seperti berkurangnya lapangan kerja buruh tani.
2.3 Kerangka Konseptual
Pengalihan Penggunaan Lahan
Pertanian
Konversi Lahan Pertanian ke Non
Pertanian

Alokasi
Lahan

Harga

Pertumbuhan
26

Harga Lahan

Harga Hasil
Pertanian

Penduduk

Ekonomi

Dampak Alih Fungsi Lahan


Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Masyarakat
Pengalihan penggunaan lahan pertanian dapat mencakup kepada konversi
lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Permasalahan alih fungsi lahan

pertanian menjadi lahan non-pertanian dapat mengalami peningkatan. Konversi


lahan pertanian akan berdampak kepada alokasi lahan harga dan pertumbuhan.
Harga dapat mencakup harga lahan dan harga hasil pertanian sedangkan
pertumbuhan dapat mencakup pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan adanya peningkatan harga lahan, harga hasil pertanian, jumlah penduduk
dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat menyebabkan kebutuhan lahan
meningkat.
Jika dilihat dari segi alokasi lahan, pengalokasian lahan tanpa
memperhatikan kondisi lahan juga berakibat pada lingkungan lahan pertanian.
Akan mengakibatkan berkurangnya lahan sawah untuk ditanami padi dan
mempersempit daerah pertanian. Ricardoberpendapathanyalahanyangsubur
yangdigunakanuntukbudidayapertaniandantidakadapembayaransewalahan
sehubungandenganpenggunaanlahantersebut,karenapendudukmasihjarang
atausedikitjumlahnya.Sewalahanakanmunculapabilajumlahpenduduk
bertambahsehinggameningkatpermintaanakanlahanyangmengakibatkan
digunakannyalahankurangsuburolehmasyarakat.Teorisewalahanmodel
Ricardoditentukanberdasarkanperbedaandalamkualitaslahanyanghanya
melihatfaktorkemapuanlahanuntukmembayarsewatanpamemperhatikan
faktorlokasilahan.

27

Jika dilihat dari segi harga lahan, luas lahan tanah menjadi semakin sempit
karena sudah banyak sekali digunakan untuk berbagai keperluan. Sehingga, tanah
kosong atau lahan tanah kosong akan semakin dicari dan semakin langka. Barang
langka biasanya mahal, oleh sebab itu tanah menjadi barang mahal yang diburu
orang. Pesatnya perkembangan suatu kota dan tingginya laju pertumbuhan jumlah
penduduk, secara langsung membuat kebutuhan lahan akan menjadi tinggi.
Ketersediaan lahan yang terbatas dan jumlah relatif tetap membuat nilai lahan
akan meningkat.
MenurutLuky(1997),denganadanyainvestasipadatanahyangterus
menerusmakahargatanahjugameningkatsecaranonlinier.Halinidisebabkan
karenahargatanahmerupakanhargapasartidaksempurna(imperfectmarket),
artinyahargatanahtidakmungkinturunkarenatidakberimbangnyasupplydan
demand.Sebidangtanahakanmemilikinilaiatauhargayangtinggibilaterletak
padalokasiyangstrategis(aktifitasekonomiyangtinggi,lokasimudahdijangkau
dantersediainfrastrukturyanglengkap).Hargatanahbergerakturunseiringjarak
daripusatkota(produktif)kearahpedesaan(konsumtif).Padadaerahsubsub
pusatkota,hargatanahtersebutnaikkemudianturunmengikutijarakdantingkat
aktifitasdiatasnya(Cholis1995,dalamLuky1997).
Jika dilihat dari segi harga hasil pertanian, bila konversi dilakukan maka
produk hasil pertanian akan hilang atau berkurang. Hal inilah yang mengakibatkan
kurangnya bahan pangan, dan harga pangan semakin mahal. Imbas paling dalam
akan dirasakan oleh masyarakat kecil. Sedangkan ajika dilihat dari segi
pertumbuhan penduduk, konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan
penduduk (population growth driven land conversion), lebih lanjut disebut
konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan
penduduk, lahan tersebut terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
Sehingga berdampak pada berkurangnya jumlah lahan pertanian dan berubahnya
mata pencaharian penduduk yang biasanya bertani.
Malthus(1978)berpendapatbahwauntukhidupmanusiamemerlukan
bahanmakanan,sedangkanlajupertumbuhanbahanmakananjauhlebihlambat
dibandingkandenganlajupertumbuhanpenduduk.Apabilatidakdiadakan

28

pembatasanterhadappertumbuhanpenduduk,makamanusiaakanmengalami
kekuranganbahanmakanan.Inilahsumberdarikemelaratandankemiskinan
manusia.Untukdapatkeluardaripermasalahkekuranganpangantersebut,
pertumbuhanpendudukharusdibatasi.
Jika dilihat dari segi pertumbuhan ekonomi, konversi dapat berdampak
menurunnya tingkat penghidupan, jumlah sumber daya manusia dan aktiva
produktif. Semakin meningkatnya kebutuhan akan lahan di bidang ekonomi baik
itu digunakan sebagai kegiatan pariwisata maupun perdagangan. Selain itu,
tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi juga dapat menyebabkan terjadinya
alih fungsi lahan. Hal tersebut menyebabkan banyak petani menjual asetnya
berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak meningkatkan
alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihakpihak pemilik modal.
Prayudho(2009)mengatakan,bahwaalihfungsilahansawahtidak
terlepasdarisituasiekonomisecarakeseluruhan.Pertumbuhanekonomiyang
tinggimenyebabkanbeberapasektorekonomitumbuhdengancepatsehingga
sektortersebutmembutuhkanlahanyanglebihluas.Lahansawahyangterletak
dekatdengansumberekonomiakanmengalamipergeseranpenggunaankebentuk
lainsepertipemukiman,industrimanufakturdanfasilitasinfrastruktur.Halini
terjadikarenaLandRentpersatuanluasyangdiperolehdariaktivitasbarulebih
tinggidaripadayangdihasilkansawah.
Sejalandenganpembangunankawasanperumahanatauindustridisuatu
lokasialihfungsilahan,makaaksesibilitasdilokasitersebutmenjadisemakin
kondusifuntukpengembanganindustridanpemukimanyangakhirnyamendorong
meningkatnyapermintaanlahanolehinvestorlainatauspekulantanahsehingga
hargalahandisekitarnyameningkat.Peningkatanhargalahanselanjutnyadapat
merangsangpetanilaindisekitarnyauntukmenjuallahan.
Alih fungsi lahan yang tidak terkendali dan terjadi secara berlebihan tentu
akan berdampak negatif bagi masa depan pertanian. Luas lahan pertanian
produktif yang beralih fungsi terus bertambah dan tak terkendali, yang akan
mengakibatkan terjadi penurunan produksi pangan dan mengancam ketahanan

29

pangan nasional, sedangkan kebutuhan pangan penduduk semakin besar karena


adanya pertumbuhan penduduk yang juga semakin besar. Maka akan terjadi
ketimpangan antara alat pemuas kebutuhan dengan kebutuhan yang semakin
meningkat. Adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara
ketersediaan lahan relatif tetap akan menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan
lahan dan dapat mempengaruhi dampak alih fungsi lahan terhadap kondisi sosial
ekonomi masyarakat.
Dari perubahan harga lahan, harga hasil pertanian, pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan ekonomi dan alokasi lahan sangat berpengaruh terhadap
dampak alih fungsi lahan terhadap konidisi sosial ekonomi masyarakat.

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1 Rancangan Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskripsi. Jenis penelitian dengan metode deskripsi adalah penelitian
yang mencari penjelasan sebenar-benarnya tentang satu atau lebih variabel tanpa
berusaha mencari pola hubungan. Penelitian deskripsi ini dapat dilakukan apabila
tersedianya data penunjang dan kajian terhadap penelitian sebelumnya.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan deduksi, dimana
penelitian dianggap sebagai aplikasi teori dalam kondisi yang lebih spesifik. Yang
dimaksud adalah penerapan teori dalam dampak pada perubahan penggunaan
lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi di Kabupaten Jember.
3.1.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Jember yang merupakan salah
satu kabupaten yang terkena dampak dari alih fungsi lahan pertanian terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Jember, dimana banyak lahan
pertanian produktif yang beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Lahan
pertanian di Kabupaten Jember terus mengalami penyusutan hingga 75 sampai
130 hektar pertahun. Pengalihan lahan pertanian menjadi perumahan

30

dikhawatirkan dapat mengganggu produktivitas pertanian Jember. Karena lahan


satu-satunya seperti sawah merupakan salah satu media untuk melakukan
pertanian. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain seperti Bondowoso dan
Situbondo. Lahan pertanian Kabupaten Situbondo menyusut hingga 40 hektar
pertahun. Sedangkan Kabupaten Bondowoso menyusut hingga 70 hektar
pertahun. Kondisi lahan pertanian Kabupaten Jember tergolong lahan yang paling
memprihatinkan dibandingkan lahan di Kabupaten Bondowoso dan Situbondo.
3.1.3 Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah dampak alih fungsi lahan
pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Jember.
3.2 Jenis dan Sumber Data
3.2.1 Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara mencatat dan
menyalin data yang telah dikumpulkan oleh instansi yang telah tersusun dan siap
diolah. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember
(BPS), Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Jember (BPN), Dinas
Pertanian Kabupaten Jember dan studi pustaka dari penelitian sebelumnya. Data
sekunder yang digunakan berdasarkan runtun waktu tahun periode 2004 - 2014.
3.3 Metode Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam rangka untuk mencapai tujuan penelitian. Tujuan yang
diungkapkan dalam bentuk hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
pertanyaan penelitian. Metode pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
3.3.1 Studi Kepustakaan
Penelitian ini dilakukan untuk pengambilan data yang bersifat teori yang
kemudian digunakan sebagai literatur penunjang guna mendukung penelitian yang
dilakukan. Data ini diperoleh dari buku-buku sumber yang dapat dijadikan acuan
yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
3.3.2 Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh
data dengan cara dokumentasi, yaitu mempelajari dokumen yang berkaitan

31

dengan seluruh data yang diperlukan dalam penelitian. Dokumentasi dari asal kata
dokumen yang artinya barang-barang tertulis (Sukardi, 2003). Di dalam
melaksanakan metode dokumentasi peneliti menyelidiki benda-benda tertulis
seperti laporan data-data dari instansi serta dokumen lain dalam instansi yang
relevan dengan kepentingan penelitian serta hasil penelitian terdahulu.
Hasilpenelitianterdahulumenjadisalahsatuacuanpenulisdalam
melakukanpenelitiansehinggapenulisdapatmemperkayateoriyangdigunakan
dalammengkajipenelitianyangdilakukan.Daripenelitianterdahulu,penulis
tidakmenemukanpenelitiandenganjudulyangsamasepertijudulpenelitian
penulis.Namunpenulismengangkatbeberapapenelitiansebagaireferensidalam
memperkayabahankajianpadapenelitianpenulis.
3.4 Metode Analisis Data
3.4.1 Metode Analisis Deskriptif
Metode analisis ini menggambarkan metode analisis deskriptif. Analisis
statistika deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan penyajian data
sehingga memberikan informasi yang berguna. Upaya penyajian ini dimaksudkan
untuk mengungkapkan informasi penting yang terdapat dalam data ke dalam
bentuk yang lebih ringkas dan sederhana yang pada akhirnya mengarah pada
keperluan adanya penjelasan dan penafsiran (Aunudin, 1989:8).
Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun
fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas,
karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena
yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006:72)
Penelitian deskriptif menurut Etna Widodo dan Mukhtar (2000:109)
kebanyakan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, melainkan lebih
pada menggambarkan apa adanya suatu gejala, variabel, atau keadaan. Namun
demikian, tidak berarti semua penelitian deskriptif tidak menggunakan hipotesis.
Penggunaan hipotesis dalam penelitian deskriptif bukan dimaksudkan untuk diuji
melainkan bagaimana berusaha menemukan sesuatu yang berarti sebagai alternatif
dalam mengatasi masalah penelitian melalui prosedur ilmiah.
32

Penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan


penyusunan data, tapi juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data
tersebut. Oleh karena itu, penelitian deskriptif mungkin saja mengambil bentuk
penelitian komparatif, yaitu suatu penelitian yang membandingkan satu fenomena
atau gejala dengan fenomena atau gejala lain, atau dalam bentuk studi kuantitatif
dengan mengadakan klasifikasi, penilaian, menetapkan standar, dan hubungan
kedudukan satu unsur dengan unsur yang lain.
Metode deskriptif ini digunakan untuk mendeskripsikan atau menguraikan
permasalahan yang berkaitan dengan dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi
lahan non pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi dengan meningkatnya harga
lahan, harga hasil pertanian, jumlah penduduk, dan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dapat menyebabkan kebutuhan lahan meningkat. Meningkatnya kebutuhan
lahan untuk sarana pembangunan sedangkan ketersediaan lahan relatif tetap dapat
mempengaruhi dampak alih fungsi lahan. Selain itu juga menggunakan metode ini
dapat mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan cara
mendeskripsikan data sekunder.
3.5 Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penafsiran pada
permasalahan tersebut dalam penelitian ini, maka diberikan batasan-batasan
masalah sebagai berikut :
a. Pengalihan penggunaan lahan merupakan pengalihan suatu guna lahan satu ke
guna lahan yang lain atau berubahnya fungsi lahan yang biasa digunakan ke
kegunaan yang sebelumnya belum pernah digunakan.
b. Pertumbuhan penduduk adalah terjadinya perubahan jumlah penduduk di
Kabupaten Jember dengan satuan persentase (%).
c. Pertumbuhan ekonomi adalah terjadinya perubahan PDRB dari tahun ke tahun
di Kabupaten Jember dengan satuan persentase (%).
d. Harga lahan adalah harga lahan yang diukur dalam satuan uang per meternya
(Rp./meter).
e. Lahan pertanian adalah luas areal/tempat yang digunakan untuk melakukan
usahatani diatas sebidang tanah sebelum dikonversi menjadi lahan non
pertanian, diukur dengan satuan hektar (ha).

33

f. Lahan non pertanian adalah luas areal/tempat yang digunakan untuk


melakukan usahatani diatas sebidang tanah setelah dikonversi menjadi lahan
non pertanian, diukur dengan satuan hektar (ha).
g. Kondisi sosial ekonomi adalah suatu kedudukan yang diatur secara sosial dan
menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam masyarakat, pemberian
posisi itu disertai pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus
dimainkan oleh orang yang membawa status tersebut. Status ini sebagai
pengelompokan orang-orang berdasarkan kesamaan karakteristik pekerjaan,
pendidikan, dan ekonomi. Jadi, indikator kondisi sosial ekonomi dapat diukur
dari tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan kekayaan.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Kondisi Umum dan Letak Geografis Kabupaten Jember

34

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Jember


Secara geografis Kabupaten Jember terletak pada posisi 62729 s/d
71435 Bujur Timur dan 7596 s/d 83356 Lintang Selatan berbentuk
dataran ngarai yang subur pada bagian Tengah dan Selatan, dikelilingi
pegunungan yang memanjang sepanjang batas. Utara dan Timur serta Samudra
Indonesia sepanjang batas Selatan dengan Pulau Nusabarong yang merupakan
satu-satunya pulau yang ada di wilayah Kabupaten Jember. Letaknya yang
strategis karena berada dipersimpangan antara Surabaya dan Bali, sehingga
perkembangannya cukup pesat dan menjadi barometer pertumbuhan ekonomi di
kawasan Timur Jawa Timur. Kabupaten Jember memiliki luas wilayah 3.293,34
km2 atau 329.333,94 Ha. Kabupaten Jember memiliki iklim tropis dengan kisaran
suhu antara 23C - 32C.
Dari segi topografi sebagian Kabupaten Jember di wilayah bagian selatan
merupakan dataran rendah yang relatif subur untuk pengembangan tanaman
pangan, sedangkan di bagian utara merupakan daerah perbukitan dan bergununggunung yang relatif baik bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman

35

perkebunan. Sebagai Daerah Otonom, Kabupaten Jember memiliki batas-batas


teritorial, luas wilayah, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik dan
sosial budaya serta sumber daya manusia. Kondisi obyektif yang demikian dapat
mengungkapkan berbagai karakteristik sumberdaya alam, komoditas yang
dihasilkan, mata pencaharian penduduk, keadaan serta ekonomi dan sosial
budayanya yang mencerminkan kekuatan sebagai suatu kompetensi daerah,
sekaligus beragam permasalahan yang dihadapinya. Kabupaten Jember dapat
terbagi menjadi beberapa batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara
: Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten
Sebelah Barat
Sebelah Timur
Sebelah Selatan

Bondowoso
: Kabupaten Lumajang
: Kabupaten Banyuwangi
: Samudera Hindia

4.1.2 Kondisi Lahan Pertanian Kabupaten Jember


Seiring terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap lahan untuk kebutuhan
masyarakat mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap luas lahan-lahan
pertanian. Inti permasalahannya adalah selain pengurangan luas lahan pertanian,
konversi lahan sering terjadi pada wilayah-wilayah yang subur dan pada tempattempat di mana telah dilaksanakan investasi untuk pembangunan irigasi dan
bangunan. Tidak adanya aturan perundangan yang mengatur alih fungsi lahan
pertanian menjadi salah satu sebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi
perumahan. Hal tersebut terbukti dengan tingkat pembangunan pemukiman atau
perumahan yang cukup tinggi oleh perusahan-perusahan. Perlu ada sebuah
eraturan perundangan-undangan yang bisa melindungi eksistensi lahan pertanian
sehingga dapat menekan penyusutan lahan sawah dan perkebunan. Karena saat
ini, lahan pertanian seperti sawah merupakan media satu-satunya untuk
melakukan pertanian. Pengurangan lahan pertanian itu dapat mengganggu
pemenuhan pangan, apalagi Kabupaten Jember merupakan salah satu lumbung
pangan di Jawa Timur.
Proses perubahan struktural harus dilakukan, apabila diinginkan
pertumbuhan ekonomi yang memberi dampak terhadap pendapatan dalam
masyarakat. Perubahan struktural tersebut diharapkan mampu memperluas
kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses transformasi pekerja
36

dari sektor pertanian ke non pertanian. Terjadinya perubahan struktural akan


memberi tekanan kepada permintaan lahan di luar sektor pertanian, khususnya
lahan-lahan pertanian yang berdekatan dengan kawasan perkotaan. Kebanyakan
wilayah di Kabupaten Jember mempunyai hinterland lahan sawah, dan lahan
sawah mempunyai akses yang lebih baik ke kawasan perkotaan. Hinterland
adalah: suatu wilayah berfungsi sebagai pemasok dan pemenuhan kebutuhan
bahan makanan pokok serta tempat produksi komoditi eksport . Seperti diketahui
proses perubahan struktural yang tercermin dari pertumbuhan sektor-sektor
strategis seperti industri, jasa maupun perdagangan, umumnya dimulai dari
kawasan kota. Sehingga dengan terjadinya perubahan struktural akan
memperbesar proses alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non pertanian.
Ketersediaan lahan total secara teori adalah tetap di suatu wilayah, sedang
permintaan terus bertambah dengan cepat terutama di sekitar kawasan perkotaan.
Hal ini didorong oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan, dan
migrasi dari wilayah lain maupun wilayah hinterland kota di wilayah yang
bersangkutan (urbanisasi). Pola tata guna lahan tersebut mengarah kepada
aktivitas-aktivitas yang paling menguntungkan sehingga harganya cenderung
meningkat. Meningkatnya harga lahan tersebut dapat menjadi pendorong bagi
pemilik uang untuk membeli lahan dengan maksud spekulasi atau untuk
menabung. Konversi lahan sawah yang semakin cepat dan meluas merupakan
salah satu dampak tekanan terhadap lahan sawah.
Terdapat beberapa kecamatan di Kabupaten Jember yang paling banyak
terkena dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan,
diantaranya terjadi pada tahun 2014 di kecamatan Kaliwates, Patrang, dan
Sumbersari. Kecamatan Kaliwates seluas 24,94 km2 terkena dampak alih fungsi
lahan seluas 36 hektar atau , Kecamatan Patrang seluas 36,99 km2 terkena dampak
alih fungsi lahan seluas 45,2 hektar dan Kecamatan Sumbersari seluas 37,05 km2
terkena dampak alih fungsi lahan seluas 49,1 hektar. Setiap tahun luas lahan
sawah selalu mengalami penurunan. Tidak banyak yang menyadari bahwa setiap
pengalihan fungsi lahan dapat merugikan buruh tani. Bagi mereka yang bekerja
sebagai buruh tani, alih fungsi ini sangat merugikan karena mata pencaharian

37

utama mereka untuk bercocok tanam juga akan semakin kecil. Permasalahan
ekonomi lainnya yang terjadi setelah adanya alih fungsi lahan adalah sebagian
masyarakat disana belum mempunyai pekerjaan yang tetap karena lahan pertanian
yang menjadi mata pencaharian mereka sudah berkurang atau bahkan sudah
hilang.
4.2 Hasil Analisa Data
4.2.1 Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk meningkat jika jumlah kelahiran dan perpindahan
penduduk dari luar ke dalam lebih besar dari jumlah kematian dan perpindahan
penduduk dari dalam ke luar. Penduduk meningkat secara drastis dapat
disebabkan oleh penurunan tingkat kematian, kenaikan tingkat kelahiran,
kurangnya pendidikan dan migrasi. Kematian apabila kematian bertambah maka
angka kependudukan pun akan berkurang akan tetapi bila angka kematian
menurun maka akan menambah juga kependudukan dikarenakan angka kelahiran
menlonjak drastis. Kelahiran apabila kelahiran bisa cepat dikarenakan tekhnologi
kesehatan kelahiran bisa cepat dikarenakan tekhnologi kesehatan maka otomatis
kenaikan penduduk pun bisa melonjak drastis karena bertumbuhnya angka
kelahiran. Pertumbuhan jumlah penduduk dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah
ini.

Tabel 4.1 Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kabupaten Jember Tahun 2004 - 2013
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Kecamatan
Kencong
Gumuk Mas
Puger
Wuluhan
Ambulu
Tempurejo
Silo
Mayang
Mumbulsari
Jenggawah
Ajung
Rambipuji

2004
64.309
75.805
103.912
104.569
98.482
69.429
95.352
43.350
56.695
69.510
64.978
71.318

2005
64.271
75.941
104.201
104.973
98.407
69.441
95.682
43.351
56.957
69.516
65.358
71.602

2006
64.586
76.235
104.429
105.357
98.769
69.913
96.138
43.741
57.029
69.466
65.649
71.582

Jumlah Penduduk (Jiwa)


2007
2008
2009
64.739
64.871 64.990
76.589
76.962 77.010
104.568 105.702 105.986
106.784 107.273 107.580
99.292
99.741 99.796
70.104
70.660 71.207
96.769 102.524 104.755
44.252
44.404 44.963
57.190
57.379 57.573
69.684
69.884 70.068
65.870
66.342 66.446
71.629
72.824 73.646

2010
2011
65.173 84.296
79.224 80.122
114.506 103.265
114.695 120.644
105.103 99.301
70.663 71.917
103.850 93.678
48.362
49.112
62.339 55.769
81.318 76.479
74.416 67.564
78.934 73.488

2012
84.571
80.168
103.279
120.823
99.392
72.008
93.736
49.148
55.809
76.493
67.658
73.352

38

2013

13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.

Balung
Umbulsari
Semboro
Jombang
Sumberbaru
Tanggul
Bangsalsari
Panti
Sukorambi
Arjasa
Pakusari
Kalisat
Ledokombo
Sumberjamb
e
Sukowono
Jelbuk
Kaliwates
Sumbersari
Patrang

71.461
67.746
43.882
49.354
95.998
75.465
106.910
56.673
36.088
34.623
37.452
65.782
56.108
54.693
53.932
29.516
93.832
102.708
87.067

71.479
67.634
43.775
49.265
96.017
75.699
106.977
57.182
36.290
34.644
37.589
66.207
56.368
54.899
54.107
29.900
93.822
102.843
87.070

71.570
67.387
43.756
49.086
96.097
75.788
107.132
57.599
36.383
34.704
37.743
66.686
56.416
55.678
54.361
29.626
94.035
102.636
86.994

71.742
67.309
43.792
49.078
96.231
75.984
107.207
57.652
36.402
34.828
37.712
67.170
56.662
56.307
54.657
29.589
94.248
102.794
87.049

71.513 71.675
67.427 67.226
43.805 43.885
48.944 49.303
96.657
97.114
76.176 76.265
107.288 107.632
57.679 57.710
36.464 36.488
34.952 35.494
38.086 38.203
67.281 67.837
56.771 57.360
56.705 56.852
54.729 54.862
29.924 30.268
94.461 94.685
104.196 105.764
87.108 87.186

77.005 79.048
69.539 73.129
43.475 45.298
50.003 55.531
99.416 99.012
82.760 85.433
113.905 105.121
59.399 57.191
37.950 36.402
38.005 46.785
41.713 40.296
74.962 73.855
62.528 61.484
60.126 59.017
58.734 57.166
31.962 29.903
111.861 90.964
126.279 106.305
94.471 85.946

78.877
73.228
45.338
55.635
99.013
85.544
105.198
57.244
36.424
46.803
40.336
73.911
61.530
59.065
57.128
29.923
89.205
106.638
85.940

2.136.999 2.141.467 2.146.571 2.153.883 2.168.732 2.179.829 2.332.726 2.263.521 2.263.417 2.358.785

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember, 2013


Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Jember
selalu meningkat setiap tahunnya. Peningkatan jumlah penduduk terbesar terjadi
pada tahun 2010 sebesar 152.897 orang. Sedangkan penurunan penduduk terjadi
pada tahun 2011 sebesar 29.205 orang.
Kurangnya pendidikan seperti buta aksara merupakan faktor penting
sebagai penyebab pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi. Mereka yang
kurang pendidikan gagal untuk memahami kebutuhan dalam mengekang
pertumbuhan penduduk. Dalam mobilitas penduduk terdapat migrasi yang
merupakan perpindahan penduduk dari kota satu menuju ke kota lain. Dengan
adanya migrasi maka jumlah penduduk di suatu kota bisa bertambah atau
berkurang.
Melihat perannya, penduduk suatu kota dapat berperan sebagai objek dan
subjek pembangunan. Sebagai objek, artinya penduduk merupakan faktor yang
harus dibangun atau ditingkatkan kualitas hidupnya. Sedangkan sebagai subjek
penduduk merupakan faktor pelaku proses pembangunan. Jika dilihat dari sisi
yang lain, penduduk merupakan beban sekaligus potensi bagi suatu kota. Apabila
suatu kota pertumbuhan penduduknya sangat tinggi, ini merupakan masalah. Hal
ini dikarenakan kapasitas wilayah suatu kota sangat terbatas.

39

4.2.2 Pertumbuhan Ekonomi


PDRB atas dasar harga berlaku dihitung dengan menggunakan harga pada
tahun yang bersangkutan sehingga nilai agregatnya masih mengandung pengaruh
perubahan harga. Sementara untuk menghitung pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Jember dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan 2000, karena dalam
perhitungannya masih menggunakan harga yang sama yaitu harga pada tahun
2000 sehingga pertumbuhan ekonomi ini benar-benar diakibatkan dari perubahan
jumlah nilai produksi sektoral yang sudah bebas dari pengaruh harga.
Berdasarkan harga konstan tahun 2000, nilai PDRB Kabupaten Jember
Tahun 2012 sebesar Rp. 13.250,98 Milliar, meningkat sebesar 7,21 persen
dibandingkan tahun 2011 yang tercatat sebesar Rp. 12.359,52 Milliar. Sektor yang
paling besar menyumbang nilai PDRB pada tahun 2012 adalah sektor pertanian
sebesar Rp. 5.003,26 Milliar diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran
sebesar Rp. 3.334,97 Milliar, sektor industri pengolahan sebesar Rp. 1.393,94
Milliar dan sektor jasa-jasa sebesar Rp. 1.344,78 Milliar. Pertumbuhan PDRB dari
Masing-masing Sektor Kabupaten Jember dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai
berikut:

Tabel 4.2 Pertumbuhan PDRB Masing-masing Sektor Kabupaten Jember Tahun


2004 - 2013
Sektor
1. Pertanian
2. Penggalian
3. Industri
Pengolahan
4. Listrik dan
Air Bersih
5. Konstruksi
6. Perdagangan,
Hotel dan
Restoran
7. Pengangkutan
dan
Komunikasi
8. Keuangan,

Ratarata
/Sektor

Pertumbuhan Ekonomi (Persen)


2004
4,16
1,85
3,52

2005
4,95
4,63
3,30

2006
5,40
3,34
3,96

2007
5,92
5,78
6,22

2008
5,70
6,17
6,22

2009
5,22
5,64
6,21

2010
4,28
7,14
6,81

2011
3,63
4,29
8,39

2012
4,51
4,21
6,46

2013
4,05
6,58
7,26

4,78
4,96
5,84

5,24

6,72

8,36

6,59

7,94

6,32

6,42

7,11

6,02

6,30

6,70

7,60
5,81

6,62
6,73

6,52
7,20

5,99
6,03

6,09
6,19

5,90
5,91

6,92
7,32

8,47
10,66

8,64
11,68

11,79
10,98

7,45
7,85

5,06

3,97

4,73

5,80

6,38

6,68

7,90

9,93

8,20

8,01

6,67

6,65

6,59

7,06

6,59

6,50

5,37

7,40

8,76

9,36

6,36

7,06

40

Persewaan
dan Jasa
Perusahaan
9. Jasa - Jasa
PDRB

4,46
4,66

5,23
5,31

5,57
5,70

5,71
5,98

6,29
6,04

4,81
5,55

7,46
6,05

8,87
7,00

6,89
7,21

5,96
6,90

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember, 2013


Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Jember tahun 2013 tercatat sebesar 6,90
persen. Pertumbuhan tersebut didorong oleh percepatan pertumbuhan di semua
sektor. Sektor sektor yang mengalami percepatan pertumbuhan tertinggi dari
PDRB atas dasar harga konstan 2000, adalah sektor konstruksi sebesar 11,79
persen; sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10,98 persen, sektor
angkutan dan komunikasi sebesar 8,01 persen dan sektor industri pengolahan
sebesar 7,26 persen.
Dari tabel 4.2 dapat dilihat mulai tahun 2010 hingga tahun 2013,
pertumbuhan ekonomi secara umum di Kabupaten Jember menunjukkan
ascending economic growth trend atau trend pertumbuhan ekonomi yang terus
menaik. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi hanya mampu tumbuh sebesar
6,05 persen, hal ini diakibatkan pengaruh krisis global dunia seperti menurunnya
nilai ekspor dan permintaan luar negeri akan produk perkebunan dan industri yang
memang mempunyai kualitas ekspor. Keadaan semakin membaik permintaan luar
negeri akan produk ekspor mulai meningkat begitu juga dengan optimis pasar dan
meningkatnya daya beli masyarakat maka pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013
meningkat kembali menjadi 6,90 persen.
Untuk tahun 2011 sektor Pengangkutan dan Komunikasi tumbuh sebesar
9,93 persen. Hal ini didukung oleh tumbuhnya beberapa usaha baru dibidang jasa
angkutan travel, jasa angkutan barang dan agen biro jasa perjalanan seperti biro
penjualan tiket pesawat secara online untuk di sektor angkutan dan semakin
banyaknya pengguna jasa telekomunikasi yang menjangkau sampai ke pelosok
pedesaan baik yang fixed phone sampai penggunaan telepon seluler.
Pertumbuhan sektor pertanian selama sembilan tahun terakhir terlihat
menggembirakan. Pada tahun 2005 tumbuh sebesar 4,95 persen, kemudian tahun
2006 tumbuh lebih tinggi yaitu sebesar 5,40 persen dan terakhir di tahun 2007,
pertumbuhan sektor pertanian mencapai 5,92 persen. Selain karena tanahnya

41

6,13

memang subur, cerahnya sektor pertanian ditunjang dengan prasarana yang


memadai, yaitu sistem irigasi yang lancar.
Untuk tahun 2012 sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
tumbuh sebesar 9,36 persen. Hal ini didukung oleh semakin membaiknya fungsi
intermediasi perbankan yaitu menyalurkan dana dari deposan kepada dunia usaha
atau sektor riil, dan semakin berkembangnya peran Lembaga Keuangan Bukan
Bank.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Jember lebih besar didominasi oleh
sektor perdagangan, hotel, dan restoran jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi
rata-rata persektor sebesar 7,85 persen. Hal ini didukung oleh meningkatnya
jumlah toko-toko eceran juga turut menyebabakan intensitas perekonomian pada
sektor perdagangan terus bertambah. Bertumbuhnya jumlah badan usaha
akomodasi atau perusahaan yang menyediakan pelayanan bagi masyarakat umum
dengan fasilitas jasa penginapan, penyediaan makanan dan minuman serta jasa
laundry di sektor perhotelan dan usahakomersilyangmenyediakanpelayanan
makandanminumbagiumumyangdikelolasecaraprofesionalyangbertujuan
untukmencarikeuntungandankepuasanbagitamudisektorrestoran.
4.2.3 Harga Hasil Pertanian
Harga hasil produksi usahatani mempengaruhi keuntungan yang didapat,
semakin tinggi hasil produksi dan semakin mahal harganya maka keuntungan dari
usahatani pun semakin tinggi pula, namun harga sarana produksi juga
mempengaruhi penerimaan hasil secara keseluruhan. Harga barang-barang seperti
makanan pokok, buah-buahan, dan sayur semakin hari makin meningkat drastis
dan kadang-kadang fluktuatif (keadaan yang tidak stabil/naik-turun). Hal ini dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya akibat dari inflasi maupun deflasi,
kegiatan impor, nilai tukar rupiah yang menurun, daya beli masyarakat yang
tinggi, dan beberapa faktor ekonomis lainnya. Naiknya harga-harga kebutuhan
makanan pokok memberikan efek bagi usaha dibidang pertanian, sehingga hasil
panen yang dijual di pasaran bisa jadi memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga
keuntungan akan semakin berlipat ganda.

42

Dari tabel 4.3 dibawah ini dapat diketahui besarnya tingkat harga hasil
pertanian di Kabupaten Jember. Pada tahun 2015 harga kacang tanah bulan April
dengan harga Rp. 15.750,-/kg mengalami kenaikan dua kali lipat menjadi Rp.
32.600,-/kg terjadi pada bulan Juni. Harga kacang tanah di pasar-pasar Kabupaten
Jember dapat berangsur naik karena permintaan konsumen meningkat. Gejolak
harga memang biasa terjadi saat menjelang perayaan hari besar atau hari raya Idul
Fitri karena permintaan terus meningkat, sehingga para pedagang sering
mengalami kekurangan stok untuk memenuhi permintaan dari konsumen. Harga
hasil pertanian dapat dilihat pada tabel 4.3 sebagai berikut:

Tabel 4.3 Harga Hasil Pertanian Kabupaten Jember tahun 2010 2015

2013

2012

2011

2010

Tah
un

Nama Barang
Beras IR 64 Super
Beras IR 64 Medium
Jagung Kuning
Kedele Lokal
Kacang Tanah
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Hijau
Beras IR 64 Super
Beras IR 64 Medium
Jagung Kuning
Kedele Lokal
Kacang Tanah
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Hijau
Beras IR 64 Super
Beras IR 64 Medium
Jagung Kuning
Kedele Lokal
Kacang Tanah
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Hijau
Beras IR 64 Super
Beras IR 64 Medium
Jagung Kuning
Kedele Lokal
Kacang Tanah

Jan
6.733
6.338
2.633
6.917
13.000
1.000
1.000
13.497
7.812
6.931
3.462
6.423
14.615
798
800
16.750
8.571
8.010
4.000
7.419
18.000
900
1.300
15.000
8.438
7.610
3.548
6.757
17.190

Feb
6.391
6.023
3.055
7.155
12.318
1.140
1.425
16.150
7.227
6.400
4.000
7.545
16.000
810
819
13.650
8.752
7.843
3.476
6.576
18.333
929
1.357
15.524
8.500
7.600
3.500
6.600
22.000

Mar
6.200
5.986
3.021
6.643
12.107
1.110
1.410
16.947
7.138
6.138
4.154
7.292
16.000
1.000
1.200
12.571
8.533
7.529
3.000
6.200
17.762
1.500
2.429
16.000
8.500
7.600
3.500
7.000
21.158

Apr
6.200
5.883
2.583
6.417
12.000
1.438
1.548
19.000
7.158
6.158
4.083
6.958
16.000
1.428
1.980
13.000
8.480
7.520
3.475
6.445
15.650
1.933
2.525
14.600
8.500
7.600
3.500
7.000
20.000

Mei
6.292
5.704
2.600
6.583
10.917
1.333
1.500
19.000
7.250
6.183
4.000
6.500
14.750
1.045
1.750
13.00
8.467
7.567
3.500
6.300
15.000
1.700
2.200
14.857
8.500
7.600
3.500
9.182
20.000

Bulan (Rupiah)
Jun
Jul
6.933 7.733
6.042 6.967
3.000 3.000
7.292 7.917
12.250 14.000
1.321 1.763
1.643 2.000
19.957 19.765
7.423 7.823
6.445 7.015
3.636 3.500
6.227 6.000
15.000 15.000
1.045 1.150
1.405 1.509
13.000 14.000
8.500 8.532
7.650 7.664
3.138 3.068
6.233 6.386
15.429 16.000
1.433 1.586
1.867 1.905
14.333 15.000
8.500 8.996
7.600 7.883
3.711 4.000
10.000 9.304
20.000 22.261

Ags
8.000
7.262
3.346
7.308
14.462
1.548
3.810
18.952
8.200
7.664
3.955
6.000
16.364
1.500
1.668
14.762
8.563
7.732
3.500
7.663
16.000
2.000
2.500
15.000
9.429
8.000
4.000
8.000
16.000

Sept
8.000
7.100
3.700
7.000
13.364
1.625
2.125
18.095
8.491
7.727
3.636
6.000
17.455
1.460
1.320
14.318
8.636
7.715
3.950
7.740
15.050
2.000
2.275
16.000
9.500
8.000
4.071
8.095
16.000

Okt
7.731
6.985
3.700
6.154
12.500
1.650
2.093
18.050
8.804
7.731
3.462
5.900
16.538
1.473
1.125
13.000
8.650
7.820
3.500
7.218
15.909
2.000
1.750
15.045
9.500
8.000
4.333
9.000
16.000

Nov
7.900
6.775
3.042
5.667
13.500
2.000
2.500
18.050
8.769
7.900
3.000
5.631
16.077
1.285
798
15.000
8.500
7.770
3.500
6.880
15.700
1.975
1.500
15.000
9.500
7.970
4.000
9.000
16.000

43

Des
7.912
7.073
3.000
5.862
13.500
2.136
2.636
18.050
8.631
8.077
3.115
7.045
17.154
1.000
800
13.045
8.500
7.700
3.917
6.800
15.000
1.500
1.500
15.000
9.500
7.800
4.125
9.125
16.000

2014
2015

Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Hijau
Beras IR 64 Super
Beras IR 64 Medium
Jagung Kuning
Kedele Lokal
Kacang Tanah
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Hijau
Beras IR 64 Super
Beras IR 64 Medium
Jagung Kuning
Kedele Lokal
Kacang Tanah
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Hijau

2.000
2.000
15.068
9.500
7.890
3.910
9.500
16.000
2.000
2.000
18.200
12.350
11.050
4.940
9.180
19.300
3.250
3.250
20.600

2.000
2.000
18.000
9.430
8.070
3.960
8.475
15.80
2.040
2.365
15.000
14.053
11.968
5.326
10.642
19.526
3.447
3.605
21.947

2.000
1.500
18.842
9.314
8.429
3.795
8.210
14.643
1.676
2.090
14.286
13.810
11.967
5.167
10.671
19.833
2.690
3.333
21.857

2.000
1.500
20.000
8.600
7.800
3.524
8.000
14.000
2.000
2.500
14.000
9.807
8.643
3.687
7.800
15.750
2.433
3.208
17.833

2.000
1.614
2.000
8.600
7.800
3.533
8.000
14.000
2.000
2.500
14.000
10.168
8.400
3.697
7.352
16.774
2.726
3.363
18.000

2.000
2.000
20.000
8.657
7.857
3.600
8.000
14.333
2.071
2.500
14.000
10.493
8.470
3.940
7.440
20.00
3.000
3.500
18.000

2.000
2.000
20.870
8.884
8.021
3.653
7.789
16.000
2.763
3.000
15.000
17.237
13.868
6.505
12.184
32.632
5.684
6.500
29.368

2.000
2.000
22.000
8.719
7.748
3.510
7.024
14.524
2.500
2.857
15.714
15.967
12.933
5.810
11.057
29.524
4.429
5.167
26.571

2.000
2.000
20.952
9.355
8.100
3.727
7.423
14.591
2.750
3.250
15.318
10.873
9.273
5.636
10.427
28.182
3.523
4.795
25.364

2.000
2.000
20.000
9.835
8.317
3.883
6.891
14.565
2.396
2.839
13.565
13.787
11.609
5.104
8.748
26.087
3.152
4.565
23.478

2.000
2.000
20.000
10.000
8.500
4.000
6.600
15.000
2.700
3.250
16.000
15.860
12.940
7.090
9.700
30.000
4.175
3.675
29.000

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Jember, 2015

Dari tabel 4.3 dapat diketahui besarnya tingkat harga hasil pertanian di
Kabupaten Jember. Pada tahun 2015 harga kacang tanah bulan April dengan harga
Rp. 15.750,-/kg mengalami kenaikan dua kali lipat menjadi Rp. 32.600,-/kg
terjadi pada bulan Juni. Harga kacang tanah di pasar-pasar Kabupaten Jember
dapat berangsur naik karena permintaan konsumen meningkat. Gejolak harga
memang biasa terjadi saat menjelang perayaan hari besar atau hari raya Idul Fitri
karena permintaan terus meningkat, sehingga para pedagang sering mengalami
kekurangan stok untuk memenuhi permintaan dari konsumen.
Pada tahun 2013 harga Beras IR 64 Super mengalami kenaikan yang
cukup stabil tanpa terjadi penurunan, dengan kenaikan berkisar Rp. 8.400,- hingga
Rp. 9.500,-. Kenaikan harga beras yang terjadi secera terus menerus karena
jumlah pasokan beras yang sangat terbatas dari beberapa daerah, bahkan
distributor mengurangi pengiriman beras ke sejumlah pedagang. Pasokan terbatas
diakibatkan pasokan gabah dari petani berkurang. Tanaman petani banyak yang
rusak akibat cuaca buruk dan belum menjelang masa panen raya. Pemerintah
berharap bisa melakukan operasi pasar untuk menekan harga beras yang
melambung tinggi di pasaran.
4.2.4 Luas Lahan Pertanian

44

2.000
2.000
20.000
10.341
8.568
3.800
6.268
14.000
2.905
3.420
15.000
14.859
12.118
6.409
9.018
27.091
4.466
5.523
28.182

Lahan pertanian adalah modal yang sangat penting dalam mendorong


produksi pangan. Bila hanya bertumpu pada peningkatan produktivitas, pada titik
tertentu, produksi pangan tidak mampu memenuhi permintaan terhadap pangan
yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Luas
perubahan penggunaan lahan pertanian dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai
berikut:

Tabel 4.4 Luas Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Jember


No.
1.
1.1

1.2

2.

Penggunaan lahan
Lahan Pertanian
Lahan Sawah
a. Irigasi
b. Tadah Hujan
c. Rawa Pasang
Surut
d. Rawa Lebak
Lahan Pertanian
Bukan Sawah
a. Tegal/Kebun
b. Ladang/Huma
c. Perkebunan
d. Ditanami Pohon
e. Padang Rumput
f. Sementara tidak
diusahakan
g. Lainnya
(Tambak, Kolam,
Empang, dll.)
Lahan Bukan
Pertanian
(Pemukiman,
kantor, sungai,dll.)
Total

2010

2011

Luas (Hektar)
2012
2013

2014

2015

84.946
114
-

84.921
103
-

84.981
114
-

84.519
146
-

84.509
146
-

85.231
638
-

338

338

338

318

34.204
793
32.070
1.487

31.658
361
33.501
3.023

33.037
361
34.511
3.635

32.141
2.284
33.350
6.289

32.272
307
42.471
5.284

32.850
300
28.661
5.079

8
-

2.541

1.217

1.178

546

18.313

14.821

28.551

35.367

24.448

15.922

51.978

59.611

51.032

28.738

30.714

47.802

223.913

230.540

236.560

224.389

221.667

217.347

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Jember, 2015


Tabel 4.4 menunjukkan bahwa tahun 2012-2014 aliran irigasi di
Kabupaten Jember semakin berkurang. Kondisi ini dikhawatirkan akan

45

berdampak pada berkurangnya suplai air ke areal pertanian. Seluruh areal


persawahan di Kabupaten Jember sudah difasilitasi dengan jaringan irigasi.
Musim kemarau yang berkepanjangan mengakibatkan debit air sejumlah aliran
sungai di wilayah Kabupaten Jember mengalami pengurangan dan penggunaan
tambang emas secara liar dapat menjadi penyebab tersumbatnya saluran irigasi.
Endapan lumpur yang menumpuk di saluran irigasi dari hasil tambang emas
menyebabkan aliran air di saluran irigasi tidak lancar.
Pada tahun 2014-2015 luas lahan perkebunan di Kabupaten Jember
berkurang sebesar 13.810 hektar atau lahan perkebunan seluas 42.471 hektar
berkurang menjadi 28.661 hektar. Penyusutan lahan pertanian paling parah terjadi
pada tahun 2015 diantaranya adalah lahan perkebunan. Penyusutan lahan
pertanian tersebut diakibatkan adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi
pemukiman penduduk. Tidak adanya aturan perundangan yang mengatur alih
fungsi lahan pertanian menjadi salah satu sebab terjadinya alih fungsi lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian seperti area perumahan. Hal tersebut
terbukti dengan tingkat pembangunan pemukiman atau perumahan yang cukup
tinggi oleh perusahan-perusahan serta jumlah penduduk meningkat dengan pesat.
Pengalihan lahan pertanian ke perumahan dikhawatirkan dapat mengganggu
produktivitas bagi pertanian.
4.2.5 Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu
sendiri. Alih fungsi lahan berkaitan dengan proses perkembangan wilayah, bahkan
dapat dikatakan bahwa alih fungsi lahan merupakan konsekuensi dari
perkembangan wilayah. Sebagian besar alih fungsi lahan yang terjadi,
menunjukkan adanya ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih
didominasi oleh pihak kapitalis (pemilik modal) dengan membawa tanda izin
mendirikan bangunan yang telah dikeluarkan dari pemerintah. Luas lahan
pertanian yang telah dikonversi menjadi lahan non pertanian seperti perumahan,
sekolah, industri, dan lain-lain dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini :

46

Tabel 4.5 Luas Lahan Pertanian yang Telah Dikonversi Menjadi Lahan Non
Pertanian
Tahun

No.

2012

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

2013

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

2014

1.
2.
3.
4.
5.

Luas Lahan Pertanian yang Telah Dikonversi


Kecamatan
Menjadi Lahan Non Pertanian
(m2)
Perumahan Sekolah
Industri
Gudang
Lain-Lain
Ajung
56.739
Ambulu
8.686
4.299
15.240
Bangsalsari
21.244
Kaliwates
240.709
7.150
Mayang
5.980
Mumbulsari
7.926
Pakusari
3.815
Patrang
339.577
5.592
33.256
Sumbersari
51.731
1.093
Wuluhan
15.103
Jumlah
644.518
9.891
15.240
93.086
55.405
Ajung
18.272
13.224
Ambulu
2.928
Arjasa
7.410
Bangsalsari
24.501
Jombang
460
Kalisat
4.083
3.592
Kaliwates
281.229
5.000
129.370
Pakusari
5.730
306.000
Patrang
6.224
428
9.790
Puger
3.657
250.000
3.416
Rambipuji
9.799
2.735
Semboro
6.980
Silo
280
Sukorambi
10.360
1.211
Sukowono
15.938
Sumberjambe
4.850
3.009
Sumbersari
160.905
1.852
1.682
17.291
Tanggul
9.830
Tempurejo
4.110
Umbulsari
1.100
Wuluhan
805
7.414
Jumlah
502.755
2.312 279.351
59.023
492.024
Ajung
45.170
Arjasa
12.346
Bangsalsari
12.422
Kaliwates
360.018
2.822
3.176
Patrang
452.019

47

6.
7.
8.
9.
2015

2016

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Puger
Sukowono
Sumberbaru
Sumbersari
Jumlah
Bangsalsari
Gumukmas
Kaliwates
Kencong
Mayang
Patrang
Rambipuji
Sukorambi
Sumbersari
Jumlah
Ajung
Arjasa
Balung
Bangsalsari
Jenggawah
Jombang
Kalisat
Kaliwates
Ledokombo
Mayang
Patrang
Rambipuji
Sukorambi
Sumbersari
Jumlah

6.000
6.161
491.324
1.315.707

606
9.589

57.592
17.835

10.980
734
20.890
12.000

21.000
105.367
13.051
34.000
1.050

114.390
3.663
9.074
409.400
663.208

30.572
10.000

47.050
18.612

1.364

2.373

1.832
10.420
5.770

11.700

19.727
1.949
50.000

60.845

926.392
2.898
34.000
248.490
3.835
366.868
1.596.597

12.085
10.814
103.471

6.500
73.721

32.685

Sumber : Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Jember, 2016


Tabel 4.5 menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
non-pertanian pada tahun 2014 dan 2016 mengalami peningkatan. Lahan
pertanian tahun 2014 dari kedua kecamatan yaitu Kecamatan Patrang dan
Sumbersari maupun Tahun 2016 dari Kecamatan Kaliwates lebih banyak beralih
fungsi. Lahan pertanian di Kecamatan Patrang yang beralih fungsi menjadi
perumahan seluas 452.019 m2 pada tahun 2014. Lahan pertanian di Kecamatan
Sumbersari yang beralih fungsi menjadi perumahan seluas 491.324 m2 pada tahun
2014. Dan lahan pertanian di Kecamatan Kaliwates yang beralih fungsi menjadi
perumahan seluas 926.392 m2 pada tahun 2016. Lahan tersebut lebih banyak
dimanfaatkan untuk membangun kawasan perumahan. Kebutuhan lahan dapat
meningkat disebabkan dengan adanya pendatang baru yang ingin mencari kerja
dan peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya. Adanya peningkatan

48

kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara ketersediaan lahan relatif tetap


maka hasil produksi juga akan terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan
nasional juga akan sulit tercapai, menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan
lahan dan berkurangnya lahan pertanian.
Tahun 2013 lahan pertanian di Kecamatan Puger lebih banyak beralih
fungsi menjadi kawasan industri seluas 250.000 m2. Lahan pertanian yang beralih
fungsi menjadi kawasan industri akan memberikan dampak postifi dan negatif
terhadap masyarakat. Dampak positifnya, dapat membantu perekonomian
masyarakat dan jika lahan pertanian tersebut menjadi industri, maka akan
menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat yang otomatis akan mengurangi
pengangguran. Sedangkan dampak negatifnya, luas lahan pertanian semakin
berkurang, berkurangnya jumlah pasokan beras dan jika lahan tersebut menjadi
industri, maka akan. menghasilkan limbah yang dapat merusak lingkungan.
4.2.6 Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan Sektor Non Pertanian
Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam produktivitas pertanian.
Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam
perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam
sumbangannya terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyediaan pangan
dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar
masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara
telah menjadi negara industri. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian dan sektor
non pertanian dapat dilihat pada tabel 4.6 sebagai berikut :
Tabel 4.6 Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri Hasil Pertanian dan Sektor Non
Pertanian
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014

Kelompok Industri
Sektor Industri Hasil
Sektor Industri
Pertanian
Non Pertanian
(Orang)
(Orang)
67.711
37.816
71.719
38.924
72.982
39.499
80.960
32.624
84.989
34.029
88.738
36.786
82.309
35.014
80.340
55.170
82.518
55.865
85.183
55.697

Jumlah
(Orang)
105.527
110.643
112.431
113.584
119.018
125.524
117.323
135.510
138.383
140.880

49

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Jember, 2014


Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kerja sektor
industri hasil pertanian selalu meningkat pada tahun 2005-2010. Tenaga kerja di
sektor industri hasil pertanian sebanyak 67.711 orang mengalami peningkatan
menjadi 88.738 orang pada tahun 2010. Data ini juga menunjukkan peran penting
dari sektor pertanian sebagai sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia
memperoleh penghasilan untuk hidup. Jika disertai pertumbuhan penduduk yang
begitu pesat tentunya hal tersebut akan memperberat tekanan pada lahan,
pengangguran, dan ketersediaan pangan serta akan memicu kemiskinan. Jika
pertumbuhan penduduk tidak terkontrol, akan menghadapi masalah penyediaan
pangan dan pemeliharaan gizi masyarakat. Karena semakin tahun pertumbuhan
penduduk meningkat maka akan berdampak pula pada permintaan pangan yang
juga akan semakin meningkat. Selama ini sektor pertanian memang telah banyak
menyerap tenaga kerja yang begitu besar, namun disisi lain apabila pertumbuhan
penduduk yang terus meningkat tersebut tidak di kontrol dan diawasi hal tersebut
juga akan menyebabkan masalah yang serius bagi pemenuhan kebutuhan pangan.
Berdasarkan tabel lampiran 1 menunjukkan bahwa pada tahun 2011
hingga tahun 2013, jumlah tenaga kerja sektor pertanian mengalami penurunan.
Tenaga kerja sektor pertanian tahun 2011 sebanyak 587.546 orang menurun
menjadi 427.375 orang pada tahun 2013. Penurunan tersebut disebabkan oleh
beberapa tenaga kerja sektor pertanian beralih profesi dan semakin sempitnya
lahan pertanian karena adanya kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
non pertanian untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan industri dan
perumahan.
Tanpa sarana pendukung maupun pembukaan lahan kerja baru maka
angkatan kerja mengalami kesulitan dalam mencari lapangan pekerjaan. Dengan
melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan
pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan
baru bagi masyarakat kabupaten Jember. Keberpihakan bagi sektor pertanian,
seperti ketersediaan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam
meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini

50

adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam


pertanian.
4.2.7 Pertumbuhan Jumlah Industri
Industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang cukup strategis
untuk meningkatkan pendapatan dan perekonomian masyarakat secara cepat yang
ditandai dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja, transfer teknologi dan
meningkatnya devisa negara. Akan tetapi, selain memberikan dampak yang positif
ternyata perkembangan di sektor industri juga memberikan dampak yang negatif
berupa limbah industri yang bila tidak dikelola dengan baik dan benar akan
mengganggu keseimbangan lingkungan, sehingga pembangunan yang
berwawasan lingkungan tidak dapat tercapai. Pertumbuhan jumlah industri dapat
dilihat pada tabel 4.7 sebagai berikut :
Tabel 4.7 Pertumbuhan Jumlah Industri di Kabupaten Jember
No.

Kelompok
Industri

2005
11.529

2006
11.721

2007
12.908

Jumlah Industri (Unit)


2008
2009
2010
2011
16.308 16.707 17.112 17.523

2012
17.569

2013
17.569

2014
17.666

1.

Makanan dan
Minuman

2.

Tekstil dan
Barang Kulit

2.395

2.407

2.472

2.542

3.649

5.246

7.549

7.583

7.583

7.558

3.

Hasil Hutan

7.646

7.712

7.732

7.960

8.242

8.538

8.841

8.851

8.851

8.866

4.

Kertas

281

297

474

577

663

762

871

834

834

834

5.

Pupuk, Kimia
dan Karet

164

170

187

201

253

312

386

392

392

392

6.

Semen dan
Barang Galian
Non Logam

4.209

4.305

4.339

4.398

4.504

4.614

4.725

4.724

4.724

4.727

Logam Dasar,
Besi dan Baja

1.208

1.252

1.295

1.357

1.437

1.521

1.608

1.568

1.568

1.568

Alat Angkutan,
Mesin dan
Peralatan

940

964

994

1.304

1.078

1.121

1.165

1.153

1.154

1.154

Barang Lainnya

929

937

939

1.006

1.050

1.105

1.162

1.156

1.156

1.156

29.301

29.765

29.556

35.383

37.583

40.331

43.830

43.830

43.831

43.921

7.
8.

9.

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember 2014

51

Dari tahun 2005 hingga tahun 2014 jumlah industri semakin meningkat,
terjadi penurunan jumlah industri pada tahun 2007. Semakin banyaknya pabrik
dan meluasnya wilayah industri kebutuhan bahan dan pangan di Kabupaten
Jember pun menunjukan grafik meningkat. Potensi itu ditangkap sejumlah
kelompok industri makanan, minuman, dan tekstil. Kelompok industri tersebut
mengalami peningkatan jumlah industri yang sangat cepat setiap tahunnya. Ini
terjadi pada kelompok industri makanan, minuman, tekstil dan barang kulit yang
terus berupaya meningkatkan pelayanan terhadap konsumen di Kabupaten Jember.
Peningkatan jumlah industri paling cepat yaitu terjadi pada industri
makanan dan minuman. Pembangunan industri makananan dan minuman sangat
bermanfaat bagi masyarakat, karena tidak hanya bermanfaat untuk memenuhi
kebutuhan makanan dan minuman olahan di dalam negeri saja tapi juga berperan
penting dalam meningkatkan nilai tambah produk primer hasil pertanian. Bahkan,
industri makanan dan minuman mampu menjadi penggerak utama ekonomi di
berbagai wilayah dan mendorong tumbuhnya industri-industri terkait. Industri
makanan dan minuman mempunyai peranan penting dalam pembangunan sektor
industri terutama kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri
non migas.
Dengan keterbatasan lahan sawah, akhirnya lahan pertanian bukan sawah
seperti kebun atau perkebunan yang lebih banyak dimanfaatkan untuk
pembangunan industri. Luas lahan tersebut sering mengalami pengurangan dan
menjadi korban untuk memenuhi kebutuhan industri. Alih fungsi lahan tersebut
dinilai sudah tidak terkendali dengan menyusul pesatnya perkembangan jumlah
industri tiap tahunnya.

4.3 Pembahasan
4.3.1 Penyebab Alih Fungsi Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi
Kabupaten Jember
Seiring dengan perkembangan zaman, penduduk di Kabupaten Jember
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jumlah penduduk yang meningkat

52

dapat menyebabkan kebutuhan pangan juga semakin meningkat. Termasuk


penduduk di Kabupaten Jember. Kita sebagai manusia, memiliki keturunan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi/keberadaan kita.
Memiliki keturunan dalam jumlah tidak terkendali, dapat menjadi ancaman
terbesar bagi kelangsungan eksistensi bagi manusia itu sendiri dalam mencapai
kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera. Adapun pembengkakan jumlah
penduduk di kabupaten Jember disebabkan karena angka kelahiran
lebih tinggi daripada angka kematian bayi. Variabel itu sendiri sangat kompleks,
dimana itu meliputi penduduk itu sendiri, angka kemiskinan, kesempatan kerja,
permukiman, kesehatan dan lain sebagainya. Meningkatnya jumlah penduduk
maka secara otomatis lahan yang dibutuhkan semakin meningkat, akan tetapi
lahannya bersifat terbatas yakni tidak bertambah atau pun berkurang. Dimana
lahan pertanian produktif akan dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan,
sekolah, industri, gudang dan fasilitas penunjang pariwisata lainnya seperti hotel,
villa, dll. Hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian atau industri. Bila kondisi tersebut diabaikan tanpa
adanya upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap lahan pertanian produktif
maka lahan-lahan pertanian produktif akan terus dialih fungsikan ke lahan non
pertanian dan lahan tersebut semakin berkurang. Kebutuhan akan lahan sangatlah
penting bagi setiap makhluk hidup karena lahan merupakan tempat tinggal
penduduk termasuk bagian dari permukaan bumi yang mempunyai karakter dan
fungsi yang luas dengan berbagai macam kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Jika harga beras terlalu rendah, pendapatan para petani terlalu rendah, dan
mereka menjadi korban; sedang kalau harga terlalu tinggi, maka konsumen yang
menjadi korban (Kadariah, 1994). Harga hasil pertanian pangan seperti beras/padi,
jagung, kedele, kacang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan
ekonomi. Peningkatan harga pangan secaraterusmenerusterasasangat
memberatkanmasyarakatkhususnyamasyarakatberpendapatanmenengahke
bawah.Bagiwargayangtinggaldipedesaansebagianbesarkebutuhanutamanya
adalahkonsumsimakanan,wargaakantetapberupayauntukmemenuhikebutuhan
utamameskipunhargapanganmeningkat.Apalagikebutuhanmakananpokok,

53

terutamaberasdansayuran,sebagian besar dipenuhi dari produksi sendiri.

Peningkatan harga pangan diduga lebih berpengaruh terhadap pengeluaran lain


selain konsumsi dan berkurangnya modal usahatani. Rendahnya harga hasil
pertanian pangan membuat para buruh tani lebih memilih menjual lahannya untuk
memenuhi kelangsungan hidupnya atau mengalihfungsikan lahannya menjadi
tempat usaha untuk beralih profesi menjadi pengusaha, pedagang, dan lain-lain.
Hargajuallahanyangditerimapetanidalamprosesalihfungsilahan
secarasignifikandipengaruhiolehstatuslahan,jumlahtenagakerjayangterserap
dilahantersebut,jarakdarisalurantersier,jarakdarijalan,danjarakdarikawasan
industriataupemukiman.Sementaraituproduktivitaslahan,jenisirigasi,dan
peubahlaintidakberpengaruhsignifikan(Jamal,2001).Banyaknya lahan sawah
yang berada di pinggir jalan raya dibeli oleh pihak lain dengan tujuan untuk
membangun rumah atau ruko dapat membuat harga lahan sawah warga menjadi
tinggi, membangun ruko di pinggir jalan raya di lahan bekas sawah pertanian
dapat menarik banyak konsumen dari berbagai kota dengan mudah, tetapi
pembangunan tersebut dapat mengurangi areal pertanian petani. Harga jual lahan
yang tergolong tinggi menjadikan daya tarik tersendiri bagi pemilik lahan untuk
menjual lahan pertaniannya untuk dialih fungsikan penggunaan lahannya. Dengan
lokasi lahan pertanian yang strategis menjadi daya tarik tersendiri bagi peruntukan
penggunaan lahan non pertanian, sehingga alih fungsi lahan sulit untuk dihindari.
Biaya produksi lahan pertanian padi yang tidak sebanding dengan nilai
hasil panen atau biaya produksi pertanian yang tinggi tetapi harga hasil pertanian
rendah merupakan salah satu penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian.
Karena faktor kebutuhan keluarga petani yang mendesak oleh kebutuhan modal
usaha atau keperluan keluarga lainnya (pendidikan, mencari pekerjaan non
pertanian, atau lainnya) seringkali membuat petani tidak mempunyai pilihan
selain menjual sebagian lahan pertaniannya. Usaha tani padi sawah memang
membutuhkan biaya yang cukup besar, dimana kebutuhan akan sarana produksi
(pupuk, pestisida) dan biaya tenaga kerja sangat tinggi.
Bintarto (1977:134) berpendapat bahwa lahan dapat diartikan sebagai land
settlemen yaitu suatu tempat atau daerah dimana penduduk berkumpul dan hidup
bersama, dimana mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk
54

mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan hidupnya. Dengan


demikian sangatlah jelas bahwa setiap makhuk hidup pasti membutuhkan lahan
untuk tumbuh dan berkembang, berbagai aktifitas manusia di dalam ruang bumi
ini tidak lepas dari fungsi lahan yang berbeda-beda.
Di zaman sekarang yang semakin modern terdapat banyak para generasi
muda atau tenaga kerja baru yang lebih memilih mencari pekerjaan/bekerja di
bidang industri dan perkantoran daripada bekerja di bidang pertanian. Hal ini
menyebabkan daerah pedesaan yang bergerak di bidang pertanian mengalami
kekurangan tenaga kerja produktif, karena ditinggal ke kota. Meningkatnya
jumlah tenaga kerja akan Selain itu, semakin meningkatnya biaya operasional
dalam pengolahan lahan pertanian juga menyebabkan para petani mengalami
kerugian, sehingga mereka lebih memilih untuk beralih profesi dan menjual lahan
pertaniannya.
Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya jumlah
industri setiap tahunnya membutuhkan lahan dapat meningkatkan permintaan
lahan untuk memenuhi kebutuhan nonpertanian. Namun pertumbuhan ekonomi
juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan nonpertanian. Kondisi
inilah yang menyebabkan alih fungsi lahan pertanian terus meningkat seiring
dengan laju pertumbuhan jumlah tenaga kerja industri dan pembangunan ekonomi
yang tidak mungkin dapat dihindari.

4.3.2 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi


Kabupaten Jember
Apabila alih fungsi lahan yang tidak terkendali dan terjadi secara
berlebihan sangat berdampak negatif bagi masa depan pertanian. Apalagi
Kabupaten Jember dikenal sebagai kota agraris dengan persawahan terbentang
luas, jika lahan pertanian berkurang atau bahkan habis dikonversi maka
Kabupaten Jember akan mengalami krisis pangan. Dari tahun ke tahun, luas lahan
produktif yang beralih fungsi dapat terus bertambah, yang akan mengakibatkan
terjadi penurunan produksi pangan dan mengancam ketahanan pangan, sedangkan

55

kebutuhan pangan penduduk semakin tinggi karena adanya pertumbuhan


penduduk yang juga semakin tinggi.
Kabupaten Jember dengan memiliki sektor pertanian sebagai sektor
unggulnya. Meningkatnya pengalihan fungsi lahan menyebabkan
pergeseran/penurunan jumlah tenaga kerja dalam sektor pertanian dan
berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Saat jumlah tenaga kerja di
sektor pertanian menurun maka jumlah pasokan atau produksi pangan juga
menurun, mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan pangan terus meningkat
sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Sektor industri terus bermunculan
dan berkembang setiap tahunnya. Sektor industri yang tergolong besar
pengaruhnya dan merupakan potensi unggul di sektor industri adalah industri
besar, dimana mayoritas dari industri ini merupakan industri ekspor. Kebutuhan
pangan masyarakat dan industri barang terus bertambah. Investasi industri pangan
terus bertambah, karena permintaan kebutuhan pangan sebagai konsumsi dan
bahan baku industri pangan. Perkembangan teknologi untuk sektor pertanian
sangat penting dalam menghasilkan komoditas pertanian dengan kualitas lebih
baik sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor. Kondisi ini
mampu mengurangi impor bahan pangan yang nilainya terus bertambah tiap
tahun.
Meningkatnya jumlah permintaan lahan non pertanian secara terus
menerus akan berdampak kepada masyarakat pertanian untuk mendorong menjual
lahan pertanian demi memenuhi kebutuhan hidupnya atau menafkahi anak dan
istrinya. Dengan terbatasnya modal dari hasil penjualan lahan pertanian serta
mahalnya kebutuhan pangan dan biaya pendidikan untuk anaknya dapat
mengakibatkan buruh tani kekurangan modal hingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya atau menafkahi anak istrinya dan akhirnya buruh tani
tersebut akan mengalami kemiskinan. Selama ini buruh tani hanya bisa
menggantungkan hidupnya dengan cara menggarap sawah karena tidak memiliki
keahlian lain. Dengan adanya pengalihan fungsi lahan tersebut mengakibatkan
masyarakat pertanian kehilangan pekerjaan yang sudah puluhan tahun dijalaninya
akhirnya masyarakat pertanian menjadi pengangguran dan kemiskinan.

56

Sebagian besar buruh tani lahan persawahan merasa kesulitan dengan adanya
alih fungsi lahan yang mengakibatkan menurunnya jumlah pendapatan petani. Proses

alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, selain dapat menghilangkan


kesempatan reproduksi pangan dan aktifitas pertanian lainnya, juga semakin
mengurangi kesempatan usaha di bidangnya yang pada akhirnya mengancam
pendapatan buruh tani bahkan menghilangkan mata pencaharian sebagai buruh tani.
Saat pendapatan buruh tani menurun, jika buruh tani tidak terserap ke sektor lain
dan tidak mampu beralih profesi menjadi pengusaha, pedagang, buruh bangunan
dan lain-lain dapat berakibat buruh tani terancam menjadi pengangguran maupun
kemiskinan, sulitnya memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi dan mahal.
Pendapatan buruh tani dapat bertambah jika buruh tani mampu beralih
profesi sejak lahan pertanian dialih fungsikan. Apalagi buruh tani mampu
mengkonversikan lahan pertanian menjadi pertambangan emas, pasir, dan batu
demi mencari pendapatan lebih besar. Hal ini dikarenakan, dengan menambang
emas, pasir, dan batu di lahan mereka, keuntungan dari hasil pendapatan yang
dihasilkan setiap harinya lebih besar.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian uraian yang telah diungkapkan pada pembahasan
mengenai dampak pengalihan penggunaan lahan terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat Kabupaten Jember, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Secara garis besar yang dapat menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian di Kabupaten Jember dapat disebabkan
oleh meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk setiap tahunnya yang
dapat menyebabkan permintaan akan lahan yang akan digunakan sebagai
perumahan semakin meningkat. Semakin meningkatnya kebutuhan akan
lahan di bidang ekonomi baik itu digunakan sebagai kegiatan pariwisata

57

maupun perdagangan serta pertumbuhan penduduk yang begitu cepat,


intensitas pembangunan yang berkembang dalam berbagai bidang tentu saja
akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan lahan. Dimana lahan
pertanian produktif akan dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan,
industri, dan fasilitas penunjang pariwisata seperti villa, hotel, pusat
perbelanjaan, dll. Hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya alih fungsi
lahan pertanian ke non pertanian. Selain itu, tekanan ekonomi pada saat krisis
ekonomi juga dapat menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Hal tersebut
menyebabkan banyak petani menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang berdampak meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan
2.

makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak-pihak pemilik modal.


Dampak alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dapat menjadi kendala
dalam mencapai ketahanan pangan secara mandiri. Lahan pertanian tidak lagi
ditanamai tanaman tetapi dibangun bangunan. Persoalan alih fungsi lahan
tidak sebatas persoalan mengancam produksi beras atau ekologis semata,
tetapi juga menyangkut persoalan sosial ekonomi orang yang menyandarkan
hidupnya dari kegiatan pertanian. Ketika luas lahan pertanian/sawah
berkurang dapat berdampak kepada buruh tani, maka penghasilan buruh tani
juga berkurang. Kepemilikan lahan petani yang sudah sempit semakin
menyempit bahkan hilang tidak tersisa. Selain itu berkurangnya lahan
pertanian di daerah asal menyebabkan buruh tani memilih bermigrasi ke
daerah lain. Ketika di daerah lain tersebut ada aktifitas tanam maupun panen,
mereka berbondong-bondong datang menawarkan jasanya kepada
pemilik/penggarap lahan. Tentunya hal ini akan menyebabkan buruh tani
lokal mengalami penurunan penghasilan.

5.2 Saran
Dari kesimpulan tersebut, maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Solusi yang tepat untuk mengatasi agar tidak terjadi alih fungsi lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian dapat dilakukan dengan berbagai
macam sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga lahan
pertanian kaitannya dengan keberlanjutan kebutuhan pangan penduduk.
58

Selain itu, dengan adanya penjaminan/perlindungan lahan dari pemerintah


adalah merupakan solusi yang terbaik untuk keberlanjutan lahan pertanian.
Untuk memperkecil penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian dapat
dilakukan dengan cara mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri,
perumahan, dan perdagangan; dan mengarahkan kegiatan alih fungsi lahan
pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan
2.

perumahan pada kawasan yang kurang produktif.


Untuk membatasi terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian, pemerintah perlu mengeluarkan peraturan yang berlaku. Peraturan
yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum dan
dilengkapi sanksi yang tegas agar tidak menimbulkan dampak yang besar
dapat merugikan pemilik lahan pertanian.

Lampiran
Lampiran 1.

Jumlah Tenaga Kerja di Sektor Pertanian (Sebagai Kolom


Tambahan Pada Tabel 4.6)

Tahun
2009
2010
2011
2012
2013

Tenaga Kerja Sektor Pertanian


(Orang)
584.166
585.501
587.546
511.796
427.375

59

Daftar Pustaka
Agus, F., U. Kurnia, and A.R. Nurmanaf (Eds.). 2001. Proceedings, National
Seminar on the Multifunction of Paddy Fields. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor, Indonesia.
Ahmadi, Abu dan Supriyono, Widodo. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Anwar, A. 1995. Kebijaksanaan dan Instrumen Ekonomi dalam Upaya
Pengendalian Kerusakan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Disampaikan pada Temu Pendapat tentang Pengembangan Kebijaksanaan
Ekonomi Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meneg KLH, Jakarta, 11 Mei
1995
Aunuddin, 1989. Analisis Data. Bogor: IPB Press. Ayres
Barlow. 1978. Barlows Theory of Land Rent Location and Market Land. England
: Oxford University.
Bintarto,(1997),UrbanisasidanPermasalahannya.Jakarta:GhaliaIndonesia.
Daldjoeni, N. 1998. Geografi Kota dan Desa. Alumni. Bandung.
Darwis, Valeriana. 2008. Keragaan Penguasaan Lahan Sebagai Faktor Utama
Penentu Pendapatan Petani
Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Djarwanto, P.S. 1991. Statistik Nonparametrik. BFFE, Yogyakarta.
Eka Erviani, Anggun. 2011. Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap
Keunggulan Kompetitif Usahatani Beras di Kabupaten Karawang

60

(Studi Kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur. Skripsi.


Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Furi, D.R. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan
Kesejahteraan Masyarakat Desa. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multi Variate dengan Progran SPSS.
Edisi ketiga. Semarang : Universitas Diponegoro
Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS,
Edisi Keempat, Penerbit Universitas Diponegoro.
Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS
19. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Hirschman,1958,TheStrategyofEconomicDevelopment,YaleUniversityPress,
NewHaven.
Iqbal, M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor: Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola
Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Jurnal Penelitian Agro
Ekonomi Volume 23 (1). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Bogor.
Jamal,E.2001.FaktorFaktoryangMempengaruhiPembentukanHargaLahan
SawahpadaProsesAlihFungsiLahankePenggunaanNonPertanian.Pusat
PenelitiandanPengembanganSosialEkonomiPertanian,BadanPenelitian
danPengembanganPertanian,DepartemenPertanian.Bogor

Kadariah, 1994. Teori Ekonomi Mikro. Lembaga Penerbit FE - UI. Jakarta.


Kustiawan, Iwan. 1997. Permasalahan Konversi Lahan pertanian dan
Implikasinya terhadap Penataan Ruang Wilayah Studi Kasus : Wilayah
Pantai Utara Jawa. Jurnal PWK Vol.8. No 1/Januari 1997.
Lestari. 2009. Faktor-Faktor Terjadimya Alih Fungsi Lahan. Dalam Tinjauan
Pustaka Universitas Sumatra Utara.
Malthus,T.1978.EssayontheprincipleofpopulationIn:A.Flew(ed.).1982.
Anessayontheprincipleofpopulation.PenguinBooks,London.

61

Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New
York.
Michalski, F. 2010. Rural Property Size Drives Pattern of Upland and Riparian
Forest Retention. Global Environtmental Change Journal.
Mosher, A. T. 1996. Menggerakkan dan Membangun Pertanian, Syarat-Syarat
Mutlak Pembangunan dan Modernisasi. C. V. Yasaguna. Jakarta.
Nasoetion L dan Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan
Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding
Lokakarya Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air.
Hasil kerjasama PPSEP dengan Ford Foundation. Bogor.
Nawawi, H. Dan Martini, H.M.1991. Instrumen Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press.
Ndawa, Johanes Jonick J. 2014. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Non
Pertanian Terhadap Kesempatan Kerja Dan Pendapatan Rumah Tangga
Petani di Kota Batu. Skripsi. Malang. Universitas Brawijaya.
Poerwandari, E. Kristi. 1998. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : Universitas
Terbuka
Prabowo. 1996. Memahami Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Andi Ofset
Poerwadarminta.
Saili, Iklhas. 2012. Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah Menjadi
Perkebunan Kelapa Sawit di Wilayah Kabupaten Siak-Riau. Jurnal
Penelitian Perencanaan Wilayah dan Kota Volume 1 (1). Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Sabari Yunus, Hadi. 2006. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar Offset:
Yogyakarta
Simatupang, P. dan Irawan, 2001. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian:
Tinjauan Ulang Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Situmeang, M. 1998. Pola Hubungan Antara Perubahan Penggunaan Lahan
Dengan Transformasi Struktur Ekonomi. Skripsi. Bogor. Institut Pertanian
Bogor.
Sudaryanto, 2002. Komponen Unggulan Teknologi Untuk Meningkatkan
Produktivitas dan Pendapatan Budidaya Padi Lahan Sawah Irigasi di

62

Lampung. Seminar Iptek Padi: Inovasi Teknologi Padi Bagi Ketahanan


Pangan Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat, Pekan Padi Nasional
2002, 5 Maret 2002
Sugiyono. 2012. Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &D.
Alfabetha: Bandung
Suparmoko.1989.EkonomiSumberAlamdanLingkungan:SuatuPendekatan
Teoristis.PAUUGM.Yogyakarta
Sukmadinata.,2006.MetodePenelitianPendidikan,RemajaRosdakarya,
Bandung
Sumaatmadja, Nursid. 1980. Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisa
Keruangan. Alumni. Bandung.
Supranto, J. 2001. Statistik Teori dan Aplikasi. Cetakan Kedua, Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Todaro, Michael P. 1995. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta:
Erlangga
Tarigan,R.(2006),PerencanaanPembangunanWilayah,EdisiRevisi,Bumi
Aksara,Jakarta.
Utomo dkk. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan.
Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Weber, A. 1929. Alfred Webers Theory of Location Industries. England : C. J.
Friederich.
Wicaksono, R. B., 2007. Konversi Lahan Sawah ke Non Pertanian dalam
Perkembangan Kota Nganjuk dan Pengaruhnya terhadap Perubahan
Mata Pencaharian dan Pendapatan Petani.
Widodo. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
Widjianarko. 2006. Aspek Pertanahan Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian (Sawah). Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN.
Yunus, Hadi Sabari. 2001. Perubahan Pemanfaatan Lahan di Daerah Pinggiran
Kota Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta : Fakultas
Geografi, Universitas Gadjah Mada

63

64

Anda mungkin juga menyukai