Transfer energi dan panas pada gunung api aktif memiliki peranan yang sangat
penting dalam mengontrol gunung api, yang dikaitkan dengan keadaan sistem
hidrotermal pada gunung tersebut. Secara umum energi panas bumi dilepaskan
melalui sirkulasi air bawah permukaan (groundwater), emisi gas panas, dan konduksi
panas. Hal ini sangat penting untuk mengetahui lingkungan hidrogeologi dan panas
yang berasosiasi dengan aktivitas gunung api tersebut.
Oleh sebab itu diperlukan metode yang dapat mendeskripsikan sistem hidrotermal,
baik secara kualitatif ataupun kuantitatif. Dalam tesis ini metode yang digunakan
untuk mempelajari sistem hidrotermal tersebut adalah dengan mengunakan metode
self-potential, suhu permukaan, 2D DC resistivity, emisi gas CO2, dan pH.
2.1. Self-potential
Dalam metode geofisika, metode self-potential merupakan salah satu metode pasif,
yaitu mengukur beda potensial di atas permukaan di antara dua titik. Tujuannya yaitu
mendapatkan anomali beda potensial yang berasosiasi dengan struktur bawah
permukaan. Anomali self-potential dapat dihasilkan dari berbagai macam mekanisme
penghasil anomali tersebut. Sehingga dapat digunakan dalam
mengidentifikasi
deposit bijih, tren geologi, aliran air bawah tanah, sistem geotermal dan hidrotermal.
Amplitudo yang dihasilkannya pun memiliki spektrum yang sangat lebar. Mulai dari
beberapa mV hingga 1 sampai 2 V/Km, dan distribusi spasialnya berkorelasi dengan
ukuran dari sumber, dengan kedalaman hingga 100 m.
Pada awalnya, metode self-potential ini digunakan untuk menentukan daerah prospek
pertambangan (Sato and Mooney,1960). Namun dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, self-potential pun dapat digunakan untuk membatasi
daerah prospek geotermal (Banwell, 1970; Zhody et al., 1973; Corwin, 1976; Revil
and Pezard, 1998).
Selain itu, aplikasi self-potential pun banyak digunakan dalam studi kegunungapian
di seluruh dunia, seperti di Gunung Kilauea, Hawai (Zablocki,1976), Long Valley di
Amerika Serikat, (Anderson and Johnson, 1976), Usu di Jepang (Ballestracci and
Nishida, 1987; Nishida and Tomiya, 1987), Hokkaido Komaga-take di Jepang
(Michiwaki et al., 1995), Miyake-jima di Jepang (Nishida et al., 1996; Sasai et al.,
1997; Zlotnicki et al., 2003), Soufrire di Pulau Guadeloupe (Pham et al., 1990;
Zlotnicki et al., 1994a), Piton de la Fournaise di Pulau R, union (Malengreau et al.,
1994; Zlotnicki et al., 1994b; Michel and Zlotnicki, 1998; Ardisson, 2000), Mount
Pele di Pulau Martinique (Zlotnicki et al., 1998), Vesuvius di Italy (Di Maio et
al.,1998).
Keberhasilan metode self-potential ini pada beberapa gunung api dapat dijadikan
alasan bahwa metode ini merupakan metode yang efektif dalam mengamati
perubahan panas dan perubahan sistem hidrotermal pada gunung api aktif. Seperti
halnya pada kasus Soufrire di Guadeloupe (Zlotnicki et al., 1994a), Unzen di Jepang
(Hashimoto and Tanaka, 1995), Piton de la Fournaise (Michel and Zlotnicki, 1998)
atau Miyake-jima di Jepang (Zlotnicki et al., 2003). Sehingga dari kasus-kasus
tersebut dapat diketahui mekanisme utama yang menyebabkan timbulnya sinyal selfpotential. Mekanisme utama yang dapat menghasilkan sinyal self-potential pada
daerah gunung api, yaitu; efek eletrokimia, efek termoelektrik, efek elektrokinetik
(efek topografi dan sirkulasi hidrotermal).
Gambar II.1. Efek topografik yang teramati pada (a) Gunung Kilauea (Jackson and Kauahikaua,
1987), (b) Piton de la Fournaise (Lenat, 1987) dan (c) Mount Pelee (Zlotnicki et
al., 1998).
Ishido (1988) membuktikan secara teoritik hubungan linear antara potensial dan
ketinggian permukaan tanah yang disebabkan oleh aliran ke bawah fluida pada
medium homogen. Walaupun aproksimasi efek topografi terkadang tidak dapat
sepenuhnya digunakan pada seluruh area, seperti halnya di daerah geotermal, Hohi di
Kyushu (Ishido, 1985) atau Gunung Pele (Zlotnocki dkk 1998). Model numerik
Yasukawa dan Mogi (1998) memperlihatkan adanya distribusi heterogen dari
permeabilitas hidrolik yang berkaitan dengan kontras resistivitas. Perbedaan koefisien
kopling elektrokinetik secara signifikan akan mengganggu hubungan linear topografi.
Gambar II.2. Sketsa sumber anomali self potensial pada gunung api (Zlotnicki, 1998).
2.3. 2D DC Resistivity
Pengukuran 2D DC resistivity pada gunung api sudah banyak dilakukan oleh para
peneliti sebelumnya, seperti Finizola (2006) dan Revil (2008). Hal itu dikarenakan
sensitivitasnya terhadap porositas, saturasi air, dan keberadaan dari mineral tanah liat
dan zeolit. Sehingga 2D DC resistivity dan metode elektromagnet merupakan alat
yang efisien untuk menggambarkan struktur bawah permukaan (Fitterman, 1988;
Zohdy dan Bisdorf, 1990; Lenat, 2000).
Pengukuran geolistrik ini digunakan untuk mengetahui struktur dangkal dari tubuh
gunung api. Sehingga dengan diketahuinya nilai resistivitas dari struktur tubuh
gunung api tersebut, dapat dijadikan panduan untuk mengetahui material dan sifat
fisisnya yang ada kaitannya dengan nilai resisitivitas. Dalam pengukuran 2D DC
resistivity, banyak metode yang diberikan, seperti; metode Sclumberger, Wenner,
Wenner-Schlumberger, pole-pole, pole-dipole, dan dipole-dipole. Tetapi dalam
penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode Wenner-Schlumberger.
10
a = n (n + 1) a
V
I
(1)
Di mana :
= resistivitas semu (ohm.m)
n
= tegangan (V)
= arus (mA)
11
= matrik smoothing
= damping faktor
d
= vektor discrepancy
Emisi Gas CO2 merupakan salah satu bagian dalam penelitian ini. Adapun tujuan
digunakannya pengukuran emisi gas CO2 adalah untuk mengetahui sebaran lateral
dari emisi gas CO2 di kawasan Kawah Domas. Emisi gas CO2 memiliki peranan yang
sangat vital terutama dalam menganalisis keberadaan aktivitas sistem hidrotermal.
Selain itu, anomali pada emisi gas CO2 biasanya berasosiasi dengan zona
permeabilitas tinggi, di mana zona tersebut merupakan zona tempat keluarnya panas
dan fluida lainnya (Finizola, 2003).
2.5. pH
metode-metode
Sistem hidrotermal merupakan istilah yang biasa dipakai dalam pembahasan tentang
sistem air-batuan yang mengandung air dengan suhu yang tinggi di laboratorium
ataupun di lapangan (Ellis dan Mahon, 1977). Sistem hidrotermal di lapangan
biasanya terjadi pada gunung api yang aktif sebagai akibat adanya sirkulasi gas dari
magma, panas, dan air meteorik. Akibat adanya air tanah dan batuan permeabel,
terjadi pertukaran panas dan memicu pertukaran panas secara konveksi. Sehingga
menyebabkan adanya sirkulasi hidrotermal (Novana, 2008).
13
Magma dalam perut bumi memiliki massa panas yang kaya dengan senyawa kimia
gas, diantaranya; CO2, H2S, SO2, Cl. Komposisi senyawa kimia terlarut dalam air
atau uap serta gas pada manifestasi yang ditemui, dapat merupakan produk hasil
reaksi yang terjadi antara gas-gas tersebut dengan oksigen (reaksi oksidasi-reduksi),
atau hasil interaksi antara fluida panas dengan mineral tertentu yang terkandung
dalam batuan (Giggenbach W., 1988). Salah satu cara untuk mengetahui adanya
sumber aktifitas panas bumi di bawah permukaan, dapat diketahui dengan
menganalisis data yang diambil di permukaan, baik secara geologi, geofisika ataupun
geokimia.
14