oleh seluruh komponen masyarakat, muncul Rancangan Undang-undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010. Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) lalu dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 UUP tersebut disebutkan: 1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2). Tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.1 Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) UUP tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam PP 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP tersebut mengatur tatacara perkawinan;
1 Undang-Undang Perkawinan adalah unifikasi yang unik, yang
menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan Yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Dikutip dari Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ( Jakarta : Tintamas, 1986), h. 1
2) "Tatacara perkawinan dilakukan menurut
hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya". 3) "Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi". RUU mengatur tentang pidana bagi pernikahan siri, mutah dan poligami. Setelah RUU ini muncul di permukaan, maka muncullah berbagai pro dan kontra. Untuk mempertegas UUP dan PP diatas, diuraikan dalam KHI yaitu; Pasal 4 disebutkan; Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di satu sisi ketentuan itu akan memperjelas dan memperkuat aturan hukum sebelumnya, yaitu UU Perkawinan dan aturan yang melingkupinya. Ancaman sanksi pidana 3 bulan hingga 3 tahun bagi pelaku nikah siri, mutah dan poligami, menjadi bukti bahwa pasal-pasal dalam UU Perkawinan bukan hanya sebagai formalitas yang tujuannya kurang begitu jelas. Mengingat sebelum
RUU HMPA ini dibahas, pasal-pasal tersebut sering kali
diabaikan dengan maraknya praktik nikah siri, mutah dan poligami di beberapa daerah di Indonesia. Jika kita cermati seringkali dalam proses kawin siri sering kali melanggar hukum positif (KUHPidana dan UU Pernikahan), antara lain: a. KUHPidana Pasal 530 ayat 1 yang bermakna; Seorang pemuka agama yang melakukan upacara agama tentang perkawinan yang hanya dapat dilakukan di muka pegawai pencatatan sipil, jika pemuka agama itu belum mendapat pernyataan dari kedua belah pihak yang kawin itu, bahwa mereka itu telah kawin dihadapan pegawai negeri tersebut dipidana dengan pidanadenda sebanyakbanyaknya empat ribu lima ratus rupiah.2 b. Dalam kawin siri (beda agama) mereka menyiasati UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan; 1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu...3
2 R. Sugandhi, KUHPidana berikut penjelasannya (Surabaya, Usaha
Nasional, 1980), h. 536 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Mereka mensiasati dengan cara salah satu calon
masuk ke agama pasangannya (pindah agama) lalu setelah melakukan ijab qobul, pasangan tadi kembali lagi ke agama semula. c. Pasal 279 ayat (1) KUHP menjelaskan sebagai berikut: Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: 1) Barang padahal
siapa
mengadakan
mengetahui
bahwa
perkawinan perkawinan
atau perkawinan-perkawinannya yang telah
ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; 2) Barang padahal atau