Anda di halaman 1dari 14

MINDAGI Vol. 8 No.

2 Juli 2014

STUDI PENENTUAN FASIES LINGKUNGAN PENGENDAPAN


BATUBARA DALAM PEMANFAATAN POTENSI GAS METANA
BATUBARA DI DAERAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR
BERDASARKAN ANALISIS PROXIMATE DAN PETROGRAFI
oleh :
Defri Wahyu Widiyanto*) Denny S Djohor, Harry Pramudito**) Untung***)
*)

Alumni Prodi Teknik Geologi Usakti


**)
Dosen Tetap, Prodi T. Geologi
Fakultas Teknologi Kebumian & Energi, Usakti
Gedung D, Lantai 2, Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta 11440
***)
Direktorat Minerba Bandung

Abstrak
Studi penentuan fasies lingkungan pengendapan batubara Formasi Balikpapan di daerah penelitian dilakukan
berdasarkan metode analisis petrografi dan analisa reflektansi vitrinit. Data yang digunakan dalam studi ini meliputi data
primer, antara lain : data yang diperoleh dari hasil kegiatan pemerian contoh batuan inti/core dan analisis laboratorium,
sedangkan untuk data sekunder merupakan hasil dari penelitian yang sudah dipublikasikan dan laporan-laporan peneliti
terdahulu yang terkait dengan penelitian ini. Contoh batuan inti/core batubara yang digunakan untuk studi ini diambil
dari hasil pemboran Sumur EPL 01 di daerah Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, Propinsi Kalimantan Timur;
dari hasil pemboran ini diperoleh 11 lapisan batubara dengan ketebalan berkisar 0,8 meter dan dengan kedalaman
pemboran mencapai mencapai 130 meter, sedangkan untuk preparasi contoh batuan inti/core batubara dan analisis
laboratorium dilaksanakan di kantor Pusat Sumber Daya Geologi di Bandung.
Hasil observasi batuan inti/core pada Sumur EPL 01 terdiri atas perselingan batupasir dan batulempung dengan
sisipan serpih dan lapisan batubara, berdasarkan lithostratigrafi batuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi
Balikpapan. Karakteristik batubara yang dijumpai secara umum berlapis baik, berwarna hitam, kusam hingga mengkilap,
kompak, sebagian mudah hancur dan sebagian keras, pecah konkoidal, mengandung resin dan pirit dengan ketebalan
berkisar 0,2 hingga 3,1 meter.
Hasil analisis reflektansi vitrinit contoh batuan inti/core batubara dari hasil pemboran Sumur EPL 01 di daerah
Penajam, menunjukan peringkat kematangan batubara lignit hingga sub bituminous C (Rv = 0.28-0.38 %), sedangkan
berdasarkan hasil analisis komposisi maseral contoh batuan inti batubara dari hasil pemboran Sumur EPL 01 di daerah
Penajam, menunjukan grup maseral vitrinit merupakan maseral yang paling dominan dengan total jumlah volume ratarata mencapai 83.945%. Grup maseral liptinit memiliki jumlah volume rata-rata 1.845% dan grup maseral inertinit
memiliki total jumlah volume rata-rata 0.16% dan 3.018 %, serta mineral matter dengan total jumlah volume rata-rata
11.027% yang didominasi oleh mineral lempung (8.42%), pirit (1.77%) dan oksida besi (0.827%). Berdasarkan hal tersebut
di atas, maka mineral matter yang terkandung di batubara merupakan syngenetic mineral matter.
Interpertasi fasies lingkungan pengendapan batubara Formasi Balikpapan di daerah penelitian, berdasarkan distribusi
komposisi maseral dengan menggunakan 2 diagram parameter (TPI dan GI). Berdasarkan hasil plotting parameter Tissue
Preservation Index (TPI) dan Gelification Index (GI) pada diagram Lamberson (1991); menunjukan lingkungan pengendapan
(lingkungan telmatic), yaitu: wet forest swamp, sedangkan berdasarkan hasil plotting parameter Ground Water Influence (GWI)
dan Vegetation Index (VI) pada diagram Calder dan kawan-kawan (1991); menunjukkan lingkungan pengendapan swamp.
Hasil ploting parameter dari dua diagram tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan dari batubara di
daerah penelitian ini termasuk ke dalam lingkungan pengendapan hutan rawa telmatik, daerah yang terdekomposisi kuat
dalam kondisi penurunan muka air yang relatif lambat. Daerah ini merupakan daerah basah pada iklim tropis hingga
dingin yang didominasi oleh tanaman berkayu.
Menurut Diesel, lingkungan pengendapan batubara dari Formasi Balikpapan di daerah penelitian ini dapat
digolongkan dalam bagian lingkungan pengendapan lower delta plain, dimana batubara ini memiliki kandungan inertinit
yang rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan huminit yang didominasi oleh humodetrinit, sehingga mempunyai
nilai TPI rendah. Hal ini menunjukan daerah ini pernah mengalami pasang air laut yang mengendapkan sedimen klastik
halus menjadi pengotor dalam batubara. Pengaruh air laut ini meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang
terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Endapan sedimen pada lower delta plain terdiri dari batulanau,
batulempung dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus. Batubara yang terendapkan dalam lingkungan ini memiliki
penyebaran yang luas tetapi mempunyai ketebalan yang relatif tipis (Horne dan Ferm 1987).

I. Pendahuluan
Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi
gambut hingga batu bara disebut dengan istilah
pembatubaraan (coalification). Secara ringkas ada 2
tahap proses yang terjadi, yakni:
- Tahap diagenetik atau biokimia dimulai pada
saat material tanaman terdeposisi hingga lignit
terbentuk. Agen utama yang berperan dalam
proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat
oksidasi dan gangguan biologis yang dapat

menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material organik serta


membentuk gambut.
Tahap malihan atau geokimia, meliputi proses
perubahan dari lignit menjadi bituminus dan
akhirnya antrasit.

Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan


proses transportasi material organik menjadi bentuk
material organik menjadi bentuk material oganik
23

Studi Penentuan Fasies Lingkungan Pengendapan Batubara dalam Pemanfaatan Potensi Gas Metana Batubara
di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur berdasarkan Analisis Proximate dan Petrografi
Defri Wahyu Widiyanto, Denny S Djohor, Harry Pramudito dan Untung

lain yang dipengaruhi oleh lingkungannya, yaitu


gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang
terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen
yang menutupinya, temperatur, tekanan dan waktu
terhadap komponen organik dari gambut. Proses ini
akan menghasilkan batubara dalam berbagai
tingkat kematangan material organiknya mulai dari
lignit, sub-bituminus, bituminus, semi-antrasit,
antrasit, hingga meta antrasit (Gambar 1).
Batubara muda akan mengalami perubahan
yang secara bertahap menambah maturitas

organiknya dan mengubah batubara muda menjadi


batubara sub-bituminus (sub-bituminous), setelah
mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus
menerus selama jutaan tahun. Tumbuhan purba
yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman
geologi dan lokasi tempat tumbuh dan
berkembangnya, lokasi pengendapan tumbuhan,
pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta
perubahan geologi yang berlangsung, merupakan
faktor penentu dari karakteristik batubara.

Gambar 1. Urutan Pembatubaraan

Kelas dan Jenis Batubara


Berdasarkan tingkat proses pembentukannya
yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu.
Batubara umumnya dibagi dalam lima kelas:
antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan
gambut.

Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan


warna hitam berkilauan (luster) metalik,
mengandung antara 86 - 98% unsur karbon (C)
dengan kadar air kurang dari 8 %.
Bituminus mengandung 68 86% unsur karbon
(C) dan berkadar air 8 10% dari berat. Kelas
batubara yang paling banyak ditambang di
Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan
banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber
panas yang kurang efisien dibandingkan dengan
bituminus.
Lignit atau batubara coklat adalah batubara
yang sangat lunak yang mengandung air 35
75% dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas
75% serta nilai kalori yang paling rendah.

Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara


Suatu lapisan batubara mulai dasar (bottom)
sampai atas (top) mempunyai sifat-sifat fisik
24

tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan


pengendapan pada waktu itu. Faktor yang
mempengaruhi lingkungan pengendapan, antara
lain : iklim, permukaan air, tumbuh-tumbuhan asal,
paleogeografi dan sebagainya. Setiap kali terjadi
perubahan kondisi lingkungan akan terendapkan
batubara yang berbeda pula.
Lingkungan pengendapan batubara dapat
mengontrol
penyebaran
lateral,
ketebalan,
komposisi, dan kualitas batubara. Untuk
pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan
suatu susunan pengendapan dimana terjadi
produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara
perlahan-lahan namun terus menerus terjadi dalam
kondisi reduksi tinggi, dimana terdapat sirkulasi air
yang cepat, sehingga oksigen tidak ada dan zat
organik dapat terawetkan. Kondisi demikian, dapat
terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai)
dan limnik (rawa-rawa).
Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992)
lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di
lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang
berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat
dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik atau
juga fluviatil. Dengan meneliti komposisi maseral,
maka akan dapat ditafsirkan lingkungan
pengendapan yang bagaimana batubara tersebut
diendapkan, misalnya suatu endapan batubara yang
mengandung banyak maseral vitrinit (< 95%),

MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014

maka lingkungan pengendapannya adalah hutan


berawa (forest swamp) atau daratan berawa yang
beriklim sedang. Kondisi yang demikian
memungkinkan untuk berkembangnya tumbuhtumbuhan berkayu yang merupakan bahan asal
pembentuk kelompok vitrinit.
Diessel (1992) membagi lingkungan pengendapan tempat terbentuknya batubara menjadi 5
bagian yaitu :
a. Braid Plain, merupakan dataran aluvial
intramountana yang pada daerah ini terendapkan sedimen kasar ( > 2 mm). Batubara
yang terbentuk pada daerah ini merupakan
hasil diagnesa gambut ombrogenik yang
mempunyai penyebaran lateral terbatas dengan
ketebalan rata-rata 1,5 m. Kandungan abu dan
sulfur total umumnya rendah, sementara
kandungan vitrinit umumnya tinggi pada
daerah tropis. Pada bagian tengah lahan
gambut umum- nya kaya akan maseral inertinit
(28 %) karena suplai makanan yang sedikit.
Kadang-kadang juga ditemukan batubara
dengan kandungan abu yang tinggi sampai 20
%. Kandungan abu tersebut kemungkinan
berasal dari adanya banjir musiman. Karena
inertinit yang besar maka nilai TPI (Tissue
Preservation Index) akan tinggi yang dapat
menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya
didominasi oleh bahan kayu. Sementara itu
nilai GI (Gelification Index) akan rendah dan
secara makroskopis batubara kelihatan kusam
yang dapat menunjukkan bahwa secara
periodik permukaan gambut telah mengalami
kekeringan dan teroksidasi.
b. Alluvial Valley and Upper Delta Plain. Dua
lingkungan pengendapan ini sulit untuk
dibedakan, karena adanya kesamaan litofasies
dan sifat batubara yang terbentuk. Transisi dari
lembah dan dataran aluvial dengan dataran
delta, biasanya melalui sungai stadium dewasa
yang banyak memiliki meander. Endapan
sedimen, umumnya berupa batupasir yang
berselang-seling dengan batulumpur. Gambut
dapat terakumulasi pada berbagai morfologi
seperti rawa-rawa, dataran banjir (flood plain),
dan cekungan banjir (flood basin), bagian terluar
dari saluran sungai, dan lain-lain. Permukaan
gambut cenderung selalu basah dan jarang
mengalami
periode
kemarau
sehingga
menghasilkan batubara yang mengkilap
dengan nilai TPI dan GI yang tinggi. Batubara
yang terendapkan dalam lingkungan ini
umumnya
didominasi
oleh
maseral
humotelinite. Disamping itu, batubara tersebut
juga mempunyai kandungan abu dan sulfur
yang relatif jauh lebih rendah dibandingkan
batubara yang ter-bentuk dalam lingkungan
pengendapan lainnya.
c. Lower Delta Plain. Lingkungan pengendapan
ini dibedakan dengan upper delta plain dari
tingkat pengaruh air laut terhadap sedimentasi.
Batas antara kedua lingkungan pengendapan
tersebut adalah batas tertinggi dari air pasang.

d.

e.

Endapan sedimen pada lower delta plain


terutama terdiri dari batulanau, batulempung,
dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus.
Pada saat pasang naik, air laut akan membawa
makanan ke dalam rawa gambut sehingga
memungkinkan pertumbuhan tanaman yang
lebih baik. Di sisi lain dengan naiknya batas
pasang maka akan terendapkan sedimen klastik
halus yang akan menjadi pengotor dalam
batubara. Disamping itu pengaruh laut akan
meningkatkan kandungan pirit dalam batubara
yang terbentuk dari reduksi sulfat yang
terdapat dalam air laut. Menurut Horne & Ferm
(1987), batubara yang terendapkan dalam
lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi
mempunyai ketebalan yang relatif tipis.
Batubara ini memiliki kandungan inertinit
yang rendah dengan nilai GI yang tinggi.
Kandungan huminit terutama didominasi oleh
humodetrinit sehingga akan mempunyai nilai
TPI yang rendah. Hal ini, menunjukan
tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan
lunak dan tingginya biodegredasi pada kondisi
Ph yang relatif tinggi.
Backbarrier Strand Plain. Morfologi
garis
pantai dikontrol oleh rasio sedimentasi dengan
energi pantai yaitu gelombang, pasang, dan
arus. Jika nilai rasio tinggi maka akan
terbentuk delta namun jika nilai rasio rendah,
maka sedimentasi akan terdistribusi di
sepanjang pantai. Rawa gambut pada barrier
beach memiliki permukaan yang relatif lebih
rendah terhadap muka air laut sehingga sering
kebanjiran. Gambut akan terakumulasi di
suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak
tinggi, sehingga timbunan material gambut
tidak berpindah tempat. Dengan demikian
rawa gambut pada lingkungan ini sangat
dipengaruhi oleh regresi dan trangresi air laut.
Batubara yang terbentuk selama proses regresi
dicirikan oleh nilai GI dan TPI yang rendah
dengan kandungan sulfur total yang relatif
lebih rendah. Batubara yang terbentuk selama
proses transgresi dicirikan oleh nilai GI dan
TPI serta kandungan sulfur yang lebih tinggi.
Estuari. Jika nilai rasio antara sedimentasi
dengan energi pantai sangat rendah, maka
tidak akan terbentuk endapan delta, tetapi yang
terbentuk adalah estuari. Sedimen pada
lingkungan pengendapan ini, terutama berupa
perselingan laminasi batulanau dan batupasir
halus. Batubara yang terbentuk biasanya sangat
tipis dan penyebaran tidak menerus.

Indikator Lingkungan Batubara - Pengawetan


Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi
Diessel (1992) telah memperkenalkan sebuah
diagram dengan menggunakan dua parameter
utama, yaitu Tissue Presevation (TPI) dan Gelification
Index (GI). Kedua parameter tersebut dapat
dihitung dengan menggunakan rumusan yang

25

Studi Penentuan Fasies Lingkungan Pengendapan Batubara dalam Pemanfaatan Potensi Gas Metana Batubara
di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur berdasarkan Analisis Proximate dan Petrografi
Defri Wahyu Widiyanto, Denny S Djohor, Harry Pramudito dan Untung

dimodifikasikan
sebagai berikut:

untuk

batubara

rank

rendah

TPI
TPI menunjukkan perbandingan struktur
jaringan yang masih terjaga terhadap struktur
jaringan yang sudah terdekomposisi. GI merupakan
perbandingan komponen yang tergelifikasi terhadap
komponen yang terfusinitkan. TPI juga dapat
menunjukkan tingkat humifikasi gambut dalam
proses penggambutan. Sementara itu, GI
berhubungan dengan kontinuitas kelembaban
gambut. Lamberson et. al. (1991) melakukan
modifikasi terhadap GI bahwa di samping
menunjukkan tingkat gelifikasi juga merupakan
kebalikan indeks oksidasi. Dalam penelitian ini
akan digunakan modifikasi yang telah dilakukan
oleh Lamberson et. al. (1991). Di samping itu,
modifikasi tambahan juga diperlukan untuk
menyesuaikan dengan batubara di daerah studi
yang mempunyai rank rendah (sub-bituminous).
Harga TPI tinggi menunjukkan batubara lebih
cenderung berasal dari tumbuhan kayu. Dalam
kasus TPI < 1, maka huminit akan disertai oleh
cutinit yang biasanya sangat cepat terhancurkan
oleh air laut. Kombinasi antara kandungan
densinit/detrogelinit dan kutinit yang banyak
dengan kandungan telinit dan telocolinit yang
sedikit memberikan gambaran bahwa batubara
berasal dari serat lunak tumbuhan perdu pada suatu
lingkungan marsh. Harga TPI yang tinggi
mengidentifikasikan suatu keadaan banyaknya
jaringan tumbuhan terawetkan dengan baik.
Sementara itu, harga TPI yang tinggi juga dapat
menggambarkan tingginya kandungan maseral
semifusinit dan fusinit yang merupakan hasil dari
proses oksidasi menerus atau pembakaran.
Gelifikasi akan memberikan tiga gambaran
utama yaitu:
a. Tingkat
gelifikasi
menunjukkan
basah/
keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal
ini terjadi karena gelifikasi membutuhkan
keadaan lembab yang menerus.
b. Tingkat gelifikasi merupakan indikator pH
relatif, karena efektivitas aktivitas mikroba
membutuhkan keadaan asam yang rendah.
c. Tingkat gelifikasi dapat juga menjadi ukuran
proses diagenesa selama gelifikasi biokimia,
sebagian bagian dari humifikasi singenetik yang
kemudian digantikan oleh gelifikasi epigenetik.
Harga GI juga akan mengidentifikasikan tingkat
oksidasi. Harga GI yang berkurang mengidentifikasikan kenaikan tingkat oksidasi. Kombinasi
TPI dan GI juga akan menunjukkan tingkat
dekomposisi. Harga TPI dan GI yang tinggi (> 1)
akan mengidentifikasikan tingkat dekomposisi
aerobik
yang
rendah,
sedangkan
tingkat
dekomposisi anaerobik atau dekomposisi aerobik
yang terbatas atau menengah dicirikan dengan
harga GI yang tinggi dan TPI yang rendah.

26

GI

Pengaruh
Batubara

Airtanah

Terhadap

Gambut

dan

Salah satu parameter untuk pembentukan suatu


lahan gambut adalah kondisi tingkat pengaruh
pengaruh airtanah yang direpresentasikan melalui
nilai GWI (groundwater index).
Pengaruh ini berhubungan dengan kontinuitas
air hujan dan suplai nutrisi/ion yang terdapat di
dalam air (Kulczynski, 1949; Grosse-Brauckmann,
1979; Tallis, 1983; Moore, 1987 dalam Calder et.al,
1991).
Faktor-faktor utama pengaruh airtanah terhadap
pembentukan maseral vitrinit di dalam proses
degradasi gambut adalah:
a. Kerentanan beberapa jaringan tumbuhan
terhadap proses penghancuran kondisi fisik
(Teichmuller, 1989).
b. Ketahanan
jaringan
tumbuhan
proses
penghancuran biokimia (gelifikasi).
c. Terbukanya jaringan tumbuhan terhadap
kondisi yang baik didalam proses gelifikasi
biokimia (Teichmuller, 1989).
Pada lingkungan rawa yang berkembang
menjadi kondisi rawa di bawah pengaruh air tanah
yang semakin berkurang akan menghasilkan
gambut yang lebih baik (Grosse-Brauchmann,
1979; Tallir, 1983; Moore, 1987; dalam Calder et.
al, 1991). Bukti kondisi ini dapat terlihat pada
lapisan batubara yang menunjukkan perubahanperubahan tendensi umum secara vertikal.
Perubahan tendensi umum tersebut diantaranya
adalah penurunan kadar abu dan sulfur, kenaikan
pengawetan jaringan tumbuhan, penurunan
gelifikasi biokimia, dan penurunan maseral liptinit
yang berasal dari lingkungan air (Calder et. al,
1991).
Perbandingan antara substansi yang tergelifikasi
kuat seperti gelinit dan korpohuminit dengan yang
tergelifikasi lemah, seperti humotelinit dan
humodtrinit digunakan untuk merefleksikan derajat
gelifikasi. Derajat gelifikasi tergantung pada
persediaan air dan pH (Calder et. al, 1991).
Gelokolinit adalah produk gelifikasi biokimia dari
lignin (Teichuller, 1982) yang terdapat dalam
tumbuhan berkayu, sedangkan detrogelinit dan
densinit adalah produk dari pohon-pohonan perdu
yang dikenal kaya akan selulose (Teichmuller,
1989).
Pada hutan gambut resen oleh Esterle et. al
(1989) menemukan bahwa kandungan selulose ke
arah permukaan gambut semakin naik walaupun
menurut Casagrande (1985), selulose seharusnya
berkurang akibat pengahancuran secara aerobik.
Kebalikan ini terjadi, dimana jaringan yang
tergelifikasi kuat adalah juga merupakan produk

MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014

bahan asal yang memang lebih banyak tumbuhan


perdu sehingga semakin ke atas semakin tinggi
kandungan selulosenya. Formula yang telah
dimodifikasi untuk batubara rank rendah yang
menunjukkan perbandingan substansi tergelifikasi
tersebut adalah sebagai berikut:

Dalam penelitian ini diinterpretasikan maseral


detrogelinit merupakan hasil gelifikasi dari maseral
densinit, sementara maseral telogelinit merupakan
hasil gelifikasi dari euulminit. Dengan demikian
harga VI dapat ditentukan dengan formula yang
telah dimodifikasikan untuk batubara rank rendah.

GWI

Geologi Daerah Penelitian

Tumbuhan asal yang kaya dengan lignin akan


diubah menjadi batubara dengan kandungan
humotelinit, fusinit dan semifusinit yang tinggi.
Dalam kondisi ini, suberinit dan resinit adalah
maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu melalui
proses pembatubaraan akan membentuk batubara
yang kaya akan detrogelinit, inertodetrinit dan
liptodetrinit (Teichmuller, 1989). Kondisi subaquatik, seharusnya akan diindikasikan oleh
kehadiran maseral alginit, sporinit dan kutinit
mempunyai distribusi yang sama pada batubara
yang terbentuk dari tumbuhan bawah air.

Daerah penelitian dibentuk oleh endapanendapan sedimen Tersier, hasil siklus transgresi dan
regresi laut. Urutan transgresif dapat ditemukan
dengan baik di sepanjang daerah pinggiran
cekungan yang berupa lapisan klastik yang berbutir
kasar dan serpih yang diendapkan pada lingkungan
paralik hingga laut dangkal.

VI

Stratigrafi Daerah Penelitian


Contoh batubara yang dianalisa diambil/
sampling dari Formasi Balikpapan, berumur
Miosen Tengah dan kedudukannya selaras di atas
Formasi Pulubalang, tersingkap hampir di seluruh
daerah studi, membentuk suatu antiklin dan sinklin.
Formasi ini memiliki sifat fisik yang lebih resisten,
sehingga dapat dibedakan dengan satuan formasi
yang lebih muda, yaitu Formasi Kampungbaru.
Formasi Balikpapan disusun oleh litologi batupasir,
batupasir lempungan, batulempung dan batubara;
lapisan batupasir dan batupasir lempungan
menempati bagian bawah dari formasi ini.
Lingkungan pengendapan Formasi Balikpapan
adalah delta (delta front sampai delta plain).
Sedangkan tebal formasi ini diperkirakan mencapai
2000 m.
DBerdasarkanari hasil observasi data pemboran
inti/core Formasi Balikpapan terdiri atas
perselingan antara batupasir dan batulempung
dengan sisipan serpih dan batubara. Secara rinci
adalah sebagai berikut :
a. Batupasir dengan warna abuabu putih kekuningan, kompak, berukuran pasir sedang
hingga kasar, bentuk butir membundar
tanggung-menyudut tanggung, butiran bersinggungan, terpilah sedang - baik, komposisi terdiri
atas kuarsa, feldspar, mika dan lithik fragmen.

Tampak menunjukan struktur sedimen silang


siur.
b. Batulempung berwarna abu-abu gelap, berukuran lempung, kompak, tampak menunjukan
laminasi sejajar dengan ketebalan 0,2 hingga 0,5
meter.
c. Serpih berwarna abu-abu kehitaman, berukuran
lempung hingga lanau, kompak, tampak
menunjukan struktur menyerpih dan laminasi
sejajar dengan ketebalan 0,1 hingga 0,7 meter.
d. Batubara dengan warna hitam, kusam hingga
mengkilap, kompak, sebagian mudah hancur
dan sebagian keras, pecahan konkoidal,
berlapis, mengandung resin dan pirit dengan
ketebalan 0,2 hingga 3,1 meter.
Struktur Geologi Daerah Penelitian
Struktur daerah studi dapat dilihat pada
Gambar 2; yakni struktur geologi yang dijumpai di
daerah studi, meliputi:struktur antiklin dan sinklin
dengan arah sumbu hampir berarah timurlautbaratdaya, serta sesar mendatar yang arah berarah
hampir utara - selatan.
Struktur yang dijumpai di daerah studi ini
merupakan produk sesar regional Adang dan
Sangkulirang yang menghasilkan arah lipatan
berarah timurlaut-baratdaya di daerah studi.

27

Studi Penentuan Fasies Lingkungan Pengendapan Batubara dalam Pemanfaatan Potensi Gas Metana Batubara
di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur berdasarkan Analisis Proximate dan Petrografi
Defri Wahyu Widiyanto, Denny S Djohor, Harry Pramudito dan Untung

Aluvial
Formasi Kampung
Baru
Formasi Balikpapan
Formasi Pulubalang
Formasi Pamaluan

Se
sar
Sinkli
n
Antik
lin

Lokasi Sumur Pemboran


(pengambilan contoh batubara)
Gambar 2. Peta Geologi Daerah Penelitian (Supriatna dan Rustandi, 1986)

II. Metodologi
Dalam studi ini, penulis membagi menjadi 3
tahap, yaitu :
- Persiapan dan studi literatur
- Pengolahan data
- Interpretasi data & pembahasan
- Penyusunan laporan
Tahap persiapan diawali dengan pencarian studi
literatur sesuai dengan judul, lalu dilanjutkan
dengan pengambilan data, berupa contoh batuan,
sumur bor. Tahap pengolahan data dimulai dari
preparasi contoh batuan, kemudian dilanjutkan
dengan analisis batuan untuk mendapatkan secara
langsung persentasi rank batubara dan lingkungan
28

pengendapan dari sample core batubara (analisis


laboratorium). Penentuan harga peringkat (rank)
batubara dan lingkungan pengendapan ini melalui
petrografi batubara yang menggunakan analisis
vitrinite reflektansi dan komposisi maseral.
Berdasarkan data analisis laboratorium, penulis
dapat menentukan suatu peringkat batubara, yaitu
derajat coalification atau heat content, dimana
tingkatannya adalah pengukuran terhadap kemurnian suatu batubara. Dari data analisa laboratorium
dapat ditentukan juga lingkungan pengendapan
karakter batubara secara vertikal, pengelompokan
fasies didasarkan atas komposisi maceral yang
didasarkan atas kehadiran kelompok utama maseral
yaitu kelompok vitrinit, liptinit dan inertinit.

MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014

III. Hasil dan Pembahasan


Analisis Petrografi

Pengambilan Contoh Batuan


Contoh/sample merupakan batuan inti/core
batubara hasil pemboran Sumur EPL 01 di daerah
Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara,
Provinsi Kalimantan Timur. Total kedalaman
pemboran mencapai 130,0 meter, dari hasil
pemboran ini diperoleh 11 lapisan/seam batubara
dengan ketebalan rata-rata lapisan berkisar 0,8
meter.
Setiap contoh batuan inti/core batubara ini
dilakukan pemerian pada setiap lapisan batubara,
yang selanjutnya contoh batubara tersebut
dimasukkan dalam kantong-kantong terpisah dan
masing-masing kantong diberi nomor berdasarkan
nomor parit uji, sumur uji atau singkapan untuk
dilakukan analisis laboratorium. Kantong-kantong
contoh terbuat dari bahan kedap udara dengan
maksud, agar contoh tidak kehilangan kelembaban
dan zat terbangnya, serta mencegah bereaksi
dengan udara sekitarnya.

Analisis petrografi menggunakan alat mikroskop


refraksi (menggunakan sinar pantul) dengan merk
Leitz yang dilengkapi dengan point counter swift
dengan pembesaran 400 kali. Jenis preparat yang
digunakan untuk pengamatan dengan sinar pantul
ini berupa pelet kilap (polished briquette).
Pelet Kilap (Polished Briquette)
Pelet atau briket kilap dibuat dari contoh
batubara yang telah terpilih mewakili dari setiap
lapisan batubara pada sumur pemboran maupun
contoh batubara yang diambil dari permukaan;
yang selanjutnya dihaluskan. Pertama-tama contoh
yang berasal dari inti bor/core atau singkapan itu
dihaluskan/digerus sampai ukuran butir sekitar 4
mesh, kemudian penghalusan dilakukan dengan
tangan agar mendapatkan butiran yang sama
(sekitar 30-40 mesh).

Foto 1. Pengambilan Contoh Batuan Batubara EPL 01

Batubara

Foto 2. Contoh Core Batubara pada EPL 01

29

Studi Penentuan Fasies Lingkungan Pengendapan Batubara dalam Pemanfaatan Potensi Gas Metana Batubara
di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur berdasarkan Analisis Proximate dan Petrografi
Defri Wahyu Widiyanto, Denny S Djohor, Harry Pramudito dan Untung

Butiran-butiran tersebut dijadikan pelet atau


briket dengan luas permukaan (2,50 x 3,18 cm)
dengan tebal sekitar 2 cm atau berbentuk pelet
dengan garis tengah 2,5 - 3,5 cm, pencetakannya
dengan
menggunakan
resin.
Penggosokan
dilakukan dengan serbuk silicon carbide mulai dari
yang berukuran besar (grit 240) sampai halus (grit
600), sedangkan pengkilapan dilakukan dengan
mengunakan serbuk alumina (ukuran 0,03 - 0,05
micron) diatas kain sutera atau selvit cloth. Setiap
akhir dari masing-masing stadium, contoh harus
dibersihkan dengan air yang mengalir untuk
menghilangkan sisa-sisa serbuk yang lebih kasar
dari stadium
sebelumnya. Semua
proses
penggosokan dan pengkilapan ini dapat dilakukan
dengan mesin kecuali yang terakhir sebaiknya
dilakukan
dengan
tangan,
agar
mudah
mendapatkan permukaan yang mengkilap. Proses
penggosokan dan pengkilapan dilakukan sampai
siap untuk diteliti.
Analisis Reflektansi Vitrinit
Analisis reflektansi adalah analisis untuk
menentukan besarnya intensitas sinar yang
dipantulkan kembali oleh maseral vitrinit. Daya
reflektansi vitrinit akan meningkat sejalan dengan
tingkat kematangan batubara, sehingga dapat
dipergunakan sebagai parameter tingkat kematangan (peringkat) suatu lapisan batubara. Hal ini
disebabkan, karena makin matangnya suatu
batubara, berarti presentasi maseralnya makin

tinggi, sehingga partikel tersebut makin bersinar


(mengkilat). Batubara di Indonesia dominasi oleh
maseral grup vitrinit, dimana grup vitrinit ini
didominasi juga oleh maseral telocolinit atau
ulminit. Dalam studi ini, standar reflektansi yang
dipergunakan adalah spinel sintetik dengan besaran
reflektansi 0,586%. Jumlah pengukuran reflektansi
untuk setiap sampel/contoh mengikuti standar
Australia, yaitu sebanyak 100 pengukuran atau
dapat dilakukan 50 pengukuran saja jika nilainya
relatif konstan.
Dalam pengukuran vitrinit, ada hal-hal yang
perlu diperhatikan untuk men-dapatkan hasil yang
baik, yaitu :
1. Harus mengenali bagaimana ciri-ciri vitrinit
agar tidak salah memilih fragmen yang diukur.
2. Caving, material yang teroksidasi dan reworked
material tidak perlu diukur.
3. Harus mengenali adanya kontaminasi, misalnya: gilsonite, nut hulls, dan lain-lain.
4. Mengenali adanya noda minyak (oil staining)
Kesalahan pengukuran dapat memberikan hasil
pembacaan reflektansi lebih rendah (lower reading)
atau lebih tinggi (higher reading) dari harga
sebenarnya.
Pada daerah studi ini mempunyai peringkat
batubara lignit hingga sub bituminous C. Hasil
analisis reflektansi vitrinit untuk kematangan
batubara dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Peringkat Kematangan Batubara pada Daerah Penelitian

Nilai reflektansi (Rv) ini merupakan mean


(rata-rata) dari jumlah yang kurang lebih sebanyak
25 kali pengukuran, yang merupakan standar
Australia dalam jumlah pengukuran reflektansi
untuk setiap sampel.
Analisis Komposisi Maseral
Suatu lapisan batubara mulai dasar (bottom)
sampai atas (top) mempunyai sifat-sifat fisik
tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan
pengendapan pada waktu itu. Faktor yang
mempengaruhi lingkungan pengendapan itu antara
lain iklim, permukaan air, tumbuh-tumbuhan asal,
paleogeografi dan sebagainya. Setiap kali terjadi
perubahan kondisi lingkungan akan terendapkan
30

batubara yang berbeda pula. Dengan meneliti


komposisi maseral, maka akan dapat ditafsirkan
lingkungan pengendapan yang bagaimana batubara
tersebut diendapkan. Misalnya suatu lapisan
batubara yang mengandung banyak maseral vitrinit
(< 95 %), maka lingkungan pengendapannya
adalah hutan berawa (forest swamp) atau daratan
berawa yang beriklim sedang. Kondisi yang
demikian memungkinkan untuk berkembangnya
tumbuh-tumbuhan berkayu yang merupakan bahan
asal pembentuk kelompok vitrinit.
Hasil pengamatan biasanya dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yaitu kelompok vitrinit/
huminit, kelompok liptinit dan inertinit, sedangkan

MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014

yang bukan maseral (mineral matters) dikelompokkan tersendiri menjadi satu kelompok pula.
Maseral Vitrinit
Pengamatan dengan mikroskop sinar pantul
(reflected light microscope) vitrinit memberikan warna
pantul yang lebih terang mulai dari abu-abu tua
sampai abu-abu terang dan juga tergantung dari
tingkatan batubara itu, semakin tinggi tingakatan
pembatubaraannya semakin terang terlihatnya.
Grup maseral ini merupakan maseral yang paling
dominan di batubara lapangan ini. Mempunyai
maseral sub-grup telovitrinit dengan jumlah volume
rata-rata 52.74 % (antara 40.9 62.3 %). Maseral
sub-grup detrovitrinit dengan jumlah volume ratarata 31.2% (antara 23.8 - 41.6%). Sub-grup gelovitrinit tidak ada keterdapatannya.
Maseral Liptinit
Liptinit terlihat sebagai maseral yang berwarna
terang, kuning hingga kuning tua di bawah sinar
langsung, sedangkan di bawah sinar pantul,
kelompok liptinit menunjukkan pantulan berwarna
abu-abu sampai gelap. Grup maseral liptinit pada
sumur bor EPL 01 ini memiliki jumlah volume

rata-rata 1.845%, dengan maseral yang lebih


banyak diisi dengan maseral cutinit jumlah rata-rata
nya 1% (0.5 - 1.6%), maseral sporinit jumlah ratarata 0.1%, maseral resinit dengan jumlah rata-rata
0.354% (0.2 - 0.5%), maseral liptodetrinit dengan
jumlah rata-rata 0.1%, dan maseral suberinit
dengan jumlah rata-rata volume 0.29% (0.2 - 0.4%).
Maseral Inertinit
Grup ini dibagi menjadi tiga sub-grup maseral
lagi, dimana sub-grup telo-inertinit mendominasi
dibanding dengan sub-grup detro-inertinit dengan
jumlah volume masing-masing 3.018% dan 0.16%,
sedangkan sub-grup geloinertinit tidak ditemukan
keterdapatannya. Total rata-rata jumlah volume
dari maseral inertinit pada sumur bor
Mineral Matter
Mineral matter adalah mineral atau material
padat yang terdapat dalam batubara. Komposisi
dan kelimpahan mineral matter dapat menentukan
kondisi cekungan, pada saat pembentukan batubara
dan proses yang terjadi selama diagenesis.

Tabel 2. Hasil Analisis Maseral Vitrinit pada daerah penelitian

Tabel 3. Hasil Analisis Maseral Liptinit daerah penelitian

31

Studi Penentuan Fasies Lingkungan Pengendapan Batubara dalam Pemanfaatan Potensi Gas Metana Batubara
di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur berdasarkan Analisis Proximate dan Petrografi
Defri Wahyu Widiyanto, Denny S Djohor, Harry Pramudito dan Untung

Tabel 4. Hasil Analisa Maseral Inertinit pada daerah penelitian

SAMPLE
No.

Total
Volume
(%)

Telo-inertinite (%)

Kedalaman
(m)

Fusinite Semifusinite Sclerotinite

EPL-01

Total
Volume
(%)

Detro-inertinite (%)

Gelo-inertinite
(%)

TOTAL
INERTINITE
(%)

Inertodetrinite

Micrinite

17.70-17.89

0,4

0,8

0,4

1,6

0,3

0,3

1,9

18.00-18.75

0,7

0,7

0,3

1,7

0,1

0,1

1,8

37.61-37.74

0,1

0,2

0,2

0,5

0,1

0,1

0,6

70.30-70.42

3,1

4,7

0,3

8,1

0,1

0,1

8,2

71.08-71.24

0,2

1,6

0,2

0,2

0,2

2,2

74.10-74.40

0,3

1,2

0,2

1,7

0,1

0,1

1,8

79.82-80.13

0,7

0,7

0,2

1,6

0,1

0,1

1,7

80.37-81-17

3,6

0,4

0,3

0,3

5,3

89.00-89.60

0,7

2,7

0,2

3,6

0,3

0,3

3,9

97.77-97.99

0,4

1,1

0,2

1,7

0,1

0,1

1,8

123.27-123.38

1,9

3,5

0,3

5,7

0,1

0,1

5,8

Pada sumur bor EPL 01 ini ditemukan material


padat dengan jumlah total rata-rata 11.027%. Di
dominasi oleh mineral clay dengan jumlah total
rata-rata 8.42%, diikuti dengan mineral pirit sebesar
1.772%, dan mineral iron oxides sebesar 0.827%.

Macrinite

Ini berarti memperlihatkan pada sumur bor EPL 01


ini mempunyai ciri seperti jenis Syngenetic mineral
matter yang seperti telah dijelaskan di bab teori
dasar.

Tabel 5. Hasil Analisis Mineral Matter pada daerah penelitian


SAMPLE
No.

EPL-01

MINERAL MATTER
(%)

Pyrite

Iron oxides

Clay

TOTAL
MINERAL
MATTER
(%)

17.70-17.89

0,7

0,1

1,4

2,2

18.00-18.75

1,1

0,1

0,4

1,6

37.61-37.74

0,9

0,8

9,5

11,2

70.30-70.42

2,1

0,2

1,9

4,2

71.08-71.24

0,9

0,1

3,7

4,7

74.10-74.40

4,1

0,6

7,6

12,3

79.82-80.13

3,5

2,7

23,4

29,6

80.37-81-17

0,8

0,6

1,3

2,7

89.00-89.60

2,3

2,1

23,5

27,9

97.77-97.99

1,9

1,1

11,4

14,4

123.27-123.38

1,2

0,7

8,6

10,5

1,772

0,827

8,427

11,027

KEDALAMAN
(m)

Rata-rata

Interpretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Distribusi Komposisi Maseral


Diagram Fasies dan Lingkungan Pengendapan
menurut Lamberson
Diessel (1992) menggunakan dua parameter
yaitu Tissue Preservation Index (TPI) dan Gelification
Index (GI). Harga TPI ditentukan dari perbandingan antara maseral-maseral yang terawetkan
(tellinit, telocollinit, fusinit dan semifusinit) dengan
maseral-maseral yang struktur selnya tidak
terawetkan dengan baik (desmocollinit, macrinit dan
32

inertodetrinit). Dalam studi ini akan digunakan


modifikasi yang telah dilakukan oleh Lamberson et.
al. (1991). Disamping itu modifikasi tambahan juga
diperlukan untuk menyesuaikan dengan batubara
daerah studi yang mempunyai rank rendah (subbituminus).
Pengerusakan struktur sel oleh organisme akan
sangat mudah terjadi pada tanaman yang banyak
mengandung selulosa (tumbuhan perdu dan
angiospermae), namun tanaman yang banyak
mengandung lignin (tumbuh-tumbuhan kayu) akan
sukar dihancurkan, sehingga peningkatan harga

MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014

TPI
menunjukkan
peningkatan
prosentase
kehadiran tumbuh-tumbuhan kayu (jika peningkatan harga TPI tersebut akibat banyaknya tellinit
dan telocollinit. Jika harga TPI tinggi, dikarenakan
banyaknya fusinit atau semifusinit, maka ini
menunjukkan proses dekomposisi yang diakibatkan
oleh proses oksidasi yang berlangsung dengan cepat
(pembakaran hutan).
Gelification Index (GI) merupakan suatu perbandingan maseral yang terbentuk, karena proses
gelifikasi (vitrinite dan macrinit) terhadap maseral
yang terbentuk, karena proses oksidasi (semifusinit,

fusinit, dan inertodetrinit). Kondisi yang baik untuk


terbentuknya vitrinite dan macrinit adalah jika
gambut selalu dalam kondisi basah dan suplai
oksigen terbatas (Lamberson et al., 1991) yaitu jika
muka air tanah berada atau sedikit di atas
permukaan gambut, sehingga dari harga GI dapat
diinterpretasikan muka air tanah relatif terhadap
permukaan gambut. Kombinasi antara TPI dan GI
dapat dipergunakan untuk memperkirakan derajat
dekomposisi dan kecepatan akumulasi tumbuhtumbuhan. Selanjutnya interpretasi terhadap variasi
harga TPI dan GI dapat dilihat pada Gambar 3.

= titik hasil perhitungan TPI dan GI pada EPL 01


Gambar 3. Hasil interpretasi pada Diagram Lamberson et al., 1991, pada sumur bor EPL 01 daerah penelitian

Dari diagram Lamberson et al., 1991 (Gambar 3),


terlihat bahwa nilai GI yang dihasilkan batubara di
daerah lapangan ini tergolong tinggi (rata-rata
43,3511%). Hal ini dikarenakan karakteristik
batubara lapangan ini, dan batubara Tersier di
Indonesia pada umumnya memiliki kandungan
maseral inertinit yang kecil (rata-rata 2,5%).
Contoh batubara EPL 01, dengan kedalaman
17.70-123.38 meter; menunjukkan lingkungan
telmatik, yaitu wet forest swamp atau daerah ke
pantai dekat delta yang kaya bahan klastik dengan
harga TPI antara 1,102% sampai 2,4% dan GI
antara 10.48% sampai 142,83% (low TPI dan high
GI).
Diagram Fasies dan Lingkungan Pengendapan
Menurut Calder
Rekonstruksi fasies pengendapan Calder (1991),
menggunakan parameter Ground Water Influence

(GWI) dan Vegetation Index (VI). Harga GWI


merupakan indikasi kondisi rheotropic terhadap
ombrotropiv. Pada kondisi rheotropik gambut akan
mengalami proses gelifikasi yang intensif
menghasilkan maseral-maseral yang tergelifikasi
kuat (gelocollinit, corpocollinit, desmocollinit).
Harga VI diperoleh dengan membandingkan
maseral-maseral yang menunjukkan afinitas
lingkungan hutan (tellinit, telocollinit, fusinit dan
semifusinit) dengan yang menunjukkan afinitas
perdu, marginal, dan akuatik. Maseral-maseral
tersebut adalah desmocollinit, liptodetrinit, inertodetrinit (perdu) sporinit, cutinit, dan alginit.
Contoh batubara dengan diagram Calder et al,
1991, EPL 01, dengan kedalaman 17.70-123.38
meter; menunjukkan lingkungan swamp (Gambar
4), dengan harga GWI antara 1.23% sampai
2.953% dan VI antara 1.09% sampai 2,36%.

33

Studi Penentuan Fasies Lingkungan Pengendapan Batubara dalam Pemanfaatan Potensi Gas Metana Batubara
di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur berdasarkan Analisis Proximate dan Petrografi
Defri Wahyu Widiyanto, Denny S Djohor, Harry Pramudito dan Untung

= titik hasil perhitungan GWI dan VI pada EPL 01

Gambar 4. Hasil interpretasi pada Diagram Calder et al ,1991, pada sumur bor EPL 01 pada daerah penelitian
Tabel 6. Resume Analisis berdasarkan Petrografi Batubara daerah penelitian

IV. Simpulan
Berdasarkan hasil observasi/pemerian dan
analisis laboratorium yang dilakukan terhadap
contoh batuan inti/core batubara dari hasil
pemboran Sumur EPL 01 di daerah Penajam, serta
kajian geologi regional daerah studi, maka dapat
disimpulkan hal hal sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil observasi data pemboran
Sumur EPL 01 terdiri atas perselingan batupasir
dan batulempung dengan sisipan serpih dan
lapisan batubara, berdasarkan lithostratigrafi

34

batuan ini dapat disebandingkan dengan


Formasi Balikpapan.
2. Karakteristik batubara yang dijumpai secara
umum berlapis baik, berwarna hitam, kusam
hingga mengkilap, kompak, sebagian mudah
hancur dan sebagian keras, pecah konkoidal,
mengandung resin dan pirit dengan ketebalan
berkisar 0,2 hingga 3,1 meter.
3. Struktur geologi yang berkembang di daerah
studi meliputi struktur lipatan, terdiri atas
antiklin dan sinklin dengan arah sumbu lipatan
hampir berarah timurlaut-baratdaya, serta sesar
mendatar yang arah berarah hampir utara-

MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014

selatan. Struktur ini merupakan produk sesar


regional Adang dan Sangkulirang yang
menghasilkan lipatan berarah timurlautbaratdaya.
4. Berdasarkan hasil analisis reflektansi vitrinit
contoh batuan inti batubara dari hasil pemboran
Sumur EPL 01 di daerah Penajam menunjukan
peringkat kematangan batubara lignit hingga subbituminous C (Rv = 0.28 0.38 %).
5. Berdasarkan hasil analisis Komposisi Maseral
contoh batuan inti batubara dari hasil pemboran
Sumur EPL 01 di daerah Penajam, menunjukan
group maseral vitrinite merupakan maseral yang
paling dominan dengan total jumlah volume
rata-rata mencapai 83.945%.
6. Group maseral liptinite memiliki jumlah volume
rata-rata 1.845% dan group maseral Inertinit
memiliki total jumlah volume rata-rata 0.16%
dan 3.018%, serta mineral matter dengan total
jumlah volume rata-rata 11.027% yang
didominasi oleh mineral lempung (8.42%), pirit
(1.77%) dan oksida besi (0.827%). Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka mineral matter yang
terkandung di batubara merupakan syngenetic
mineral matter.
7. Interpertasi fasies dan lingkungan pengendapan
batubara Formasi Balikpapan di daerah studi,
berdasarkan distribusi komposisi maseral
dengan menggunakan 2 diagram parameter
(TPI dan GI) yang disampaikan oleh Diesel yang
telah dimodifikasi oleh Lamberson (1991) dan
diagram parameter (GWI dan VI) yang
disampaikan oleh Calder dan kawan-kawan
(1991).
8. Berdasarkan hasil plotting parameter Tissue
Preservation Index (TPI) dan Gelification Index
(GI) pada Diagram Lamberson (1991); menunjukan lingkungan pengendapan (lingkungan
telmatic), yaitu wet forest swamp, sedangkan
berdasarkan hasil plotting parameter Ground
Water Influence (GWI) dan Vegetation Index (VI)
pada diagram Calder dkk (1991); menunjukkan
lingkungan pengendapan swamp.
9. Hasil plotting parameter dari dua diagram yang
disampaikan oleh Lamberson dan Calder dapat
disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan
dari batubara di daerah studi ini termasuk ke
dalam lingkungan pengendapan hutan rawa
telmatik, daerah yang terdekomposisi kuat
dalam kondisi penurunan muka air yang relatif
lambat. Daerah ini merupakan daerah basah
pada iklim tropis hingga dingin yang didominasi
oleh tanaman berkayu.
10. Menurut Diesel, lingkungan pengendapan
batubara dari Formasi Balikpapan di daerah
studi ini dapat digolongkan dalam bagian
lingkungan pengendapan lower delta plain,
dimana batubara ini memiliki kandungan
inertinite yang rendah dengan nilai GI yang
tinggi. Kandungan huminit yang didominasi
oleh humodetrinite, sehingga mempunyai nilai
TPI rendah.

11. Hal ini menunjukan daerah ini pernah


mengalami pasang air laut yang mengendapkan
sedimen klastik halus menjadi pengotor dalam
batubara. Pengaruh air laut ini meningkatkan
kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk
dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut.
Endapan sedimen pada lower delta plain terdiri
dari batulanau, batulempung dan serpih yang
diselingi oleh batupasir halus. Batubara yang
terendapkan dalam lingkungan ini memiliki
penyebaran yang luas tetapi mempunyai
ketebalan yang relatif tipis (Horne & Ferm 1987).

Pustaka
Assosiation of Australia Standard, 1986. Coal
Maceral analysis, AS 2586-1986, Assosiation of
Australia Standards House.
Awaludin, Moehamad. 2001. Penentuan Fasies Dan
Lingkungan Pengendapan Batubara Di Daerah
Kabun,
Kec.SumpurKudus,
Kab.Sawahlunto/sijunjung.
Institut Teknologi
Bandung.
Calder, J.H., Gibling, M.R., and Mukhopadhyay,
P.K. 1991. Peat Formation in Westphalian B
Piedmont setting, Cumberland Basin Nova Scotia :
Implication for Maceral Based Interpretation of
Rheotrophic and Raised Pleomires., Bull Soc.
Geol., France.
Diessel, C. F. K., 1984. Coal Geology, Part 1 and 2,
Australian Mineral Foundation.
Daulay, Bukin. 2000. Short Course On Organic
Petrography. Southeast Asian Coal Geology
Conference, Bandung.
Eka Putri, Nurlia., 2008. Prosedur Preparasi Dan
Analisis Petrografi Batubara. Universitas
Padjdjaran, Jatinangor.
Hadiyanto, 1995, Rank and Petrography Composition
of The Indonesian Coal, Directorate of Mineral
Resources (unpublished).
Indonesian Coal Mining Association, 2008:
Indonesian Coal Book, 2007/2008
Lamberson, M.N., Bustin, R.M., and Kalkreuth,
W. 1991. Lithotype (Maceral) Composition and
Variation as Correlated with Paleo Wetland
Environments, Gates Formation, Northeastern British
Columbia, Canada , International Journal of Coal
Geology, No.18.
Madona, Mardanis, dan Oesman Zulkifli., 1988.
Prosedur Analisis Petrografi Batubara Dan
Pengamatan Beberapa Contoh Batubara Indonesia.
Direktorat Sumberdaya Mineral. Bandung.
Saghafi, A., and Hadiyanto, 2000: Methane storage
capacities of Indonesian Tertiary coals. In: Proc. SE
Asian Coal Geology Conference Bandung
Indonesia, pp. 121-124.
Sukardi and Sikumbang,1995: Laporan Geologi
Lembar Sangatta, Kalimantan, sekala 1:250,000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.
Stach ,E., Mackowsky, M.Th., Teichmuller, M.,
Taylor.G.H.,Chandra, D and Teichmuller,R.,
35

Studi Penentuan Fasies Lingkungan Pengendapan Batubara dalam Pemanfaatan Potensi Gas Metana Batubara
di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur berdasarkan Analisis Proximate dan Petrografi
Defri Wahyu Widiyanto, Denny S Djohor, Harry Pramudito dan Untung

1982, Stachs textbook of Coal Petrology, Gebruder


Borntraeger, Berlin, 3rd ed, 535 pp.
Tirasonjaya,
Fariz.,
2006.
Lingkungan
Pengendapan Batubara. Ilmu Batubara. Blog
Word-press.com.

36

Vico Indonesia-Sanga-sanga PSC., 1996. Kutai


Basin Study, vico Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai