Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Umum


Mahasiswa mampu memahami efek obat analgesik dalam mengatasi nyeri.

1.2 Tujuan Khusus


1. Mahasiswa mampu memahami farmakodinamik obat analgesik (onset,
durasi).
2. Mahasiswa mampu memahami perbedaan efek analgesik pada obat yang
berbeda.
3. Mahasiswa mampu memahami variasi biologis pada efek analgesik.

1.3 Dasar Teori


Nyeri menurut International Association for the Study of Pain adalah
pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan sehubungan
dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial. Nyeri tidaklah
selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai.
Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar
belakang cultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai
faktor kompleks nyeri dan bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya
dan tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi
yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan
resiko tinggi seperti orangtua, anak-anak dan pasien dengan gangguan
komunikasi.
Kata nosisepsi berasal dari kata noci dari bahasa Latin yang
artinya harm atau injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata
ini digunakan untuk menggambarkan respon neural hanya pada traumatik

atau stimulus noksius. Banyak pasien merasakan nyeri meskipun tidak ada
stimulus noksius. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun
sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi
stimulus noksius.
Analgesik atau obat-obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang
mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Penyebab sakit/ nyeri adalah adanya kerusakan jaringan dilepaskannya
mediator nyeri, antara lain prostaglandin, leukotrien, histamine, dan
bradikinin.
Mekanisame kerja obat analgesik adalah menghambat biosintasis
Prostaglandins (PGs) di tempat yang sakit/trauma jaringan.
Analgesik di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat
seperti opium atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan
atau menghilangkan rasa nyeri seperti pada fraktur dan kanker.
Macam-macam obat Analgesik Opioid:
Metadon.
Mekanisme kerja: kerja mirip morfin lengkap, sedatif lebih lemah.
Indikasi: Detoksifikas ketergantungan morfin, nyeri hebat pada

pasien rumah sakit.


Efek tak diinginkan: Depresi pernapasan, konstipasi, gangguan
SSP, hipotensi ortostatik, mual dan muntah pada dosis awal.

Fentanil.

Mekanisme kerja: lebih poten dari pada morfin. Depresi

pernapasan lebih kecil kemungkinannya.


Indikasi: Medikasi praoperasi yang digunakan dalam anastesi.
Efek tak diinginkan: Depresi pernapasan lebih kecil
kemungkinannya, rigiditas otot, bradikardi ringan.

Kodein
Mekanisme kerja: sebuah prodrug 10% dosis diubah menjadi
morfin. Kerjanya disebabkan oleh morfin. Juga merupakan antitusif

(menekan batuk)
Indikasi: Penghilang rasa nyeri minor
Efek tak diinginkan: Serupa dengan morfin, tetapi kurang hebat
pada dosis yang menghilangkan nyeri sedang. Pada dosis tinggi,
toksisitas seberat morfin.

2. Obat Analgesik Perifer/Analgesik Non-narkotik


Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering
dikenal dengan istilah Analgesik/Analgesika/Analgesik Perifer. Analgesika
perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan Obat Analgesik NonNarkotik

atau

Obat

Analgesik

Perifer

ini

cenderung

mampu

menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada


sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat
kesadaran. Obat Analgesik Non-Narkotik/Obat Analgesik Perifer ini juga
tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya
dengan penggunanaan Obat Analgesika jenis Analgesik Narkotik).
Efek samping obat-obat analgesik perifer: kerusakan lambung,
kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal, kerusakan kulit.
Macam-macam obat Analgesik Non-Narkotik:

Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan
banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang
tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin. Ibu hamil dan
menyusui tidak di anjurkan meminum obat ini.

Parasetamol/acetaminophen
Merupakan devirat para amino fenol. Di Indonesia penggunaan
parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik, telah menggantikan
penggunaan salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak
digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan nefropati analgesik.
Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar
tidak menolong. Dalam sediaannya sering dikombinasikan dengan cofein
yang berfungsi meningkatkan efektinitasnya tanpa perlu meningkatkan
dosisnya.

Asam Mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat
sangat kuat terikat pada protein plasma, sehingga interaksi dengan obat
antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cerna
sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa
lambung.

BAB II
ALAT DAN BAHAN

2.1 Probandus
Mahasiswa
2.2 Alat
1. Sphygmomanometer
2. Stopwatch atau menonton memiliki skala kedua
3. Gelas Beaker
2.2 Bahan
1.
2.
3.
4.

Metampiron, metamizol, atau dipiron


Parasetamol
Glukosa
Air es

BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN

Setiap kelompok siswa bekerja dengan 2 probandus. Probandus A


untuk percobaan menggunakan air es dan probandus B menggunakan
sphygmomanometer.
Sebelum memulai percobaan, masing-masing probandus mengisi
lembar inform consent yang menyatakan bahwa setuju menjadi probandus
dalam percobaan ini.
1. Probandus A memasukkan tangan kirinya kedalam gelas Beaker yang
berisi air es hingga setinggi pergelangan tangan. Anggota lainnya
menghitung waktu menggunakan stopwatch dimulai dari saat
probandus A memasukkan tangannya kedalam air es dan menghentikan
penghitungan waktu saat ia merasakan sakit/nyeri yang konstan.
Kemudian mencatat waktu dan keluhan subyektif probandus A.
2. Memasangkan manset sphygmomanometer pada probandus

kemudian memompanya hingga mencapai angka 180 mmHg dan tahan


pada

angka

tersebut.

Anggota

lainnya

menghitung

waktu

menggunakan stopwatch dimulai dari saat tekanan mencapai angka


180 mmHg dan menghentikan penghitungan waktu saat ia merasakan
nyeri konstan di lengannya. Kemudian mencatat waktu dan keluhan
subyektif probandus B.
3. Setelah melakukan percobaan, probandus A dan probandus B
meminum obat tanpa mengetahui apa jenis obat yang mereka ambil.
Kemudian anggota lainnya kembali memasang waktu 30 menit dimulai
dari saat probandus A dan B meminum obat.
4. 30 menit kemudian melakukan prosedur 1 dan 2 kepada masingmasing probandus.
5. Mengulangi pemeriksaan kembali pada menit ke-50.
Kemudian membandingkan hasil pemeriksaan sebelum dan setelah
meminum obat antara probandus A dan B, dari hasil percobaan masingmasing kelompok yang memiliki obat yang berbeda.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Keluhan Subyektif

Kelompok

Probandus

Sebelum minum obat

Setelah minum obat


Menit 30
Menit 50

Kelompok
Menit 30

Menit 50

Setelah minum obat

25 detik

35,68 detik

(Sodium diklofenak)J

Menit 50

detik 1 menit 30
detik 2 menit 37
detik 3 menit 14

detik 5 menit 50
5 menit detik 6 menit 30

detik 1 menit 45detik 2 menitdetik


5 2 menit 54
23,44 detik

11 detik

Menit 30

Setelah minum obat

detik 1 menit 14
detik 1 menit 13
detik 1 menit 44
34 detik detik 1 menit 23

detik 3 menit 36
(Piroxicam)I detik 1 menit 23

(Ibuprofen)H

(Natrium diklofenak)G 42,13 detik

(Antalgin)F

(Meloxicam)E

(Ketoprofen)D

Sebelum
minum obat

Perlakuan Sphygmomanometer

detik 1 menit 20
detik 2 menit 43
detik 2 menit 16

detik 1 menit 45detik 1 menit 7


detik 3 menit 43

Sebelum
minum obat

3 2 menit 50
(Asam mefenamat)C
47detik 1 menitdetik 2 menitdetik

(Parasetamol)B

(Vitamin)A

Obat

Perlakuan Es

A
B

Nyeri ++, tangan sulit

Nyeri +++, tangan

Nyeri +++, tangan

digerakkan, kebiruan

kram, kebiruan
Nyeri ++,

kram dan kebiruan


Nyeri +++,

kesemutan dan

kesemutan dan

kaku berkurang

kaku
Nyeri ++

Nyeri +++,
kesemutan, kaku

Nyeri +++, tangan


kaku dan kebiruan

Nyeri ++
(berkurang), kaku
dan kebiruan

(berkurang), tangan
tetap kaku dan

Nyeri +++

kebiruan
Nyeri +++ (tetap

Nyeri ++, kesemutan

(bertambah),

bertambah),

dan kaku

kesemutan dan

kesemutan dan

kaku

kaku
Nyeri ++

Nyeri +++, tangan


kaku dan kebiruan

Nyeri +++
(berkurang), tangan
kaku dan kebiruan

(berkurang), tangan
tetap kaku dan

Nyeri ++

kebiruan
Nyeri ++

Nyeri +++, kesemutan

(berkurang),

(berkurang), tetap

dan kaku

kesemutan dan

kesemutan dan

kaku

kaku
Nyeri +++

Nyeri ++, kebiruan,

Nyeri +++,

kaku, dingin sampai

kebiruan, kaku,

ke tulang

sakit kepala

(bertambah), dingin
sampai ke tulang,

Nyeri ++

kram, sakit kepala


Nyeri +++ (naik

Nyeri +++, kesemutan

(berkurang),

kembali),

dan kaku

kesemutan dan

kesemutan dan

Nyeri ++, kaku, kram,

kaku
Nyeri +, lengan

kaku
Nyeri +++, sangat

sulit digerakkan
Nyeri +++,

sakit
Nyeri ++,

nyeri
Nyeri +, kesemutan

kesemutan, kram

kesemutan, kaku

dan kaku berkurang

BAB V
PEMBAHASAN

Kelompok 1
Perlakuan Es:

10

Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 3


menit 23 detik. Setelah meminum obat A (vitamin), pada menit ke-30
catatan waktu adalah 1 menit 45 detik dan pada menit ke-50 adalah 1
menit 7 detik. Dari data tersebut, terlihat bahwa vitamin tidak memiliki
efek analgesik karena vitamin memang bukanlah golongan obat analgesik
melainkan suatu senyawa organik yang diperlukan tubuh dalam jumlah
kecil untuk mempertahankan kesehatan dan seringkali bekerja sebagai
kofaktor untuk enzim metabolisme.
Perlakuan Sphygmanometer:
Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 1
menit 20 detik. Setelah meminum obat B (parasetamol), pada menit ke-30
catatan waktu adalah 2 menit 43 detik dan pada menit ke-50 adalah 2
menit 16 detik. Dari data tersebut, terlihat bahwa terdapat peningkatan
waktu yang signifikan pada menit ke-30 kemudian terjadi penurunan
waktu yang tidak signifikan pada menit ke-50. Ini dikarenakan
parasetamol merupakan obat golongan analgesik perifer/non-narkotik
sehingga rasa nyeri yang dirasakan setelah minum obat berkurang. Hal ini
menandakan bahwa terjadi peningkatan ambang nyeri pada probandus.
Pemberian dosis parasetamol sendiri harus dihitung dengan perhitungan
berat badan yaitu 10 mg/kg/8 jam. Terjadinya penurunan efek analgesik
pada menit ke-50 dapat dikarenakan pemberian dosis yang kurang tepat
sehingga efek analgesiknya cepat hilang.
Kelompok 2
Perlakuan Es:
Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 1
menit 47 detik. Setelah meminum obat C (asam mefenamat), pada menit
ke-30 catatan waktu adalah 2 menit 3 detik dan pada menit ke-50 adalah 2
menit 50 detik. Dari data tersebut, terlihat bahwa terdapat peningkatan
waktu pada menit ke-30 dan 50. Ini dikarenakan asam mefenamat

11

merupakan obat golongan Non-Steroidal Anti Inflammation Drug


(NSAID). Seperti yang diketahui, golongan NSAID memiliki efek
analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi sehingga rasa nyeri yang
dirasakan setelah minum obat berkurang.
Perlakuan Sphygmomanometer:
Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 1
menit 44 detik. Setelah meminum obat D (ketoprofen), pada menit ke-30
catatan waktu adalah 1 menit 14 detik dan pada menit ke-50 adalah 1
menit 13 detik. Dari data tersebut, terlihat bahwa terjadi penurunan waktu
pada menit ke-30 dan 50. Hal ini bertentangan dengan efek analgesik yang
dimiliki ketoprofen. Ketoprofen merupakan obat golongan Non-Steroidal
Anti Inflammation Drug (NSAID) yang memiliki efek analgesik,
antipiretik, dan anti inflamasi. Faktor yang diduga mempengaruhi adalah
faktor probandus yang too aware terhadap percobaan sphygmomanometer.

Kelompok 3
Perlakuan Es:
Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 25
detik. Setelah meminum obat E (meloxicam), pada menit ke-30 catatan
waktu adalah 34 detik dan pada menit ke-50 adalah 1 menit 23 detik. Dari
data tersebut, terlihat bahwa terdapat peningkatan waktu pada menit ke-30
dan 50. Ini dikarenakan meloxicam merupakan obat golongan NonSteroidal Anti Inflammation Drug (NSAID). Seperti yang diketahui,
golongan NSAID memiliki efek analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi
sehingga rasa nyeri dan kekakuan yang dirasakan setelah minum obat
berkurang.
Perlakuan Sphygmomanometer:

12

Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 1


menit 45 detik. Setelah meminum obat F (antalgin), pada menit ke-30
catatan waktu adalah 2 menit 5 detik dan pada menit ke-50 adalah 2 menit
54 detik. Dari data tersebut, terlihat bahwa terdapat peningkatan waktu
pada menit ke-30 dan 50. Ini dikarenakan antalgin (disebut juga dipiron
atau metamizol) merupakan obat golongan analgesik perifer/non-narkotik
dan memiliki efek anti inflamasi yang minimal.

Kelompok 4
Perlakuan Es:
Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 42,13
detik. Setelah meminum obat G (natrium diklofenak), pada menit ke-30
catatan waktu adalah 35,68 detik dan pada menit ke-50 adalah 23,44 detik.
Dari data tersebut, terlihat bahwa terjadi penurunan waktu pada menit ke30 dan 50. Hal ini bertentangan dengan efek analgesik yang dimiliki
natrium diklofenak. Natrium diklofenak merupakan obat golongan NonSteroidal Anti Inflammation Drug (NSAID) yang memiliki efek analgesik,
antipiretik, dan anti inflamasi. Faktor yang diduga mempengaruhi adalah
faktor suhu air es serta faktor probandus yang sejak awal percobaan terlalu
cemas dan beranggapan bahwa obat yang diminum merupakan obat
plasebo.

Perlakuan Sphygmomanometer:
Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 5
menit. Setelah meminum obat H (ibuprofen), pada menit ke-30 catatan
waktu adalah 6 menit 30 detik dan pada menit ke-50 adalah 5 menit 50
detik. Dari data tersebut, terlihat bahwa terdapat peningkatan waktu pada
menit ke-30 dan 50. Ini dikarenakan ibuprofen merupakan obat golongan

13

Non-Steroidal Anti Inflammation Drug (NSAID). Seperti yang diketahui,


golongan NSAID memiliki efek analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi
sehingga rasa nyeri dan kekakuan yang dirasakan setelah minum obat
berkurang.

Kelompok 5
Perlakuan Es:
Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 1
menit 23 detik. Setelah meminum obat I (piroxicam), pada menit ke-30
catatan waktu adalah 3 menit 36 detik dan pada menit ke-50 adalah 11
detik. Dari data tersebut, terlihat bahwa terdapat peningkatan waktu yang
signifikan pada menit ke-30 kemudian terjadi penurunan waktu yang
signifikan pula pada menit ke-50. Ini dikarenakan piroxicam merupakan
obat golongan Non-Steroidal Anti Inflammation Drug (NSAID). Seperti
yang diketahui, golongan NSAID memiliki efek analgesik, antipiretik, dan
anti inflamasi sehingga rasa nyeri dan kekakuan yang dirasakan setelah
minum obat berkurang. Terjadinya penurunan efek analgesik pada menit
ke-50 dapat dikarenakan faktor suhu air es dan pemberian dosis yang
kurang tepat sehingga efek analgesiknya cepat hilang

Perlakuan Sphygmomanometer:
Sebelum meminum obat, probandus memiliki catatan waktu 1
menit 30 detik. Setelah meminum obat J (sodium diklofenak), pada menit
ke-30 catatan waktu adalah 2 menit 37 detik dan pada menit ke-50 adalah
11 detik. Dari data tersebut, terlihat bahwa terdapat peningkatan waktu

14

pada menit ke-30 dan 50. Ini dikarenakan sodium diklofenak merupakan
obat golongan Non-Steroidal Anti Inflammation Drug (NSAID). Seperti
yang diketahui, golongan NSAID memiliki efek analgesik, antipiretik, dan
anti inflamasi sehingga rasa nyeri dan kekakuan yang dirasakan setelah
minum obat berkurang.

BAB VI
KESIMPULAN

15

Obat golongan analgesik terbukti memiliki efek yang dapat


meredakan rasa nyeri. Selain obat golongan analgesik, Non Steroidal Anti
Inflammatory Drug (NSAID) juga memiliki efek analgesik. Selain efek
analgesik, NSAID juga memiliki efek antipiretik untuk penurun panas saat
demam dan anti inflamasi atau anti radang. Tidak semua obat golongan
analgesik memiliki efek anti inflamasi. Namun ada beberapa obat
analgesik yang memiliki efek anti inflamasi, baik rendah maupun tinggi.
Pada percobaan, beberapa obat analgesik yang memiliki efek anti
inflamasi yang rendah antara lain adalah parasetamol dan antalgin.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa ada beberapa percobaan yang
memiliki hasil yang menyimpang dari dasar teori. Ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi hal tersebut, antara lain:
1. Faktor Suhu
Pada saat percobaan menggunakan air es, suhunya tidak terlalu
tinggi karena esnya sudah mencair. Namun di tengah-tengah percobaan
praktikan menambahkan beberapa es yang menyebabkan suhunya berbeda
dari suhu awal.
2. Faktor Probandus
Pada awal percobaan, probandus belum terlalu mengerti bagaimana
rasa nyeri yang akan dirasakan sehingga belum terlalu cemas. Setelah
percobaan pertama, probandus akan merasa lebih cemas karena akan
mengalami nyeri serupa. Selain itu, ada pula probandus yang beranggapan
bahwa obat yang diminum merupakan obat plasebo sehingga sudah ada
sugesti dari probandus bahwa tidak akan ada efek setelah meminum obat.
3. Faktor Praktikan
Diduga terdapat kesalahan penghitungan waktu dan pemberian
obat oleh praktikan.

16

4. Faktor Dosis
Probandus hanya diperkenankan meminum 1 tablet obat yang
disediakan sehingga ada kemungkinan dosis yang diminum kurang dapat
berefek terhadap probandus.

DAFTAR PUSTAKA

17

Evers AS, Cowder CM. General Anesthetics. In: Hardman JG, Limbird
LE, eds. Goodman & Gilmans the Pharmalogical Basis of Therapeutics. 10th
Edition. New York: McGraw Hill; 2001.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,. Farmakologi Dan Terapi (Edisi 5), Penerbit: Balai Penerbit FKUI;
2009.
Hamor, G.H., 1989. Nonsteroidal antiinflamatory drugs. In : Foye, W.O.
(Ed.), Principles of Medicinal Chemistry. Lea & Febiger, London,

18

Anda mungkin juga menyukai