PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Residu antibiotik atau bahan kimia adalah akumulasi antibiotik atau bahan kimia
dan atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah pemakaian antibiotik
atau bahan kimia untuk tujuan pencegahan atau pengobatan atau sebagai imbuhan pakan
untuk pemacu pertumbuhan. Produk pangan asal hewan saat ini dikhawatirkan
mengandung residu antibiotik. Hal ini dikarenakan adanya penggunaan antibiotik di
peternakan untuk meningkatkan kemampuan produksi. Penggunaan antibiotik tanpa
kontrol yang baik sangat memungkinkan menyebabkan adanya residu pada produk
pangan asal hewan. Produk peternakan yang paling penting dikhawatirkan adanya residu
adalah produk daging dan susu. Keberadaan residu pada daging dan susu akan
menyebabkan penurunan kualitas dan keterbatasan pengolahan produk lebih lanjut.
1.2 tujuan dan Manfaat
- Tujuan dari pengujian ini adalah mengetahui keberadaan residu antibiotik pada daging
dan susu,dan meningkatkan kemampuan kandidat dokter hewan dalam menguji
-
2. TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotik berdasarkan daya kerja dapat digolongkan menjadi dua sifat yakni
spektrum luas dan spektrum sempit. Antibiotik dengan spektrum luas memiliki kemampuan
dalam melawan sejumlah besar patogen dan antibiotik spektrum sempit memiliki daya kerja
spesifik atau sempit. Residu antibiotik adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang
terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari
antibiotik tersebut, sehingga residu dalam bahan makanan (terutama jaringan ternak untuk
konsumsi) meliputi senyawa asal yang tidak berubah (non-altered parent drug), metabolit
dan/atau konjugat lainnya. Beberapa (Haagsma 1988). Antibiotik yang diberikan pada hewan
ternak akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan berinteraksi dengan reseptor di dalam tubuh.
Interaksi tersebut dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) aksi antibiotik terhadap tubuh
yang diwujudkan dalam bentuk efek obat, (2) reaksi tubuh terhadap antibiotik atau cara
tubuh menangani senyawa eksogen.
Keberadaan residu antibiotik pada produk pangan asal hewan dapat memberikan
dampak buruk terhadap konsumen. Keberadaan residu ini dapat ditemukan dalam jaringan
atau organ hewan termasuk produk lainnya seperti susu dan telur. Keberadaan residu ini akan
terakumulasi ditubuh konsumen dan akan menyebakan respon alergi maupun peningkatan
kepekaan terhadap antibiotik. Dikarenakan adanya ancaman bahaya tersebut, Badan
Standarisasi Nasioal pada tahun 2001 telah mengeluarkan standar nilai Batas Maksimum
Residu (BMR) untuk tiap antibiotik.
Keberadan residu antibiotik pada produk daging dan susu dapat dilakukan uji biologis
maupun kimiawi. Selain itu untuk pengujian spesifik antibiotik pada daging dan susu dapat
dilakukan dengan metode High Pressure Liquit Cromatography(HPLC) (Gaugain dan Anger,
1999). Prinsip analisis residu antibiotik sendiri memerlukan tiga tahapan, yaitu: tahap
ekstraksi, tahap pemurnian, dan tahap deteksi (Dey et al., 2015)
Tetrasiklin
Tetrasiklin Derivat antibiotik ini berasal dari Streptomyces sp. Tetrasiklin merupakan
antibiotik berspektrum luas dengan aktivitas yang tinggi dalam melawan bakteri Gram
positif dan negatif dengan cara menghambat sintesis protein pada bakteri. Dalam bidang
peternakan antibiotik ini digunakan untuk pengobatan penyakit pernafasan dan jika
dosisnya rendah dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan. Golongan tetrasiklin
Asal Sampel
Penambahan
Diameter cakram
Hasil
1.
2.
Lamnyong
Lamnyong
antibiotik
+
-
(mm)
36
-
Positif
negatif
Asal Sampel
1.
2.
Peunayong
Peunayong
Penambahan
Diameter cakram
antibiotik
+
-
(mm)
36
-
Hasil
Positif
negatif
Hasil pengujian residu antibiotik pada susu segar dan daging sapi menunjukkan
bahwa tidak adanya residu antibiotik tetrasiklin. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya
zona hambatan pertumbuhan bakteri E.coli pada media nutrient agar. Sedangkan pada susu
dan daging yang telah ditambahkan antibiotik tetrasiklin membentuk zona terang/zona
hambat disekitar cakram pada nutrien agar. Sehingga dapat diketahui bahwa susu dan daging
yang telah ditambahkan antibiotik bisa digunakan sebagai kontrol positif.
Tidak ditemukannya keberadaan residu antibiotik tetrasiklin pada susu
dan daging sapi, kemungkinan karena pemahaman peternak dalam penggunaan
antibiotik sesuai dengan masa henti obat (withdrawal time) dan dosis yang tepat
(Donkor et al. 2011). Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati
(1997), waktu henti tetrasiklin yang diaplikasikan secara injeksi pada sapi yang
diaplikasikan secara per oral adalah 30 hari. Tetrasiklin dalam bidang peternakan
digunakan untuk pengobatan penyakit pernafasan dan jika dosisnya rendah
dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (Reig & Toldra 2009). Batas
maksimum residu antibiotik golongan tetrasiklin pada daging adalah 0.1 ppm
sesuai petunjuk teknis SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran dan
Residu Antibiotik.
5. KESIMPULAN
Sampel susu segar dan daging sapi yang diuji tidak mengandung residu antibiotik. Sedangkan
Sampel susu dan daging yang ditambahkan antibiotik menunjukkan hasil positif pada
pengujian.
DAFTAR PUSTAKA
Soeparno. (1992). Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University. Yogyakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. (1998). SNI 01-3141-1998. Standarisasi Susu. Jakarta.