Anda di halaman 1dari 11

IMUNITAS ADAPTIF DAN PENYAKIT DEFISIENSI IMUN

PENDAHULUAN
Imunitas diartikan sebagai pertahanan atau resistensi terhadap suatu penyakit. Imun
sistem merupakan suatu sistem yang menjalankan pertahanan terhadap infeksi penyakit, dan
dilakukan oleh sekelompok sel, molekul, dan jaringan tertentu. Respon imun adalah reaksi yang
terkoordinasi dari sel dan molekul terhadap serangan penyakit.
Pada tahun 1981, pria homoseksual di Amerika banyak yang meninggal dengan penyebab
yang misterius dan umumnya memiliki gejala seperti pneunomia. Korban terus bertambah dan
meluas di berbagai belahan dunia dengan gejala yang sama. Setelah dilakukan penelitian dalam
waktu yang lama, penyebab dari kematian tersebut adalah virus yang menyebabkan terjadinya
defisiensi imun atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus tersebut dinamakan
HIV (Human Immuno-deficiency Virus).
ABSTRAK
Adaptive immunity atau imunitas adaptif adalah kemampuan pertahanan tubuh inang terhadap
penyakit yang disebabkan oleh serangan antigen yang menyerang jaringan tubuh. Imunitas
adaptif akan beradaptasi dengan keberadaan antigen. Respon imun adaptif terdiri dari respon
imun humoral, yaitu respon imun yang terjadi di luar sel inang, dan respon imun selular, yaitu
respon imun yang terjadi di dalam sel inang. Sistem imun adaptif bersifat spesifik, memiliki
keberagaman dan memori untuk antigen yang pernah menyerang. Sel yang berperan dalam
sistem imun ini adalah sel limfosit B dan sel limfosit T. AIDS adalah salah satu penyakit yang
disebabkan oleh defisiensi imun yang disebabkan oleh virus HIV.
Adaptive immunity is a defense mechanism of host to protect the tissues from antigens that cause
diseases. The immune system will adapt to the presence of antigens. Adaptive immunity consists
of two types of responses, there are humoral response which happens outside the host cells, and
cellular response which happens inside the host cells. The characteristics of the immune system
are specific, diverse, and have the ability memorize the structure of antigens. Cells of adaptive

immunity are B lymphocytes and T lymphocytes. AIDS, which cause by HIV virus, is one of
many diseases that caused by immune deficiency.
Keywords: Adaptive immunity, B lymphocytes, T lymphocytes, AIDS, HIV, Immune deficiency.
PEMBAHASAN
Pengertian
Adaptive immunity atau imunitas adaptif adalah kemampuan pertahanan tubuh inang terhadap
penyakit yang disebabkan oleh serangan antigen yang menyerang jaringan tubuh. Sesuai dengan
namanya, imunitas adaptif akan beradaptasi dengan keberadaan antigen, yaitu mikroorganisme,
butir sari bunga, obat-obatan, polutan, ataupun substansi yang dihasilkan oleh mikroorganisme
dalam penyerangannya terhadap tubuh inang. Respon imun adaptif memiliki sel khusus
(spesifik) dalam menghadapi serangan tersebut dengan cara menyesuaikan dirinya terhadap
antigen yang bersentuhan langsung dengan sistem imun. Respon imun adaptif muncul ketika
respon imun alami mengalami kegagalan dalam upaya melenyapkan antigen.
Tipe Respon Imunitas Adaptif
Terdapat dua jenis respon imunitas adaptif, yaitu respon imun humoral dan respon imun selular.
Kedua respon tersebut dilakukan oleh jenis sel dan molekul yang berbeda-beda yang dibuat
khusus untuk melawan serangan antigen di dalam sel ataupun di luar sel.
A. Respon imun humoral
Respon imun humoral merupakan respon yang dilakukan oleh sel limfosit B dengan
protein yang dihasilkannya yaitu antibodi. Antibodi disekresikan oleh sel limfosit B (sel
plasma) ke dalam sistem peredaran darah atau cairan mukosa, kemudian antibodi akan
mengeleminasi antigen yang berada di luar sel inang. Dalam hal ini, antibodi mencegah
agar antigen tidak menyerang sel-sel inang. Umumnya, antigen yang dapat dikenali oleh
antibodi adalah antigen jenis protein, karbohidrat, dan lemak.
B. Respon imun selular
Respon imun selular merupakan respon yang dilakukan oleh sel limfosit T dalam rangka
mengeleminasi antigen di dalam sel inang. Terdapat dua jenis sel limfosit T yang terlibat,
yaitu sel limfosit T penolong (helper T lymphocytes/ Th) dan sel limfosit T sitotoksik
(cytotoxic T lymphocytes/Tc). Kedua jenis sel limfosit T tersebut memiliki cara yang
berbeda untuk mengeleminasi antigen. Th akan mengaktifasi sel fagosit yang telah

memakan antigen untuk membunuh antigen tersebut, sementara Tc akan membunuh sel
inang yang telah terinfeksi oleh antigen. Kedua sel limfosit T mengawali prosesnya
dengan mengenali antigen yang telah disajikan oleh sel fagosit atau sel yang telah
terinfeksi. Pada umumnya, antigen yang dapat dikenali oleh sel limfosit T adalah antigen
jenis protein.
Sifat-sifat Imunitas Adaptif
1. Spesifisitas dan Keberagaman
Sistem imun adaptif memiliki kemampuan untuk mengenali dan membedakan setiap
antigen yang masuk ke dalam tubuh manusia. Dari kemampuan ini, dapat diketahui
bahwa terdapat keberagaman limfosit yang dimiliki oleh sistem pertahanan tubuh
manusia. . Populasi limfosit terdiri dari klon limfosit yang jumlahnya 1010-1012 yang
berbeda-beda (berasal dari satu sel limfosit). Setiap klon memiliki reseptor untuk suatu
antigen dan reseptor tersebut berbeda dari reseptor klon lainnya. Berdasarkan teori seleksi
klon (clonal selection theory) yang dikemukakan oleh Sir Macfarlane Burnet pada tahun
1959, mengatakan bahwa: apabila tubuh terpapar oleh konfigurasi asing (antigen),
konfigurasi asing akan memilih klon-klon limfosit yang memilliki reseptor yang cocok
dengan struktur epitop antigen tersebut.
2. Memori
Kemampuan sistem imun adaptif akan meningkat apabila sistem imun terpapar antigen
yang sama secara berulang. Paparan pertama akan menimbulkan respon imun primer, dimana
limfosit yang berperan dinamakan limfosit naif, karena limfosit tersebut baru pertama kali
berhadapan dengan suatu antigen yang belum dikenalinya. Kemudian, respon imun sekunder
terjadi apabila antigen yang sama menyerang kembali dan limfosit yang telah mengenali
antigen tersebut akan teraktivasi sehingga menimbulkan respon imun yang lebih cepat dan
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengeleminasi antigen. Sel limfosit yang
terlibat dalam proses pengingatan struktur antigen dimanakan sel memori dari limfosit B dan
limfosit T yang telah berdiferensiasi. Sel memory akan merekam struktur antigen yang
menyebabkan respon imun primer. Respon imun sekunder terjadi apabila tubuh terpapar oleh
antigen yang sama untuk kedua kalinya sesudah beberapa minggu, beberapa bulan, hingga
beberapa tahun setelah respon imun primer terjadi.
3

Sel-sel pada Sistem Imun Adaptif


Sistem imun adaptif memiliki tiga jenis sel, yaitu sel limfosit, sel pelengkap, dan sel
efektor. Ketiga jenis sel tersebut memiliki peran yang berbeda namun saling bekerjasama dalam
mengeleminasi antigen.
1. Limfosit
Sel limfosit terdiri dari dua jenis sel, yaitu sel limfosit B dan sel limfosit T. Secara morfologi,
kedua jenis sel tersebut sulit dibedakan. Kedua sel tersebut memiliki kemampuan untuk
mengenali benda asing, merespon, dan membedakannya dari sel jaringan sendiri (host cells).
Limfosit merupakan salah satu komponen darah, yang dibentuk di sumsum tulang. Kemudian
limfosit akan menjalani proses pematangan di organ limfoid primer, yaitu di sumsum tulang
dan kelenjar timus. Limfosit yang mengalami proses pematangan di sumsum tulang
dinamakan limfosit B, dan yang mengalami pematangan di kelenjar timus disebut limfosit T.
Kedua jenis limfosit tersebut masih tergolong sebagai limfosit naif karena belum mengalami
kontak dengan antigen.
Limfosit B
Pematangan Sel B
Sel limfosit B merupakan limfosit yang mengalami pematangan di sumsum tulang (bone
marrow) pada manusia, sementara pada unggas, pematangan terjadi di dalam bursa fabricus.
Sel B dan sel T berasal dari sel prekursor limfoid yang sama, namun hanya tempat
pematangannya yang berbeda sehingga menghasilkan jenis limfosit yang berbeda. Sel
prekursor limfoid berdiferensiasi menjadi sel progenitor B. Proliferasi dan diferensiasi yang
dialami oleh sel progenitor B untuk menjadi sel prekursor B memerlukan lingkungan khusus,
yaitu lingkungan dari stroma sel sumsum tulang. Dalam sitoplasma sel prekursor B terdapat
IgM. Kemudian pada tahap selanjutnya, IgM akan bergerak menuju membran sel menjadi
reseptor permukaan sel B muda. Dalam perkembangan selanjutnya, IgD dibentuk di dalam
sitoplasma, kemudian IgD juga akan berpindah ke membran sel menjadi reseptor. Sel B yang
memiliki reseptor IgM dan IgD dianggap sebagai sel B yang matang. Produk akhir dari hasil
pematangan progenitor sel B, yaitu sel B imatur memiliki keberagaman dan spesifisitas pada

antigen tertentu. Hal tersebut disebabkan modifikasi gen yang terjadi selama proses
pematangan.
Aktivasi Sel B
1. Aktivasi sel B yang T dependen
IgM yang dimiliki oleh sel B dapat mengikat antigen. Setelah IgM mengikat antigen, sel B
akan 'memakan' antigen tersebut dan memprosesnya, kemudian epitop dari antigen tersebut
akan dipresentasikan kepada sel T dengan menggunakan MHC II. Sel T memiliki sitokin IL4, IL-5, IL-6, IL-2 dan IFN- untuk meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel B.
Rangsangan antigen pertama akan membuat sel B memproduksi IgM, dan rangsangan
selanjutnya dengan antigen yang sama akan mengalihkan kelas Ig yang diproduksi ke IgG,
IgA, atau IgE. Untuk mengaktivasi sel B, dibutuhkan bantuan sel Th. Tanpa adanya bantuan
dari sel Th dan sitokin, interaksi antara antigen dan IgM pada sel B tidak akan menginduksi
proliferasi dan diferensiasi. Sel B yang teraktivasi memiliki reseptor membran untuk
berbagai sitokin seperti IL-2. IL-4, dan IL-5. Sitokin tersebut akan memacu proliferasi dan
diferensiasi. Sel B yang telah teraktivasi akan menjadi matang membentuk sel plasma yang
dapat menghasilkan antibodi dan sel memori yang dapat memberikan respon imun dengan
lebih efektif pada antigen yang sama.
2. Aktivasi Sel B yang T independen
Sel B juga dapat teraktivasi tanpa bantuan dari sel T. Biasanya hal ini terjadi karena antigen
yang berikatan dengan reseptor imunoglobulin sel B berukuran panjang dan berulang
sehingga memungkinkan terjadinya ikatan silang dengan reseptor.
Limfosit T
Pematangan Sel T
Progenitor sel limfoid asal sumsum tulang akan bermigrasi ke timus dan berdiferensiasi
menjadi sel T. Di dalam timus, sel T akan memperoleh reseptor. Satu sel limfosit T memiliki
reseptor untuk satu antigen sehingga sel tersebut hanya mengenal satu antigen saja. Sel T
akan menjadi matang apabila reseptor tidak berikatan dengan peptida sel tubuh sendiri (self
antigen) yang dipresentasikan oleh APC. Sel T yang merespon terhadap self antigen akan
mengalami apoptosis atau kematian sel.
5

Fungsi Sel T
Sel T berperan pada inflamasi, aktivasi makrofag untuk melaksanakan fagositosis, aktivasi
sel B dan proliferasi dalam menghasilkan antibodi. Sel T yang berperan dalam kegiatan
tersebut dinamakan sel T penolong atau helper T cells (Th). Selain itu sel T juga berperan
dalam penghancuran sel yang terinfeksi virus atau sel kanker. Sel T yang berperan dalam
kegiatan tersebut dinamakan sel T sitotoksik atau cytotoxic T lymphocyte (CTL/Tc).
Jenis-jenis Sel T
1.

Sel T CD4+

Sel CD4+ atau yang disebut juga sel Th merupakan sel yang berperan dalam induksi respon
imun terhadap antigen asing. Sel CD4+ akan merespon antigen yang telah dipresentasikan
dengan MHC II oleh sel makrofag. Kemudian sel CD4+ akan teraktivasi, mengekspresikan
reseptor untuk interleukin yang berperan dalam perangsangan sel CD4+ untuk berproliferasi
dan diferensiasi. Sel CD4+ yang telah mengalami proliferasi dan diferensiasi akan
berkembang menjadi sel efektor (TFH, Th1, Th2, Th9, Th17 dan Th22) dan sel memori.
2. Sel T CD8+
Sel T CD8+ disebut juga sebagai Tc atau T cytotoxic. Tc berperan dalam pemusnahan sel
yang terinfeksi virus atau bakteri intraselular, sel yang mengalami keganasan (sel kanker),
dan sel yang mengalami penolakan pada transplantasi. Dalam perannya, sel Tc menggunakan
perforin atau granzim untuk menimbulkan sitolisis pada sel, FasL/Fas untuk apoptosis, serta
TNF- serta memacu produksi sitokin Th1 dan Th2. Sel Tc mengenal kompleks antigen
MHC-I yang ditemukan pada seluruh sel tubuh yang bernukleus.

Penyakit Defisiensi Imun


Acquired Immune Deficiency Syndrome
6

Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS merupakan penyakit defisiensi


imun yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immuno-deficiency Virus). Pada umumnya
AIDS disebabkan oleh virus HIV-1, namun pada beberapa kasus, AIDS di Afrika disebabkan
oleh HIV-2. Perbedaan dari kedua virus itu adalah HIV-1 umumnya ditemukan di benua
Amerika dan seluruh belahan dunia, sementara HIV-2 ditemukan di wilayah Afrika Barat dan
Asia Selatan. Namun HIV-1 merupakan virus yang paling dikaitkan dengan HIV pada
umumnya.
HIV bisa tertular melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik yang berulang
pada penyalahgunaan narkoba, transmisi dari ibu ke bayi melalui plasenta, saat melahirkan,
atau saat pemberian asi, dan pemberian produk darah atau transfusi darah.
Virus HIV menyerang sel yang memiliki molekul CD4+ pada membrannya. Sel yang
memiliki molekul CD4+ adalah sel T helper, sel makrofag, dan sel dendrit. Molekul CD4+
berfungsi sebagai alat komunikasi antar sel. HIV akan menempel pada molekul CD4+ via
protein GP120 yang ada di membran envelop HIV. GP120 juga digunakan untuk menempel
pada co-receptor. Dengan menempel pada CD4+ dan co-receptor, HIV bisa masuk ke dalam
sel. co-receptor yang umum digunakan adalah CXCR4 (ditemukan di sel T) atau CCR5
(ditemukan di sel T, makrofag, monosit, sel dendritik). Pada manusia yang mengalami mutasi
homozigot pada co receptor CCR5, menyebabkan sel T menjadi resistan terhadap
penempelan HIV. Sedangkan mutasi heterozigot menyebabkan rendahnya jumlah co-receptor
CCR5 sehingga melambatkan proses penyebaran virus.
Ketika HIV sudah masuk ke dalam sel T, HIV akan menginjeksikan RNA
retrovirusnya ke dalam sel. Retrovirus adalah jenis virus yang memiliki enzim reverse
transcriptase, yang berfungsi sebagai pengubah RNA virus menjadi DNA proviral. DNA
proviral adalah DNA yang siap untuk diintegrasikan dengan DNA sel inang. DNA proviral
akan bergabung dengan DNA sel T sehingga mempengaruhi sintesis protein pada sel T yang
terinfeksi. Ketika respon imun dibutuhkan, sel T akan teraktivasi dan menyintesis protein
untuk kebutuhan respon imun. Namun karena DNA sel sudah terkontaminasi dengan DNA
virus, sel T akan memproduksi protein untuk pembentukan virus baru yang akan menginfeksi
sel T lainnya.

Ketika HIV masuk ke dalam tubuh, misalnya lewat hubungan seksual, HIV akan
menginfeksi yang memiliki molekul CD4+ pada membrannya, misalnya sel dendritik.

Sel dendritik akan bermigrasi ke nodus limfatik yang merupakan tempat berkumpulnya selsel imun lainnya seperti sel T, sel B, dan makrofag. Kemudiam virus HIV mulai menginfeksi
sel-sel imun lainnya. Fase ini merupakan acute phase dimana jumlah HIV dalam darah
meningkat, dan jumlah sel T menurun karena serangan HIV. Acute phase berlangsung hingga
12 minggu. Fase akut ditandai dengan gejala seperti gejala flu. Kemudian saat memasuki
chronic phase atau fase kronis, tidak ditandai dengan gejala. Namun bisa dilihat dari grafik,
sepanjang fase kronis jumlah sel T terus menurun. Jika jumlah sel T sudah dibawah 200 per
mm3, maka sudah dikategorikan ke dalam penyakit AIDS.
Penyebab dari menurunnya sel T adalah virus HIV yang berjenis X4 strain yang
menargetkan co-receptor CXCR4, yaitu co-receptor yang hanya dimiliki sel T. X4 strain
akan menuju jaringan limfoid yang berisi sel T sebanyak 90% kemudian menyerang sel T.
Ketika jumlah sel T berkisar 200-500 per mm3, pasien mengalami berbagai penyakit seperti
pembengkakan pada nodus limfatikus (lymphadenopathy), hairy leukoplakia, serta oral
candidiasis yang disebabkan oleh infeksi yeast. AIDS terjadi jika jumlah sel T dibawah 200
per mm3. Penyebab kematian yang dialami oleh penderita AIDS adalah karena serangan dari
berbagai penyakit yang seharusnya bisa diatasi oleh sistem imun pada tubuh normal.
Defisiensi Imun
1. Sel T CD4+
Penurunan secara progresif jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi terjadi pada setiap
kasus inveksi HI V yang tidak tertangani. Orang yang terinveksi HIV mengalami
pembengkakan pada kelenjar limfa (lymphadenopathy) yang disebabkan oleh
penimbunan limfosit pada nodus limfatik yang mengalami inflamasi dan peningkatan
regulasi ekspresi molekul adhesi. Memory sel T CD4+ mengalami kerusakan dan
jumlahnya menurun dari peredaran. Ketika fase infeksi meningkat, sel naif dan
8

memoryi dari T CD4+ juga ikut menurun hingga menghilang dari peredaran. Pada
fase infeksi yang parah, semua populasi sel CD4 hilang dari peredaran dan jaringan
limfoid.
2. Sel T CD8+
Pada fase infeksi awal HIV, jumlah sel T CD8+ meningkat, termasuk jumlah sel
memori T CD8+. Peningkatan ini terjadi sampai memasuki fase kronis dimana jumlah
sel T cenderung untuk menurun. Namun, pada fase infeksi awal, jumlah sel T CD8+
naif cenderung menurun.
3. Limfosit B dan Produksi Antibodi
Respon humoral mengalami peningkatan pada aktivasi dan penurunan respon pada sel
B. Peningkatan aktivasi sel B ditandai dengan menumpuknya jumlah
globulin/antibodi pada darah (polyclonal hyperglobulinemia) dan hanya sebagian
kecil dari antibodi tersebut yang bereaksi melawan antigen HIV. Selain itu juga terjadi
peningkatan sel plasma pada sumsum tulang, meningkatnya ekspresi molekul aktivasi
sel B, antibodi autoreaktif, dan gejala klinis penyakit autoimun. Penurunan respon sel
B ditandai dengan tidak terbentuknya antibodi pelindung setelah menjalani imunisasi
dengan vaksin protein atau polisakarida.
Respon Imun terhadap HIV
Pada infeksi HIV, terjadi peningkatan respon imun terhadap antigen HIV. Walaupun
jumlah antibodi meningkat, respon antibodi penetral terhadap virus HIV tidaklah kuat, dan virus
HIV mengalami resistensi terhadap aktivitas penetralan yang dilakukan oleh antobodi tersebut.
Hal tersebut dikarenakan epitop dari HIV mengalami mutasi atau terlindungi dengan mutasi yang
meningkatkan glikosilasi pada envelope virus.
Sel T CD8+ membantu mengontrol replikasi HIV dengan dua cara. Pertama, sel T CD8+
akan melakukan proses sitolitik dengan cara menempel pada peptida virus yang dipresentasikan
oleh MHC I pada sel yang telah terinfeksi oleh virus HIV untuk mencegah sel tersebut
memproduksi virus HIV. Sel T CD8+ menggunakan perforin untuk melubangin membran sel
yang terinfeksi, agar granzim bisa masuk dan menghancurkan sel tersebut sebelum
mereplikasikan virus HIV. Kedua, selain sitolisis, sel T CD8+ juga berperan dalam apoptosis sel.
Sel T CD8+ memiliki ligan Fas yang akan menempel dengan Fas (CD95) yang dimiliki sel target
yang telah terinfeksi oleh virus. Terakhir, sel T CD8+ memproduksi beberapa faktor yang
memicu aktivitas antivirus.

Walaupun sel T CD8+ terbukti berperan dalam pengontrolan replikasi virus, namun
belum diketahui adakah jenis sel T CD8+ yang bisa memberi kontrol/mencegah replikasi secara
permanen.
Walaupun jumlah sel T CD8+ yang spesifik terhadap HIV tinggi, supresi replikasi virus
secara permanen sulit dicapai. Hal tersebut dikarenakan virus HIV mudah sekali mengalami
mutasi saat replikasi, sehingga sel yang terinfeksi oleh strain HIV baru tidak terdeteksi.
Ditambah lagi dengan temuan yang menyatakan bahwa sel T CD8+ yang spesifik terhadap HIV
mungkin mengalami kelainan. Hal tersebut dibuktikan terjadi pengurangan aktivitas lisis sel
terinfeksi, rendahnya fungsi proliferasi, serta menurunnya produksi molekul sinyal yang
memediasi aktivasi reseptor sel T.
Sel T CD4+ merespon antigen HIV berkurang jumlahnya karena serangan dari HIV
sehingga sistem imun tidak dapat melindungi tubuh dari serangan antigen mikroba. Proliferasi
sel T CD4+ jarang terjadi pada infeksi virus ini. Namun pada kasus infeksi HIV yang segera
ditangani setelah terjadinya infeksi fase awal atau orang yang menjalani terapi antiretrivirus
proliferasi sel T CD4+ dapat kembali lagi. Namun hal tersebut tidak dapat dipastikan karena sel
T CD8+ yang memiliki potensi untuk berproliferasi ditargetkan dan dihancurkan olleh virus HIV
atau kapasitas replikasi sel tersebut dihalangi oleh aktivitas virus.

KESIMPULAN
Imunitas adaptif merupakan salah satu dari tipe imunitas tubuh yang membantu melindungi
tubuh dari berbagai penyakit. Imunitas adaptif bekerja jika imunitas alami tidak mampu menahan
serangan dari suatu antigen.
AIDS merupakan salah satu penyakit defisiensi imun yang disebabkan oleh virus HIV yang
menyerang sistem imun (khususnya imunitas adaptif) sehingga tubuh tidak memiliki pertahanan
yang cukup untuk melawan berbagai macam penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

10

1. Abbas, Abul K., dan Andrew H Litchman. 2006. Basic Immunology 3rd Edition. Saunders
Elsevier
2. Baratawidjaja, Karnen Garna., dan Iris Rengganis. 2004. Imunologi Dasar Edisi 11.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Subowo. 2009. Imunobiologi. Jakarta: Sagung Seto
4. Michael M. Lederman et al. 2006. Immunopathogenesis of HIV Infection. Diambil dari:
http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-02-01-04 (Jumat, 18 November 2016)

11

Anda mungkin juga menyukai