Anda di halaman 1dari 11

OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

1.
2.
3.

Objek Pajak Pertambahan Nilai dalam UU PPN tercantum dalam tiga pasal, yaitu
Pasal 4,
Pasal 16C
Pasal 16D.

1.

Objek PASAL 4 UU NO. 42 tahun 2009

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:


1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Contoh: PT. Angin Ribut (perusahaan pabrikan kawat baja) menjual produknya berupa kawat
baja kepada para pembelinya di dalam negeri (Indonesia).
2. Impor Barang Kena Pajak.
Contoh: PT Astra Honda Motor melakukan impor kendaraan Totota dari Jepang.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha.
Contoh: PT Sarwendah Karya Utama, sebuah perusahaan konsultan pajak,memberikan
jasa tax consulting kepada para kliennya di dalam negeri.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
Contoh: PT Altraqua, sebuah perusahaan pabrikan minuman ringan merek "Altra", melakukan
pemanfaatan hak merek "Altra" dari Altra Corp. di Amerika.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Contoh: PT Altra Motors menerima jasa technical assistance dari Altra Corporation Jepang.
6.
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
Contoh: PT Tekstil Indonesia, sebuah perusahaan eksportir produk tekstil, melakukan
ekspor produk tekstil ke Arab Saudi.
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
PT Altra Indonesia menyerahkan pemakaian hak merek "Altra" ke perusahaan Juzz Corp di
Australia.
8.
Ekspor
Jasa
Kena
Pajak
oleh
Pengusaha
Kena
Pajak.
Contoh:
PT Kontruksi Indonesia, sebuah perusahaan konstruksi, menyerahkan jasa peerbaikan mesin
parut kelapa ke Amerika Serikat.
Khusus mengenai eskpor Jasa Kena Pajak akan dibahas dalam Bab tersendiri
2.

Objek Pasal 16C


Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh
orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain (Pasal
16C).
Contoh: Tuan Hendra, seorang dokter spesialis anak, membangun rumah untuk tempat tinggal
di Bogor dengan luas bangunan 500 m2.
Kegiatan membangun sendiri ini dikenakan PPN jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut (per 01 April 2010)
- Bangunan berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria;

a)

konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis,
dan/atau baja;
b)
diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c) luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi)
Uraian lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas dalam BAB tersendiri tentang PPN atas
Kegiatan Membangun Sendiri.
3.

Objek Pasal 16 D
Penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak (bukan inventory), kecuali atas penyerahan
aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan karena (Pasal 16D):
- tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha (Pasal 9 ayat (8) huruf b); dan
- perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan (Pasal 9 ayat (8) huruf c).
Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelum April 2010 dimana persyaratan Pasal 16D adalah
sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Contoh:
Pada April 2010, PT Sepatu Bata menjual sebuah mesin produksi yang semula diimpor dari
Italia pada tahun 1998. Meskipun mesin tersebut merupakan aktiva tetap PT Sepatu Bata,
penjualan mesin ini terutang PPN karena Pajak Masukan atas perolehan mesin dapat
dikreditkan karena mesin tersebut mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha.
Uraian lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas dalam bab tersendiri tentang PPN atas
Penyerahan Aktiva yang Menurut Tujuan Semula Tidak untuk Diperjualbelikan.
C. Persyaratan Objek PPN (Pasal 4 UU PPN)

Penyerahan barang/jasa sesuai transaksi sebagaimana tersebut di atas dikenakan PPN


apabila memenuhi syarat-syarat kumulatif sebagai berikut:
Barang atau jasa yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
Penyerahannya dilakukan (terjadi) di Daerah Pabean (dalam negeri).
Penyerahan tersebut dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan Pengusaha yang
bersangkutan (kecuali atas kegiatan impor atau pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari
luar daerah pabean atau kegiatan membangun sendiri).
C.1. Barang Kena Pajak
Pengertian Barang Kena Pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 3 Jo angka 2 UU Nomor 8 Tahun
1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, yaitu sebagai
berikut.
Barang berwujud, yang menumt sifal atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau
barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009.
Dilihat dari pengertian BKP tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya semua
barang merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN), kecuali yang ditentukan lain oleh
UU Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun
2009.
Pengertian BKP ini kemudian diperkuat lagi dengan adanya Pasal 4A UU PPN yang
mengatur secara rinci jenis barang-barang yang tidak dikenakan PPN (negative list), yang
berarti barang-barang lainnya di luar negative list tersebut merupakan Barang Kena Pajak

(BKP). Permasalahan negative list ini sebenamya bukan permasalahan baru karena
sebelumnya juga telah diatur di dalam PP Nomor 50 tahun 1994.
1. Jenis Barang yang Tidak Dikenai Pajak (Pasal 4A UU PPN)
Penetapan jenis barang yang tidak dikenai PPN mulai 01 April 2010 dilakukan melalui UU
PPN sehingga PP 144 Tahun 2000 tidak berlaku lagi. Jenis barang yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai diatur dalam Pasal 4A Ayat (2) Undang-Undang PPN, yaitu:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya meliputi:
1) minyak mentah;
2)
gas bumi tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat;
3)
panas bumi;
4) asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,
dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips. kalsit, kaolin,
leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit,
fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras,
yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
5) batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara;
6) bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih
bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak meliputi:
1)
beras;
2) gabah;
3)
jagung;
4) sagu;
5) kedelai;
6) garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
7) daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti,
dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur,
diasamkan, diavvetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
8) telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
9) susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak
mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
10) buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci,
disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
11)sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada
suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
c.
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.
d. Uang, emas batangan. dan surat berharga
Khusus mengenai kebutuhan pokok diterbitkan KMK-653/KMK.03/2001 jo.
fr KEP68/PJ./2002 jo. SE-01/PJ.51/2002 yang mengatur lebih lanjut mengenai barang-barang
kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN,
a. Beras dan gabah, yaitu segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras
ketan hitam atau beras ketan putih, sepanjang berbentuk sebagai berikut:
1) Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih;
2) Digiling;
3) Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak;

4) Beras pecah;
5) Menir (groats) dari beras.
b. Jagung, yaitu segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning
kemerahan atau popcorn (jagung brondong), sepanjang berbentuk sebagai berikut:
1) Jagung yang telah dikupas/jagung tongkol dan biji jagung/jagung pipilan;
2) Menir (groafs)/beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
c. Sagu yang berbentuk:
1) Empulursagu;
2) Tepung, tepung kasar dan bubuk dari sagu.
d. Kedelai, yaitu segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau
kedelai hitam, sepanjang berbentuk kacang kedelai pecah atau utuh.
e. Garam, baik yang beryodium maupun tidak beryodium, baik berbentuk curah maupun briket.

a.

b.

c.

d.

e.

2. Penyerahan BKP
Pengertian penyerahan Barang Kena Pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 4, yaitu setiap
kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak. Kegiatan-kegiatan yang termasuk di dalam
pengertian penyerahan dirinci dalam Pasal 1A Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun I983,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, yaitu:
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian (meliputi jual beli,
tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan
penyerahan hak atas barang).
Yang menjadi kriteria dalam pengertian penyerahan BKP ini adalah adanya penyerahan hak.
Misalnya dalam transaksi jual beli secara angsuran, penyerahan hak atas BKP terjadi pada
saat bersamaan dengan pembayaran angsuran pertama Barang Kena Pajak oleh penjual
kepada pembeli dan bukan pada saat pelunasan. Transaksi tukar-menukar juga merupakan
objek PPN. meskipun tidak terdapat pihak-pihak yang membayar dalam bentuk kas. Artinya,
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak harus bertanggung jawab atas PPN yang
terutang dari Barang Kena Pajak yang diserahkannya.
Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/afau perjanjian
sewa guna usaha {leasing) dengan hak opsi.
Yang harus diperhatikan, dalam hal ini yang terutang PPN adalah transaksi penyerahan
barang dari supplier kepada lessee. Artinya, supplier tersebut harus mengenakan PPN atas
barang yang dijual (diserahkan) kepada lessee, sedangkan penyerahan jasa leasing (jasa
pembiayaan) oleh lessor kepada lessee bukan merupakan objek PPN -(Pasal 4A Ayat (3)
huruf d UU Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42
Tahun 2009), sehingga perusahaan pembiayaan (lessor) tidak mengenakan PPN kepada
lessee.
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang Perantara.
Batasan Pedagang Perantara dalam hal ini adalah orang pribadi atau badan yang dalam
melakukan transaksi penjualan yang bersangkutan bertindak atas nama dirinya sendiri dan
bukan atas nama pihak yang memberi amanat. Dengan kata lain, Pedagang Perantara ini
bertindak seperti halnya pedagang biasa. Oleh karena itu, perlakuan PPN-nya juga disamakan
dengan pedagang biasa.
Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang.
Dalam hal ini, PPN belum terutang pada saat barang diserahkan oleh pemiliknya kepada juru
lelang. PPN baru terutang pada saat juru lelang menyerahkan kepada pembelinya (pemenang
lelang).
Pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak.
Pemakaian sendiri dapat mencakup pemakaian oleh perusahaan untuk kepentingan usaha, dan
dapat pula pemakaian sendiri untuk direksi ataupun karyawan. Sedangkan pemberian cuma-

cuma dapat mencakup pemberian dalam rangka promosi maupun pemberian dalam rangka
sumbangan.
(Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak SESUAI PP NO 1 TAHUN
2012 meliputi pemakaian sendiri untuk:
a.
tujuan produktif; atau
b.
tujuan konsumtif.
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif tidak
dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan
penyerahan yang:
a.
tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
b.
mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat
dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
f.

Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
Persediaan Barang Kena Pajak dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan disamakan dengan
pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak. Khusus untuk
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, penjualan aktiva tersebut
tidak terutang PPN sepanjang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) hurufbdanhurufcUUPPN.
g. Penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke kantor cabang (perwakilan/kantor
pemasaran) atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar kantor cabang
(dalam hal pihak-pihak tersebut berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang
berbeda).
h. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
Penyerahan barang secara konsinyasi sifatnya hampir sama dengan penyerahan Barang Kena
Pajak kepada pedagang perantara sehingga perlakuan PPN-nya juga disamakan. Pajak
Pertambahan Nilai yang telah dibayar untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang
diserahkan untuk dititipkan dapat diperhitungkan atau dikreditkan dengan Pajak Keluaran
pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
I.
Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Ketentuan ini menyamakan perlakuan PPN dengan transaksi pembiayaan yang dilakukan
oleh non syariah atau konvensional.
Contoh: Daiam transaksi jual beli (murabahah), Bank Syariah BCA bertindak sebagai penyedia
dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari PT Yudi Motors atas pesanan Mrs. greata
(nasabah Bank Syariah BCA). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus
membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Mr. greata,
berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan
langsung oleh PT Yudi Motors kepada Mr. greata.

a.

b.
c.

d.

e.

1.

3. Bukan Merupakan Penyerahan BKP/Tidak Dikenakan PPN


Penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak termasuk daiam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak diatur daiam Pasal 1A Ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 1983, sebagaimana diubah terakhir
dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, yaitu:
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud daiam Kitab UndangUndang Hukum Dagang. Meskipun demikian, jasa makelar merupakan Jasa Kena Pajak. Makelar
dapat diartikan sebagai orang atau badan yang melakukan pekerjaan dengan mendapat upah
atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak
terdapat hubungan kerja.
Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang.
Penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke kantor cabang atau sebaliknya dan antar
kantor cabang daiam hal pihak-pihak tersebut berada daiam wilayah Kantor Pelayanan Pajak
yang sama atau berada daiam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda tetapi telah
melakukan pemusatan tempat pajak terutang (lihat Sentralisasi Tempat Pajak Terutang pada bab
berikutnya).
Pengalihan Barang Kena Pajak daiam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima
pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.
Adanya fasilitas bagi perusahaan yang melakukan merger dengan syarat perusahaan-perusahaan
yang akan merger baik yang collapse maupun yang survive harus sudah melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN.
C.2. Jasa Kena Pajak
Pengertian Jasa diatur dalam Pasal I Angka 5 UU Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, yaitu:
Setlap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang
menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan.
Sedangkan pengertian Jasa Kena Pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 8 Tahun 1983
yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, yaitu:
Jasa yang dikenal pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Berdasarkan pengertian Jasa Kena Pajak tersebut dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya semua
jasa merupakan Jasa Kena Pajak (dikenakan PPN), kecuali yang ditentukan lain oleh UU Nomor 8
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009. Contoh Jasa
Kena Pajak antara lain: jasa konsultan, jasa sewa, jasa konstruksi, jasa perantara, of//.
Jasa yang tidak dikenakan PPN (negative list) diatur secara rinci dalam UU PPN, yaitu dalam
Pasal 4A Ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42
Tahun 2009, yang berarti atas jasa lainnya di luar negative list tersebut merupakan Jasa Kena
Pajak (JKP).
Jenis Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (Pasal 4A UU PPN)
Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN diatur dalam Pasal 4A Ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 1983,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 yaitu:
a. Jasa pelayanan kesehatan medik;
1) jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
2) jasa dokter hewan;
3) jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;

4) jasa kebidanan dan dukun bayi;


5) jasa paramedis dan perawat;
6) jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan
sanatorium;
7) jasa psikolog dan psikiater; dan
8) jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal
b. Jasa pelayanan sosial;
1)
jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
2)
jasa pemadam kebakaran;
3)
jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
4) jasa lembaga rehabilitasi;
5) jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan
6)
jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial
c. Jasa pengiriman surat dengan perangko:
Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan
perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel
d. Jasa keuangan:
1)
jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
2)
jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau
sarana lainnya;
3) jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b)
anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
4) jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
5) jasa penjaminan
e. Jasa asuransi:
Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi
kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai
kerugian asuransi, dan konsultan asuransi
f. Jasa keagamaan:
1)
jasa pelayanan rumah ibadah;
2) jasa pemberian khotbah atau dakwah;
3) jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
4) jasa lainnya di bidang keagamaan
g. Jasa pendidikan:
1) jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum,
pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan,
pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan
2) jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah
h. Jasa kesenian dan hiburan;
Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang
dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh
sponsor yang bertujuan komersial

j.
k.
1)
2)
3)

Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
Jasa tenaga kerja;
jasa tenaga kerja;
jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung
jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

I. Jasa perhotelan (telah dikenakan pajak daerah):


1)
jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen,
hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
2) jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel,
losmen, dan hotel
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin
Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib
Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk
n. jasa penyediaan tempat parkir;
Yang dimaksud dengan "jasa penyediaan tempat parkir" adalah jasa penyediaan tempat parkir
yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir
dengan dipungut bayaran
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam" adalah jasa
telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa boga atau katering.
Khusus jasa perbankan dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 ini diperluas menjadi jasa keuangan
yang bertujuan menghilangkan diskriminasi terhadap jasa keuangan (financing) yang selama ini
juga dilakukan oleh pengusaha selain perbankan. Jadi selama transaksi yang dilakukan
merupakan penyerahan jasa keuangan maka baik dilakukan oleh bank maupun non bank tjdak
terhutang PPN.
Sebaliknya apabila pihak bank melakukan penyerahan jasa lainnya seperti penyewaan safe deposit
box maka tetap terutang PPN.

a.
b.
c.

Ketentuan dalam Pasal 8 PP Nomor 144 Tahun 2000 yang mengatur tentang jasa-jasa yang
dilakukan oleh bank tetapi merupakan Jasa Kena Pajak masih relevan untuk dijadikan contoh
penyerahan jasa oleh perbankan yang dikenakan PPN. Jasa-jasa tersebut adalah:
Jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
(penyewaan safe deposit box).
Jasa penitipan (safe custody), yaitu jasa penyimpanan, penjagaan, dan
pemeliharaan surat-surat berharga.
Jasa anjak piutang.
Mengenai jasa wall amanat, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-03/PJ.32/1996 menyatakan
bahwa jasa tersebut, baik dilakukan oleh bank maupun bukan bank, dikenakan PPN.

Pengaturan lebih lanjut mengenai jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN ini juga dilakukan terhadap
jasa pengiriman surat dengan perangko (KMK-168/KMK.03/2002) dan jasa angkutan umum di
darat dan di air (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006).
Berdasarkan KMK-168/KMK.03/2002, atas jasa pengiriman surat dengan perangko yang
dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero) tidak dikenakan PPN. Jasa pengiriman surat dengan
perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero) tersebut merupakan tugas PT Pos
Indonesia (Persero) dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan pos oleh negara.
Penyelenggaraan pos itu terdiri dari kegiatan menerima, membawa, dan/atau menyampaikan surat
yang merupakan satu kesatuan kegiatan yang tidak terpisahkan, yang atas penyerahan jasanya
dikenakan tarif jasa pos yang cara pelunasan tarif jasa posnya dengan perangko atau pengganti
perangko. Untuk jasa angkutan umum di darat dan di air diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 28/PMK.03/2006. Dari peraturan ini dapat disimpulkan bahwa jasa angkutam umum di
darat yaitu kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan
dipungut bayaran, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, tidak dikenakan PPN dengan
syarat menggunakan kendaraan plat kuning (tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan
tulisan hitam).

a.
b.

a.
b.

Untuk pengenaan jasa angkutan umum dengan kereta api dan penyerahan jasa angkutan umum di
laut/penyeberangan dikenakan PPN jika memenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:
Jasa angkutan kereta api:
Ada perjanjian lisan atau tertulis;
Gerbong kereta api dipergunakan hanya untuk mengangkut muatan milik 1 (satu) pihak dan/atau
untuk mengangkut orang, yang terikat perjanjian dengan Pengusaha Angkutan Kereta Api, dalam
satu perjalanan (trip);
Jasa angkutan umum di laut/penyeberangan:
Ada perjanjian lisan atau tertulis;
Kapal dipergunakan hanya
untuk mengangkut muatan milik
1 (satu)
pihak
dan/atau
untuk
mengangkut
orang,
yang
terikat
perjanjian
dengan
Pengusaha
Angkutan
Laut
atau
penyeberangan,
dalam
satu
perjalanan (trip).
Sementara itu, penyerahan jasa angkutan udara merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak,
kecuali jasa angkutan udara luar negeri karena penyerahannya dilakukan di luar negeri. Yang
termasuk ke dalam pengertian jasa angkutan luar negeri adalah jasa angkutan dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari angkutan luar negeri.
2. Penyerahan Jasa Kena Pajak
Batasan tentang penyerahan Jasa Kena Pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 7 UU Nomor 8
Tahun 1983, sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009. yaitu:
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
Sedangkan yang dimaksud dengan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang,
fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
Untuk memberikan perlakuan yang sama dengan penyerahan Barang Kena Pajak maka
penyerahan Jasa Kena Pajak untuk kepentingan sendiri atau pemberian Jasa Kena Pajak
secara cuma-cuma termasuk ke dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak, sehingga atas
penyerahannya tetap terutang PPN. Contoh:

PT Bangun Persada, sebuah perusahaan jasa konstruksi (kontraktor), membangun bangunan


untuk dipakai sendiri. Dalam hal ini, perusahaan tersebut harus memungut PPN sebesar 10%
dari harga pokok (biaya bangunan tersebut).
C.3. Daerah Pabean
Pengertian Daerah Pabean diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1983.
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, adalah sebagai berikut:
Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat. perairan, dan ruang udara di
atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di
dalamnya beriaku Undang-Undang yang mengatur mengenaikepabeanan.
Oleh karena PPN/PPn BM merupakan pajak atas konsumsi barang atau jasa di dalam Daerah
Pabean Rl maka PPN/PPn BM hanya dikenakan atas barang atau jasa yang tujuan
konsumsinya adalah di dalam negeri Rl (Destination Principle). Dengan demikian, impor
Barang Kena Pajak merupakan objek PPN karena tujuan konsumsinya di Indonesia. Sebaliknya,
ekspor Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak dikenakan PPN 0% karena tujuan konsumsinya di
luar negeri. Pengenaan tarif 0% ini bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai, sehingga Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP/JKP yang digunakan untuk
menghasilkan barang/jasa ekspor tersebut tetap dapat dikreditkan. Hal ini dimaksudkan agar
barang/jasa ekspor Indonesia tetap dapat bersaing di pasaran internasional. Apabila pada suatu
Masa Pajak seluruh penyerahan Pengusaha Kena Pajak adalah ekspor maka penyerahan ini
akan menghasilkan kondisi SPT Masa PPN Masa Pajak yang bersangkutan menjadi lebih
bayar.
Ada penegasan mengenai syarat pengenaan PPN harus terjadi di daerah pabean sesuai dengan SE130/P J/2010 yaitu PKP yang melakukan transaksi:
1.
Penyerahan Barang Kena Pajak yang secara nyata (fisik) berada di luar Daerah Pabean;
atau
2. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak yang secara nyata (fisik) berada di Luar Daerah
Pabean
yang dibuktikan dengan akta atau bukti otentik yang mendukung fakta terjadinya transaksi
tersebut, tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh 1
PT A (PKP terdaftar di KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Dua) menandatangani kontrak jual
beli 10 (sepuluh) unit forklift dengan PT B (Wajib Pajak terdaftar di KPP Pratama Jakarta Tanah
Abang Dua). Dalam kontrak antara lain disepakati hal-hal sebagai berikut:
PT A akan membeli forklift tersebut dari pabrikan di Jepang, dan meminta pabrikan
mengirimkan barang tersebut ke Gudang PT B di Singapura;
- Barang tersebut akan dimodifikasi oleh PT B sebelum dikirim ke pabrik PT B di Karawang;
- Impor barang dan dokumen pabean diurus dan atas nama PT B.
- Atas transaksi penyerahan forklift oleh PT A kepada PT B tidak dikenai Pajak Pertambahan
Nilai.
Contoh 2
PT Y (PKP terdaftar di KPP Pratama Jakarta Senen) menartdatangani kontrak jual beli 1 unit
bangunan kantor yang berada di Orchid Road Singapura dengan PT X (Wajib Pajak terdaftar di
KPP Pratama Bogor). Kontrak jual beli dibuat dan ditandatangani di Jakarta. Selanjutnya proses
teknis pengalihan hak atas bangunan tersebut akan diurus oleh konsultan W sesuai dengan hukum
yang beriaku di Singapura. Atas transaksi penyerahan hak atas bangunan kantor yang berada di
Singapura tersebut dari PT Y kepada PT X tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
C.4. Dalam rangka Kegiatan Usaha atau Pekerjaannya

Syarat bahwa penyerahan akan dikenakan PPN apabila penyerahan tersebut dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaan tidak mempunyai definisi atau penjelasan secara jelas. Persyaratan ini
tidak beriaku bagi penyerahan atas kegiatan impor atau pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari
luardaerah pabean atau kegiatan membangun sendiri.

Anda mungkin juga menyukai