1.
2.
3.
Objek Pajak Pertambahan Nilai dalam UU PPN tercantum dalam tiga pasal, yaitu
Pasal 4,
Pasal 16C
Pasal 16D.
1.
a)
konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis,
dan/atau baja;
b)
diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c) luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi)
Uraian lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas dalam BAB tersendiri tentang PPN atas
Kegiatan Membangun Sendiri.
3.
Objek Pasal 16 D
Penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak (bukan inventory), kecuali atas penyerahan
aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan karena (Pasal 16D):
- tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha (Pasal 9 ayat (8) huruf b); dan
- perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan (Pasal 9 ayat (8) huruf c).
Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelum April 2010 dimana persyaratan Pasal 16D adalah
sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Contoh:
Pada April 2010, PT Sepatu Bata menjual sebuah mesin produksi yang semula diimpor dari
Italia pada tahun 1998. Meskipun mesin tersebut merupakan aktiva tetap PT Sepatu Bata,
penjualan mesin ini terutang PPN karena Pajak Masukan atas perolehan mesin dapat
dikreditkan karena mesin tersebut mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha.
Uraian lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas dalam bab tersendiri tentang PPN atas
Penyerahan Aktiva yang Menurut Tujuan Semula Tidak untuk Diperjualbelikan.
C. Persyaratan Objek PPN (Pasal 4 UU PPN)
(BKP). Permasalahan negative list ini sebenamya bukan permasalahan baru karena
sebelumnya juga telah diatur di dalam PP Nomor 50 tahun 1994.
1. Jenis Barang yang Tidak Dikenai Pajak (Pasal 4A UU PPN)
Penetapan jenis barang yang tidak dikenai PPN mulai 01 April 2010 dilakukan melalui UU
PPN sehingga PP 144 Tahun 2000 tidak berlaku lagi. Jenis barang yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai diatur dalam Pasal 4A Ayat (2) Undang-Undang PPN, yaitu:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya meliputi:
1) minyak mentah;
2)
gas bumi tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat;
3)
panas bumi;
4) asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,
dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips. kalsit, kaolin,
leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit,
fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras,
yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
5) batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara;
6) bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih
bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak meliputi:
1)
beras;
2) gabah;
3)
jagung;
4) sagu;
5) kedelai;
6) garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
7) daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti,
dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur,
diasamkan, diavvetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
8) telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
9) susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak
mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
10) buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci,
disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
11)sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada
suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
c.
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.
d. Uang, emas batangan. dan surat berharga
Khusus mengenai kebutuhan pokok diterbitkan KMK-653/KMK.03/2001 jo.
fr KEP68/PJ./2002 jo. SE-01/PJ.51/2002 yang mengatur lebih lanjut mengenai barang-barang
kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN,
a. Beras dan gabah, yaitu segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras
ketan hitam atau beras ketan putih, sepanjang berbentuk sebagai berikut:
1) Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih;
2) Digiling;
3) Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak;
4) Beras pecah;
5) Menir (groats) dari beras.
b. Jagung, yaitu segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning
kemerahan atau popcorn (jagung brondong), sepanjang berbentuk sebagai berikut:
1) Jagung yang telah dikupas/jagung tongkol dan biji jagung/jagung pipilan;
2) Menir (groafs)/beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
c. Sagu yang berbentuk:
1) Empulursagu;
2) Tepung, tepung kasar dan bubuk dari sagu.
d. Kedelai, yaitu segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau
kedelai hitam, sepanjang berbentuk kacang kedelai pecah atau utuh.
e. Garam, baik yang beryodium maupun tidak beryodium, baik berbentuk curah maupun briket.
a.
b.
c.
d.
e.
2. Penyerahan BKP
Pengertian penyerahan Barang Kena Pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 4, yaitu setiap
kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak. Kegiatan-kegiatan yang termasuk di dalam
pengertian penyerahan dirinci dalam Pasal 1A Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun I983,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, yaitu:
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian (meliputi jual beli,
tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan
penyerahan hak atas barang).
Yang menjadi kriteria dalam pengertian penyerahan BKP ini adalah adanya penyerahan hak.
Misalnya dalam transaksi jual beli secara angsuran, penyerahan hak atas BKP terjadi pada
saat bersamaan dengan pembayaran angsuran pertama Barang Kena Pajak oleh penjual
kepada pembeli dan bukan pada saat pelunasan. Transaksi tukar-menukar juga merupakan
objek PPN. meskipun tidak terdapat pihak-pihak yang membayar dalam bentuk kas. Artinya,
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak harus bertanggung jawab atas PPN yang
terutang dari Barang Kena Pajak yang diserahkannya.
Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/afau perjanjian
sewa guna usaha {leasing) dengan hak opsi.
Yang harus diperhatikan, dalam hal ini yang terutang PPN adalah transaksi penyerahan
barang dari supplier kepada lessee. Artinya, supplier tersebut harus mengenakan PPN atas
barang yang dijual (diserahkan) kepada lessee, sedangkan penyerahan jasa leasing (jasa
pembiayaan) oleh lessor kepada lessee bukan merupakan objek PPN -(Pasal 4A Ayat (3)
huruf d UU Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42
Tahun 2009), sehingga perusahaan pembiayaan (lessor) tidak mengenakan PPN kepada
lessee.
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang Perantara.
Batasan Pedagang Perantara dalam hal ini adalah orang pribadi atau badan yang dalam
melakukan transaksi penjualan yang bersangkutan bertindak atas nama dirinya sendiri dan
bukan atas nama pihak yang memberi amanat. Dengan kata lain, Pedagang Perantara ini
bertindak seperti halnya pedagang biasa. Oleh karena itu, perlakuan PPN-nya juga disamakan
dengan pedagang biasa.
Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang.
Dalam hal ini, PPN belum terutang pada saat barang diserahkan oleh pemiliknya kepada juru
lelang. PPN baru terutang pada saat juru lelang menyerahkan kepada pembelinya (pemenang
lelang).
Pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak.
Pemakaian sendiri dapat mencakup pemakaian oleh perusahaan untuk kepentingan usaha, dan
dapat pula pemakaian sendiri untuk direksi ataupun karyawan. Sedangkan pemberian cuma-
cuma dapat mencakup pemberian dalam rangka promosi maupun pemberian dalam rangka
sumbangan.
(Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak SESUAI PP NO 1 TAHUN
2012 meliputi pemakaian sendiri untuk:
a.
tujuan produktif; atau
b.
tujuan konsumtif.
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif tidak
dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan
penyerahan yang:
a.
tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
b.
mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat
dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
f.
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
Persediaan Barang Kena Pajak dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan disamakan dengan
pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak. Khusus untuk
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, penjualan aktiva tersebut
tidak terutang PPN sepanjang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) hurufbdanhurufcUUPPN.
g. Penyerahan Barang Kena Pajak dari kantor pusat ke kantor cabang (perwakilan/kantor
pemasaran) atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar kantor cabang
(dalam hal pihak-pihak tersebut berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang
berbeda).
h. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
Penyerahan barang secara konsinyasi sifatnya hampir sama dengan penyerahan Barang Kena
Pajak kepada pedagang perantara sehingga perlakuan PPN-nya juga disamakan. Pajak
Pertambahan Nilai yang telah dibayar untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang
diserahkan untuk dititipkan dapat diperhitungkan atau dikreditkan dengan Pajak Keluaran
pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
I.
Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Ketentuan ini menyamakan perlakuan PPN dengan transaksi pembiayaan yang dilakukan
oleh non syariah atau konvensional.
Contoh: Daiam transaksi jual beli (murabahah), Bank Syariah BCA bertindak sebagai penyedia
dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari PT Yudi Motors atas pesanan Mrs. greata
(nasabah Bank Syariah BCA). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus
membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Mr. greata,
berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan
langsung oleh PT Yudi Motors kepada Mr. greata.
a.
b.
c.
d.
e.
1.
j.
k.
1)
2)
3)
Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
Jasa tenaga kerja;
jasa tenaga kerja;
jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung
jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
a.
b.
c.
Ketentuan dalam Pasal 8 PP Nomor 144 Tahun 2000 yang mengatur tentang jasa-jasa yang
dilakukan oleh bank tetapi merupakan Jasa Kena Pajak masih relevan untuk dijadikan contoh
penyerahan jasa oleh perbankan yang dikenakan PPN. Jasa-jasa tersebut adalah:
Jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
(penyewaan safe deposit box).
Jasa penitipan (safe custody), yaitu jasa penyimpanan, penjagaan, dan
pemeliharaan surat-surat berharga.
Jasa anjak piutang.
Mengenai jasa wall amanat, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-03/PJ.32/1996 menyatakan
bahwa jasa tersebut, baik dilakukan oleh bank maupun bukan bank, dikenakan PPN.
Pengaturan lebih lanjut mengenai jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN ini juga dilakukan terhadap
jasa pengiriman surat dengan perangko (KMK-168/KMK.03/2002) dan jasa angkutan umum di
darat dan di air (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006).
Berdasarkan KMK-168/KMK.03/2002, atas jasa pengiriman surat dengan perangko yang
dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero) tidak dikenakan PPN. Jasa pengiriman surat dengan
perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero) tersebut merupakan tugas PT Pos
Indonesia (Persero) dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan pos oleh negara.
Penyelenggaraan pos itu terdiri dari kegiatan menerima, membawa, dan/atau menyampaikan surat
yang merupakan satu kesatuan kegiatan yang tidak terpisahkan, yang atas penyerahan jasanya
dikenakan tarif jasa pos yang cara pelunasan tarif jasa posnya dengan perangko atau pengganti
perangko. Untuk jasa angkutan umum di darat dan di air diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 28/PMK.03/2006. Dari peraturan ini dapat disimpulkan bahwa jasa angkutam umum di
darat yaitu kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan
dipungut bayaran, baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, tidak dikenakan PPN dengan
syarat menggunakan kendaraan plat kuning (tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan
tulisan hitam).
a.
b.
a.
b.
Untuk pengenaan jasa angkutan umum dengan kereta api dan penyerahan jasa angkutan umum di
laut/penyeberangan dikenakan PPN jika memenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:
Jasa angkutan kereta api:
Ada perjanjian lisan atau tertulis;
Gerbong kereta api dipergunakan hanya untuk mengangkut muatan milik 1 (satu) pihak dan/atau
untuk mengangkut orang, yang terikat perjanjian dengan Pengusaha Angkutan Kereta Api, dalam
satu perjalanan (trip);
Jasa angkutan umum di laut/penyeberangan:
Ada perjanjian lisan atau tertulis;
Kapal dipergunakan hanya
untuk mengangkut muatan milik
1 (satu)
pihak
dan/atau
untuk
mengangkut
orang,
yang
terikat
perjanjian
dengan
Pengusaha
Angkutan
Laut
atau
penyeberangan,
dalam
satu
perjalanan (trip).
Sementara itu, penyerahan jasa angkutan udara merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak,
kecuali jasa angkutan udara luar negeri karena penyerahannya dilakukan di luar negeri. Yang
termasuk ke dalam pengertian jasa angkutan luar negeri adalah jasa angkutan dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari angkutan luar negeri.
2. Penyerahan Jasa Kena Pajak
Batasan tentang penyerahan Jasa Kena Pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 7 UU Nomor 8
Tahun 1983, sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009. yaitu:
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
Sedangkan yang dimaksud dengan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang,
fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
Untuk memberikan perlakuan yang sama dengan penyerahan Barang Kena Pajak maka
penyerahan Jasa Kena Pajak untuk kepentingan sendiri atau pemberian Jasa Kena Pajak
secara cuma-cuma termasuk ke dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak, sehingga atas
penyerahannya tetap terutang PPN. Contoh:
Syarat bahwa penyerahan akan dikenakan PPN apabila penyerahan tersebut dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaan tidak mempunyai definisi atau penjelasan secara jelas. Persyaratan ini
tidak beriaku bagi penyerahan atas kegiatan impor atau pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari
luardaerah pabean atau kegiatan membangun sendiri.