Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FANA, BAQA, ITTIHAD, HULUL DAN WAHDATUL WUJUD


Makalah ditulis dan dipresentasikan dalam rangka memenuhi tugas matakuliah
Akhlak Tasawuf Jurusan Syariah Program Studi Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu :
Nikmatul Masruroh, M.E.I
Disusun oleh :
Kelompok 12
Kelas K2
1.
2.
3.
4.

A. Azisi
Syaifurrahman
Ria Rosdiyana Dewi
Santi Aji Ambarwati

(083 134 094)


(083 134 092)
(083 134 090)
(083 134 097)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


(STAIN) JEMBER
2013
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang telah
menganugerahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, karena
hanya dengan karunianya makalah yang berjudul Fana,

Baqa, Ittihad, Hulul, dan Wahdatul Wujud ini dapat selesai


tanpa hambatan yang berarti. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. utusan dan
manusia pilihan-Nya yang mengantarkan umat manusia
minadzdzulumati ilan-nuur, yakni addinul Islam (dari zaman
kegelapan menuju zaman yang bercahaya, yakni agama
Islam).
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Nikmatul Masruroh, M.E.I sebagai dosen pembimbing
mata kuliah Akhlak Tasawuf.
2. Rekan-rekan yang memberikan saran-sarannya dan
semangat pada pemakalah agar dapat menyusun
makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna dan dengan senang hati menerima kritik dan saran
yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.

Jember, 06 November 2013

Penulis

Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................ii
Daftar Isi....................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1 Latar Belakang..........................................................1
2 Rumusan Masalah.....................................................1
3 Tujuan.......................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
1 Pengertian Fana.......................................................2
2 Pengertian Baqa......................................................3
3 Hubungan Antara Fana dan Baqa...........................4
4 Tokoh Sufi Fana dan Baqa.......................................4
5 Pengertian Ittihad.....................................................5
6 Tokoh Sufi Ittihad......................................................6
7 Pengertian Hulul.......................................................7
8 Tokoh Sufi Hulul........................................................8
9 Wahdatul Wujud dan Konsepnya...............................9
10 Tokoh Sufi Wahdatul Wujud
..................................................................................
11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
................................................................................................
12
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhlak tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim
yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Pemikiran dan
pandangan di bidang akhlak dan tasawuf berkembang kemudian sehingga
memunculkan sejumlah ulama tasawuf dan ulama di bidang akhlak. Dalam
bidang akhlak dibahas berbagai macam permasalahan mengenai akhlak,
etika, moral dan lainnya.
Dan dalam bidang tasawuf juga membahas mengenai nuansa yang ada
di dalamnya, seperti pembahan bagaimana membersihkan diri dari hawa
nafsu, bagaimana caranya untuk dapat dekat dengan Allah, dll. Dalam makalh
ini sendiri akan membahas mengenai fana, baqa, ittihad, hulul dan wahdatul
wujud merupakan bagian penting dari ajaran tasawuf.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan fana ?
b. Apa yang dimasud dengan baqa ?
c. Bagaimana hubungan antara fana dan baqa ?
d. Apa yang dimaksud dengan ittihad ?
e. Siapa tokoh sufi yang berpengaruh terhadap fana, baqa dan ittihad ?
f. Apa yang dimaksud dengan hulul ? Siapa tokoh sufi yang
mempengaruhinya ?
g. Apa yang dimaksud dengan wahdatul wujud ? Siapa tokoh sufi yang
mempengaruhinya ?
1.3 Tujuan
a. Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai
fana, baqa, ittihad, hulul dan wahdatul wujud.
b. Membantu pelajar mengerti dan memahami fana, baqa,
ittihad, hulul dan wahdatul wujud.
c. Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Fana
Fana berasal dari kata faniya-yafna-fanaan yang berarti musnah,
lenyap, hilang atau hancur. Atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata

disappear, perish annihilate. Dalam istilah tasawuf, fanaadakalanya diartikan


sebagai keadaan moral yang luhur. Sehingga dapat dipahami bahwa fana
merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu
dengan Tuhan.
Beberapa pendapat ulama mengenai fana antara lain :
a. Menurut Abu Bakar al-Kaladzabi, fana adalah hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih atas segala perbuatan
manusia, sehingga kehilangan segala perasaan dan dapat membedakan
sesuatu secara sadar, dan telah menghilangkan semua kepentingan
ketika berbuat sesuatu.
b. Menurut Al-Qusyairi, fana terdiri dari tiga tingkatan maknanya.
Pertama, yaitu terlepasnya manusia dari jiwa dan sifat-sifatnya dengan
kekalnya dirinya dengan sifat-sifat al-Haqq (Allah). Kedua, terlepasnya
diri dari sifat-sifat al-Haqq dengan menyaksikan al-Haqq. Ketiga,
adalah terlepasnya diri dari menyaksikan al-Haqq dengan tenggelam
dalam wujud al-Haqq.
c. Menurut para sufi, fana juga diartikan menjadi dua hal, yaitu :
1) Istilah bagi penyerahan hamba secara sempurna dihadapan
perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, serta
pengakuan yang kaffah atau lengkap terhadap segala sesuatu yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
2) Keluarnya segala sesuatu selain Allah dari kalbu seorang hamba,
tak ada sedikitpun selain Allah dalam hatinya, hanya Allah yang di
hati dan Dialah yang patut selalu diingat.
d. Menurut Ibn Arabi, fana diartikan menjadi dua pengertian, yaitu :
1) Fana dalam pengertian mistis, yaitu lenyapnya ketidaktahuan dan
hanya tinggallah pengetahuan sejati yang dihasilkan melalui intuisi
tentang keasatuan esensial keseluruhan. Seorang sufi tidak
melenyapkan keberadaan dirinya, tetapi ia menyadari noneksistensi esensial sebagai bentuk.
2) Fana dalam pengertian metafisika yang berarti hilangnya bentukbentuk dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal
yang satu.

Jadi, menurutnya, fana yang benar adalah hilangnya diri dalam


keadaan pengetahuan intuitif dimana kesatuan esensial dari keseluruhan itu
diungkapkan. Dari beberapa pendapat yang telah disebutkan di atas, maka
kita dapat mengambil kesimpulan bahwasanya fana adalah keadaan manusia
atau seseorang yang terlepas bebas dari sifat-sifat diri dan hawa nafsunya
serta dia hanya menginginkan Allah selalu ada dalam tiap langkah dan
perbuatannya.
Menurut al-Kaladzabi, orang yang mengalami fana adalah orang yang
melihat segala sesuatu sebagai hal yang satu dan semua gerakannya sesuai
dengan kehendak Allah, tidak ada satupun perbuatan yang bertentangan
dengan kehendak dan sifat-sifat-Nya.
2.2 Pengertian Baqa
Baqa berasal dari kata baqiya-yabqa-baqaan yang berarti tetap. Dalam
bahasa Inggris dikenal dengan kata to remain, persevere. Sedangkan
berdasarkan pada istilah tasawuf , baqa adalah kekalnya sifat terpuji dan
sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia, kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak
yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat.
Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat,
berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
2.3 Hubungan Antara Fana dengan Baqa
Berkenaan dengan keterkaitan antara fana dan baqa, rupanya tidak
dapat dipisahkan. Fana merupakan permulaannya, sedangkan baqa akhir
perjalanannya. Dan selalu sambung-menyambung. Maksudnya adalah apabila
telah terjadi proses penghilangan sifat manusia dari hasil pengahancuran
tersebut, maka yang muncul kemudian adalah sifat-sifat seperti halnya yang
dimiliki oleh Allah.
Oleh karena itu, Sufi mengibaratkan fana dengan baqa seperti dua sisi
mata uang logam, yaitu di sisi satu adalah fana dan di sisi lainnya adalah
baqa. al-Qusyairi menyatakan dalam kitabnya sebagai berikut: Barangsiapa
meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana dari
syahwatnya. Tatkala fana dari syahwatnya, ia baqa dalam niat dan
keikhlasan ibadahnya. Barangsiapa yang zuhud dari keduniaan, maka ia
3

sedang fana dari keinginannya yang berarti pula sedang baqa dalam
ketulusan inabah (kembali) kepada Allah. Barangsiapa yang menumbuhkan
akhlak mulia, kemudian dia menghilangkan hasad, dendam, bakhil, pelit,
marah, sombong dan lain-lain dari kekotoran jiwa, dia dapat dikatakan fana
(menghilangkan) budi pekerti yang buruk. Dan apabila dia telah
menghilangkan (fana) budi pekerti yang buruk maka tetap (baqa)-lah dalam
kebaikan dan kebenaran.
2.4 Tokoh Sufi Fana dan Baqa
Dalam tasawuf, yang dipandang sebagai tokoh sufi pertama yang
memunculkan persoalan fana dan baqa adalah Abu Yazid Al-Bustami yang
lahir pada tahun 874 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Abu Yazid merupakan
salah satu tokoh sufi yang telah melewati marifah. Diapun telah mencapai
fana dan baqa kemudian ittihad bersatu dengan Tuhan. Beberapa paham
yang dapat dianggap sebagai timbulnya fana dan baqa adalah:
a. Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur kemudian aku
tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup
b. Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati kemudian ia
membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup aku berkata: gila pada
diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup
2.5 Pengertian Ittihad
Ittihad adalah salah satu tingkatan dimana seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan, dimana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu. A.R. Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang
dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah
satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya
satu wujud. Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi
satu. Hal ini bisa terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Sebagaimana
dalam ucapan Abu Yazid berikut ini:
Suatu ketika seseorang lewat di depan rumah Abu Yazid lalu mengetuk
pintu. Abu Yazid bertanya, Siapa yang engkau cari ? Maka menjawab

seseorang itu, Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, Pergilah, di rumah ini
tidak ada Abu Yazid, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.1
Fana, baqa dan ittihad merupakan jalan menuju perjumpaan dengan
Allah. Hal ini sejalan dengan firman Allah pada Q.S al-Kahfi ayat 110 yang
artinya:
Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya aku ini manusia biasa
seperti kamu, yang telah menerima wahyu Bahwa sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan kebajikan dan janganlah
ia mempersekutukan sesuataupun dalam beribadat kepada Tuhannya
2.6 Tokoh Sufi Ittihad
Sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad dalam tasawuf adalah
Abu Yazid Al-Bustami. Ia lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M dan
meninggal pada usia 73 tahun. Ibunya juga merupakan seorang zahid dan Abu
Yazid sangat patuh padanya. Walaupun orang tuanya adalah salah satu
pemuka masyarakat yang berada di Bistam, Abu Yazid memilih kehidupan
sederhana dan menaruh sayang serta kasih pada fakir miskin. Ia jarang keluar
Bistam dan ketika kepadanya dikatakan bahwa orang yang mencari hakekat
selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ia menjawab: Temanku
(Tuhan) tidak pernah bepergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak
dari sini. Sebagian besar waktunya ia pergunakan untuk beribadah dan
memuja Tuhan. Dia senantiasa ingin dekat kepada Tuhan, yang dimulai
dengan timbulnya paham fana dan baqa dalam tasawuf. Ia memberi jalan
bagaimana supaya dapat dekat di hadirat Tuhan. Dia menjelaskan, suatu
malam ia bermimpi dengan berkata:
Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu ? Dia menjawab:
Tinggalkan dirimu dan datanglah2.
Abu Yazid setelah mengetahui proses pendekatan diri kepada Allah,
melalui fana ia meninggalkan dirinya ke hadirat Tuhan. Keberadaan ia dapat
1

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf (Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press, 2012)

Drs. H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010)


5

dilihat berada dekat atau belum pada Tuhan melalui Syatahat yang
diucapkan. Adapun Syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh
seorang sufi pada permulaan ia berada di pintu gerbang ittihad3, seperti
ucapan dia:
Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu karena aku hanyalah hamba
yang hina, tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku karena Engkau adalah
Raja Maha Kuasa4.
2.7 Pengertian Hulul
Hulul, diartikan sebagai penyatuan hamba dengan Tuhannya, setelah
zat-Nya lebur ke dalam tubuh hamba-Nya5. Abu Nasr Al-Tusi di dalam
bukunya Al-Luma, berpendapat bahwa hulul adalah paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada
dalam tubuh itu dilenyapkan6. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
ungkapan terkait dengan konsep hululnya:
a. Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan
air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuhku
pula dan ketika itu setiap hal Engkau adalah aku7.
b. Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. kami
adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku
maka engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia, maka engkau lihat
kami8.
Paham ini bertolak dari dasar pemikiran al-Hajjaj yang mengatakan
bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahuut (ketuhanan)
dan nasut (kemanusiaan). Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Ia hanya
melihat diri-Nya sendiri yakni kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Dan
3

Ibid.

Ibid.

Drs. Mahjuddin M.Pd.I, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2011)

Drs. H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997)

Dr. H. Kasmuri Selamat, MA dan Ihsan Sanusi, S.Fil.I, M.Ag, Akhlak Tasawuf
(Jakarta: Kalam Mulia, 2012)

Ibid.
6

mencintai pada zat-Nya sendiri, cinta yang dapat disifatkan. Dan cinta inilah
yang menjadi sebab wujud. Ia mengeluarkan copy dari diri-Nya yang
mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah
menjadikan Adam, Ia memuliakan dan mengagungkannya. Ia cinta pada
Adam dan pada diri Adam, Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian
pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari
Tuhan sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan
dalam dirinya. Hal ini dipahami dari bunyi Q.S al-Baqarah ayat 34:



Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia
enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
2.8 Tokoh Sufi Hulul
Paham hulul diajarkan oleh Husein Ibnu Mansur Al-Hajjaj. Ia lahir pada
tahun 244 H. (858 M) di Baidha, Persia. Dia tinggal sampai dewasa di
Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada
seorang sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur
di negeri Ahwaz. Lalu dia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi
bernama Amr al-Makki. Dan pada tahun 264 H. ia masuk ke kota Baghdad
belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Menurut pemikiran tasawufnya
ia mengatakan bahwa:
Aku ingin untuk tidak mengingini
Aku tidak ingin Tuhan kecuali Tuhan
Dari ucapannya yang lebih ganjil adalah ketika ia telah mencapai ittihad
yakni dengan berkata:
Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku
Dia juga berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat kemanusiaan
(nasuut) dan manusia sendiri mempunyai sifat ketuhanan (lahuut). Dasar dari
pendapatnya itu berdasarkan pada Q.S. al-Baqarah ayat 34:



Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia
enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Menurutnya, Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud
kepada Nabi Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma. Jika sifat
ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan
yang ada dalam dirinya maka terjadilah hulul. Berdasarkan uraian di atas,
maka hulul dapat diartikan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan
bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini, hulul pada hakikatnya istilah lain dari
ittihad karena tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin.9
2.9 Wahdatul Wujud dan Konsepnya
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu
wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan,
sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti
kesatuan wujud. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata Unity of
Existence. Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari
kedua aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat, esensi atau subtansi.
Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara
makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud
Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud
makhluk hanya foto copy dari Tuhan.
Makhluk sebagai yang diciptakannya hanya mempunyai wujud yang
bergantung kepada wujud yang berada pada dirinya, yaitu Tuhan. Dengan
kata lain yang mempunyai wujud sebenarnya Tuhan dan wujud yang
dijadikan ini sebenarnya tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud
sesungguhnya hanyalah Allah.

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)
8

Paham Wahdatul Wujud tersebut mengisyaratkan bahwa pada manusia


ada unsur lahir dan batin, dan pada Tuhanpun ada unsur lahir dan batin.
Dalam wahdatul wujud ini yang terjadi adalah bersatunya wujud batin
manusia dengan wujud lahir Tuhan. Dengan cara demikian maka paham
wahdatul wujud ini tidak mengganggu zat Tuhan dan dengan demikian tidak
akan membawa keluar dari Islam.
Selanjutnya jika kita buka Al-quran, didalamnya akan dijumpai ayatayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur zahir dan batin.
Misalnya kita membaca ayat 3 dalam surah Al-Hadid :

Dialah yang awal dan yang akhir yang zahir dan yang batin, dan Dia
maha mengetahui segala sesuatu. (QS. AL-HADID, 57;3)

Dan menyempurnakan untukmu nimatnya lahir dan batin


(QS.LUQMAN, 31:20)
Selanjutnya uraian tentang wujud manusia sebagai bergantung kepada
wujud Tuhan sebagaimana dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa
manusia adalah sebagai makhluk yang butuh dan fakir, sedangkan Tuhan
adalah sebagai yang Maha Kaya. Paham yang demikian sesuai pula dengan
isyarat ayat 15 dalam surat Fathir:

Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah


Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.(QS.
FATHIR, 35:15)
Namun dalam pandangan sufi bahwa yang dimaksud dengan zahir
adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedangkan yang batin adalah zat-Nya.
Manusia dianggap mempunyai unsur tersebut karena manusia berasal dari

pancaran Tuhan. Selanjutnya pada ayat 31 surat Luqman di atas dinyatakan


bahwa yang lahir dan batin itu merupakan nikmat yang dianugrahkan Tuhan
kepada manusia. Ayat yang demikian itu jelas bahwa pada manusia juga ada
unsur lahir dan batin.
2.10

Tokoh Sufi Wahdatul Wujud


Paham wahdatul wujud dibawa oleh Muhyidin Ibn Arabi yang lahir di
Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, beliau pindah
ke Tunis di tahun1145, dan disana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. Ia
pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus tahun1240 M.10 Selain sebagai
sufi, beliau juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Menurut Hamka, Ibn
Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul
wujud. Dia telah menegakan pahamnya dengan berdasarkan renungan fikiran
dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan
bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan,
fitnah dan ancaman kaum awam. Baginya wujud (yang ada) itu hanya satu.
Pada hakikatnya tidaklah ada pemisah antara manusia dan Tuhan.

10 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)
10

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa fana adalah
proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan
Tuhan. Sedangkan Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam
penghancuran diri untuk mencapai marifat. Secara singkat, Fana adalah
gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan Baqa adalah berdirinya sifat-sifat
terpuji. Adapun tujuan Fana dan Baqa adalah mencapai penyatuan secara
ruhaniyah dan bathiniyiah dengan Tuhan sehingga yang disadarinya hanya
Tuhan dalam dirinya. Sedangkan kedudukan Fana dan Baqa merupakan hal.
Dalam sejarah tasawuf, Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham
Fana dan Baqa adalah Abu Yazid al-Bustami. Ittihad adalah kondisi
penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah melalui peniadaan diri,
penyaksian, penemuan zat dengan rasa kenikmatan yang luar biasa, maka ini
juga yang disebut kebahagiaan yang tinggi atau kebahagiaan yang sempurna.
Hulul diartikan sebagai penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah zatNya
melebur kedalam tubuh hambaNyan Wihdatu al-wujud yaitu kesatuan dari
dua wujud yang berbeda yaitu wujud pencipta atau tuhan (al-khaliq)dan
wujud ciptaan atau hamba (al makhluq). Wahdat al-wujud adalah ungkapan
yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri,
tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian
wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.

11

Daftar Pustaka
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Tim Penyusun MKD. 2012. Akhlak
Tasawuf Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
A. Mustofa, Drs. H., Akhlak Tasawuf. 2010. Bandung: Pustaka Setia

Drs. Mahjuddin M.Pd.I, Akhlak Tasawuf. 2011. Jakarta: Kalam


Mulia
Kasmuri Selamat, Dr. H., MA dan Ihsan Sanusi, S.Fil.I, M.Ag,
Akhlak Tasawuf. 2012 . Jakarta: Kalam Mulia
Nata , Prof. Dr. H. Abuddin, M.A, Akhlak Tasawuf. 2008. Jakarta:
Rajawali Pers
Al-Quran Online-google search

12

Anda mungkin juga menyukai