Anda di halaman 1dari 8

A.

PENDAHULUAN
Islam memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk
melakukan aktivitas pasar, mereka bebas melakukan jual beli
barang-barang mereka tanpa ada kezhaliman dari mereka,
dengan cara apapun sekehendak mereka sesuai dengan teori
penawaran
disebabkan

dan

permintaan.

karena

Maka

sedikitnya

jika

barang

harga
atau

barang

naik

banyaknya

permintaan, maka hal ini diserahkan kepada Allah Subhanahu wa


Ta'ala, Dia lah yang meluaskan dan menyempitkan rizqi dengan
kehendak-Nya, dan Dia juga yang menaikkan dan menurunkan
harga sesuai keinginan-Nya.
Naiknya atau mahalnya

harga

barang

terjadi

karena

sedikitnya barang (di pasaran), atau sebagaimana yang dikatakan


banyaknya permintaan sedikitnya penawaran (persediaan) barang
sehingga terjadi perebutan barang dagangan, maka terjadilah
kenaikan harga. Dan naiknya harga bisa disebabkan karena
sedikitnya persediaan barang di pasaran, atau karena rakusnya
sebagian masyarakat untuk mengumpulkan (menimbun) barang
dan menjualnya di kemudian hari. Mereka memborong semua
barang di pasar, lalu mereka menimbunnya sehingga menjadi
sedikitlah barang di pasaran dan otomatis harga barang pun naik.
Itulah yang menjadikan harga barang naik.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan campur tangan
di dalam kebebasan individu tanpa ada kebutuhan yang sangat
mendesak sebagai sebuah bentuk kezhaliman, dan bahwasanya
mengharuskan mereka (para penjual) untuk menjual barangnya
dengan harga tertentu termasuk bentuk pemaksaan tanpa alasan

yang dibenarkan. Dan bahwasanya melarang mereka dari apa-apa


yang dibolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah hal yang
diharamkan. Oleh sebab itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menyukai untuk bertemu Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
keaaan terbebas dari tanggung jawab ini, dan untuk jauh darinya.
Dari hal tersebut diatas maka kami akan membahas lebih
dalam tentang hadits penetapan harga (al-tasir).
B. MATAN HADITS
Hadits Pertama:

:
" : :

. "
Artinya:
Dari Anas bin Malik ra., ia berkata:Harta dikota Madinah menjadi mahal di masa
Rasulullah saw., maka orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, harga barangbarang menjadi mahal, maka,tetapkanlah harga bagi kami. Maka Rasulullah saw.,
bersabda: Sesungguhnya Allahlah yang menetapkan harga, Dialah yang menahan,
melepaskan harga dan member rizki. Sesungguhnya aku berharap aku dapat
bertemu kepada Allah Taala dan berharap tiada seorangpun dari kamu menuntut
aku lantaran aku berbuat zalim dalam darah. (HR. Imam lima kecuali NasaI dan
Ibnu Hibban menganggapnya sahih/Bulughul Maram: 849)
Dari hadits ini, kalangan ulama berkesimpulan bahwa haram bagi penguasa
atau pemerintah untuk melakukan intervensi dalam penetapan harga jual komoditi.
sebab, hal tersebut mengarah pada bentuk kedzaliman, dan mengekang kebebasan
manusia dalam beraktivitas jual beli, selain bahwa melindungi kemaslahatan
pembeli tidaklah lebih utama dari kemaslahatan penjual. apabila kemaslahatan
keduanya sudah sama-sama terlindungi, keduanya memiliki hak mutlak untuk
berijtihad dalam mewujudkan kemaslahatannya masing-masing. akan tetapi,

apabila kalangan pedagang atau penjual bertindak dzalim dan sewenang-wenang


yang berbuntut pada ketidak stabilan pasar, pihak penguasa atau pemerintah wajib
melakukan intervensi dan menetapkan standart harga. ini dilakukan demi
melindungi hak manusia, mencegah praktik monopoli, dan menghalangi setiap
bentuk kedzaliman yang terjadi akibat ketamakan kalangan pedagang. atas dasar
ini, Imam Malik membolehkan tasir sebagaimana pendapat sebagian kalangan
mazhab asy syafii.
Hadits Kedua:


( )
Artinya:
Dari Said bin al-Musayyib, diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khattab bertemu
dengan Hathib bin Abi Baltaah, dia sedang menjual kismis di pasar, maka Umar
bin al-Khattab berkata kepadanya,kamu tambah harganya atau angkat dari pasar
kami.
Dari hadits kedua, orang yang pertama kali ikut campur menentukan harga
dipasar adalah Umar bin Khatab dalam hadits diatas dilarang menurunkan harga
karena menurutnya harga yang terlalu murah sepintas memang menguntungkan
konsumen. Namun, dalam jangka panjang itu akan menghancurkan kepenting yang
lebih besar yakni kepentingan penjual dan pembeli itu sendiri. harga yang terlalu
murah, membuat para pedagang enggan berjualan karena keuntungannya terlalu
sedikit dan tidak sepadan dengan jerih payah dan modalnya. jika pedagang enggan
berjualan, pada akhirnya tentu akan mempengaruhi persediaan barang saat
persediaan barang sedikit permintaan banyak, maka akan terjadi harganya
melambung

tinggi

pada

akhirnya

akan

merugikan

masyarakat.

Umar

memerintahkan agar para pedagang tersebut menjual sesuai dengan harga pasar.
C. MAKNA MUFRADAT

: Harga
: Dia-lah satu-satunya Dzat yang menetapkan harga dengan kehendak-Nya

: Yang menyempitkan rezeki


: Yang meluaskan dan melapangkan rezeki
: Menjual kismis
: di Pasar
D. FIKIH HADITS
1. Pengertian Al-Tasir
Kata Tasir berasal dari kata saara - yasru - saran yang artinya
menyalakan. Kemudian dibentuk menjadi kata as-siru dan jamaknya asar
yang artinya harga (sesuatu). Secara etimologi kata at-tasir ( )seakar
dengan kata as-sir ( = harga) yang berarti penetapan harga.1 Tasir adalah
penetapan harga baru yang akan di jual (komoditi) dengan ketentuan bahwa si
pemilik barang tidak merasa terzhalimi dan sipembeli tidak merasa keberatan.2
Adapun menurut pengertian syariah, terdapat beberapa
pengertian.
Menurut Imam Ibnu Irfah (ulama Malikiyah) :
Tasir

adalah

penetapan

harga

tertentu

untuk

barang

dagangan yang dilakukan penguasa kepada penjual makanan


di pasar dengan sejumlah dirham tertentu. (Muhammad bin
Qasim Al-Anshari, Syarah Hudud Ibnu Irfah, II/35).

Menurut Syaikh Zakariya Al-Anshari (ulama Syafiiyah) :


Tasir adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar
agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali

1 Dasar-dasar hokum ekonomi islam


2 Ringkasan fikih sunnah sayyid sabiq

dengan harga tertentu. (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib


Syarah Raudhah Ath-Thalib, II/38).
Menurut Imam Al-Bahuti (ulama Hanabilah) :
Tasir adalah penetapan suatu harga oleh Imam (Khalifah)
atau wakilnya atas masyarakat dan Imam memaksa mereka
untuk berjual beli pada harga itu. (Al-Bahuti, Syarah Muntaha
Al-Iradat, II/26).
Menurut Imam Syaukani :
Tasir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau
siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada
pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan
mereka kecuali dengan harga tertentu dan dilarang ada
tambahan atau pengurangan dari harga itu karena alasan
maslahat. (Imam Syaukani, Nailul Authar, V/335).
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani :
Tasir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau
siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada
pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan
mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang
menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan
harga, atau mengurangi dari harga itu agar mereka tidak
merugikan lainnya. Artinya, mereka dilarang menambah atau
mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat.

2. Hukum Tasir
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tasir menjadi
2 (dua) madzhab sebagai berikut :
Pertama, yang mengharamkan secara mutlak. Ini adalah
pendapat jumhur ulama dari ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan
Hanabilah. Ini juga pendapat ulama muta`akkhirin seperti
Imam Syaukani dan Imam An-Nabhani. Namun sebagian ulama
Hanabilah ada yang mengharamkan secara mutlak seperti
Ibnu

Qudamah,

sementara

ulama

lainnya

ada

yang

memberikan rincian (tafshil) seperti Ibnu Taimiyah dan Imam


Ibnul Qayyim. Artinya, menurut Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul
Qayyim jika tasir mengandung kezhaliman, hukumnya haram.
Jika untuk menegakkan keadilan, hukumnya boleh bahkan
wajib. Pendapat pertama, berdalil dengan hadits-hadits Nabi
SAW, misalnya hadits Anas bin Malik RA diatas.
Imam Syaukani berkata,Hadits ini dan yang semisalnya
dijadikan dalil untuk keharaman tasir dan bahwasanya tasir
itu adalah suatu kezhaliman (mazhlimah).
Semakna dengan pernyataan Imam

Syaukani,

Imam

Taqiyuddin An-Nabhani berkata,Hadits-hadits tentang tasir


menunjukkan keharaman tasir. Juga menunjukkan bahwa
tasir adalah suatu kezhaliman (madzlimah) yang dapat
diajukan kepada penguasa untuk dihilangkan. Maka jika justru
penguasa melakukan tasir, dia berdosa di hadapan Allah,

karena dia telah melakukan perbuatan yang haram.


Kedua, yang membolehkan, meski tidak membolehkan secara
mutlak. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah dan Malikiyah.
Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan tasir jika para
pedagang melambungkan harga secara tidak wajar. Sebagian

ulama Malikiyah membolehkan tasir jika sebagian kecil


pedagang di pasar sengaja menjual dengan harga sangat
murah, sedang umumnya pedagang memasang harga lebih
mahal. Maka tasir dibolehkan untuk menaikkan harga agar
sesuai dengan harga umumnya pedagang. Pendapat kedua,
berdalil antara lain dengan ayat QS An-Nisa` : 29
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka. (QS AnNisa` [4] : 29)
3. Macam-macam Tasir
Para ulama fiqh membagi assir itu kepada dua macam, yaitu:3
a. Harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan ulah para
pedagang. Dalam harga seperti ini, para pedagang bebas menjual barangnya
sesuai

dengan

harga

yang

wajar,

dengan

mempertimbangkan

keuntungannya, pemerintah, dalam harga yang berlaku secara alami ini,


tidak boleh campur tangan, karena campur tangan pemerintah dalam kasus
seperti ini boleh membatasi hak para pedagang.
b. Harga suatu komoditi yang ditetapkan

pemerintah

setelah

mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi pedagang dan keadaan


ekonomi masyarakat. Penetapan harga dari pemerintah ini disebut dengan
at-tasir al-jabari.
Menurut Abd. Karim Ustman, pakar fiqh dari Mesir, dalam perilaku
ekonomi, harga suatu komoditi akan stabil apabila stok barang tersedia
banyak di pasar, karena antara penyediaan barang dan dengan permintaan
konsumen terdapat keseimbangan. Akan tetapi, apabila barang yang
tersedia sedikit, sedangkan permintaan konsumen banyak, maka dalam hal
ini akan terjadi fluktuasi harga. Dalam keadaan yang disebutkan terakhir
3 ddhei

ini, menurutnya, pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah
harga itu. Cara yang boleh menstabilkan harga itu adalah pemerintah
berupaya menyediakan komoditi dimaksud dan menyesuaikannya dengan
permintaan pasar. Sebaliknya, apabila stok barang cukup banyak di pasar,
tetapi harga melonjak naik, maka pihak pemerintah perlu melakukan
pengawasan yang ketat. Apabila kenaikan harga ini disebabkan ulah para
pedagang, misalnya dengan melakukan penimbunan dengan tujuan
menjualnya setelah melonjaknya harga (ihtikar), maka kasus seperti ini
pemerintah berhak untuk menetapkan harga. Penetapan harga dalam fiqh
disebut dengan at-tasir al-jabari.

Anda mungkin juga menyukai