Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

Masalah keamanan vaksin sebetulnya sudah sejak lama menjadi perhatian para
klinis tetapi tampaknya pada masa belakangan ini menjadi lebih menonjol karena
sering kali sering kali di hubungkan dengan mordibitas berbagai penyakit tertentu.
Sampai akhir tahun 1980an di Indonesia tidak banyak terdengar laporan kejadian
yang terhubung dengan vaksin tetapi semakin lama hal itu semakin sering
ditemukan dengan semakin luasnya cakupan program imunisasi, terlebih lagi
dengan adanya program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dengan cakupan dan
publikasi yang begitu luas pada pertengahan tahun 1990 maka masalah mordibitas
yang dihubungkan dengan imunisasi semakin menjadi perhatian masyarakat
luas.1,2
Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin
adalah keseimbangan antara imunogenitas (daya pembentuk kekebalan) dan
reaktogenitas (reaksi simpang vaksin). Untuk mencapai imunogenitas yang tinggi
vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons imun resipien
sehingga tercapai nilai antibody diatas ambang pencegahan untuk jangka waktu
yang cukup panjang. Vaksin harus diupayakan agar tidak menimbulkan efek
simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan dengan gejala klinis
penyakit secara alami. Pada kenyataannya tidak ada vaksin yang benar-benar
ideal, namun dengan kemajuan bioteknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin
yang efektif dan relative aman.2
Karena faktor kekurangtahuan serta informasi yang tidak memadai maka
mulai timbul berbagai kekhawatitran serta keengganan orang tua untuk mengikut
serta kan anak nya dalam program imunisasi. kekhawatiran tersebut akhirnya
tidak saja ditujukan pada efek samping vaksin yang memang merupakan bagian
dari mekanisme kerja vaksin tetapi telah meluas pada semua morbiditas serta
kejadian yang terjadi pada imunisasi yang sangat mungkin sebetulnya tidak
terhubung dengan vaksin dan tindakan imunisasi. Dalam menghadapi hal tersebut

penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang


diberikan ataukah secara kebetulan.
Reaksi simpang yang dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
adalah semua kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa
efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, atau akibat kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.1
Perlu juga dipertimbangkan adanya efek tidak langsung dari vaksin yang
disebabkan kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin
kesalahan prosedur, kesalahan teknik imunisasi, atau kebetulan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi KIPI
Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (KN PP
KIPI), KIPI adalah semua kejadian semua kejadian medik yang berhubungan

dengan imunisasi yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi, baik
berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, atau akibat kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan,
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Pada keadaan tertentu lama
pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca
vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain
pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta
infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau
resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan
reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat
efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek
farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi
idoisinkrasi,

dan

reaksi

alergi

yang

umumnya

secara

klinis

sulit

dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya


terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan
kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetic.
Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong,
influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin,
merkuri), atau unsure lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi
karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta
penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi,
atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan
KIPI oleh

Vaccine Safety Committee, Institute of Medikine (IOM) USA

menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja.


Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan
prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).1,2
2. Epidemiologi
Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin
dalam jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan

melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1,2,3 dan 4. Uji klinis fase 1
dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada manusia.
Uji klinis fase 2 untuk mengetahui kemanan vaksin (reactogenicity dan
safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan juga dilakukan uji efektivitas
(imunogenitas) vaksin.1,2
Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum
tampak, maka untuk menilai KIPI diperlukan uji klinis fase 4 dengan sampel
besar yang dikenal sebagai post marketing surveillance (PMS), tujuan PMS
adalah untuk memonitor dan mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian
yang cukup luas di masyarakat. Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi
program apabila semua KIPI dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan.
Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap
masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap
efek samping vaksin dengan segala akibatnya.1,2
Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the
Institute of Medikine (IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh
karena :
Mekanisme biologis gejala KIPI kurang dipahami
Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat
Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh
Surveilans KIPI belum dilakukan untuk jangka panjang
Publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang masih kurang
Mengingat hal tersebut, makan sangat sulit menentukan jumlah kasus
KIPI yang sebenarnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi dapat ringan sampai
berat, terutama pada imunisasi masal atau setelah penggunaan lebih dari
10.000 dosis.
3. Etiologi
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian
besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk
menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:
1. Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
2. Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
3. Derajat sakit resipien
4. Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
4

5. Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,


kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur.
Komnas PP KIPI mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi :2
1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999)
Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI memakai
criteria WHO Western Pacific untuk memilah KIPI dalam 5 kelompok
penyebab, yaitu kesalahan program, reaksi suntikan, reaksi vaksin,
koinsiden, dan sebab tidak diketahui. Klasifikasi lapangan ini dapat
dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI.
a. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut
dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

Dosis antigen (terlalu banyak)

Lokasi dan cara menyuntik

Sterilisasi semprit dan jarum suntik

Jarum bekas pakai

Tindakan aseptik dan antiseptik

Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik

Penyimpanan vaksin

Pemakaian sisa vaksin

Jenis dan jumlah pelarut vaksin

Tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian,


kontra indikasi dan lain-lain)

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila


terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
Untuk mencegah program error (VSQ 1996):

Alat suntik steril untuk setiap suntikan


Pelarut vaksin yang sudah disediakan oleh produsen vaksin
Vaksin yang sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam
Lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin
5

Pelatihan vaksinasi dan supervisi yang baik


Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yang sama
b. Reaksi suntikan1,2
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI.
Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan
pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope. Reaksi ini tidak
berhubungan dengan kandungan yang terdapat pada vaksin, sering
terjadi pada vaksinasi masal.
Pencegahan reaksi KIPI reaksi suntikan dengan, teknik penyuntikan
yang benar, suasana tempat penyuntikan yang tenang, serta mengatasi
rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar.
c. Induksi Vaksin
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin
dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja
terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan
resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik
dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen
sebagai

kontra

indikasi,

indikasi

khusus,

perhatian

khusus,

atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk


kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus
diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
Pencegahan terhadap reaksi vaksin :
Perhatikan kontra indikasi
Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi

imunitas
Orang tua diajarkan menangani reaksi vaksin yang ringan dan
dianjurkan sefera kembali apabila reaksi vaksin yang ringan dan

dianjurkan segera kembali apabila ada reaksi yang mencemaskan


Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala

ruam dan rasa nyeri


Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis
Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi atau
harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap.

d. Faktor kebetulan (koinsiden)


Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi
secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan
ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat
bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik
serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
e. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan

belum

dapat

dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara


dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih
lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat
ditentukan kelompok penyebab KIPI.

2. Klasifikasi Kausalitas2
Vaccine Safety Comitttee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit
berbeda dengan laporan Committee Institute of Medikine (1991) dan
menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu :
1.
Tidak terdapat bukti hubungan kasusal (unrelated)
2.
Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak
hubungan kausal (unlikely)
3.
Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal
(possible)
4.

Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal


(probable)

5.

Bukti

memastikan

hubungan

kausal

(very

like/certain)
4. Gejala klinis
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi
lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini
disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang

sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu toleransi
terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat obatan untuk
orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek
samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi pelru
diobservasi selama 15 menit.1,2,3
Tabel 2. Gejala klinis KIPI menurut lokasinya
Reaksi KIPI
Lokal

Gejala KIPI
Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya
selulitis, BCG-itis
Kelumpuhan akut

SSP

Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Lain-lain

Kejang
Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis,
edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi >38,5C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus
(3jam)
Sindrom syok septik

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek
samping, maka apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu
diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat).
Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya

setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15


menit. Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap
sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.1,7,12

Tabel 3. Gejala Klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI1,2
Jenis Vaksin
Toksoid Tetanus

Gejala Klinis KIPI


Syok anafilaksis

Saat timbul KIPI


4 jam

(DPT, DT, TT)

Neuritis brakhial

2-28 hari

Komplikasi akut termasuk kecacatan

tidak tercatat

Pertusis whole cell

dan kematian
Syok anafilaksis

4 jam

(DPwT)

Ensefalopati

72 jam

Komplikasi akut termasuk kecacatan

tidak tercatat

dan kematian
Syok anafilaksis

4 jam

Ensefalopati

5-15 hari

Komplikasi akut termasuk kecacatan

tidak tercatat

dan kematian

7-30 hari

Trombositopenia

6 bulan

Campak

Klinis campak pada resipien


imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan

tidak tercatat

dan kematian
Polio hidup (OPV)

Polio paralisis

30 hari

Polio paralisis pada resipien

6 bulan

imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
Hepatitis B

BCG

dan kematian
Syok anafilaksis

4 jam

Komplikasi akut termasuk kecacatan

tidak tercatat

dan kematian
BCG-it is

4.6 minggu

5. Tata cara Pemantauan dan Penanggulangan KIPI1,2


Masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi
selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi secara kebetulan
(koinsiden). Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI
juga keliru. Penyebab sebenarnya adalah kesalahan program yang dapat
dicegah. Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi
dan dilaporkan.
Tujuan Utama pemantauan kasus KIPI adalah untuk mendeteksi dini,
merespon kasus KIPI dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negative
imunisasi terhadap kesehatan individu dan terhadap program imunisasi. Hal
ini merupakan indicator kualitas program.

Kegiatan pemantauan kasus KIPI meliputi :1


Menemukan
kasus,
melacak
kasus,

menindaklanjuti kasus, melaporkan dan mengevaluasi kasus.


Memperkirakan angka kejadian KIPI pada suatu populasi
Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tidak wajar pada batch

vaksin atau merek vaksin tertentu.


Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI merupakan

koinsidens atau bukan.


Mendeteksi, memperbaiki, dan mencegah kesalahan program imunisasi.
Memberi respon yang cepat dan tepat terhadap perhatian orang

menganalisis

kejadian,

tua/masyarakat tentang keamanan imunisasi, di tengah kepedulian


(masyarakat dan professional) tentang adanya resiko imunisasi.

10

BAB III
KESIMPULAN

Imunisasi adalah proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan


vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi ( imunisasi pasif).
Imunisasi aktif menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi dan respon
imun seluler yang melawan agen penginfeksi, sedangkan imunisasi pasif
menyediakan proteksi sementara melalui pemberian antibodi yang diproduksi
secara eksogen maupun transmisi plasenta dari ibu ke janin.
Vaksinasi yang merupakan imunisasi aktif ialah suatu tindakan yaang
dengan sengaja memberikan paparan antigen sari suatu patogen yang akan
menstimulasi sistem imun dan menimbulkan kekebalan sehingga nantinya anak
yang telah mendapatkan vaksinasi tidak akan sakit jika terpajan oleh antigen
serupa. Antigen yang diberikan dalam vaksinasi dibuat sedemikian rupa sehingga
tidak menimbulkan sakit, namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi,
maupun sel memori.
Manfaat utama dari imunisasi/ vaksinasi adalah menurunkan angka
kejadian penyakit, kecacatan, maupun kematian akibat penyakit-penyakit
infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (vaccine-preventable disease).
Imunisasi tidak hanya memberikan perlindungan pada individu melainkan
juga pada komunitas, terutama untuk penyakit yang ditularkan melalui manusia
(person-to-person). Imunisasi juga bermanfaat mencegah epidemi pada generasi
yang akan datang. Selain itu, imunisasi dapat menghemat biaya kesehatan.
Dengan menurunnya angka kejadian penyakit, biaya kesehatan yang digunakan
untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut pun akan berkurang.

11

KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1
bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat
mencapai masa 42 hari (misalnya pada arthritis kronik pasca vaksinasi rubella).
Menurut WHO Western Pacific (1999), ada 5 klasifikasi lapangan penyebab KIPI,
yaitu Reaksi vaksin, kesalahan Program/ Programatic error, reaksi suntikan,
kebetulan/ Co insidensi dan tidak diketahui.
KIPI

merupakan

risiko

program

imunisasi,

sehingga

untuk

mengantisipasinya diperlukan pengetahuan imunisasi yang mendalam bagi


petugas dan penerangan yang jelas kepada orang tua anak yang diimunisasi. Hal
yang perlu diperhatikan juga yaitu setiap vaksin yang dipasarkan dan
dipergunakan telah mengalami beberapa tahap uji klinik dan uji mutu yang sangat
ketat dan bertanggung jawab, sehingga dengan sangat pasti boleh dikatakan, tidak
ada vaksin yang berbahaya yang akan diberikan kepada anggota masyarakat dan
bayi kita. Meskipun demikian tetap saja ada kemungkinan efek samping yang
terjadi dengan pemberian vaksinasi atau imunisasi, meskipun hal ini sudah sangat
jarang terjadi untuk vaksin yang telah dibuat dengan cara pembuatan yang modern
dan sesuai dengan kriteria dan kaidah pembuatan vaksin sangat tinggi. Biasanya
yang terjadi adalah reaksi lokal yang akan berlangsung dalam waktu < 48 jam,
dan reaksi itu akan sembuh atau menghilang dengan sendirinya.
Bila terjadi KIPI vaksin, laporkan kepada dokter bersangkutan,untuk
mendapatkan perawatan dan pertolongan yang diperlukan bagi bayi atau anggota
keluarga kita. Rentang waktu yang diperkirakan adalah KIPI Vaksin, adalah
kejadian KIPI yang terjadi beberapa waktu segera setelah pemberian vaksinasi
atau imunisasi hingga beberapa minggu kemudian setelah kejadian pemberian
vaksinasi atau imunisasi.
Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan imunisasi yang baik akan
mengurangi KIPI. Selain itu juga diperlukan sosialisasi dan pemberian informasi
yang benar dan jelas dari tenaga kesehatan kepada masyarakat tentang manfaat
imunisasi, prosedur, serta reaksi yang mungkin timbul. Penanganan KIPI yang
baik dan komprehensif juga diperlukan dalam rangka menunjang keberhasilan
program imunisasi.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Radji M. Vaksin DNA: Vaksin Generasi Keempat. Majalah Ilmu Kefarmasian.


2009.
2. Mankester. Prinsip-Prinsip Dasar Vaksinasi. Vaksinasi. Jakarta,
Indonesia2008. p. 157-77.
3. Wismarini DM. Imunisasi. In: imunisasi S, editor. SKK imunisasi.
Jakarta2008. p. 1-11.
4. NIH. Understanding Vaccine. U.S.: Different type of vaccine; US Department
of Health and Human; 2008.. p21-31
5. Buana K. Buku Pedoman untuk Kader Imunisasi. Jakarta Selatan: Yayasan
Kusuma Buana; 1991. p5 .
6. Proverawati, Atikah. Perkembangan Imunisasi, Jadwal Imunisasi, Imunisasi
Wajib, Imunisasi Anjuran. Imunisasi dan Vaksinasi. Nuha Medika.
Yogyakarta. 2010.
7. Sekartini R. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
p129-33
8. Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto,
Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2011.
9. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
2014. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2014.
10. Dr. dr. Siti Fadilah Supari S, JP(K). Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. Imunisasi dan KIPI. 2005:p25-37.
11. Sari Rezeki dkk. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1.
Jakarta. Juni 2000.
12. Badan POM RI. Klasifikasi KIPI. Buletin berita MESO, Vol 30, No. 2.
November 2012.

13

14

Anda mungkin juga menyukai