Anda di halaman 1dari 30

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 14 No.

85

2012

INVESTIGASI INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR)


DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT
Lilian Devanita, Yulfitria, Desmira, Azfirman
ABSTRAK
Sehubungan dengan adanya pengembangan peternakan sapi perah di kota
Sawahlunto, Sumatera Barat, maka di tahun 2008 dan 2011, Pemda Sawahlunto
melakukan pengadaan sapi perah dengan anggaran dana APBD dan APBN. Untuk
pengadaan sapi perah akhir Desember 2011, sapi Fries Holland (FH) didatangkan dari
Lembang, Jawa Barat sebanyak 16 ekor sapi betina dalam keadaan bunting. Hingga akhir
Februari 2012 diketahui 3 ekor sapi tersebut mati, 6 ekor sapi lainnya mengalami
abortus dan dipotong paksa. Hasil wawancara dengan petugas kandang diperoleh
informasi bahwa sapi yang didatangkan pada tahap pertama (2008) dan tahap kedua
(2011) dikandangkan bersamaan dengan beberapa ekor sapi jenis Peranakan Ongol (PO).
Pada tanggal 1 Maret 2012 tim BPPV regional II melakukan investigasi penyakit pada
sapi FH dan beberapa ekor sapi PO disekitar lokasi kejadian . Sebanyak 19 ekor sapi
yang akan diperiksakan sampelnya hampir tidak menunjukkan gejala klinis, namun
sebagian besar terlihat kaheksia. Hasil pemeriksaan serologis dengan metoda ELISA
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) menunjukkan adanya kandungan antibodi
seropositif BHV-1 (Bovine Herpesvirus-1) dalam serum darah sapi, sedangkan
pemeriksaan lainnya terhadap sampel plasma darah dan nasal swab dengan metoda PCR
teridentifikasi adanya agen virus BHV-1. Dari hasil pemeriksaan laboratorium ini
didiagnosa 3 ekor sapi terdeteksi IBR positif dan 3 ekor sapi lainnya mengandung IBR
seropositif. Hasil pemeriksaan ini menjawab investigasi yang dilakukan dan dapat
menjelaskan bahwa kasus kematian, abortus dan gejala penyakit ternak sapi di lokasi
kejadian disebabkan oleh IBR akibat infeksi BHV-1.
Kata kunci : Investigasi penyakit, IBR.
PENDAHULUAN
Sehubungan
dengan
adanya
pengembangan peternakan ke arah
produksi air susu di wilayah Sumatera
Barat umumnya dan Kota Sawahlunto
khususnya,
maka
dilakukan
pengembangan ke arah pengadaan sapi
perah di beberapa wilayah di Sumatera
Barat termasuk Sawahlunto.
Setelah sukses dalam pengembangan
peternakan sapi perah dari tahun 2008,
maka pada akhir tahun 2011, Pemerintah
daerah Kota Sawahlunto kembali
mendatangkan 16 ekor sapi Fries Holland
(FH) bunting dari Lembang, Jawa Barat.
Hasil wawancara dengan dinas Pertanian
dan Kehutanan Sawahlunto diperoleh

informasi bahwa hingga akhir Februari


2012 sebanyak 3 ekor sapi yang
didatangkan tersebut mati dan 6 ekor
lainnya mengalami abortus. Sapi yang
mengalami abortus tersebut tidak
dilaporkan dan telah dipotong paksa.
Tugas pokok dan fungsi Balai
Penyidikan dan Pengujian Veteriner
(BPPV) regional II Bukittinggi sebagai
UPT diantaranya adalah
melakukan
penyidikan, survaillans dan monitoring.
Dalam kegiatan ini, tugas BPPV adalah
melakukan investigasi guna mengetahui
penyakit yang terjadi di wilayah wabah
terjadinya penyakit. Hal ini bertujuan
agar Dinas Pemerintah daerah yang
berwenang
dapat segera melakukan

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 14 No. 85

tindakan
pencegahan,
pengobatan,
penanggulangan, pemberantasan atau
pembebasan penyakit jika jenis dan kausa
penyakit diketahui.
Pada tanggal 1 Maret 2012, Dinas
Pertanian
dan
Kehutanan
Kota
Sawahlunto meminta tim BBPV Regional
II
Bukittinggi
untuk
melakukan
investigasi penyakit dari 7 ekor sisa sapi
yang masih hidup bersama beberapa ekor
sapi lainnya yang ditempatkan pada
kandang yang sama.
Tulisan
ini
bertujuan
untuk
memaparkan dan memberikan informasi
mengenai hasil pemeriksaan laboratorium
BPPV regional II dalam menjawab
investigasi wabah penyakit di kota
Sawahlunto, Sumatera Barat.
MATERI DAN METODA
Materi
Penyidikan dilakukan di desa Kolok
Nan Tuo, kecamatan Barangin, kota
Sawahlunto. Langkah penyidikan dimulai
dengan mendengarkan keterangan dari
Dinas
Pertanian
dan
Kehutanan
Sawahlunto, tanya jawab dengan petugas
kandang, dan pengambilan sampel aktif
ke kandang sapi. Sampel yang diperoleh
berupa 18 sampel serum darah, 9 sampel
plasma, 18 sampel ulas darah, 10 sampel
feses dan 8 sampel nasal swab sapi.
Metode
Pengujian di laboratorium dilakukan
dengan tujuan untuk mengidentifikasi
bakteri atau virus penyebab kematian
ternak serta mendeteksi keberadaan
antibodi virus dalam serum. Beberapa
metode yang dilakukan untuk menjawab
investigasi adalah metode EnzymeLinked Immunosorbent Assay (ELISA)
IBR dengan tujuan mendeteksi antibodi
spesifik BHV-1 di dalam serum darah
sapi; metoda PCR (Polymerase Chain
Reaaction) untuk mengidentifikasi virus

2012

IBR; identifikasi bakteri dan uji biologis


pada mencit untuk memeriksa kecurigaan
keberadaan Pasteurella sp; identifikasi
parasit darah dan uji biologis pada
mencit; Rose Bengal Test (RBT) untuk
memeriksakan
kecurigaan
pada
Brucellosis; ditambah dengan uji
pendukung lainnya seperti hematologi;
pemeriksaan
kadar
mineral;
dan
pemeriksaan parasit.
Jenis pemeriksaan yang dilakukan
penulis adalah pemeriksaan serologi
ELISA. Bahan yang diperlukan untuk
pemeriksaan ELISA adalah seperangkat
tes
kit
antibodi
IBR
(IDEXX
Laboratories), kain handuk kecil, tisu,
aquades steril dan 18 sampel serum darah
sapi; sedangkan alat yang digunakan
adalah : mikropipet, pipet tip, mikrotiter
plate, rak serum, reservoar, erlenmeyer,
komputer yang terhubung dengan ELISA
reader dan printer.
Metode pengujian adalah :
- Sebelum digunakan, kit dan serum
dikeluarkan
dari
tempat
0
penyimpanan (suhu 2-8 C) lalu
ditempatkan pada suhu ruang.
- Mikrotiter plate disiapkan, lalu
dimasukkan 75l sampel diluent
pada tiap lubang atau sumuran.
- 25l sampel serum maupun kontrol
ditambahkan ke dalam lubang atau
sumuran.
- Campuran sampel dan diluent dalam
mikrotiter plate dihomogenkan.
- Mikrotiter plate ditutup dengan
menggunakan
parafilm
dan
diinkubasi selama 60 menit pada
suhu 370C.
- Selama menunggu waktu inkubasi,
dilakukan
penyiapan
larutan
pengenceran wash solution dengan
mengencerkan wash solution kental
dan
aquades
steril
dengan
perbandingan 1:10.
- Setelah inkubasi selesai, campuran
sampel dan diluent tadi dibuang dan

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 14 No. 85

masing-masing
sumuran
ditambahkan 300 l larutan wash
solution. Larutan wash solution tiap
sumuran kemudian dibuang lagi.
Lalu dilakukan pencucian serupa
sebanyak 3 kali.
Mikrotiter plate dikeringkan pada
handuk kecil yang dilapisi tisu, lalu
pada mikrotiter plate tersebut
ditambahkan dengan 100 l larutan
konjugat
pada
masing-masing
sumuran.
Mikrotiter plate kembali ditutup
dengan parafilm dan diinkubasi lagi
selama 60 menit pada suhu 370C.
Setelah inkubasi selesai, kembali
dilakukan pencucian mikrotiter plate
sebanyak 3 kali pencucian.
Mikrotiter plate kembali dikeringkan
dengan handuk kecil yang dialasi
tisu.
Selanjutnya ditambahkan 100 l
substrat ke dalam masing-masing
sumuran.
Dilakukan inkubasi lagi selama 15
menit pada suhu ruang dan pada
tempat yang gelap.
Terakhir ditambahkan stop solution
sebanyak 100 l untuk menghentikan
reaksi perwarnaan pada masingmasing sumuran.
Hasil pengujian dibaca dengan
menggunakan photometer/ ELISA
reader dengan panjang gelombang
450 nm.
Nilai (Value) interpretasi hasil
didapatkan dengan perhitungan nilai
Optik Density (OD)
Interpretasi hasil adalah :
Jika value < 35%
= Negatif
Jika value 35- < 45% = Suspect
Jika value 45- >45% = Positif

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
a. Hasil pengamatan ternak dan
wawancara
dengan petugas
kandang

2012

Lokasi
investigasi
penyakit
bertempat di desa Kolok Nan Tuo,
kecamatan Barangin, kota Sawahlunto.
Dari keterangan petugas kandang
diperoleh informasi bahwa sapi FH milik
kelompok tani Kasih Ibu ini (sapi
pengadaan akhir Desember 2011),
ditempatkan pada kandang yang sama
dengan sapi pengadaan tahun 2008 (sapi
FH kelompok Demplot) dan sapi jenis
Peranakan Ongol (PO).
Petugas kandang tersebut mengaku
sempat
memperhatikan
sekilas
perubahan patologi anatomi organ sapi
yang telah dipotong paksa. Dari hasil
wawancara tersebut, diketahui kondisi
hepar sapi yang telah dipotong tersebut
rapuh, paru-paru mengeras, jantung dan
ginjal
membesar,
dan
ditemukan
beberapa pustula yang sulit disembuhkan
pada bagian luar tubuh. Informasi lainnya
adalah 3 dari sisa 7 ekor sapi kelompok
tani Kasih Ibu ini berhasil melahirkan
masing-masing 1 ekor pedet, namun
salah satu pedet yang dilahirkan dalam
keadaan kritis dan terdapat banyak
pustula di beberapa bagian tubuhnya.
Hasil pengamatan langsung pada
sapi FH dan sapi PO secara umum, tidak
menunjukkan
gejala
klinis
yang
signifikan. Sapi terlihat kaheksia dengan
nafsu
makan
mulai
membaik.
Pengambilan sampel serum darah untuk
tujuan investigasi dilakukan pada 7 ekor
sapi FH milik kelompok tani Kasih Ibu, 7
ekor sapi FH milik kelompok tani
Demplot, dan 4 ekor sapi PO milik
peternak lain (Relvi, Sapri, Ardi dan
Novian Candra).
Hasil dugaan sementara, penyakit
mengarah ke Shipping fever/Septisemia
epizootica atau ngorok, akan tetapi
kemungkinan lainnya mengarah ke IBR.

b.

Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1. Hasil pemeriksaan kandungan antibodi IBR dengan metode ELISA

Keterangan:
Jika value 45- >45% = Positif

value < 35%

= Negatif

Tabel 2. Hasil pemeriksaan virus IBR dengan metode PCR

value 35- < 45% = Suspect

Tabel 3. Hasil pemeriksaan Brucellosis dengan Rose Bengal Test

Tabel 4. Hasil pemeriksaan kadar mineral

Keterangan: Kisaran normal kadar mineral sapi


Ca : 8,5 - 11,5
Mg : 1,8 - 3,2 P
: 3,2 - 6,0

TP

: 6,5 - 8,5 (Total protein)

Tabel 5. Hasil pemeriksaan hematologi

Keterangan : angka kisaran normal


HB
: 9,70 - 13,7
HCT
: 0,23 - 0,43
MCHC : 33,0 - 37,0

WBC
RBC

: 5,24 - 9,84
: 5,30 - 7,90

Tabel 6. Hasil pemeriksaan protozoa, parasit darah dan helmin (cacing)

Keterangan:
ANS : Anaplasma sp
THE : Theleria sp
ANE : Anemia
OPG : Oesophagustomum sp
HMC : Haemonchus sp
EIM : Eimeria sp

FSC
PPT
BUN
TCT
COO
TPR

: Fasciola sp
: Paramphistomum sp
: Bunostomum sp
: Trichostrongylus sp
: Cooperia sp
: Tidak ditemukan parasit

Tabel 7. Hasil pemeriksaan uji biologis (parasit darah dan bakteri hasil identifikasi)

Pembahasan
Hasil pemeriksaan serologis terhadap
kandungan antibodi IBR dengan metode
ELISA menunjukkan bahwa 2 dari 7 sapi
kelompok tani Kasih Ibu suspect
mengandung antibodi IBR, 3 dari 7 sapi
milik kelompok Demplot mengandung
seropositif IBR, sedangkan 4 ekor sapi
PO lainnya seronegatif IBR. Hasil ini
disajikan pada Tabel 1.
Hasil pemeriksaan atau identifikasi
virus IBR dengan metode PCR
menggambarkan 3 dari 8 ekor sapi
kelompok tani Kasih Ibu positif terdapat
virus IBR (Tabel 2).
Hasil
pemeriksaan
Brucellosis
dengan RBT (Tabel 3), menunjukkan
semua sapi kelompok tani kasih Ibu,
Demplot dan sapi PO lainnya negatif
Brucellosis.
Hasil pemeriksaan kadar mineral
pada sapi kelompok tani Kasih Ibu
menunjukkan 1 dari 7 ekor sapi
mengalami
hipokalsemia,
hipomagnesemia, dan 4 dari 7 sapi
mengalami
hipoproteinemia.
Hasil
pemeriksaan
kadar
mineral
sapi
kelompok Demplot menunjukkan 2 dari 7
ekor sapi mengalami hipokalsemia dan
hipomagnesemia, dan 4 dari 7 sapi
mengalami hipoproteinemia; sedangkan
hasil pemeriksaan kadar mineral pada
sapi PO menunjukkan 2 dari 4 sapi
mengalami hipokalsemia, 1 dari 4 sapi
mengalami
hipoproteinemia. Hal ini
dapat diamati dari Tabel 4.

Hasil pemeriksaan hematologi pada


sapi
kelompok
tani
Kasih
Ibu
menunjukkan seluruh sapi
memiliki
angka Hb dibawah normal, 7 sapi
memiliki HCT rendah, 4 dari 7 sapi
memiliki angka MCHC yang rendah, 3
dari 7 sapi memiliki WBC yang tinggi, 5
dari 7 sapi memiliki RBC yang rendah
(Tabel 5). Satu ekor sapi PO milik
peternak lainnya menunjukkan Hb, RBC
dan MCHC yang rendah dan WBC yang
tinggi.
Hasil pemeriksaan protozoa, parasit
darah dan helmin (cacing) pada sapi
kelompok tani Kasih Ibu menunjukkan 3
dari 7 sapi terinvestasi Trichostrongilus
sp; 2 dari 7 ekor sapi terivestasi
Anaplasma sp, Oesophagustomum sp,
Haemonchus sp dan mengalami anemia;
1 dari 6 ekor sapi terinvestasi Theileria
sp, Fasciola sp, Paramphistomum sp, dan
Eimeria sp; 2 dari 7 ekor sapi kelompok
Demplot terinvestasi Theileria sp dan 3
dari 7 ekor sapi mengalami anemia;
sedangkan 3 dari 4 ekor sapi PO milik
peternak lainnya terinvestasi Anaplasma
sp,4 ekor sapi terinvestasi Theileria sp,
dan 2 dari 4 ekor sapi mengalami anemia.
Hasil pemeriksaan ini ditampilkan pada
Tabel 6.
Hasil pemeriksaan isolasi dan
identifikasi
bakteri
menunjukkan
ketiadaan bakteri Pasteurella sp (Tabel
7). Hasil pemeriksaan lebih lanjut dengan
uji biologis parasit darah (Anaplasma sp)
dan
bakteri
hasil
identifikasi
(Edwarsiella sp) menunjukkan bahwa

bakteri maupun parasit darah tidak


bersifat lentogenik.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium
ditambah dengan keterangan anamnesa
dan gejala klinis yang teramati di
lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa
agen penyebab penyakit adalah BHV-1.
IBR adalah penyakit menular pada sapi
dan kerbau yang disebabkan oleh Bovine
Herpesvirus-1(BHV-1).
Isolat
lokal
BHV-1 yang berasal dari semen sapi
jantan, mukosa vagina dan mukosa
hidung sapi dapat menularkan penyakit
IBR (Damayanti dan Sudarisman, 2005).
Hasil
pemeriksaan
PCR
menggambarkan adanya infeksi IBR pada
sapi FH yang didatangkan pada akhir
Desember 2011 (sapi kelompok tani
Kasih Ibu), sedangkan hasil pemeriksaan
ELISA menunjukkan beberapa ekor sapi
FH yang didatangkan tahun 2008 (sapi
kelompok Demplot) memiliki antibodi
terhadap BHV-1, namun tidak menutup
kemungkinan
sapi
tersebut
juga
mengandung antigen BHV-1 karena tidak
dilakukan pengujian keberadaan antigen
terhadap sampel sapi ini. Antibodi IBR
pada sapi-sapi ini bisa terbentuk akibat
seringnya kontak langsung pada ternak.
Penularan sering ditemukan pada sapi
yang
dikandangkan
terlalu
padat
(Andrewes et. Al. 1978; Buxton dan
fraser, 1977).
Selain kondisi ternak memburuk,
IBR bisa menjadi penyakit yang
mematikan jika ternak yang sedang
bunting
mengalami
stress
saat
transportasi. Hal ini diduga menjadi
penyebab kematian sapi-sapi yang telah
didatangkan sebelumnya. Anemia yang
dialami beberapa ekor sapi juga diduga
sebagai faktor pemicu makin memburuk
kondisi ternak tersebut.
Hasil deteksi antibodi IBR dengan
metode ELISA memang kurang spesifik
menggambarkan hasil investigasi yang
diharapkan, karena kandungan antibodi
dalam tubuh sapi bisa terbentuk melalui

vaksinasi atau kekebalan tubuh dapatan


yang terjadi melalui infeksi alamiah.
Hasil pemeriksaan ELISA yang paling
akurat untuk menggambarkan hasil
pemeriksaan ini adalah ELISA antigen
BHV-1, namun walaupun demikian, hasil
identifikasi virus BHV-1 dengan metode
PCR telah memberikan hasil pemeriksaan
yang akurat terhadap keberadaan BHV-1.
BHV-1 diklasifikasikan menjadi tiga
tipe yang termanifestasi dari gejala
klinisnya yaitu, tipe BHV-1.1 yang
ditandai dengan gejala klinis IBR, BHV1.2a/b ditandai dengan gejala Infectious
pustular vulvovaginitis (IPV), dan tipe
BHV-1.3 ditandai dengan gejala Bovine
encephalitis.
IBR dapat menyerang saluran
pernafasan maupun genital. Pada bentuk
infeksi saluran pernafasan, gejalanya
adalah demam tinggi, anoreksia, nafas
cepat dan sesak, depresi, serta leleran
hidung yang encer hingga mukopurulen.
Jika virus IBR menyerang saluran genital
sapi betina, maka akan terlihat gejala
klinis profus pustular vulvovaginitis dan
penyakitnya dikenal sebagai Infectious
pustular vulvovaginitis (Sudarisman,
2003). Sapi betina yang terifeksi virus
IBR
tipe
pernafasan
maupun
vulvovaginitis dapat berakibat pada
abortus fetus mulai dari 3minggu hingga
3 bulan setelah mengalami infeksi. Selain
itu, menurut Gibbs dan Rweyemamu,
(1977), infeksi BHV-1 dapat juga hanya
menimbulkan gangguan ringan saja atau
subklinis, tergantung strain virusnya.
Menurut SK Dirjennak No. 103/
TN.510/ KPTS/ DJP/ 0398, IBR
merupakan salah satu dari 6 penyakit
strategis ruminansia besar. Selain itu, IBR
juga merupakan salah satu dari 5
penyakit prioritas pengendalian dan atau
pemberantasan penyakit pada ternak
ruminansia besar (peraturan Dirjennak
No. 59/ Kpts/ PD610/ 05/ 2007).
Pedoman yang dikeluarkan The
office International Des Epizooties (OIE)

dan European Economic Comission


(EEC) dapat menjelaskan IBR adalah
salah satu penyakit kausa viral yang perlu
diperhatikan dalam rangka mencegah
masuknya penyakit penting ke dalam
negeri
dan
mencegah
terjadinya
penolakan ekspor ternak atau produk
ternak ke luar negeri karena dapat
ditransmisikan melalui semen (inseminasi
buatan) maupun embrio transfer (Van
oirschot et. al, 1993).
Oleh karena itu, dalam setiap
lembaga pembibitan ternak di Indonesia,
semua pejantan harus terbebas dari IBR
karena pejantan dapat menularkan IBR
pada saat pemacekan atau melalui semen
yang dihasilkan balai pembibitan.
Beberapa betina juga dapat menderita
infeksi laten yang dapat menjadi aktif
kembali, dan betina ini juga dapat
menulari pejantan saat melakukan
perkawinan atau menulari anak sapi yang
baru lahir selama masa kebuntingan akhir
dan segera setelah anak dilahirkan
(Sudarisman 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penyidikan yang dilakukan
di lokasi kejadian dan dari hasil
pemeriksaan
laboratorium
dapat
disimpulkan bahwa penyebab terjadinya
abortus dan kematian ternak sapi FH di
desa Kolok Nan Tuo, kecamatan
Barangin, kota Sawahlunto, Sumatera
Barat adalah penyakit IBR akibat infeksi
BHV-1.
Saran
1. Isolasi atau pisahkan ternak dengan
diagnosa IBR positif dengan ternak
lainnya.
2. Dinas yang terkait perlu meningkatkan
pengawasan terhadap lalu lintas ternak
3. Lakukan pemberian anti parasit darah
sesuai dosis pada ternak yang
terinvestasi parasit darah.

4. Lakukan pemberian antihelminthika


berspektrum luas pada ternak secara
teratur sesuai dosis.
5. Lakukan
pengontrolan
vektor
penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Andrewes, S. C, H.H. Preira dan P.
Wildy. 1978. Viruses of Vertebrates.
4th edition. Bailliere. Tindall.
London.
Buxton, A and G. Fraser. 1977. Animal
Microbiology, Vol II. Blackwell
Scientific Publication. Oxford.
Damayanti. R dan Sudarisman. 2005.
Patogenitas isolat local virus BHV1 sebagai penyebab penyakit
Infectious Bovine Rhinotracheitis
(IBR) pada sapi Bali. JITV 10 (3) :
227-235.
Gibbs, E,P.J dan Rweyemamu. 1977.
Bovine herpesvirus part I, Bovine
Herpes virus 1. Vet. Bull 47: 317343.
Sudarisman. 2003. Penyakit Infectious
Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada
sapi di lembaga-lembaga
pembibitan ternak di Indonesia. Wartazoa
13(3) : 108-113.
Sudarisman. 2007. Penularan congenital
penyakit
Infectious
Bovine
Rhinotracheitis (IBR) pada sapid an
kerbau di Indonesia. Wartazoa
17(1) : 29-37.
Van Oirschot, J.T, P.J Starver, J.A.H.Van
leispout, Quack, F. Westerbrink dan
A.C.A. Van exsel. 1993. A
subclinical infectious of bulls with
Bovine herpesvirus type 1 at an
artificial center. Vet, Rec. 132: 3235.
Yates, W.D.G. 1982. A review Infectious
Bovine Rhinotracheitis, Shipping
fever pneumonia and viral bacterial
synergism respiratory disease of
cattle. Can J Comp Med 46(3):
225-263.

HASIL MONITORING HOG CHOLERA


DALAM RANGKA PEMBEBASAN PROPINSI SUMATERA BARAT
Rina Hartini, Yulfitria, Lilian Devanita, Erina, Azfirman

ABSTRAK
Telah dilakukan monitoring Hog Cholera pada ternak babi di propinsi Sumatera
Barat. Sampel pengujian adalah serum darah yang diambil dari ternak sapi babi yang
dipilih secara acak. Sampel diperiksa dengan menggunakan metode ELISA. Telah
dilaksanakan Monitoring Investigasi penyakit Hog Cholera sejak tahun 2005-2010, untuk
memantau kejadian kasus Hog Cholera di daerah sentra peternakan babi menunjukkan
hasil seronegatif. Tahun 2010-2012 ditindaklanjuti dengan surveillans pembebasan
(deteksi antigen) di daerah sentra peternakan babi menunjukkan antigen negatif. Tidak
pernah dilaporkan gejala klinis Hog Cholera sejak tahun 2005-2012.
Kata kunci : Hog Cholera, babi, Propinsi Sumatera Barat.
PENDAHULUAN
Penyakit Hog Cholera merupakan
salah satu penyakit hewan menular
strategis di dalam daftar Penyakit Hewan
Strategis Nasional yang tercantum dalam
Kepdirjen No:59/Kpts/PD.610/05/2007
9 Mei 2007, mendapat prioritas dalam
usaha pencegahan, pengendalian dan
pemberantasan.
Prioritas
tersebut
disebabkan
karena
Hog
Cholera
menimbulkan dampak ekonomi yang
cukup besar dan berpengaruh dalam
perdagangan.
Hog Cholera atau yang lebih dikenal
Classical Swine Fever (CSF) adalah
penyakit yang sangat menular dan sering
berakibat fatal, dapat terjadi secara akut,
sub akut dan kronis disertai angka
morbiditas dan mortalitas tinggi. Bentuk
akut ditandai oleh demam tinggi, depresi
berat, perdarahan dalam dan sebatas
permukaan mukosa. Bentuk kronis
ditandai oleh depresi, anoreksia dan
demam ringan dan kesembuhan dapat
terjadi pada babi dewasa. Hog Cholera
Virus masuk kedalam famili Flaviviridae

dan genus Pestivirus


Wensvoort, 1997).

(Terpstra

and

Penularan virus Hog Cholera terjadi


akibat pergerakan babi-babi yang sakit,
daging babi dan produk babi lainnya.
Perpindahan babi yang sakit ini mungkin
merupakan cara penularan penyakit yang
paling menonjol dimana virus Hog
Cholera menyebar dari satu peternakan
ke peternakan lain dari satu daerah ke
daerah lainnya. Virus diketahui stabil
dalam daging dan produk daging dalam
jangka waktu yang panjang oleh karena
itu sampah yang mengandung daging
babi yang tertular merupakan sumber
penularan yang potensial. Virus Hog
Cholera juga dapat dikeluarkan lewat
semen dan dapat menular secara mekanis
lewat jarum suntik, sepatu, peralatan dan
vaksin yang terbuka serta botol- botol
antibiotika dimana petugas berpindah
dari peternakan yang satu kepeternakan
yang lain tanpa melakukan pencucian
atau ada hubungan kerjasama dengan
sejumlah peternakan. Ada beberapa
laporan dari literatur bahwa Hog Cholera
dapat ditularkan oleh serangga sebagai

10

vektor mekanis, meskipun hal ini bukan


dipandang sebagai mekanisme paling
penting dalam penularan virus. Dari
pengamatan perkembangan
penyakit
akhir-akhir ini, Kasus Hog Cholera di
Wilayah Regional II secara klinis tidak
pernah lagi dilaporkan dari lapangan
ternak babi yang menunjukkan gejala
klinis.
Sejarah Hog Cholera di Regional II
Bukittinggi
Bulan Agustus 1995 yang berasal
dari peternakan babi di Muara Kasang,
Kota Padang. Dipeternakan tersebut
terjadi
wabah
penyakit
menular
mengakibatkan kematian 619 ekor dari
total populasi 3.300 ekor dan pada Bulan
Agustus 1996 terjadi kematian 150 ekor
dari total populasi 700 ekor yang berasal
dari daerah Pekanbaru, Propinsi Riau.
Dan pada Bulan April 1998 terjadi
kematian babi di Kota Jambi, Propinsi
Jambi. Dan semua sampel tersebut
diperiksa di Balitvet dan diperoleh hasil
positif Hog Cholera. Dengan demikian
mulai tahun 1995 telah menyerang
Wilayah reginal II Bukittinngi. Sehingga
sejak tahun 1998 sampai sekarang BPPV
telah
melakukan
surveillan
rutin
diwilayah kerja yaitu Propinsi Sumatera
Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau.
Khusus untuk propinsi Sumatera
Barat semua peternakan babi yang
dahulunya ada di Kota Padang dan Kota
Payakumbuh yang populasinya cukup
besar, sejak kejadian wabah semua
peternakan babi ditutup dan peternakan
dipindahkan ke Kota Pekanbaru. Babi
yang dipelihara saat ini adalah babi yang
tersisa dan dipelihara oleh etnis tertentu
yang dimanfaatkan untuk kebutuhan
lokal. Babi di kepulauan Mentawai
merupakan babi hutan yang menjadi jinak
karena sering diberi pakan sisa dapur
akhirnya babi menjadi jinak, umumnya
dipelihara dikolong rumah.

Lokasi Dan Jumlah Populasi Babi


Lokasi
pengambilan
sampel
didasarkan atas informasi dari Dinas
Petemakan atau Dinas yang membawahi
fungsi
peternakan
diperoleh
lokasi/wilayah
yang
masyarakatnya
memelihara ternak babi sebagai berikut :
Di Propinsi Sumatera Barat, terdapat 500
ekor ternak babi dipelihara di 2
Kabupaten dari 19 Kabupaten yang ada
yaitu di Kabupaten Pasaman dan
Kabupaten Padang Pariaman, sedang dan
di Kabupaten Kepulauan Mentawai
tercatat sekitar 40 ribuan babi yang
didomestikasi
Maksud dan Tujuan
Laporan
ini
dimaksudkan
untuk
memberikan gambaran terhadap hasil
surveillans dan Monitoring Hog Cholera
yang telah dilakukan Balai Penyidikan
dan Pengujian Veteriner Regional II
Bukittinggi di Propinsi Sumatera Barat
sejak tahun 2005.
METERI DAN METODE
Materi
Bahan :
- Serum sampel
- Antigen Hog Cholera
- Dilution Buffer
- Washing solution
- Konjugat (HPRO Anti E-2)
- TMB Substrat
- Stop Solution
- Aquadestilata
Alat :
- ELISA Plate
- Micropipet Singlechannel
- Micropipet Multichannel
- ELISA Reader
Besaran sampel (sampling size)
Adalah besarnya sampel yang
akan disampling dengan perhitungan
melalui rumus adalah suatu populasi.

11

Jumlah sampel (sample size) dihitung


dengan
formula
Sampling
for
Prevalence Studies dengan populasi
target sebanyak 500 ekor pada Kabupaten
Padang Pariaman dan Kabupaten
Pasaman, tingkat konfidensi 95%,
perkiraan aras infeksi Hog Cholera 10%
dan galat (random error) sebesar 5%
maka sampel yang dibutuhkan sebanyak
109 ekor. Jumlah sampel yang diperlukan
di Kabupaten Padang Pariaman sebanyak

3/5 x 109 = 65 sampel Kabupaten


Pasaman sebanyak 2/5 x 109 = 44
sampel. Sedangkan untuk sampel yang
diperlukan di Kepulauan Mentawai
adalah

Tahapan sampling

Tahapan
Strategi
Sampling
di
Kabupaten Padang Pariaman dan
Pasaman dan tanpa di Kepulauan
Mentawai

Tahapan strategi sampling yang


digunakan adalah dengan total populasi
babi di Propinsi Sumatera Barat 47.748
ekor yang terdiri atas Kabupaten Padang
Pariaman dan Pasaman sebanyak 500
ekor dan di Kabupaten Kepulauan
Mentawai sebanyak 47.248 ekor.
Jumlah sampel (sample size)
dihitung dengan formula Sampling for
Prevalence Studies dengan populasi
target sebanyak 47.748 ekor, tingkat
konfidensi 95%, perkiraan aras infeksi
Hog Cholera 13.9% dan galat (random
error) sebesar 5% maka sampel yang
dibutuhkan
sebanyak
184
ekor.
Perhitungan jumlah sampel yang
dibutuhkan dibagi menjadi dua kelompok
yaitu di Kabupaten Padang Pariaman dan
Pasaman dan di Kepulauan Mentawai.

Cara pengambilan sampel


Adalah tindakan yang dilakukan terhadap
besaran sampel yang diambil melalui cara
random atau non rambang

Jumlah sampel (sample size)


dihitung dengan formula Sampling for
Prevalence Studies dengan populasi
target sebanyak 500 ekor, tingkat
konfidensi 95%, perkiraan aras infeksi
Hog Cholera 10% dan galat (random
error) sebesar 5% maka sampel yang
dibutuhkan sebanyak 109 ekor.
Tahapan
Strategi
Kepulauan Mentawai

Sampling

di

Jumlah sampel (sample size) ditung


dengan
formula
Sampling
for
Prevalence Studies dengan populasi
target sebanyak 47.248 ekor, tingkat
konfidensi 95%, perkiraan aras infeksi
Hog Cholera 10% dan galat (random

12

error) sebesar 5% maka sampel yang


dibutuhkan sebanyak 139 ekor.
Metode
Pemeriksaan antibodi Hog Cholera
dilakukan secara Elisa Kompetitif. Tahap
Pengujian dilakukan sesuai prosedur
yang dikeluarkan oleh pabrikan kit.
Reagen yang digunakan berupa Kit
ELISA antibodi Hog Cholera VDPro
CSFV Antibody C-ELISA Kit. Rev. 05.

4. Tutup plate dengan penutup,


inkubasi
mikroplate
pada
temperatur kamar selama 60
menit.
5. Buang (kosongkan) semua larutan
dalam mikroplate kemudian Cuci
dengan larutan pencuci (wash
buffer) sebanyak 3 (tiga) kali dan
kemudian setalah pencuacian
terakhir pukulkan mikroplate
sampai terbuang sempurna
6. Isikan 100 l Konjugat (HPRO
Anti E-2) pada semua lubang.
Tutup mikroplate dengan penutup
dan inkubasi mikroplate pada
temperature kamar selama 30
menit.
7. Ulangi langkah 5

Prosedur
Cholera

pemeriksaan

Elisa

Hog

1. Siapkan semua reagen, sampel


dan catatan posisi sampel yang
dalam plate
2. Isi 50 l dilution buffer 1x
kedalam masing-masing lubang
mikroplate
3. Tambahkan 50 l sampel pada
semua lubang mikroplate kecuali
G 11-12 untuk Kontrol Positif dan
H 11-12 untuk Kontrol Negatif

8. Isikan Isikan
100 l TMB
Substrat pada semua lubang
mikroplate
9. Tutup plate dengan penutup,
inkubasi
mikroplate
pada
temperature kamar selama 15
menit. Dan lihat perubahan warna
dengan mata
10. Tambahkan 50 l stop solution
pada semua lubang mikroplate.
Baca
OD
semua
lubang
mikroplate dengan ELISA reade
pada absorbance 450 nm
Pembacaan Hasil
Validasi
1. Hitung nilai mean OD poditif
(PCx) dan Kontrol Negatif
(NCx)

13

2. Nilai Kontrol Negatif harus


lebih dari 0.5
3. Nilai Kontrol Positif harus
kurang dari 0.2
Interpretasi
1. Hitung % PC sampel
dengan
rumus : % PC = (NCx- OD sampel )/
(NCx
PCx) X 100
2. Interpretasi Jika hasilnya meragukan,
periksa sampel ( kontaminasi bakteri
dll) dan lakukan test ulangan
3. Jika hasil ulangan tetap meragukan,
periksa epidemiologi farm dan
lakukan pengambilan sampel serum
ulang dan lakukan pemeriksaan lagi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Lapangan
Dari
pengamatan
dilapangan
terhadap ternak babi yang dipelihara di
Propinsi Sumatera Barat sangat sedikit,

berada pada lokasi yakni di Kabupaten


Pasaman, Kabupaten Padang Pariaman
dan Kabupaten kepulauan Mentawai.
Babi yang dipelihara sebagai pemenuhan
kebutuhan untuk masyarakat non muslim
yang membutuhkan daging babi. Babi
tersebut
terlokalisir
pada
satu
kawasan/kelompok peternak. Umumnya
babi dipelihara secara tradisional, dimana
dibuat kandang petak-petak disekitar
rumah mereka. Pakan yang diberikan
berupa sisa-sisa dapur ditambah sedikit
pakan konsentrat (penguat).
Peternak babi umumnya memelihara
secara tradisional kurang memperhatikan
kualitas pakan dan kebersihan kandang
serta lingkungan sehingga mempermudah
atau mempercepat timbulnya kasus
penyakit. Babi yang dipelihara di Kab.
Padang Pariman dan Pasaman berasal
dari keturunan babi Ras Landrice atau
dikenal masyarakat sebagai babi putih,
sedangkan di Kepulauan Metawai babi
Hutan (babi hitam).

Hasil pemeriksaan laboratorium


Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Sampel babi di Propinsi Sumbar tahun 2005 dan 2007

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Sampel babi di Propinsi Sumbar tahun 209 dan 2010

14

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Sampel babi di Propinsi Sumbar tahun 2011 dan 2012

Pra pembebasan
Dalam upaya mengetahui status dan
perkembangan
penyakit,
Balai
Penyidiakan dan Pengujian Veteriner
Regional II Bukittinggi telah melakukan
Surveilans dan monitoring terhadap
penyakit babi seperti Hog Cholera sejak
tahun 2005 s.d 2010. Sampel yang
diperoleh
diperiksa
dilaboratorium
virologi dengan menggunakan Teknik
CSFV antigen ELISA dirancang guna
mendeteksi protein atau antigen Virus
Hog Cholera dalam biakan sel terinveksi,
lekosit dan jaringan baik menggunakan
antibodi monoklonal berdasarkan double
sandwich EISA. Teknik ELISA ini adalah
adalah satu teknik pengujian yang relatif
cepat, mudah dan spesifik untuk
mendeteksi antigen Virus HC, termasuk
reaksi silang dengan pestivirus lainnya,
seperti Bovine Viral Diarrhea (BVD) dan

Border Disease (BD). Teknik ini


menunjukkan korelasi yang bagus dengan
reserve transkriotase polymerase chain
Reaction (PCR) dan isolasiVirus. CELISA merupakan salah satu uji serologis
yang dapat digunakan untuk deteksi
antibodi pre dan pasca infeksi/vaksinasi,
memiliki sensitivitas dan spesifitas,
masing-masing 97,7% dan 88,4% dan
mudah dikerjakan.
Surveilans dan monitoring Hog
Cholera di Regional II dari Tahun 20052010 tidak pernah dilaporkan adanya
kasus yang menunjukkan adanya gejala
klinis Hog Cholera. Dari hasil
pemeriksaan sampel terhadap penyakit
Hog Cholera dengan metode ELISA,
tahun 2005 di Propinsi Sumbar, Kota
Payakumbuh Kec. Payakumbuh Barat di
peroleh hasil bahwa satu dari 15 sampel
menujukkan seropositif (7%), kemudian

15

menurut informasi dinas setempat ternak


babi tersebut telah dipotong. Pada saat
itu karena desakan masyarakat sekitar
terhadap peternakan babi, tahun 2006
peternak
menutup
usahanya
dan
dipindahkan ke Kota Pekanbaru.

tengah 27 sampel, Kecamatan sipora


Utara Desa Sidomakmur 17 sampel dan
Desa Tua Pejat 43 sampel dan hasil
pemeriksaan yang diperoleh adalah 100%
seronegatif.

Tahun 2007 hasil pemeriksaan


sampel di Propinsi Sumbar, Kab. Padang
Pariaman, Kec. Batang Anai 10 sampel,
Kepulauan Mentawai, Kec. Sugulubek,
semua menunjukkan hasil seronegatif.
Tahun 2009 di Propinsi Sumbar, Kab.
Padang Pariaman, Kec. Batang Anai 13
sampel dan Kab. Pasaman, Kec. Panti 20
sampel semuanya menujukkan hasil
seronegatif
(100%).
Dari
hasil
pemeriksaan sampel di propinsi Sumatera
Barat selama lima tahun terakhir ( 20052009 terhadap antibodi Hog Cholera
diperoleh hasil 100% seronegatif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Program Pembebasan
Pada Tahun 2010 sampel yang
berasal dari Propinsi Sumatera Barat,
Kabupaten Padang Pariaman, Kecamatan
Batang Anai dan Desa Sungai Buluh
diperiksa sebanyak 25 sampel dan
diperoleh hasil 100% seronegatif. Pada
Tahun 2011 diperiksaan sebanyak 61
sampel dari 300 ekor populasi bari yang
terancam dan diperoleh hasil 100%
seronegatif. Pada Tahun 2012 diperiksaan
sebanyak 42 sampel dan diperoleh hasil
100% seronegatif.
Di Kabupaten Pasaman, Kecamatan
Panti, Desa Cengkeh Panti pada tahun
2011 sebanyak 54 sampel dan diperoleh
hasil 100% seronegatif. Pada Tahun 2012
diperiksaan sebanyak 40 sampel dan
diperoleh hasil 100% seronegatif.
Di Kabupaten Kepulauan Mentawai
tahu 2012 diperoleh sampel di
Kecamatan Siberut Barat Daya desa
Sugulubek
sebanyak
3
sampel,
Kecamatan Siberut Selatan Desa Muara
Siberut 19 sampel, Desa Mailepet 10
sampel, Kecamatan Sikakap desa Sikakap

Kesimpulan
Telah
dilaksanakan
Monitoring
Investigasi penyakit Hog Cholera sejak
tahun 2005-2010, untuk memantau
kejadian kasus Hog Cholera di daerah
sentra peternakan babi menunjukkan
hasil seronegatif.
1. Tahun 2010-2012 ditindaklanjuti
dengan
surveillans
pembebasan
(deteksi antigen) di daerah sentra
peternakan babi menunjukkan antigen
negatif.
2. Tidak pernah dilaporkan gejala klinis
Hog Cholera sejak tahun 2005-2012
Saran
1. Dari hasil pengujian laboratorium dan
informasi klisnis menunjukkan hasil
negatif,
maka
Sumatera
Barat
direkomendasikan
untuk
dapat
dibebaskan terhadap penyakit Hog
Cholera berdasarkan SK Menteri
Pertanian.
2. Agar selalu dijaga lalu lintas ternak
babi dan produknya, babi babik pada
check point, maupun dipintu masuk
karantina sebagai kondisi bebas tetap
terjamin
3. Perlu peraturan daerah yang mengatur
pemasukan ternak babi ke Sumatera
Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, Office International des
Epizooties, World Organisation for
Animal Health, Manual of

16

Standards for Diagnostic Tests and


Vaccines, Fourth Edition, 2000.
Anonimus,
Manual Penyakit Hewan
Mamalia, Dirkeswan, Dirjen Bina
Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian, 2001
Anonimus,
2008, Kematian babi di
Sumater
Utara
tidak
membahayakan
manusia,
http://www.medanbisnisonline.com
/rubrik.php?p=119955&more=1,
diakses tanggal 28 November 2008.
Eka, 2008. Penyidikan Hog Cholera
Dalam
Rangka
Kegiatan
Pemberantasan
Hog
Cholera.
BPPV.
Geering, W. A., Forman, A. J., Nunn, M.
J., 1995, Exotic disease of animals,
Bureau of resource sciences,
Departement of primary industries
and energy,Australian government
publishing service, Canberra, Pp.:
74 84.

Miswati Y, dkk., 2003. Surveilans dan


Pemetaan Penyakit Dalam Rangka
Pemberantasan Hog Cholera Di
Regional II Bukittinggi. Buletin
Informasi Kesehatan Hewan, Vol. 5
No. 66.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya Laporan Tinjauan
Hasil Surveillans dan Monitoring Hog
Cholera di Propinsi Sumatera Barat ini,
kami mengucapkan terima kasih dan
kerjasamanya kepada :
1.
2.

3.

Ressang, A. A., 1986, Penyakit viral pada


hewan, UI-Press, Jakarta, hal.: 168
-180.

4.

Susan, M., Koenig, M., Saalmuller, A.,


Reddehase, M. J., Theil, H. J.,
1992, Pathogenesis of classical
swine
fever;
B-lymphocyte
deficiency caused by hog cholera
virus, J virol: 66:1171 1175.

5.

Kepala Dinas Peternakan Propinsi


Sumatera Barat beserta Kepala
Bidang Keswannya
Kepala Dinas Pertanian Peternakan
dan Kehutanan Kabupaten Padang
Pariaman beserta kepala Bidang
Keswannya.
Kepala Dinas Pertanian, Peternakan
dan
Perkebunan
Kabupaten
Kepulauan Mentawai beserta kepala
Bidang Keswannya.
Kepala Dinas Perikanan dan
Peterenakan
dan
Perkebunan
Kabupaten Kepulauan Mentawai
beserta kepala Bidang Keswannya.
Kepada Semua Pihak yang tidak
mengkin disebut satu persatu, yang
terlibat dalam program surveillans
dan monitoring Hog Cholera di
Propinsi Sumatera Barat.

17

PENYIDIKAN PENYAKIT EKSOTIK


DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HEWAN
TERHADAP PENYAKIT EKSOTIK (PMK) TAHUN 2012
Helmi, Yulfitria, Lilian Devanita, Erina, Azfirman
ABSTRAK
Telah dilakukan Penyidikan penyakit eksotik PMK dalam rangka kegiatan
perlindunagn hewan pada ternak sapi di propinsi Sumatera Barat, Riau jambi dan
Kepulauan Riau. Sampel pengujian adalah serum sapi yang diambil dari ternak sapi sapi
yang dipilih secara acak. Sampel diperiksa dengan menggunakan metode Elisa PMK.
Sampel serum yang diperiksa menunjukkan hasil 100 % negatif terhadap penyakit PMK.
Kata kunci : PMK, Elisa, Regional II
PENDAHULUAN
Penyakit Eksotik adalah penyakit
yang berasal dari luar Negeri dan
kejadiannya sampai sekarang belum
ditemukan atau sudah tidak terjadi lagi
kasus tersebut di
Indonesia. Kasus
penyakit eksotik menimbulkan dampak
yang sangat besar bagi keadaan sosial,
ekonomi bahkan politik Indonesia, oleh
karena itu deteksi dini dan keakuratan
diagnosis adalah kunci dalam usaha
pencegahan masuknya penyakit eksotik
ke Indonesia. Dari beberapa penyakit
eksotik yang harus terus diwaspadai agar
tidak masuk ke Indonesia antara lain
adalah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
dan penyakit Bovine Spongiform
Encephalopathy (BSE).
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus dari genus Aphthovirus yang
merupakan virus yang berjangkit
disebagian
besar
belahan
dunia,

seringkali menyebabkan epidemi yang


luas pada sapi dan babi piaraan (Frank,
dkk, 1995)
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
adalah penyakit yang sangat menular dan
merugikan pada semua hewan berkuku
belah. Penyakit ini disebabkan oleh virus
dari
genus
aphthovirus,
familia
Picornaviridae. Terdapat tujuh serotype
virus PMK yaitu ; O, A, C, Asia 1, SAT 1,
SAT 2 dan SAT 3 (OIE, 2004a), secara
klinis serotipe ini tidak dapat dibedakan.
Beberapa spesies seperti sapi, babi ,
kambing, domba, kerbau dan hewan liar
berkuku belah seperti rusa, antelope dan
babi hutan juga dapat terjangkit PMK
(OIE, 2004a). Diantara hewan-hewan di
Asia, sapi dan kerbau mempunyai
kerentanan yang tinggi baru diikuti babi
sedangkan kambing dan domba bersifat
kurang rentan dan hanya memainkan
peranan sedikit dalam penyebaran
penyakit (Subronto,1997).
18

Gejala klinis yang ditimbulkan dapat


berfariasi tergantung galur virus PMK
yang menyerang, gejala klinis yang
pertama muncul adalah kenaikan suhu
tubuh diikuti lemas, nafsu makan turun,
pada saat lepuh-lepuh terbentuk didalam
mulut salivasi akan meningkat dan
disertai terbentuknya busa disekitar bibir
serta leleran saliva yang menggantung.
Lepuh dapat terlihat pada permukaan
bibir sebelah dalam, gusi, lidah bagian
samping dan belakang. Kulit dicelah
teracak menjadi bengkak, merah dan
panas sehingga hewan tidak bias berdiri,
lepuh-lepuh ini mudah pecah sehingga
isinya mudah keluar dan meninggalkan
keropeng bersisik, adanya infeksi
sekunder akan menunda kesembuhan lesi.
(Subronto,
1997).
Aphthovirus
menginfeksi berbagai hewan teracak dan
spesies hewan liar. Sapi, kerbau air,
domba, kambing, unta dan babi adalah
rentan terhadap penyakit mulut dan kuku
(Frank, dkk, 1995).
Kejadian
PMK
pertama
kali
dilaporkan tahun 1887 di Malang
kemudian menyebar ke Sumatera, Jawa,
Sulawesi, Kalimantan , Bali dan Nusa
Tenggara. Tahun 1962 kembali muncul di
Bali akibat masuknya ternak secara
illegal dari Jawa Timur dan berakhir
tahun 1966, tahun 1983 terjadi wabah
ketiga di Jawa Tengah dan Jawa Timur
dan dalam waktu 2 minggu telah
menyebar keseluruh Pulau Jawa melalui
perpindahan ternak dan perdagangan
daging (Direktorat Bina Produksi
Peternakan, 2002). Kebijakan pemerintah
untuk mengendalikan penyakit tersebut
dengan melakukan vaksinasi masal serta
mengontrol jalur perpindahan hewan
serta produk asal hewan.
Vaksinasi
meliputi lebih dari 95% ternak yang
diduga terserang PMK di Jawa yang
memberi hasil penurunan kasus PMK
tahun 1974-1983. Status bebas PMK
dimulai di Bali tahun 1978, Jawa Timur
1981, sulawesi Selatan 1983, Indonesia

dinyatakan bebas dari PMK tahun 1986


(Direktorat Jenderal Produksi Peternakan,
2002).
Penyakit
mulut
dan
Kuku,
merupakan penyakit yang berbahaya,
telah mendorong dibuatnya peraturan
internasional yang ditujukan untuk
menekan sekecil mungkin resiko
masuknya penyakit hewan ke suatu
negara. Beberapa negara telah berhasil
dapat mencegah masuknya Penyakit
mulut dan Kuku dengan melarang
pemasukan semua jenis hewan dan
produk hewan dari negara tempat
penyakit itu berjangkit (Frank, dkk,
1995).
Wilayah Indonesia yang berbatas laut
dengan negara lain dengan lalu lintas
yang padat mengakibatkan posisi
Indonesia yang terbuka sehingga
memungkinkan masuknya berbagai agen
penyakit dari luar negeri ke Indonesia
baik secara legal maupun illegal, dengan
adanya
kedaan
itu
mengandung
konsekuensi untuk selalu waspada
dengan
melakukan
surveilans
menyeluruh dan berkesinambungan, oleh
karena itu BPPV Regional II Bukittinggi
sebagai Laboratorium diagnostik dengan
wilayah kerja yang berbatasan dengan
Negara tetangga Malaysia dan Singapura
mempunyai tugas untuk melakukan
early detection terhadap penyakit eksotik
untuk mencegah masuknya penyakit
tersebut ke Indonesia melalui wilayah
regional II. Untuk mempertahankan
status bebas PMK dan mencegah
masuknya penyakit BSE maka dilakukan
surveilans terhadap penyakit tersebut,
daerah dengan resiko tinggi dipilih untuk
mendeteksi adanya kejadian penyakit
PMK dan BSE di wilayah Regional II.
MATERI DAN METODA
Materi

19

Daerah
pengambilan
sampel
ditentukan berdasarkan atas pedoman dan
identifikasi resiko potensial terhadap
penularan Penyakit Mulut dan Kuku
(PMK) yakni; kedekatan dengan daerah
tetangga, tingginya lalu lintas ternak dan
jumlah distribusi daging yang berasal dari
impor illegal. Sehingga atas dasar
tersebut dari 4 propinsi di wilayah kerja,
hanya propinsi Sumbar yang tidak
dilakukan disampling
Lokasi surveilans dan jumlah sampel
tahun 2012 terdapat pada table 1 sampai
3. Serum yang dikoleksi kemudian
dilakukan pengujian di BPPV Regional II
Bukittinggi dengan metoda ELISA untuk
mendeteksi adanya titer Antibodi
terhadap PMK dengan menggunakan
ELISA test kit produksi Jenobiotech.

20

Tabel 1. Jumlah Sampel Investigasi Penyakit Mulut dan Kuku Propinsi Kep.Riau

Tabel 2. Jumlah Sampel Investigasi Penyakit Mulut dan Kuku Propinsi Riau

Tabel 3. Jumlah Sampel Investigasi Penyakit Mulut dan Kuku Propinsi Jambi

Metode
Prosedur
1.

Inkubasi
Antigen

serum,

Konjugate

dan

Isi 50 l serum refferens 1 pada


lubang mikroplate A1 dan B1
2. Isi 50 l serum refferens 1 pada
lubang mikroplate C1 dan D1
3. Isi 50 l serum refferens 1 pada
lubang mikroplate E1 dan F1
4. Isi 50 l serum refferens 1 pada
lubang mikroplate G1 dan H1
5. Isi 50 l serum uji pada satu
lubang (tes tunggal)atau dua
lubang (tes duplikat)
6. Isi 50 l konjugat
(working
dilution) pada semua lubang
mikroplate
7. Isi 50 l antigen (working
dilution) pada semua lubangng
mikroplate
8. Tutup plate dengan penutupnya
9. Homogenkan dengan shaker
10. Inkubasi
mikroplate
pada
temperatur kamar selama 90
menit
2. Inkubasi dengan kromogen /Larutan
Substrat
a. Buang semua larutan dalam
mikroplate cuci dengan washing
solution sebanyak enam kali pada
pencucian terakhir pukulkan
mikroplate pada lap kering
1.

b. Isi 100 l kromogen /substrat pada


semua lubang mikroplat
c. Inkubasi pada suhu kamar selama
15 20 menit
d. Tambahkan 100 l stop solution
pada semua lubang mikroplat
e.
Lakukan pencampuran isi pada
lubang mikroplat
3. Pembacaan hasil
a. Baca Optical density (OD) semua
lubang mikroplat dengan ELISA
reader setelah 15 menit perubahan
warna dihentikan
b.
Kalkulasi nilai mean OD dari
serum referens 1
c. Kalkulasi nilai corrected OD dari
serum referen 2,3 dan 4 serta
sampel uji dengan mengganti nilai
OD mean dari serum referen 1
d.
Kalkulasi persentase inhibition
(PI) dari serum refren 2 dan 3
serta sampel uji sesuai dengan
formula
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari 250 sampel serum yang
diperiksa pada tahun 2012 dengan
Metode ELISA, 100% sampel seronegatif
terhadap pengujian Penyakit Mulut dan
Kuku terdapat pada Tabel berikut ini ;

Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Pengujian Penyakit Mulut dan Kuku Prop. Riau

Tabel 9. Rekapitulasi Hasil Pengujian Penyakit Mulut dan Kuku Prop.Kep. Riau

Tabel 10. Rekapitulasi Hasil Pengujian Penyakit Mulut dan Kuku Prop. Jambi

Hasil pemeriksaan laboratorium


Virologi terhadap Penyakit Mulut dan
Kuku tahun 2012 dikawasan Regional II,
seluruhnya
atau
100%
sampel
menunjukkan hasil seronegatif terhadap
PMK, seluruh sampel tersebut berasal
dari 3 Propinsi, yang terdiri dari Propinsi
Kepulauan Riau sebanyak 109 sampel,
Propinsi Riau sebanyak 98 sampel dan
Propinsi Jambi sebanyak 43 sampel, ini
berarti
tidak
terdapatnya
reaktor
penyebab PMK di wilayah Regional II,
mengingat semakin meningkatnya lalu
lintas ternak, bahan pangan asal hewan
dan bahan asal hewan dari negara lain ke
wilayah Indonesia melalui propinsi di
wilayah Regional II mengandung
konsekuensi untuk terus melakukan
investigasi PMK secara berkelanjutan
dengan memperbanyak jumlah sampel
yang diperiksa.
Dalam rangka mempertahankan
status bebas dari penyakit Eksotik (PMK)
BPPV Regional II terus menerus setiap
tahunnya melakukan kontrol terhadap
masuknya ternak sapi atau bahan asal
hewan ke wilayah kerja BPPV Regional
II (Propinsi Kepulauan Riau, Riau, Jambi
dan Sumatera Barat) melalui koordinasi
dan kerja sama dengan Dinas Peternakan
setempat untuk melakukan pemeriksaan
Laboratorium dengan Uji ELISA, HE dan

IMUNOHISTOKIMIA bagi
ternakternak yang ada dikawasan Regional II,
sehingga
ternak-ternak
tersebut
dipastikan bebas dari penyakit Eksotik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
- Regional II
Masih bebas dari
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
Saran
- Perlu dilakukan surveilans ulang
setiap tahun terhadap penyakit PMK
serta penyakit eksotik yang lain.
- Perlu adanya metode yang baku
dalam
pelaksanaan
surveilans
penyakit eksotik untuk menjamin
keakuratan data.
- Pengembangan metode uji terhadap
penyakit eksotik dengan tingkat
sensitifitas yang tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, Manual Standar Metode
Diagnosa Laboratorium Kesehatan
Hewan (1999)
Direktorat
Bina
Kesehatan
Hewan,
Direktorat
Jenderal Peternakan, Departemen
Pertanian.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2002.


Perhitungan
Kerugian
Ekonomi
akibat Penyakit Mulut dan Kuku.
Departemen
Pertanian
Republik
Indonesia.

Sitepoe, mangku. 2000. Sapi Gila


(Bovine Spongiform Encephalophaty)
keterkaitannya dengan berbagai
Aspek.
Gramedia
Widiasarana
Indonesia, Jakarta

Frank, J.Fenner, dkk. 1995. Virologi


Veteriner Edisi kedua,
IKIP
Semarang Press, Semarang

Subronto. 1997. Penyakit Ternak. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta

Geering, W.A, dkk 1995. Exotic Disease


of Animal, Australian Goverment
Publising
Service, Canberra
OIE.2004a. Manual of Standards or
Diagnostic Test and Vaccines.5thed.
Foot and Mouth Disease. OIE.

Suseno,
P.P.,dkk,
2007.
Analisis
Serosurveilen Penyakit Mulut dan
Kuku Di Indonesia.
Buletin
Veterinaria Farma. Surabaya.

PENYIDIKAN PENYAKIT EKSOTIK


DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HEWAN
TERHADAP PENYAKIT EKSOTIK (BSE) TAHUN 2012
Helmi, Ibenu Rahmadhani, Sri Wilyani, Herman, Azfirman
ABSTRAK
Telah dilakukan Penyidikan penyakit eksotik (BSE) dalam rangka kegiatan perlindunagn
hewan pada ternak sapi di propinsi Sumatera Barat, Riau jambi dan Kepulauan Riau.
Sampel pengujian adalah Otak sapi yang diambil dari ternak sapi sapi yang dipilih secara
acak pada lokasi perbatasan. Sampel diperiksa dengan menggunakan metode
Hematoksilin Eosin. Sampel otak yang diperiksa menunjukkan hasil 100 % negatif
terhadap penyakit BSE.
Kata kunci : BSE, HE, Regional II
PENDAHULUAN
Bovine Spongiform Encephalopathy
(BSE) atau Mad cow adalah penyakit
pada sapi dewasa yang menyerang
susunan syaraf pusat dengan ditandai
adanya degenerasi spongiosa pada sel
syaraf yang berdampak fatal (fatal
Neurologikal disease). Penyakit BSE ini
termasuk dalam kelompok penyakit
transmissible
spongiform
encephalopathies (TSE).
Menurut Sitepoe tahun 2000 Bovine
Sponiform Encephalopathy disebabkan
oleh sejenis protein yang disebut Prion
(Proteinaceous Infectious) dan disingkat
PrP. Prion sangat tahan terhadap bahan
kimia yang bersifat merusak (formalin,
ethanol, deterjen, H2O2 dll) dan berbagai
kondisi yang ektrim seperti suhu (sampai
1320C) dan tekanan tinggi, pH rendah
mau tinggi. Penyakit yang disebabkan
oleh Prion ini dapat menyerang manusia
maupun hewan, dan sampai sejauh ini
belum dapat diobati.
Hewan yang peka terhadap BSE
adalah sapi, dan sejauh ini diketahui
bahwa tidak ada perbedaan kepekaan
diantara ras atau jenis sapi terhadap BSE.
Penularan BSE terutama melalui pakan

yang mengandung tepung daging dan


tulang (Meat Bone Meal/MBM) yang
berasal dari hewan penderita. Penularan
secara kontak langsung belum pernah
dilaporkan, sedang penularan secara
vertical dari induk ke anak sangat kecil
kemungkinannya. Manusia tertular BSE
melalui daging dan produk lain dari
hewan yang menderita BSE.
Rata-rata sapi yang terserang BSE
berumur 5 tahun. Masa inkubasi BSE
antara 2 - 8 tahun dengan rata-rata 5
tahun. Gejala klinis yang paling menonjol
adalah gejala syaraf. Secara umum terjadi
perubahan pada status mental dan tingkah
laku, abnormalitas bentuk tubuh dan
pergerakan serta gangguan sensorik.
Gejala umum yang nampak antara lain
hilangnya nafsu makan, kekurusan,
penurunan produksi susu, ataksia
(kejang-kejang), tremor, agresif dan suka
menyepak, telinga tegak dan kaku
kadang-kadang hewan terjatuh. Selain itu
hewan penderita sangat sensitif terhadap
suara, sinar dan sentuhan.
Penyakit Mulut dan Kuku memiliki
nilai yang penting terhadap peternakan
karena keberadaan penyakit tersebut
menimbulkan
dampak
penurunan

produktifitas hasil peternakan karena


memiliki morbiditas yang tinggi dan
mortalitas yang cukup tinggi pada hewan
yang muda. Selain itu BSE merupakan
penyakit yang penting dan perlu selalu
diwaspadai kemungkinan penyebarannya
karena tidak hanya berbahaya bagi hewan
tapi juga bagi manusia karena bersifat
zoonosis.
Penyakit
mulut
dan
Kuku,
merupakan penyakit yang berbahaya,
telah mendorong dibuatnya peraturan
internasional yang ditujukan untuk
menekan sekecil mungkin resiko
masuknya penyakit hewan ke suatu
negara. Beberapa negara telah berhasil
dapat mencegah masuknya Penyakit
mulut dan Kuku dengan melarang
pemasukan semua jenis hewan dan
produk hewan dari negara tempat
penyakit itu berjangkit (Frank, dkk,
1995).
Wilayah Indonesia yang berbatas laut
dengan negara lain dengan lalu lintas
yang padat mengakibatkan posisi
Indonesia yang terbuka sehingga
memungkinkan masuknya berbagai agen
penyakit dari luar negeri ke Indonesia
baik secara legal maupun illegal, dengan
adanya
kedaan
itu
mengandung
konsekuensi untuk selalu waspada
dengan
melakukan
surveilans

menyeluruh dan berkesinambungan, oleh


karena itu BPPV Regional II Bukittinggi
sebagai Laboratorium diagnostik dengan
wilayah kerja yang berbatasan dengan
Negara tetangga Malaysia dan Singapura
mempunyai tugas untuk melakukan early
detection terhadap penyakit eksotik untuk
mencegah masuknya penyakit tersebut ke
Indonesia melalui wilayah regional II.
Untuk mempertahankan status bebas
PMK dan mencegah masuknya penyakit
BSE maka dilakukan surveilans terhadap
penyakit tersebut, daerah dengan resiko
tinggi dipilih untuk mendeteksi adanya
kejadian penyakit PMK dan BSE di
wilayah Regional II.
MATERI DAN METODA
Materi
Sampel yang digunakan untuk
investigasi adalah Otak Sapi. Daerah
pengambilan
sampel
ditentukan
berdasarkan kedekatan dengan daerah
tetangga, tingginya lalu lintas ternak dan
jumlah distribusi daging yang berasal dari
impor illegal. Lokasi dan jumlah sample
terdapat pada tabel 4 sampai 7. Sampel
berupa otak sapi tersebut kemudian
dilakukan pemeriksaan Histopathology
dengan pewarnaan umum Haematoxylin
Eosin (HE) untuk mendeteksi adanya
bentukan vakuola pada bagian obex.

Tabel 4. Jumlah Sampel dan Lokasi Investigasi Penyakit BSE Prop. Kepulauan Riau

Tabel 5. Jumlah Sampel dan Lokasi Investigasi Penyakit BSE Prop. Riau

Tabel 6. Jumlah Sampel dan Lokasi Investigasi Penyakit BSE Prop. Jambi

Tabel 7. Jumlah Sampel dan Lokasi Investigasi Penyakit BSE Prop. Sumatera Barat

Metode
Prosedur Kerja :
1. Pembuatan Slide dan Pewarnaan
a. Fiksasi contoh uji dengan larutan
Formalin 10% atau alkohol 70%,
18 24 jam
b. Lakukan pemotongan contoh uji
dan masukkan dalam Embedding
Cassette.
c. Cuci dengan air mengalir (kran)
selama 30 menit
d. Proses Dehidrasi
2. Proses Embedding
Setelah melalui proses dehidrasi,
maka jaringan yang berada dalam
embedding cassette dipindahkan ke
dalam base mold, kemudian diisi
dengan parafin cair, kemudian
diletakkan ke dalam embedding
cassette. Jaringan yang sudah
diletakkan pada cassette disebut blok.
Fungsi dari cassette adalah untuk

memegang pada saat blok dipotong


pada mikrotom.
3. Proses Pemotongan
Letakkan blok pada mikrotom
Lakukan pemotongan contoh uji
dengan ketebalan 5-7 m.
Lembaran
hasil
pemotongan
diapungkan di atas permukaan air.
Untuk menghilangkan kerutan
jaringan
dilakukan
dengan
menekan salah satu sisi potongan
dan
sisi
lainnya
dengan
menggunakan kuas kecil.
Angkat dengan kaca preparat dan
pindahkan dalam waterbath suhu
400C
Angkat lagi dengan kaca preparat
yang sudah diolesi dengan
glycerin-putih telur sambil diatur
posisinya.
Hilangkan airnya dan biarkan
kering.

4. Proses Pewarnaan
Masukkan secara berurutan slide berisi
potongan contoh uji kedalam :
5.

Proses Mounting
Slide yang berisi jaringan obex
ditetesi dengan canada balsam pada
permukaannya sampai rata dan
ditutup dengan cover glass, ditunggu
hingga kering kemudian slide siap
untuk dibaca dengan menggunakan
mikroskop .

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari 26 sampel otak yang
diperiksa secara Histopatologi dengan
pewarnaan Hematoxylin eosin 100%
sampel tidak ditemukan vakuola pada
obex sebagai indikator adanya infeksi
penyakit
BSE,
rekapitulasi
hasil
pemeriksaan terdapat pada tabel berikut
ini
:

Tabel 11. Rekapitulasi hasil pemeriksaan investigasi BSE Prop. Kep. Riau

Tabel 12. Jumlah Sampel dan Lokasi Investigasi Penyakit BSE Prop. Riau

Tabel 13. Jumlah Sampel dan Lokasi Investigasi Penyakit BSE Prop. Jambi

Tabel 14. Jumlah Sampel dan Lokasi Investigasi Penyakit BSE Prop. Sumatera Barat

Sementara
hasil
pemeriksaan
laboratorium Patologi, untuk diagnosa
penyakit Sapi Gila atau Bovine
Spongiform
Encephalopathy
(BSE)

secara
histopatologi
dengan
menggunakan pewarnaan Hematoxylin
eosin (HE), 26 sampel atau seluruh
sampel tidak ditemukan bentukan

vakuola-vakuola pada otak bagian obex,


ini artinya negatif terhadap Bovine
Spongiform Encephalopathy (BSE), hal
ini membuktikan bahwa Indonesia masih
bebas dari penyakit BSE, kedepan
hendaknya
dilakukan
pemeriksaan
dengan metode yang lebih akurat dengan
tingkat sensitifitasnya yang lebih tinggi
misalnya
Immunohistokimia
(gold
standard) atau western blot.
Dalam rangka mempertahankan
status bebas dari penyakit Eksotik BSE
BPPV Regional II terus menerus setiap
tahunnya melakukan kontrol terhadap
masuknya ternak sapi atau bahan asal
hewan ke wilayah kerja BPPV Regional
II (Propinsi Kepulauan Riau, Riau, Jambi
dan Sumatera Barat) melalui koordinasi
dan kerja sama dengan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Regional II masih
Penyakit
Bovine
Encepalopathy (BSE)

bebas dari
Spongiform

Saran
- Perlu dilakukan surveilans ulang
setiap tahun terhadap penyakit BSE
- Perlu adanya metode yang baku
dalam
pelaksanaan
surveilans
penyakit eksotik untuk menjamin
keakuratan data.
- Pengembangan metode uji terhadap
penyakit eksotik dengan tingkat
sensitifitas yang tinggi

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, Manual Standar Metode
Diagnosa Laboratorium Kesehatan
Hewan (1999) Direktorat
Bina
Kesehatan
Hewan,
Direktorat
Jenderal Peternakan, Departemen
Pertanian.
Geering, W.A, dkk 1995. Exotic Disease
of Animal, Australian Goverment
Publising
Service, Canberra
OIE.2004a. Manual of Standards or
Diagnostic Test and Vaccines.5thed.
Foot and
Mouth
Disease.
OIE.
Sitepoe, mangku. 2000. Sapi Gila
(Bovine
Spongiform
Encephalophaty)
keterkaitannya dengan berbagai
Aspek. Gramedia Widiasarana
Indonesia,
Jakarta
Subronto. 1997. Penyakit Ternak. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Suseno,
P.P.,dkk,
2007.
Analisis
Serosurveilen Penyakit Mulut dan
Kuku Di
Indonesia. Buletin
Veterinaria Farma. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai