Referat Kejang Demam (Autosaved) 1
Referat Kejang Demam (Autosaved) 1
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. (IDAI, 2006). Kejang
demam terjadi 2-5 % pada anak-anak yang berusia 6 dan 60 bulan (5 tahun) (Reese C.
Graves, 2012). kejang demam anak, yang merupakan gangguan kejang anak yang paling
umum, hanya terjadi jika di asosiasi dengan suhu yang tinggi.
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, perlu pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
EPIDEMIOLOGI
Mortalitas / Morbiditas
Anak-anak dengan kejang demam sederhana tidak mengalami peningkatan risiko
kematian. Namun, kejang yang kompleks, terjadi sebelum usia 1 tahun, atau dipicu oleh suhu
kurang dari 39 C dikaitkan dengan tingkat kematian meningkat 2 kali lipat . Anak-anak
dengan kejang demam memiliki insiden yang sedikit lebih tinggi (Nooruddin R Tejani, 2016)
Faktor risiko epilepsi di kemudian hari termasuk kejang kompleks demam, riwayat
keluarga epilepsi atau kelainan neurologis, dan keterlambatan perkembangan. Pasien dengan
2 faktor risiko memiliki hingga 10% kesempatan untuk mengembangkan kejang demam
(Nooruddin R Tejani, 2016).
Ras : Kejang demam terjadi pada semua ras.
Jenis kelamin :Beberapa studi menunjukkan dominasi laki-laki sedikit.
Usia : Menurut definisi, kejang demam terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun.
Klasifikasi
kejang demam diklasifikasikan, sebagai berikut (IDAI, 2006):
atau
klonik,
24
jam.
di
antara
80%
menunjukkan proses penyakit yang lebih serius, seperti meningitis, abses, atau
ensefalitis. status epileptikus. kejang demam kompleks, didefinisikan sebagai kejang
tunggal atau serangkaian kejang tanpa pemulihan interim yang berlangsung
setidaknya 30 menit (Nooruddin R Tejani, 2016).
ETIOLOGI
Penyebab kejang demam tidak diketahui, meskipun mereka terkait dengan awal
demam, suhu tinggi 38 C (100.4F) atau di atas.mungkin Juga ada hubungannnya dengan
genetik, kemungkinan mengalami kejang meningkat jika anggota keluarga dekat memiliki
riwayat kejang . Dalam kebanyakan kasus, suhu tinggi disebabkan oleh infeksi. Contoh
umum adalah cacar, flu, otitis media akut atau tonsilitis. Dalam kasus yang jarang terjadi,
kejang demam dapat terjadi setelah seorang anak memiliki vaksinasi. (Nooruddin R Tejani,
2016).
Jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam
yang dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang
demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis
akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih. (IKA.FKUI, 2007)
PATOFISIOLOGI
Terjadinya infeksi di ekstrakranial seperti otitis media akut, tonsillitis dan bronchitis
dapat menyebabkan bakteri yang bersifat toksik tumbuh dengan cepat, toksik yang dihasilkan
dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen dan limfogen. Pada keadaan ini tubuh
mengalami inflamasi sistemik. Dan hipotalamus akan merespon dengan menaikkan
pengaturan suhu tubuh sebagai tanda tubuh dalam bahaya secara sistemik. Disaat tubuh
mengalami peningkatan suhu 1C secara fisiologi tubuh akan menaikkan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi
otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.
Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran
sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter
dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C
sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C
atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam
lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya
perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga
terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (IKA.FKUI, 2007)
3
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko untuk kejang demam meliputi Beberapa faktor yang berperan
menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan
morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal
akibat infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit .
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)
-
berulang
Lamanya demam.
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.
Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009)
-
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%49% . Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.
DIAGNOSA
Anamnesis
Jenis kejang (umum atau fokal) , lama kejang atau durasinya , frekuensi selama 24
jam , keadaan anak pasca kejang harus dijelaskan untuk membantu membedakan
antara kejang demam sederhana dan kompleks.
4
Infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) , gastroenteritis, infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut
Pemeriksaan fisik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluas sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah
Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk me negakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
Elektroensefalografi
Pemeriksaan
elektroensefalografi
(EEG) tidak
dapat
memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan
pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak
usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal. (IDAI, 2006)
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti (IDAI, 2006):
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam
setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di
ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.
Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang (IDAI, 2006):
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
d.
e.
f.
g.
Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang
mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka
kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelah vaksinasi MMR 25 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan
diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR.
Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari
kemudian. (IDAI, 2006)
PROGNOSIS
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
berulang baik umum atau fokal .
EPILEPSI
DEFINISI
9
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri-ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf.
2
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulanya
kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. 3
ETIOLOGI
Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel
neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau
gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi
otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. 4
Bila ditinjau dari faktor etiologis, maka epilepsi dibagi menjadi 2 kelompok : 4
1. Epilepsi idiopatik
Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien tidak
menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik
disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Kata idiopatik diperuntukkan bagi
pasien epilepsi yang menunjukkan bangkitan kejang umum sejak dari permulaan
serangan.
Dengan bertambah majunya pengetahuan serta kemampuan diagnostik, maka
golongan idiopatik makin berkurang. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada
epilepsi idiopatik .
2. Epilepsi simtomatik
Hal ini dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial dan
ekstrakranial. Penyebab intrakranial, misalnya anomali kongenital, trauma otak,
neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab yang
bermula ekstrakranial dan kemudian menganggu fungsi otak, misalnya: gagal jantung,
gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia),
gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi
lebih). Kelainan struktural tidak cukup untuk menimbulkan bangkitan epilepsi, harus
dilacak faktor-faktor yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi,
contohnya, yang mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress, demam, lapar,
hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan emosional.
10
PATOFISIOLOGI
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten
dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau
otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak.
Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang
lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron
lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga
disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk
melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh
neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau 3] meningkatnya eksitasi
sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang
berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan
berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak sempurna
MENEGAKKAN DIAGNOSA
1. Anamnesis
Bangkitan kejang yang terjadi perlu diketahui mengenai pola serangan,
keadaan sebelum, selama, dan sesudah serangan, lama serangan, frekuensi
serangan, waktu serangan terdaji dan faktor-faktor atau keadaan yang dapat
memprovokasi atau menimbulkan serangan. Perlu diusahakan agar diperoleh
gambaran lengkap mengenai pola serangan, agar dapat diketahui fokus serta
klasifikasinya. Ditanyakan apakah ada gejala prodromal, aura, keadan selama
serangan, dan keadaan setelah terjadi serangan (Hassan, 2007) .
Ditanyakan pula durasi serangan tersebut, dan waktu serangan. Apakah ada
rangsang tertentu yang menimbulkan serangan, misalnya melihat televise,
bernafas dalam, lapar, letih, menstruasi, obat-obatan tertentu dan sebagainya
(Hasan, 2007).
Riwayat penyakit keluarga ditanyakan apakah ada keluarga yang menderita
kejang, penyakit saraf, dan penyakit lainnya. Hal ini misalnya perlu untuk mencari
faktor resiko keturunan (Hassan, 2007) .
Riwayat penyakit dahulu ditanyakan mengenai keadaan ibu ketika hamil,
misalnya penyakit yang diderita, perdarahan pervaginam, obat yang dimakan.
Secara teliti ditanyakan pula mengenai riwayat kelahiran penderita, apakah letak
11
kepala, letak sungsang, mudah atau sukar, apakah digunakan cunam atau vakum
ekstraksi atau seksio kaesar, apakah terdapat perdarahan antepartum, ketuban
pecah dini, asfiksia. Penyakit apa saja yang pernah diderita. Bagaimana
perkembangan kecakapan mental dan motorik .
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatric dan
neurologis. Diperiksa keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala, jantung, paru,
abdomen, hati, dan limpa, anggota gerak dan sebagainya .
Pada pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran, kecakapan, motorik dan
mental, tingkah laku, berbagai proses intrakranium, fundus okuli, penglihatan,
pendengaran, saraf otak lain, sistem motorik, sistem sensorik, reflek fisiologis dan
patologis (Hassan, 2007).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah yang dilakukan pemeriksaan darah tepi rutin.
Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi, misal pemeriksaan gula darah dan
elektrolit (Hassan, 2007).
b. Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan EEG dilakukan atas indikasi membantu menegakan diagnosisi
epilepsi, menentukan prognosis pada kasus tertentu, mempertikambangkan
pengehentian obat anti epilepi, membantu menentukan letak fokus, dan bila
ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya (Hassan, 2007).
c. Pemeriksaan radiologis
Indikasi pemeriksaan radiologi pada pasien epilepsi adalah pada semua
bangkitan pertama yang diduga kelainan structural, adanya perubahan bentuk
bangkitan, terdapatnya defisit neurologis fokal, epilepsi dengan bangkitan
parsial, bangkitan pertama diatas usia 25 tahun, dan untuk persiapan tindakan
pembedahan epilepsy (Hassan, 2007).
PROGNOSIS
Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2
tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak
mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30%
penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur (Wishwadewa,
2008).
12
Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur
awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisi
pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih
sering terjadi (Wishwadewa, 2008).
References
IDAI. (2006). Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
IKA.FKUI. (2007). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Universitas Indonesia.
13
Nooruddin R Tejani, M. (2016, juni 6). Febrile Seizures. Retrieved from Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/801500-overview#a4
Reese C. Graves, M. (2012). Febrile Seizures: Risks, Evaluation,. American Academy of
Family Physicians.
14