Anda di halaman 1dari 20

TUTORIAL

SERANGAN ASMA

Pembimbing:
Dr. Kartini,Sp.A
Disusun oleh:
Audina Andhini

20127300

Pramesti Widya Kirana

2012730075

KEPANITERAAN KLINIK PEDIATRI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan dunia dan sejak 20
tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak baik di Negara maju maupun
berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran
faktor lingkungan terutama polusi baik outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisaran antara 230%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar
6,5% pada usian sekolah menengah pertama. Pathogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada
awal tahun 60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selaininflamasi juga
disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebutberdampak pada tatalaksana
asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telahdilakukan untuk mengatasi asma. Pada
awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian
bronkodilator, kemudian berkembangdengan antiinflamasi sehingga obat antiinflamasi
dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan. Pengetahuan mengenai
definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesisdan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi
kesalahan berupa underdiagnosis dan over treatment serta overdignosis dan undertreatment pada
pasien. Sehingga diharapkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan keluarganya serta
mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang besar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan
banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Padaorang yang rentan
inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat
reversibel baik secara spontan maupundengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Selain
definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk kepentingan klinis yang
lebih praktis, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menggunakan batasan operasional asma
yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul
secara episodik, cenderung malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik,
serta terdaapt riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.
Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara
progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau
beragai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai distress pernapasan.
2.2 Anatomi dan Fisiologi Pernapasan
Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen
kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida
(CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan
menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua
zona yaitu zona konduksi dan respiratorius. Zona konduksi dimulai dari hidung, faring,
laring, trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis.
Sedangkan zona respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir
pada sakus alveolus terminalis. Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus
dilapisi oleh membrane mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara
tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama

dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel
goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan
kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang
terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan, partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan
mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan
mukus, sedangkan panas yang disuplai ke udara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya
yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu,
bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapannya mencapai 100%.
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagianyaitu nasofaring,
orofaring dan laringofaring. Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai, ketinggian vertebra servikalis dan
masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang
dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang
merupakan pemisah saluranpernafasan bagian atas dan bawah.Trakea dibentuk dari 16
sampai dengan 20 cincin tulang rawan dan diantara kartilago satu dengan yang lain
dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan di bagian sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar (sel bersilia) yanghanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang
terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus
merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yangterdapat pada ketinggian
vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat dimanatrakea bercabang menjadi bronkus
utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan
bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih
pendek, lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan
mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12
cincin serta mempunyai dua cabang. Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil
yang tidak mengandung alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara
mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau
zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium yang mengandung
lebihbanyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus

yangmerupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari
bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan
struktur akhir dari paru.Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua
yaitupertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas dibagi menjadi 3
proses. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udaramelalui
cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dankarbondioksida
dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara udara luar dengan di
dalam paru-paru. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler
melalui membran alveoli-kapiler. Prosesini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang
tinggi tekanan parsialnya ke tempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam
alveoli mempunyai tekanan parsial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah.
Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan parsialnya dari pada karbondioksida di alveoli.
Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan
melalui transpor aliran darah.
2.3 Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%pada anak)
dan bervariasi antar Negara. Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di
negaraberkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi.
DiIndonesia, prevalensi asma pada anak berdasarkan penelitian yahun 2002 pada anak
usia13-14 tahun sebesar 6,7%.
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan
asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada
dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas,
prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa
remaja prevalensinya hampir sama danpada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma
dibanding wanita. Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade
terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan NCHS
terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan,laporan dari CDC

menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia0-17 tahun atau 0.3 kematian
per 100,000 anak. Namun secara umum kematian padaanak akibat asma jarang.
2.4 Patogenesis
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul
mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama
asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan
peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik
adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen
saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak
bergejala. Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan
faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa. Reaksi
imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan fase
sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE melekat pada reseptor Fc
pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan
timbul reaksi asma cepat (immediate asthmareaction). Terjadi degranulasi sel mast dan
dilepaskan mediator-mediator sepertihistamin, leukotrien C4 (LTC 4), prostaglandin D2 (PGD
2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot
bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul
denganakumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut.
Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan.

Gambar 1. Patogenesis asma (GINA)

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang


meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi
tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah
konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan
permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secaraklinis, gejala
asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan
jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan
kurang adekuat.
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang
proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan
fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah
remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF
beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast
berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat
proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana

basalis mukosa menebal (pseudothickening), hyperplasia kelenjar, edema submukosa,


infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan
perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan
memberikan gambaran klinis asma kronis.
Gambar 3. Proses inflamasi dan remodelling pada asma

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakanepitel


bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat anti inflamasi
tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan
obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada
penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai
asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini
mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses
inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi
tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.

2.5 Patofisiologi
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang
mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran napas pasien
asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat
terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu
ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan
serbuk sariyang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi
virus,dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkanobstruksi
saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembalisecara spontan atau
setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukungobstruksi saluran napas adalah
edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksimukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi
ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran
terperangkap. Bahkan pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi.
Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil
terhadappeningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas
yanglebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polossaluran
napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluranventilasi kolateral (pori
cohn) antar alveolus. Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat
kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila
obat anti inflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi
berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling
bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluargaatopi yang belum
bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina
retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodelingtelah terjadi sebelum atau
bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensidini diberikan segera setelah gejala
asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses
remodeling.
2.6 Manifestasi klinis dan Diagnosis
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak yang
lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada terasa berat. Gejala

biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan
inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan
aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi atau keluarganya
dapat menunjang penegakan diagnosis. GINA, konsensus Internasional dan PNAA
menekankan diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri
dengan algoritme kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk
dan/atau mengiyang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas,
dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda
yang patut diduga suatu asma. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak
kecil, khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhada obat bronkodilator dan
sterod sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asmamenjadi lebih
definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya
dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap
dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise),
udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis,sangat menunjang diagnosis.
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap pemberian
obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila
respons terhadap obat asma tidak baik, sebelummemikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai
dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran terhadap
pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya
sudah benar, sertaketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan
baik danbenar. Maka perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma. Pada pasien
dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala respiratorik sejak masa
neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, ataukelainan fokal paru dan diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto Rontgen paru, uji
fungsi paru, dan uji provokasi.Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto rontgen sinus
paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji
mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.
Anamnesis

Untuk memperkuat dugaan asma, anamnesis harus dilakukan dengan cermat agar
didapatkan riwayat penyakit yang tepat mengenai gejala sulit bernapas, mengi, atau dada
terasa berat yang bersifat episodic dan berkaitan dengan msin, serta adanya riwayat asma
atau penyakit atopi pada anggota keluarga. Pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam
pertimbangan diagnosis asma (consider diagnosis of asthma):
-

Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?

Apakah anak sering terganggu oleh batuk papda malam hari?

Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga?

Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk seteah terpajan
allergen atau polutan?

Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh?

Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan anti asma?

Pola gejala harus dibedakan apakah gejala tersebut timbul pada saat infeksi virus atau timbul
tersendiri di antara batuk pilek biasa. Pencetus yang spesifik dapat berupa aktivitas, emosi
(misalnya menagis atau tertawa), debu, makanan/minumam. Pajanan terhadap hewan
berbulu, perubahan suhu lingkungan atau cuaca, aroma parfum yang kuat atau aerosol, asap
rokok, atau asap dari perapian. Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk
mengarahkan pengobatan yang akan diberikan.
Pemeriksaan fisik
-

Kesadaran

Suhu tubuh

Sesak napas, apakah terdapat sesak napas

Tanda gagal napas

Tanda infeksi penyerta / komplikasi

Penilaian derajat serangan asma: ringan/sedang/berat/mengancam jiwa

Pemeriksaan Penunjang
-

Pemeriksaan Fungsi Paru: Peak Flow Meter, spirometer

Analisis gas darah: pada asma dapat terjadi asidosis respiratorik dan metabolic

Darah lengkap dan serum elektrolit

Foto thoraks: pada asma umumnya tampak hiperaerasi, bisa dijumpai komplikasi
berupa atelektasis, pneumotoraks, dan pneumomediastinum

2.7 Diagnosis banding


Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma. Selain asma,
penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma meliputi rhinosinusitis dan
gastroesophageal reflux (GER). GER merupakan silent-disease pada anak, sedangkan pada
anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya
nyeri tekan local pada daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan
penyakit komorbid yang sering pada asama, sehingga membuat terapi spesifik pada asma
tidak diberikan dengan tepat.Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat
terjadi pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napascongenital,
fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi biasanya
ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung dan gastrointestinal.
Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh respiratory syncitial virus merupakan
penyebab mengi yang umum.pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada
disfungsi pita suara. Selain itu, batuk berulang juga dapat ditemukan pada tuberculosis
terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis. Berikut ini diagnosis banding
dari asma yang sering pada anak: Rinosinusitis, Refluks gastroesofageal, Infeksi respiratorik
bawah viral berulang, bronkiolitis, Displasia bronkopulmoner, Tuberkulosis, Malformasi
kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik, Intratorakal, Aspirasi benda
asing, Sindrom diskinesia silier primer, Defisiensi imun, Penyakit jantung bawaan.
2.8 Penatalaksanaan
a.

Edukasi terhadap pasien dan keluarga


Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasien dan orang
tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi dan penghindaran alergen,
pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan dan pemantauan, dan yang
paling utama adalah mengusai cara penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi
sebaiknya diberikan secara individual secara bertahap. Pada awal konsultasi perlu
dijelaskan diagnosis dan informasi sederhana tentang macam pengobatan, alasan
pemilihan obat, cara menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya.

Kemudian perlu diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi
kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan denan teknik yang benar. Berikut
beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan pada pasien dan
keluarganya:
-

Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh

Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan
terhadap factor pencetus

Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller

Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya
mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna mencegah asma
menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan dokter
menyesuaikan rencana pengelolaan asma guna mencapai pengendalian asma jangka
panjang dengan efek samping minimal. Dokter harus menjelaskan tentang perilaku
pokok guna membantu penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma
dengan cara: penggunaan obat-obatan dengan benar-pemantauan gejala, aktivitas
dan PEF-mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan
rencanayang sudah diprogramkan

Segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif dengan
dokter yang memeriksa

Menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan alergen


dan iritan

Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan keluarganya)
sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaan mandiri (self
management ) untuk berperan-serta aktif.
b. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peranan yang cukup.
Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yangmenyebabkan
terjadinya

rangsangan

terhadap

saluran

respiratorik

yang

berakibat

terjadi

bronkokonstriksi, edema mukosa, danhipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus


diharapkan dapat mengurangirangsangan terhadap saluran respiratorik.

Tatalaksana asma jangka panjang


Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh
kembang anak secara optimal.
Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever ) seperti 2-agonis dan
eofilin. Penggunaan 2-agonis untuk meredakan serangan asma biasanya digunakan dalam
bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry
Powder Inhaler ) cukup sulit untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan
pada anak yang sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik penggunaan
yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.
Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka -agonis diberikan per
oral.Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam tatalaksana asma
karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat b-agonis oral pun tidak
selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek
samping.
Di samping itu penggunaan -agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali
menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi
dosisnya serta dikombinasikan dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak menganjurkan
pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma episodik ringan.
Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma
Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa antiinflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.
Jika dengan pemakaian 2-agonis hirupan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung
penggunaan pra-aktivitas fisik) atau serangan sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan
yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang
baik maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.
Asma Episodik Sering

Jika penggunaan 2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung
penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan,
maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.
Tahap pertama obat pengendali pada asma episodic sering adalah pemberian steroid hirupan
dosis rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonide,
sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan100-200
ug /hari budesonid (50-100 ug /hari flutikason) untuk anak berusia kurangdari 12 tahun, dan 200400 ug /hari budesonid (100-200ug /hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam
penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200ug /hari, atau setara flutikason
50-100ug belum pernahdilaporkan adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasarasma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa antiinflamasi membutuhkanwaktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek
terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan
inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupandosis rendah
tidak menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau ataugangguan tidur atau aktivitas
sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai
dengan 400ug /hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam
suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu,
maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jikaasmanya
terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila
memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara
penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalianasma seperti rintis dan
sinusitis.dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki
asma yang terjadi secara bersamaan.
Asma Persisten
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu denganmenggunakan steroid
hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200-400 ug /hari budesonid (100-200 ug
/hari flutikason) untuk anak berusia kurangdari 12 tahun, 400-600 ug /hari budesonid (200-300

ug /hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif
pengganti denganmenggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA ( Long
Acting -2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atauditambahkan
Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.) Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu
tetap terdapat gejalaasma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan
dosiskortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400 ug /haribudesonid (>200 ug
/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan>600 ug /hari budesonid (>300
ug /hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12tahun atau tetap dosis medium ditambahkan
dengan LABA, atau TSR, atauALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak
dibuktikan keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan
memperbaiki kualitas hidupnya.
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug /hari namun tetaptidak mempunyai
respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadipenggunaan kortikosteroid oral
sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau
alternatif di atas telah dijalankan.Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih
besar daripada bahaya efek samping obat.
Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2mg/kgBB/hari. Dosis kemudian
diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikanselang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid
secara sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatanenzim
hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenaipemantauan uji fungsi hati
pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi.Mengenai obat antihistamin generasi baru
non-sedatif (misalnya ketotifen dansetirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak
dengan asma tiperinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan
kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karenatidak
mempunyai manfaat yang berarti.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau
perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapatdikurangi bertahap
hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu
penggunaan -agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karenaperbedaan
kemampuan menggunan akan alat inhalasi. Demikian juga kemauananak perlu dipertimbangkan.
Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu
dilakukan pelatihan yang benar danberulang kali.
Pengobatan eksaserbasi akut
Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara
progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat pajanan terhadap factor ppencetus, sedangkan
serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan kegagalan pengobatan jangka panjang.
Menurut buku Pedoman Nasional AsmaAnak UKK Pulmonologi IDAI 2002, penyakit asma
dibagai dalam 3 kelompok berdasarkan frekuensi serangan dan kebutuhan obat, yaitu asma
ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik)
dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten) dapat
mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya seorang penderita asma ringan (episodik/jarang)
dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan serangan ancaman henti nafas yang dapat
mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan bergantung pada beratnya derajat serangan
asma. Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan penyempitan jalan
nafas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia,mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal
secepatnya, dan merenacanakantatalaksana mencegah kekambuhan.
Tatalaksana Serangan
1. Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin.
Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karenaonsetnya lebih cepat dan efek
samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan
yaitu MDI denganatau tanpa spacer atau nebulizer. Bila dalam waktu 30 menit setelah
inhalasi tidak ada perbaikan ataubahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah
sakit
2. Tatalaksana di ruang emergency

Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya.
Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat
ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20

menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini
sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajats erangan, karena penilaian
derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. Berikut ini
pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:
Serangan Asma ringan
Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapatmenunjukkan respon
yang baik. Pasien dengan derajat serangan asmaringan diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut
bertahan pasien dapat dipulangkan dan jika setelah observasi selama 2 jam gejala timbul
kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma derajat sedang.Sebelum pulang pasien
dibekali obat 2-agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus
serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek selama 3-5 hari.
Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk evaluasi
ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat
tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat jalan.
Serangan Asma sedang
Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya
menunjukkan respon parsial (incomplete response) danpasien perlu diobservasi di ruang rawat
sehari (One day care) dan walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat,
pasien yang akan diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di
unit gawat darurat (UGD). Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral
metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
Serangan Asma berat
Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak
menunjukkan respon yaitu gejala dan tanda serangan masih ada. Pada keadaan ini pasien harus
dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan ancaman henti napas pasien harus langsung
dirawat diruang intensif. Pasien diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat
dilakukan nebulisasi, dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Jika adadehidrasi dan
asidosis, diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi terhadap asidosis dan pada

pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk
mendeteksikemungkinan pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pada ancamanhenti napas
hipoksemia tetp terjadi wlupun sudah diberi oksigen (kadarPaO2 <60 mmHg dan atau PaCO2
>45 mmHg). Pada ancaman henti napasdiperlukan ventilsi mekanik. Nebulisasi dengan -agonis
+ antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai
terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam.Pasien juga diberikan
kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari perbolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena
dengan beberapa ketentuansebagai berikut:Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya,
diberikan aminofilindosis awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dlam dekstros 5% atau
gramfisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalm 20-30 menit. Jika pasien telah mendapat
aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),dosis yng diberikan adalah setengah dari dosis inisial.
Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar10-20 /ml.
Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1mg/kgBB/jam. Jika terjadi
perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam dan pemberian aminofilin dan
kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
2-agonis (hirupanatau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral
dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang
tatalaksana.

DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management andprevention asthma in
children. 2005
2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak.Majalah
Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI
3. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian IlmuKesehatan Anak FKUI-RSCM,
Jakarta.
4. Gunardi, S. Anatomi system pernapasan. Balai Penerbit FKUI.
5. Sherwood, L. Fisiologi manusia dari sel ke system. EGC. 2006
6. Setiawati, L. Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. FK UNAIR
7. Sidhartani, M. Peran edukasi pada penatalaksanaan asma pada anak. FKUNDIP
8. Nelson. Textbook of Pediatrics.
9. Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia No.1023/Menkes/SK/XI

2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma Menteri Kesehatan Republik


Indonesia

Anda mungkin juga menyukai