PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketika anak-anak meningkatkan kemampuan kognitif mereka, mereka juga
mengembangkan konsep diri, cara berinteraksi dengan orang-orang lain, dan sikap terhadap
dunia ini perkembangan dalam hal pribadi dan sosial ini sangat berperan penting dalam
membangun motivasi anak. Bagi kebanyakan anak, paling tidak di tahun-tahun awal,
tumbuh berarti menjadi lebih besar, lebih kuat, dan lebih terkoordinasi. Tumbuh juga dapat
menjadi
saat
saat
yang
menakutkan,
mengecewakan,
menggairahkan,
dan
membingungkan.
Anak-anak prasekolah sangat aktif. Keterampilan motorik-kasar (otot-otot besar)
mereka meningkat tajam selama umur dua hingga lima tahun. Antara umur itu, otot-otot
anak prasekolah tumbuh lebih kuat, keseimbangan mereka meningkat, pusat gravitasi
mereka pindah lebih rendah, sehingga mereka dapat lari, melompat, memanjat, dan
meloncat. Bagi anak-anak kecil, seperti halnya bagi banyak remaja dan orang dewasa,
kegiatan fisik dapat menjadi tujuan kegiatan itu sendiri. Oleh karena mereka tidak selalu
dapat memutuskan kapan harus berhenti, anak-anak prasekolah mungkin membutuhkan
saat-saat istirahat yang dijadwalkan setelah periode menguras tenaga (Daercey & Travers,
2006)
Namun, selama tahun-tahun sekolah dasar, perkembangan fisik terjadi terus-menerus
dengan kecepatan agak tetap untuk kebanyakan anak. Mereka menjadi lebih tinggi, lebih
lentur, dan lebih kuat, sehingga mereka lebih mampu menguasai berbagai olahraga dan
permainan. Sepanjang sekolah dasar, banyak anak perempuan yang tubuhnya cenderung
sama besar atau lebih besar dibanding anak laki-laki di kelasnya. Diskrepansi ukuran anak
perempuan mungkin merasakan konflik tentang itu dan, sebagai akibatnya, kurang
mengembangkan kemmapuan fisik mereka.
Setelah melewati tahap sekolah dasar, akan ada masa yang menandai dimulainya
kematangan seksual;Pubertas. Pubertas merupakan serangkaian perubahan yang melibatkan
hampir setiap bagian tubuh. Perubahan-perubahan fisik masa remaja memiliki efek-efek
signifikan pada identitas sosial mereka. Para psikolog sangat tertarik dengan perbedaan
1
akademik, sosial, dan emosional yang mereka temukan diantara para remaja yang matang
dini dan mereka yang terlambat matang. Faktanya, remaja lebih banyak mengalami krisis
perkembangan seperti bulimia (binge eating) dan anorexia nervosa (self-starvation), untuk
itulah diperlukan suatu pemahaman khusus mengenai perkembangan psikososial manusia.
Ilmu psikososial mendeskripsikan hubungan antara kebutuhan emosional individu dengan
lingkungan sosialnya. Teori psikososial yang dikenala secara luas adalah milik Erik Erikson,
yang menkankan tentang kemunculan self, pencarian identitas, hubungan individu dengan
orang lain, dan peran budaya di sepanjang kehidupan.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Tujuan
1.
2.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ide Pokok Teori Perkembangan sosial Emosi Erikson dan Perkembangan Moral
Kohlberg
a. Teori Psikososial Ericson
Teori psikososial merupakan beberapa prisip yang mengaitkan lingkungan
sosial dengan perkembangan psikologis.
Sama seperti perkembangan kognitif, perkembangan pribadi dan sosial
digambarkan
dari sudut tahap-tahap. Kita bicara tentang usia dua tahun yang
mengerikan (tribble two), bukan usia satu tahun yang mengerikan atau usia tiga
tahun yang mengerikan dan seorang yang bereaksi tidak masuk akal dan egois, kita
menuduh orang tersebut berperilaku seperti anak usia 2 tahun. kata-kata remaja dan
belasan tahun diasosiasikan dalam budaya barat dengan sikap memberontak, krisis
identitas, pemujaan pahlawan, dan kesadaran seksual. Semua asosiasi ini
mencerminkan tahap-tahap perkembangan yang kita yakini dialami setiap orang.
Menurut Ericson beberapa persoalan yang sangat penting yang harus diatasi masing
orang ketika mereka melewati masing-masing dari kedelapan tahapan kehidupan.
b. Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Ericson
Erikson memiliki hipotesis bahwa orang melewati delapan tahap psikososial
sepanjang hidup mereka. Pada masing-masing tahap terdapat krisis atau masalahmasalah penting yang harus diatasi. Pada table 1.1 meringkaskan kedelapan tahap
kehidupan menurut teori Ericson. Masing-masing dicirikan krisis utama yang harus
diatasi.
Tahap
I
II
III
Perkiraan usia
0- 18 bln
18 bln 3 thn
3 6 thn
Krisis
Hubungan
Psikososial
Kepercayaan vs
Penting
Orang yang
ketidak percayaan
bergantung pada
Penekanan
Psikososial
Memperoleh
ibu
Member sebagai
Otonomi vs
Orang yang
balasan
Berpegang
keraguan
bergantung pada
Inisiatif vs rasa
orang tua
Keluarga dasar
Membiarkan pergi
Membuat (mengejar)
IV
V
VI
6 12 thn
bersalah
Kerajinan vs
Tetangga,
Menyerupai
12 18 thn
inferioritas
Identitas vs
sekolah
Kelompok
(=bermain)
Membuat sesuatu
kebingungan
sebaya dan
peran
teladan
Menyatukan segala
Keintiman vs
kepemimpinan
Mitra dalam
sesuatu
Menjadi diri sendiri
keterasingan
persahabatan,
seks, persaingan
seseorang)
Dewasa awal
kerja sama
Membagikan diri
VII
Dewasa
pertengahan
VIII
Dewasa akhir
sendiri
Memberi perhatian
Daya regenerasi
Pembagian
vs penyerapan
diri
rumah tangga
Integritas vs
bersama
umat manusia
Menjadi seseorang
keputusasaan
mengidentifikasikan trust
versus
mistrust (kepercayaan
versus
ketidakpercayaaan) sebagai konflik dasar masa bayi. Menurut Erikson, bayi yang baru lahir
hingga delapan belas bulan akan mengembangkan kepercayaan bila kebutuhan dan perwatan
dipenuhi
secara
rutin
dan
membuatnya
nyaman
atas
responsivitas
dari
pihak
pengasuh.Kesadaran ini merupakan bagian dari apa yang membuat kepercayaan begitu
penting: Bayi harus memercayai aspek-aspek dunia yang berada di luar kontrolnya (Isabella
& Belsky, 1991; Posada et al., 2002).
Tahap Autonomy vs Shame and Doubt, otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu
Tahap ini menandai awal pengendalian diri dan rasa percaya diri, dimulai dari umur
delapan belas bulan hingga tiga tahun. Anak-anak kecil mulai memikul tanggung jawab
4
penting untuk mengurus diri sendiri, seperti makan, menggunakan toilet, dan berpakaian.
Selama periode ini, orang tua harus menarik sebuah garis tegas; mereka harus protektif
tetapi tidak overprotektif. Bila orang tua tidak negakkkan rasa kepercayaan diri anak, maka
sang anak akan tumbuh dengan merasa malu. Erikson percaya bahwa anak-anak yang
mengalami terlalu banyak keragu-raguan di tahap ini akan kurang yakin terhadap
kemampuannya sepanjang hidup.
sekolah, perkembangan kognitif berjalan dengan cepat. Anak-anak memproses lebih banyak
informasi dengan lebih cepat dan rentang ingatan mereka bertambah. Mereka pindah dari
cara berpikir pra-operasional ke operasional-konkret. Mereka harus belajar memercayai orang
dewasa baru, bertindak secara otonom (mandiri) dalam situasi yang lebih kompleks, dan
menginisisai (memprakarsai) tindakan dengan cara yang sesuai dengan aturan sekolah.
Tantangan psikososial baru untuk tahun0tahun sekolah inilah yang disebut Erikson
sebagai ketekunan versus perasaan rendah diri. Anak mulai melihat hubungan antara
ketekunan dan perasaan senang bila sebuah sebuah pekerjaan selesai. Kesulitan dalam
menghadapi tantangan ini dapat menghasilkan perasaan rendah diri. Anak-anak harus
menguasai berbagai keterampilan baru dan berusaha mencapai tujuan baru, dan pada saat
yang sama mereka diperbandingkan dengan orang lain yang berisiko mengalami kegagalan.
mengembangkan kapabilitas untuk berfikir abstrak dan kapasitas untuk memahami perspektif
5
orang lain. Remaja muda harus menghadapi isu sentral, yaitu mngkonstruksikan identitas
yang akan memberikan dasar kuat saat dewasa.
Akan tetapi, masa remaja menandai saat pertama upaya sadar dilakukan untuk
menjawab pertanyaan yang sekarang menekannya; Who am I (aku ini siapa?), konflik
mennetukan tahap ini adalah identitas dan kebingungan. Identitas mengacu pada
pengoragnisasian berbagai dorongan, kemampuan, keyakinan dan riwayat individu menjadi
sebuah gambaran diri yang konsisten. Bila remaja gagal mengintegrasikan semua hal, atau
bila mereka merasa tidak mampu memilih sama sekali, maka kebingungan mengancam
mereka.
Menurut James Marcia (1991, 1994, 1999) ada empat alternatif identitas untuk
remaja, tergantug apakah mereka sudah mengeksplorasi berbagai opsi dan telah membuat
komitmen.
Pertama, difusi identitas, terjadi bila indvidu tidak mengeksplorasi opsi apapun atau
tidak berkomitmen terhadap tindakan apapun. Remaja-remaja ini sering ikut-ikutan, sehingga
merekalebih berkemungkinan untuk menyalhgunakan obat-obatan (Archer & Waterman,
1990; Berger & Thompson, 1995; Kroger, 2000).
Kedua, penutupan identitas, adalah komitmen tanpa eksplorasi. Remaja-remaja yang
identitasnya tertutup cenderung kaku, tidak toleran, dogmatis, dan defensif (Frank, Pirsch, &
Wright, 1990).
Ketiga, moratorium atau krisi identitas, menunda pilihan karena pertentangan.
Menurut Erikson, penundaan ini sangat lazim dan barangkali sehat, bagi remaja modern.
Remaja yang berada dalam masyarakat yang kompleks mengalami krisi identitas.
Keempat, pencapaian identitas, berarti bahwa setelah mengeksplorasi opsi-opsi yang
realistis, individu memilih dan berkomitmen untuk mencapainya.
orang lain secara mendalam, untuk menjalin hubungan berdasarkan perasaan lebih dari
sekadar saling membutuhkan. Bila ia belum mencapai perasaan identitas yang cukup kuat, ia
akan tertelan dari orang lain dan memilih mengasingkan diri (isolasi).
Generativitas memperluas kemampuan untuk peduli pada orang lain dan melibatkan
kepedulain untuk membimbing generasi berikutnya.
inilah
yang
dibawa
sampai
mati.
Mencapai
integritas
berarti
mengonsolidasikan sense of self dan menerima sepenuh keunikannya dan sejarahnya tidak
dapat diubah. Mereka yang tidak mampu mencapai perasaan integritas dan kepuasan akan
tenggelam dalam keputusasaan.
c. Perkembangan Moral Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence
Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia
mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti
Piaget yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses
perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya
berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis
dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan
ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila
mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan
mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam
tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan
dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral
dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
I.
Tingkat
II.
Tingkat
III.
Tingkat Pasca
Prakonvensional
Aturan diletakkan orang-
Konvensional
Individu menganut aturan
Konvensional
Orang mendevinisikan nilai-
orang lain.
Tahap 1 : Orientasi
diikuti.
Tahap V : Orientasi
kebaikannya
Kontrak Sosial
Tahap 2 : Orientasi
relativis.
konsekuensinya yang
baik
kadang-kadang kebutuhan
masyarakat.
mereka. Seseorang
Tahap VI : Orientasi
memperoleh persetujuan
punggungmu.
Tahap IV : Orientasi
Hukum dan
Keteraturan.
memperlihatkan sikap
berwenang, dan
Allah)
mempertahankan tatanan
sosial tertentu pada dirinya.
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun
orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada
dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan
pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan
keempat dalam perkembangan moral.
tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka
mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah
mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk
9
hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa
terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada
hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan
memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka
bermaksud baik.
tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi
sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral
dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan individual seperti
dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme
utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam
kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain
juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan
aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari
yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima
dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat hakekat diri mendahului orang lain ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip
etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen
terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang
tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan
moraldeontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan
bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang
juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran. Tindakan yang diambil adalah
hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu
menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau
Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan
seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun
ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
Table contoh penerapan perkembangan sosial emosi dalam pembelajaran menurut Ericson
dari fase ke fase.
Tahap
Perkiraan usia
Krisis
Contoh
11
0- 18 bln
Psikososial
Kepercayaan vs
ketidak percayaan
II
18 bln 3 thn
Otonomi vs
dekatnya
Membiasakan anak untuk beraktivitas
keraguan
III
3 6 thn
Inisiatif vs rasa
bersalah
IV
6 12 thn
Kerajinan vs
kemampuannya.
Orang tua dan guru mengingatkan kepada
inferioritas
12 18 thn
Identitas vs
kebingungan
peran
VI
Dewasa awal
Keintiman vs
keterasingan
VIII
Daya regenerasi
dimasyarakat.
Mulai mengaplikasikan kemampuan
pertengahan
vs penyerapan
Dewasa akhir
diri
Integritas vs
keputusasaan
Dewasa
Tingkat
II.
Tingkat
III.
Tingkat
Pasca
Prakonvensional
Tahap 1 : Orientasi
Konvensional
Tahap III : Orientasi anak
Konvensional
Tahap V : Orientasi
baik
Kontrak Sosial
13
Tahap IV : Orientasi
Tahap VI : Orientasi
relativis.
Hukum dan
Mementingkan kebutuhan
dirinya. kurang
menunjukkan perhatian
pada kebutuhan orang lain,
hanya sampai tahap bila
kebutuhan itu juga
berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri.
Contoh aku akan
mengajarimu belajar
matematika asalkan kamu
mau mengajariku bahasa
jawa!
Keteraturan.
BAB III
PENUTUP
14
A. Simpulan
Teori psikososial merupakan beberapa prisip yang mengaitkan lingkungan sosial
dengan perkembangan psikologis. Sama seperti perkembangan kognitif, perkembangan
pribadi dan sosial digambarkan dari sudut tahap-tahap. Menurut Ericson beberapa persoalan
yang sangat penting yang harus diatasi masing orang ketika mereka melewati masing-masing
dari kedelapan tahapan kehidupan.
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence
Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi.
B. Saran
Sebagai calon pendidik kita harus memahami karakter anak didik, dengan memakai
teori erikson dan Kohlberg kita dapat sebagai acuan dalam melakukan kegiatan belajar
mengajar, memahami karakter manusia dan ruang lingkupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Respati, Winanti Siwi. 2013. Teori Psikososial.
http://winantisiwi.weblog.esaunggul.ac.id/2013/12/22/teori-psikososial-erik-herikson/ (online). Diakses 5 maret 2016.
15
https://www.youtube.com/watch?v=00ByjsHwJiM
16