Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ketika anak-anak meningkatkan kemampuan kognitif mereka, mereka juga
mengembangkan konsep diri, cara berinteraksi dengan orang-orang lain, dan sikap terhadap
dunia ini perkembangan dalam hal pribadi dan sosial ini sangat berperan penting dalam
membangun motivasi anak. Bagi kebanyakan anak, paling tidak di tahun-tahun awal,
tumbuh berarti menjadi lebih besar, lebih kuat, dan lebih terkoordinasi. Tumbuh juga dapat
menjadi

saat

saat

yang

menakutkan,

mengecewakan,

menggairahkan,

dan

membingungkan.
Anak-anak prasekolah sangat aktif. Keterampilan motorik-kasar (otot-otot besar)
mereka meningkat tajam selama umur dua hingga lima tahun. Antara umur itu, otot-otot
anak prasekolah tumbuh lebih kuat, keseimbangan mereka meningkat, pusat gravitasi
mereka pindah lebih rendah, sehingga mereka dapat lari, melompat, memanjat, dan
meloncat. Bagi anak-anak kecil, seperti halnya bagi banyak remaja dan orang dewasa,
kegiatan fisik dapat menjadi tujuan kegiatan itu sendiri. Oleh karena mereka tidak selalu
dapat memutuskan kapan harus berhenti, anak-anak prasekolah mungkin membutuhkan
saat-saat istirahat yang dijadwalkan setelah periode menguras tenaga (Daercey & Travers,
2006)
Namun, selama tahun-tahun sekolah dasar, perkembangan fisik terjadi terus-menerus
dengan kecepatan agak tetap untuk kebanyakan anak. Mereka menjadi lebih tinggi, lebih
lentur, dan lebih kuat, sehingga mereka lebih mampu menguasai berbagai olahraga dan
permainan. Sepanjang sekolah dasar, banyak anak perempuan yang tubuhnya cenderung
sama besar atau lebih besar dibanding anak laki-laki di kelasnya. Diskrepansi ukuran anak
perempuan mungkin merasakan konflik tentang itu dan, sebagai akibatnya, kurang
mengembangkan kemmapuan fisik mereka.
Setelah melewati tahap sekolah dasar, akan ada masa yang menandai dimulainya
kematangan seksual;Pubertas. Pubertas merupakan serangkaian perubahan yang melibatkan
hampir setiap bagian tubuh. Perubahan-perubahan fisik masa remaja memiliki efek-efek
signifikan pada identitas sosial mereka. Para psikolog sangat tertarik dengan perbedaan
1

akademik, sosial, dan emosional yang mereka temukan diantara para remaja yang matang
dini dan mereka yang terlambat matang. Faktanya, remaja lebih banyak mengalami krisis
perkembangan seperti bulimia (binge eating) dan anorexia nervosa (self-starvation), untuk
itulah diperlukan suatu pemahaman khusus mengenai perkembangan psikososial manusia.
Ilmu psikososial mendeskripsikan hubungan antara kebutuhan emosional individu dengan
lingkungan sosialnya. Teori psikososial yang dikenala secara luas adalah milik Erik Erikson,
yang menkankan tentang kemunculan self, pencarian identitas, hubungan individu dengan
orang lain, dan peran budaya di sepanjang kehidupan.
B.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1.

Bagaimana ide pokok teori perkembangan sosial emosi menurut

Ericson dan perkembangan moral menurut Kohlberg?


2.
Bagaimana contoh penerapan perkembangan sosial emosi menurut
Erikson dan perkembangan moral Kohlberg dalam pembelajaran?
C.

Tujuan
1.

Mengetahui ide pokok teori perkembangan sosial emosi menurut

2.

Ericson dan perkembangan moral menurut Kohlberg.


Mengetahui contoh penerapan perkembangan sosial emosi menurut
Erikson dan perkembangan moral Kohlberg dalam pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Ide Pokok Teori Perkembangan sosial Emosi Erikson dan Perkembangan Moral
Kohlberg
a. Teori Psikososial Ericson
Teori psikososial merupakan beberapa prisip yang mengaitkan lingkungan
sosial dengan perkembangan psikologis.
Sama seperti perkembangan kognitif, perkembangan pribadi dan sosial
digambarkan

dari sudut tahap-tahap. Kita bicara tentang usia dua tahun yang

mengerikan (tribble two), bukan usia satu tahun yang mengerikan atau usia tiga
tahun yang mengerikan dan seorang yang bereaksi tidak masuk akal dan egois, kita
menuduh orang tersebut berperilaku seperti anak usia 2 tahun. kata-kata remaja dan
belasan tahun diasosiasikan dalam budaya barat dengan sikap memberontak, krisis
identitas, pemujaan pahlawan, dan kesadaran seksual. Semua asosiasi ini
mencerminkan tahap-tahap perkembangan yang kita yakini dialami setiap orang.
Menurut Ericson beberapa persoalan yang sangat penting yang harus diatasi masing
orang ketika mereka melewati masing-masing dari kedelapan tahapan kehidupan.
b. Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Ericson
Erikson memiliki hipotesis bahwa orang melewati delapan tahap psikososial
sepanjang hidup mereka. Pada masing-masing tahap terdapat krisis atau masalahmasalah penting yang harus diatasi. Pada table 1.1 meringkaskan kedelapan tahap
kehidupan menurut teori Ericson. Masing-masing dicirikan krisis utama yang harus
diatasi.
Tahap
I

II

III

Perkiraan usia
0- 18 bln

18 bln 3 thn

3 6 thn

Krisis

Hubungan

Psikososial
Kepercayaan vs

Penting
Orang yang

ketidak percayaan

bergantung pada

Penekanan
Psikososial
Memperoleh

ibu

Member sebagai

Otonomi vs

Orang yang

balasan
Berpegang

keraguan

bergantung pada

Inisiatif vs rasa

orang tua
Keluarga dasar

Membiarkan pergi
Membuat (mengejar)

IV
V

VI

6 12 thn

bersalah
Kerajinan vs

Tetangga,

Menyerupai

12 18 thn

inferioritas
Identitas vs

sekolah
Kelompok

(=bermain)
Membuat sesuatu

kebingungan

sebaya dan

peran

teladan

Menyatukan segala

Keintiman vs

kepemimpinan
Mitra dalam

sesuatu
Menjadi diri sendiri

keterasingan

persahabatan,

(atau tidak menjadi

seks, persaingan

seseorang)

Dewasa awal

kerja sama
Membagikan diri
VII

Dewasa
pertengahan

VIII

Dewasa akhir

sendiri
Memberi perhatian

Daya regenerasi

Pembagian

vs penyerapan

tenaga kerja dan

diri

rumah tangga

Integritas vs

bersama
umat manusia

Menjadi seseorang

keputusasaan

dan jenis saya

melalui masa lalu


Menghadapi bukan
sesuatu

Tahap Basic Trust vs Basic Mistrust, percaya versus tidak percaya


Erikson

mengidentifikasikan trust

versus

mistrust (kepercayaan

versus

ketidakpercayaaan) sebagai konflik dasar masa bayi. Menurut Erikson, bayi yang baru lahir
hingga delapan belas bulan akan mengembangkan kepercayaan bila kebutuhan dan perwatan
dipenuhi

secara

rutin

dan

membuatnya

nyaman

atas

responsivitas

dari

pihak

pengasuh.Kesadaran ini merupakan bagian dari apa yang membuat kepercayaan begitu
penting: Bayi harus memercayai aspek-aspek dunia yang berada di luar kontrolnya (Isabella
& Belsky, 1991; Posada et al., 2002).

Tahap Autonomy vs Shame and Doubt, otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu
Tahap ini menandai awal pengendalian diri dan rasa percaya diri, dimulai dari umur

delapan belas bulan hingga tiga tahun. Anak-anak kecil mulai memikul tanggung jawab
4

penting untuk mengurus diri sendiri, seperti makan, menggunakan toilet, dan berpakaian.
Selama periode ini, orang tua harus menarik sebuah garis tegas; mereka harus protektif
tetapi tidak overprotektif. Bila orang tua tidak negakkkan rasa kepercayaan diri anak, maka
sang anak akan tumbuh dengan merasa malu. Erikson percaya bahwa anak-anak yang
mengalami terlalu banyak keragu-raguan di tahap ini akan kurang yakin terhadap
kemampuannya sepanjang hidup.

Tahap Initiative vs. Guilt, inisiatif versus perasaan bersalah


Tahap berikutnya saat anak berumur tiga tahun hingga enam tahun. Bagi Erikson,

tahap ini menambahkan pada otonomi kualitas-kualitas seperti menjalankan, merencanakan,


dan memecahkan tugas demi menjadi aktif dan terus bergerak (Erikson, 1963, hlm. 255).
Tantangan pada tahap ini adalah mempertahankan semangat untuk aktif dan sekaligus
memahami bahwa tidak setiap dorongan dapat diwujudkan. Insisiatif seorang anak harus
terus diasah pada tahap ini, inisiatif merupakan kemauan untuk memulai aktivitas baru dan
mengeksplorasi arah baru. Bila anak-anak tidak dibiarkan melakukan berbagai hal sendiri,
perasaan bersalah mungkin berkembang; mereka mungkin akan percaya bahwa apa yang
ingin mereka lakukan selalu salah.

Tahap Industry vs Inferiority, ketekunan versus perasaan rendah diri


Antara umur lima tahun hingga tujuh tahun, ketika kebanyakn anak mulai masuk

sekolah, perkembangan kognitif berjalan dengan cepat. Anak-anak memproses lebih banyak
informasi dengan lebih cepat dan rentang ingatan mereka bertambah. Mereka pindah dari
cara berpikir pra-operasional ke operasional-konkret. Mereka harus belajar memercayai orang
dewasa baru, bertindak secara otonom (mandiri) dalam situasi yang lebih kompleks, dan
menginisisai (memprakarsai) tindakan dengan cara yang sesuai dengan aturan sekolah.
Tantangan psikososial baru untuk tahun0tahun sekolah inilah yang disebut Erikson
sebagai ketekunan versus perasaan rendah diri. Anak mulai melihat hubungan antara
ketekunan dan perasaan senang bila sebuah sebuah pekerjaan selesai. Kesulitan dalam
menghadapi tantangan ini dapat menghasilkan perasaan rendah diri. Anak-anak harus
menguasai berbagai keterampilan baru dan berusaha mencapai tujuan baru, dan pada saat
yang sama mereka diperbandingkan dengan orang lain yang berisiko mengalami kegagalan.

Tahap Identify vs. confusion, identitas dan kebingungan


Ketika anak memasuki usia remaja, proses-prose kognitif meluas ketika mereka

mengembangkan kapabilitas untuk berfikir abstrak dan kapasitas untuk memahami perspektif
5

orang lain. Remaja muda harus menghadapi isu sentral, yaitu mngkonstruksikan identitas
yang akan memberikan dasar kuat saat dewasa.
Akan tetapi, masa remaja menandai saat pertama upaya sadar dilakukan untuk
menjawab pertanyaan yang sekarang menekannya; Who am I (aku ini siapa?), konflik
mennetukan tahap ini adalah identitas dan kebingungan. Identitas mengacu pada
pengoragnisasian berbagai dorongan, kemampuan, keyakinan dan riwayat individu menjadi
sebuah gambaran diri yang konsisten. Bila remaja gagal mengintegrasikan semua hal, atau
bila mereka merasa tidak mampu memilih sama sekali, maka kebingungan mengancam
mereka.
Menurut James Marcia (1991, 1994, 1999) ada empat alternatif identitas untuk
remaja, tergantug apakah mereka sudah mengeksplorasi berbagai opsi dan telah membuat
komitmen.
Pertama, difusi identitas, terjadi bila indvidu tidak mengeksplorasi opsi apapun atau
tidak berkomitmen terhadap tindakan apapun. Remaja-remaja ini sering ikut-ikutan, sehingga
merekalebih berkemungkinan untuk menyalhgunakan obat-obatan (Archer & Waterman,
1990; Berger & Thompson, 1995; Kroger, 2000).
Kedua, penutupan identitas, adalah komitmen tanpa eksplorasi. Remaja-remaja yang
identitasnya tertutup cenderung kaku, tidak toleran, dogmatis, dan defensif (Frank, Pirsch, &
Wright, 1990).
Ketiga, moratorium atau krisi identitas, menunda pilihan karena pertentangan.
Menurut Erikson, penundaan ini sangat lazim dan barangkali sehat, bagi remaja modern.
Remaja yang berada dalam masyarakat yang kompleks mengalami krisi identitas.
Keempat, pencapaian identitas, berarti bahwa setelah mengeksplorasi opsi-opsi yang
realistis, individu memilih dan berkomitmen untuk mencapainya.

Tahap Intimacy vs Isolation, intimasi versus isolasi


Intimasi dalam pengertian ini mengacu pada kemauan untuk berhubungan dengan

orang lain secara mendalam, untuk menjalin hubungan berdasarkan perasaan lebih dari
sekadar saling membutuhkan. Bila ia belum mencapai perasaan identitas yang cukup kuat, ia
akan tertelan dari orang lain dan memilih mengasingkan diri (isolasi).

Tahap Generativity vs stagnation, generativitas versus stagnasi

Generativitas memperluas kemampuan untuk peduli pada orang lain dan melibatkan
kepedulain untuk membimbing generasi berikutnya.

Integritas versus putus asa


Tahap

inilah

yang

dibawa

sampai

mati.

Mencapai

integritas

berarti

mengonsolidasikan sense of self dan menerima sepenuh keunikannya dan sejarahnya tidak
dapat diubah. Mereka yang tidak mampu mencapai perasaan integritas dan kepuasan akan
tenggelam dalam keputusasaan.
c. Perkembangan Moral Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence
Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia
mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti
Piaget yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses
perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya
berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis
dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan
ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila
mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan
mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam
tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan
dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral
dibanding tahap/tingkat sebelumnya.

d. Tahapan-tahapan Penalaran Moral Menurut Kohlberg


7

I.

Tingkat

II.

Tingkat

III.

Tingkat Pasca

Prakonvensional
Aturan diletakkan orang-

Konvensional
Individu menganut aturan

Konvensional
Orang mendevinisikan nilai-

orang lain.

dan kadang-kadang akan

nilainya sendiri dari sudut

Tahap 1 : Orientasi

menomor duakan kebutuhan

prinsip-prinsip etika yang

hukuman dan ketaatan.

sendiri dibelakang kebutuhan

telah mereka pilih untuk

Konsekuensi fisik, tindakan

kelompok. Harapan kelurga,

diikuti.

menentukan keburukan dan

kelompok, atau bangsa

Tahap V : Orientasi

kebaikannya

dipandang bernilai pada

Kontrak Sosial

Tahap 2 : Orientasi

dirinya, tanpa peduli

Apa yang benar ditentukan

relativis.

konsekuensinya yang

dari sudut hak-hak individu

Apa yang benar adalah, apa

langsung dan tampak jelas.

umum dan dari sudut standar

saja yang memuaskan

Tahap III : Orientasi anak

yang telah disepakati oleh

kebutuhan diri sendiri dan

baik

seluruh masyarakat. Berbeda

kadang-kadang kebutuhan

Perilaku yang baik adalah

dari tahap empat undang-

orang lain. Unsure-unsur

apa saja yang menyenangkan

undang beku hal itu dapat

kadilan dan ketimbalbalikan

atau membantu orang-orang

diubah demi kebaikan

ada, tetapi kebanyakan

lain dan disetujui oleh

masyarakat.

ditafsirkan dalam bentuk

mereka. Seseorang

Tahap VI : Orientasi

anda menggaruk punggung

memperoleh persetujuan

Prinsip Etika Universal

saya, saya akan menggaruk

dengan bersikap manis.

Apa yang benar ditentukan

punggungmu.

Tahap IV : Orientasi

oleh keputusan suara hati

Hukum dan

menurut prinsip-prinsip etika

Keteraturan.

yang dipilih pribadi. Prinsip-

Benar berarti melakukan

prinsip ini adalah abstrak dan

kewajiban seseorang, dengan

etis (seperti kaidah kencana)

memperlihatkan sikap

bukan ketentuan spesifik

hormat kepada orang yang

(seperti sepuluh perintah

berwenang, dan

Allah)

mempertahankan tatanan
sosial tertentu pada dirinya.
Pra-Konvensional

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun
orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada
dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.

tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari


tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap
salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu
bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa

dilihat sebagai sejenis otoriterisme.


Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar
didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang
menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila
kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti kamu garuk
punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian
kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang bersifat intrinsik.
Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda
dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani
kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat
sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan
pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan
keempat dalam perkembangan moral.

tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka
mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah
mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk
9

hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa
terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada
hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan
memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka

bermaksud baik.
tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi
sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral
dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan individual seperti
dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme
utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam
kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain
juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan
aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari
yang baik.

Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima
dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat hakekat diri mendahului orang lain ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.

tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan


nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai
tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan
dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan
yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang
lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya
keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus
diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya
orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam
hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap
lima.
10

tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip
etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen
terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang
tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan
moraldeontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan
bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang
juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran. Tindakan yang diambil adalah
hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu
menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau
Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan
seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun
ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

2. Menjelaskan Contoh Penerapan Perkembangan sosial emosi Erikson dan


Perkembangan Moral Kohlberg dalam Pembelajaran
Dalam upaya mengembangkan aspek afeksi siswa melalui pembelajaran mulai dalam
sebuah overviewnya mengemukakan bahwa menurut Kohlberg pendekatan yang baik yang
harus dilakukan untuk memahami prilaku moral yang harus didasari pemahaman tentang
tahap tahap perkembangan moral. Tujuan pendidikan moral adalah untuk mendorong
individu individu guna mencapai tahapan tahapan perkembangan moral selanjutnya.
Dalam keadaan itu pendidikan moral harus memperhatikan kepribadian secara menyeluruh,
khususnya berkaitan dengan interaksi kita dengan oranglain, prilaku atau etika kita. (manan,
1995 :8).

Table contoh penerapan perkembangan sosial emosi dalam pembelajaran menurut Ericson
dari fase ke fase.
Tahap

Perkiraan usia

Krisis

Contoh
11

0- 18 bln

Psikososial
Kepercayaan vs

Menanamkan rasa kasih sayang dalam

ketidak percayaan

bentuk menyusui, memberi makan,


merawat, mengajak bermain, dsb. sehingga
anak merasa aman terhadap pengasuhnya.
Dan secara alamiah konsep kepercayaan
terhadap sesama manusia sudah dibangun
sejak lahir oleh orang-orang yang ada di

II

18 bln 3 thn

Otonomi vs

dekatnya
Membiasakan anak untuk beraktivitas

keraguan

secara mandiri seperti makan dengan


sendok, mandi, ganti pakaian, merapikan
mainan dsb. Dengan hal itu anak percaya
pada dirinya sendiri bahwa ia mampu

III

3 6 thn

Inisiatif vs rasa

melakukan pekerjaan secara mandiri.


pada usia ini anak mulai tertarik untuk

bersalah

mencoba hal-hal baru seperti


menyelesaikan tugas sekolah, sehingga ia
bersemangat untuk mengeksplorasi

IV

6 12 thn

Kerajinan vs

kemampuannya.
Orang tua dan guru mengingatkan kepada

inferioritas

anak untuk bertanggung jawab pada


tugasnya sebagai anak dan siswa (mulai
dapat membagi waktu antara, membantu
orang tua, bermain dan belajar). Sehingga
anak memiliki kepribadian yang

12 18 thn

Identitas vs

bertanggung jawab secara moral.


Pada usia ini anak mulai mencari jati diri

kebingungan

(kepercayaan, pengakuan lingkungan dll.)

peran

dengan motivasi-motivasi, nilai-nilai


moral, religius yang ia dapat dari Orang
tua dan Guru sehingga ia menjadi manusia

VI

Dewasa awal

Keintiman vs

yang beradab dan bermartabat.


Pada usia ini dapat memahami dirinya

keterasingan

sendiri, sehingga mampu mempercayai


12

kemampuannya. Ketika ia mampu


mepercayai kemampuannya sendiiri
disitulah kepercayaan dari lingkungan
mulai ada. Kenitiman dengan lingkungan
didapat dengan cara memahami dan
berbagi, kepercayaan, komitmen, kejujuran
dan empati. Sehingga dia dapat diterima
VII

VIII

Daya regenerasi

dimasyarakat.
Mulai mengaplikasikan kemampuan

pertengahan

vs penyerapan

kemampuan yang dimilikinya kepada

Dewasa akhir

diri
Integritas vs

orang lain untuk kemaslahatan manusia.


Keberhasilan dalam hidup sudah ia miliki

keputusasaan

seperti pencapaian proses kehidupan.

Dewasa

Sehingga ia lebih bijak dalam menjalani


kehidupan karena pengalaman hidup yang
ia capai lebih banyak.

Table contoh tahapan penalaran moral menurut Kohlberg.


I.

Tingkat

II.

Tingkat

III.

Tingkat

Pasca

Prakonvensional
Tahap 1 : Orientasi

Konvensional
Tahap III : Orientasi anak

Konvensional
Tahap V : Orientasi

hukuman dan ketaatan.

baik

Kontrak Sosial

suatu tindakan dianggap

Pada tahap ini mulai

Setiap manusia memiliki hak

13

salah secara moral bila


orang yang melakukannya
dihukum. Semakin keras
hukuman diberikan
dianggap semakin salah
tindakan itu (mendidik).
Sebagai tambahan, ia tidak
tahu bahwa sudut pandang
orang lain berbeda dari
sudut pandang dirinya
(menyiksa). Tahapan ini
bisa dilihat sebagai
sejenis otoriterisme.
Tahap 2 : Orientasi

menerapkan peran sosial,


moralitas sebagai suatu
tindakan, sehingga karena
tindakan tersebut seseorang
akan di beri pengakuan baik
buruknya suatu kepribadian.

(hak untuk dihormati dan di


hargai tanpa memihak) dan
kewajiban untuk berpendapat
dan menrima pendapat sesuai
dengan keputusan mayoritas.

Tahap IV : Orientasi

Tahap VI : Orientasi

relativis.

Hukum dan

Prinsip Etika Universal

Mementingkan kebutuhan
dirinya. kurang
menunjukkan perhatian
pada kebutuhan orang lain,
hanya sampai tahap bila
kebutuhan itu juga
berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri.
Contoh aku akan
mengajarimu belajar
matematika asalkan kamu
mau mengajariku bahasa
jawa!

Keteraturan.

Segala keputusan dan


tindakan dilakukan sesuai
dengan suara hati dan prinsip
hidup yang dipegangnya.

Bila seseorang bisa


melanggar hukum, mungkin
orang lain juga akan begitu sehingga ada kewajiban atau
tugas untuk mematuhi hukum
dan aturan. Bila seseorang
melanggar hukum, maka ia
salah secara moral, sehingga
celaan menjadi faktor yang
signifikan dalam tahap ini
karena memisahkan yang
buruk dari yang baik.

BAB III
PENUTUP

14

A. Simpulan
Teori psikososial merupakan beberapa prisip yang mengaitkan lingkungan sosial
dengan perkembangan psikologis. Sama seperti perkembangan kognitif, perkembangan
pribadi dan sosial digambarkan dari sudut tahap-tahap. Menurut Ericson beberapa persoalan
yang sangat penting yang harus diatasi masing orang ketika mereka melewati masing-masing
dari kedelapan tahapan kehidupan.
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence
Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi.
B. Saran
Sebagai calon pendidik kita harus memahami karakter anak didik, dengan memakai
teori erikson dan Kohlberg kita dapat sebagai acuan dalam melakukan kegiatan belajar
mengajar, memahami karakter manusia dan ruang lingkupnya.

DAFTAR PUSTAKA
Respati, Winanti Siwi. 2013. Teori Psikososial.
http://winantisiwi.weblog.esaunggul.ac.id/2013/12/22/teori-psikososial-erik-herikson/ (online). Diakses 5 maret 2016.

15

Leoniya. 2015. Pengembangan sosial emosi dan emosi pada anak.


https://leoniya.wordpress.com/2015/02/16/pengembangan-sosial-emosi-dan-emosipada-anak-tk-pendidikan-anak-usia-dini-paud/ (online). Diakses 5 maret 2016.
https://id.wikipedia.org/wiki/Erik_Erikson

https://www.youtube.com/watch?v=00ByjsHwJiM

16

Anda mungkin juga menyukai