Anda di halaman 1dari 9

APENDISITIS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Apendisitis merupakan penyakit yang sangat sering sekali dijumpai di RS di mana pun. Di
Indonesia angka yang menderita apendisitis dan apendektomi sangat besar sekali
dibandingkan dengan jumlah yang menderita penyakit yang lainnya. Dari itulah penulis
ingim membahas seputar apendisitis dan asuhan keperawatan pada klien dengan pre dan post
apendektomi
B. Tujuan Penyusunan
1. Tujuan umum:
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar penyusun makalah ini mengetahui dan
mengerti tantang konsep dasar penyakit dan asuhan keperawatan pre dan post apendektomi
pada klien apendisitis
2. Tujuan khusus:
Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah agar penyusun mampu:
a. Medeskripsikan konsep dasar penyakit apendisitis
b. Mendeskripsikan analisa data pada asuhan keperawatan klien dengan pre dan post
apendektomi
c. Mendeskripsikan diagnosa keperawatan yang muncul pada asuhan keperawatan klien
dengan pre dan post apendektomi
d. Mendeskripsikan rencana keperawatan yang dibuat pada asuhan keperawatan klien dengan
pre dan post apendektomi
e. Mendeskripsikan tindakan-tindakan yang telah dilakukan pada asuhan keperawatan klien
dengan pre dan post apendektomi
f. Mendeskripsikan evaluasi dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan pada asuhan
keperawatan klien dengan pre dan post apendektomi
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN PRE DAN POST APENDICTOMI
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ, berturut-turut dimulai
dari :
1. Rongga Mulut,
2. Esofagus,
3. Lambung,
4. Usus Halus,
5. Usus Besar,
6. Rektum,
7. Anus.

Gbr. 1 Sistem Pencernaan pada manusia


1. Rongga Mulut
Mulut merupakan saluran pertama yang dilalui makanan. Pada rongga mulut, dilengkapi alat
pencernaan dan kelenjar pencernaan untuk membantu pencernaan makanan. Pada Mulut
terdapat :
a. Gigi
Memiliki fungsi memotong, mengoyak dan menggiling makanan menjadi partikel yang kecilkecil. Perhatikan gambar disamping.

b. Lidah
Memiliki peran mengatur letak makanan di dalam mulut serta mengecap rasa makanan.
c. Kelenjar Ludah
Ada 3 kelenjar ludah pada rongga mulut. Ketiga kelenjar ludah tersebut menghasilkan ludah
setiap harinya sekitar 1 sampai 2,5 liter ludah. Kandungan ludah pada manusia adalah : air,
mucus, enzim amilase, zat antibakteri, dll. Fungsi ludah adalah melumasi rongga mulut serta
mencerna karbohidrat menjadi disakarida.
2. Esofagus (Kerongkongan)
Merupakan saluran yang menghubungkan antara rongga mulut dengan lambung. Pada ujung
saluran esophagus setelah mulut terdapat daerah yang disebut faring. Pada faring terdapat
klep, yaitu epiglotis yang mengatur makanan agar tidak masuk ke trakea (tenggorokan).
Fungsi esophagus adalah menyalurkan makanan ke lambung. Agar makanan dapat berjalan
sepanjang esophagus, terdapat gerakan peristaltik sehingga makanan dapat berjalan menuju
lambung.
3. Lambung
Lambung adalah kelanjutan dari esophagus, berbentuk seperti kantung. Lambung dapat
menampung makanan 1 liter hingga mencapai 2 liter. Dinding lambung disusun oleh otot-otot
polos yang berfungsi menggerus makanan secara mekanik melalui kontraksi otot-otot
tersebut. Ada 3 jenis otot polos yang menyusun lambung, yaitu otot memanjang, otot
melingkar, dan otot menyerong.
Selain pencernaan mekanik, pada lambung terjadi pencernaan kimiawi dengan bantuan
senyawa kimia yang dihasilkan lambung. Senyawa kimiawi yang dihasilkan lambung adalah :
Senyawa Kimia Fungsi
Asam HCl Mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin. Sebagai disinfektan, serta merangsang
pengeluaran hormon sekretin dan kolesistokinin pada usus halus
Lipase Memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Namun lipase yang dihasilkan

sangat sedikit
Renin Mengendapkan protein pada susu (kasein) dari air susu (ASI). Hanya dimiliki oleh
bayi.
Mukus Melindungi dinding lambung dari kerusakan akibat asam HCl.
Hasil penggerusan makanan di lambung secara mekanik dan kimiawi akan menjadikan
makanan menjadi bubur yang disebut bubur kim.
4. Usus Halus
Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung. Usus halus memiliki panjang sekitar 6-8
meter. Usus halus terbagi menjadi 3 bagian yaitu duodenum ( 25 cm), jejunum ( 2,5 m),
serta ileum ( 3,6 m). Pada usus halus hanya terjadi pencernaan secara kimiawi saja, dengan
bantuan senyawa kimia yang dihasilkan oleh usus halus serta senyawa kimia dari kelenjar
pankreas yang dilepaskan ke usus halus.
Senyawa yang dihasilkan oleh usus halus adalah :
Senyawa Kimia Fungsi
Disakaridase Menguraikan disakarida menjadi monosakarida
Erepsinogen Erepsin yang belum aktif yang akan diubah menjadi erepsin. Erepsin mengubah
pepton menjadi asam amino.
Hormon Sekretin Merangsang kelenjar pancreas mengeluarkan senyawa kimia yang
dihasilkan ke usus halus
Hormon CCK (Kolesistokinin) Merangsang hati untuk mengeluarkan cairan empedu ke
dalam usus halus.
Selain itu, senyawa kimia yang dihasilkan kelenjar pankreas adalah :
Senyawa Kimia Fungsi
Menetralkan suasana asam dari makanan yang berasal dari lambung
Enterokinase Mengaktifkan erepsinogen menjadi erepsin serta mengaktifkan tripsinogen
menjadi tripsin. Tripsin mengubah pepton menjadi asam amino.
Amilase Mengubah amilum menjadi disakarida
Lipase Mencerna lemak menjadi asam lemak dan gliserol
Tripsinogen Tripsin yang belum aktif.
Kimotripsin Mengubah peptone menjadi asam amino
Nuklease Menguraikan nukleotida menjadi nukleosida dan gugus pospat
Hormon Insulin Menurunkan kadar gula dalam darah sampai menjadi kadar normal
Hormon Glukagon Menaikkan kadar gula darah sampai menjadi kadar normal
Proses Pencernaan Makanan
Pencernaan makanan secara kimiawi pada usus halus terjadi pada suasana basa. Prosesnya
sebagai berikut :
a. Makanan yang berasal dari lambung dan bersuasana asam akan dinetralkan oleh bikarbonat
dari pancreas.
b. Makanan yang kini berada di usus halus kemudian dicerna sesuai kandungan zatnya.
Makanan dari kelompok karbohidrat akan dicerna oleh amylase pancreas menjadi disakarida.
Disakarida kemudian diuraikan oleh disakaridase menjadi monosakarida, yaitu glukosa.
Glukaosa hasil pencernaan kemudian diserap usus halus, dan diedarkan ke seluruh tubuh oleh
peredaran darah.
c. Makanan dari kelompok protein setelah dilambung dicerna menjadi pepton, maka pepton
akan diuraikan oleh enzim tripsin, kimotripsin, dan erepsin menjadi asam amino. Asam
amino kemudian diserap usus dan diedarkan ke seluruh tubuh oleh peredaran darah.
d. Makanan dari kelompok lemak, pertama-tama akan dilarutkan (diemulsifikasi) oleh cairan
empedu yang dihasilkan hati menjadi butiran-butiran lemak (droplet lemak). Droplet lemak

kemudian diuraikan oleh enzim lipase menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak dan
gliserol kemudian diserap usus dan diedarkan menuju jantung oleh pembuluh limfe.

5. Usus Besar (Kolon)


Merupakan usus yang memiliki diameter lebih besar dari usus halus. Memiliki panjang 1,5
meter, dan berbentuk seperti huruf U terbalik. Usus besar dibagi menjadi 3 daerah, yaitu :
Kolon asenden, Kolon Transversum, dan Kolon desenden. Fungsi kolon adalah :
a. Menyerap air selama proses pencernaan.
b. Tempat dihasilkannya vitamin K, dan vitamin H (Biotin) sebagai hasil simbiosis dengan
bakteri usus, misalnya E.coli.
c. Membentuk massa feses
d. Mendorong sisa makanan hasil pencernaan (feses) keluar dari tubuh. Pengeluaran feses
dari tubuh ddefekasi.

6. Rektum dan Anus


Merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang lewat anus, feses
ditampung terlebih dahulu pada bagian rectum. Apabila feses sudah siap dibuang maka otot
spinkter rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus. Otot spinkter yang menyusun
rektum ada 2, yaitu otot polos dan otot lurik.
a) Gangguan Sistem Pencernaan
Radang usus buntu. Apendisitis
Feses yang sangat cair akibat peristaltik yang terlalu cepat. Diare
Kesukaran dalam proses Defekasi (buang air besar) Kontipasi (Sembelit)
Terlalu banyak makan atau makan suatu zat yang merangsang lambung. Maldigesti
Infeksi pada kelenjar parotis disebut juga Gondong Parotitis
"Radang" pada dinding lambung, umumnya diakibatkan infeksi Helicobacter pylori
Tukak Lambung/Maag
Produksi air liur yang sangat sedikit Xerostomia
Gangguan pada sistem pencernaan makanan dapat disebabkan oleh pola makan yang salah,
infeksi bakteri, dan kelainan alat pencernaan. Di antara gangguan-gangguan ini adalah diare,
sembelit, tukak lambung, peritonitis, kolik, sampai pada infeksi usus buntu (apendisitis).
Diare
Apabila kim dari perut mengalir ke usus terlalu cepat maka defekasi menjadi lebih sering
dengan feses yang mengandung banyak air. Keadaan seperti ini disebut diare. Penyebab diare
antara lain ansietas (stres), makanan tertentu, atau organisme perusak yang melukai dinding
usus. Diare dalam waktu lama menyebabkan hilangnya air dan garam-garam mineral,
sehingga terjadi dehidrasi.
Konstipasi (Sembelit)
Sembelit terjadi jika kim masuk ke usus dengan sangat lambat. Akibatnya, air terlalu banyak
diserap usus, maka feses menjadi keras dan kering. Sembelit ini disebabkan karena kurang
mengkonsumsi makanan yang berupa tumbuhan berserat dan banyak mengkonsumsi daging.

Tukak Lambung (Ulkus)


Dinding lambung diselubungi mukus yang di dalamnya juga terkandung enzim. Jika
pertahanan mukus rusak, enzim pencernaan akan memakan bagian-bagian kecil dari lapisan
permukaan lambung. Hasil dari kegiatan ini adalah terjadinya tukak lambung. Tukak
lambung menyebabkan berlubangnya dinding lambung sehingga isi lambung jatuh di rongga
perut. Sebagian besar tukak lambung ini disebabkan oleh infeksi bakteri jenis tertentu.
Beberapa gangguan lain pada sistem pencernaan antara lain sebagai berikut: Peritonitis;
merupakan peradangan pada selaput perut (peritonium). Gangguan lain adalah salah cerna
akibat makan makanan yang merangsang lambung, seperti alkohol dan cabe yang
mengakibatkan rasa nyeri yang disebut kolik. Sedangkan produksi HCl yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul rasa
nyeri yang disebut tukak lambung. Gesekan akan lebih parah kalau lambung dalam keadaan
kosong akibat makan tidak teratur yang pada akhirnya akan mengakibatkan pendarahan pada
lambung. Gangguan lain pada lambung adalah gastritis atau peradangan pada lambung. Dapat
pula apendiks terinfeksi sehingga terjadi peradangan yang disebut apendisitis.
Di dalam makalah ini kami akan membahas seputar gangguan pencernaan pada apendiks atau
biasa dikenal dengan apendisitis yang meliputi definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, pemeriksaan, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi serta asuhan keperawatan
pada pasien dengan gangguan system pencernaan yang meliputi identitas, riwayat kesehatan
klien, pola aktivitas sehari-hari, pemeriksaan fisik, data psikososial, data penunjang, analisa
data, daftar masalah, rencana keperawatan, implementasi dan catatan perkembangan.
B. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat
pada sekum tepat di bawah katup leosekal. Apediks berisi makanan dan mengosongkan diri
secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosonga tidak efektif, dan lumennya kecil,
apendiks cendrung menjaadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (apendisitis).
(brunner & suddarth, 1997).
Apendisitis adalah obstruksi dari usus buntu yang menyebabkan peradangan, ulserasi dan
nekrosis. Jika nekrosis menyebabkan usus buntu rupture, maka isis usus akan mengalir
keruangan peritoneal, selanjutnya menyebabkan peritonitis. Penyakit usus buntu sering
ditemukan pada pasien berusia antara 10-30 tahun bila terjadi pada usia lebih tua dari itu,
maka kemungkinannya bias sangat serius. (Charlene J. Reeves dkk. 2001)
Apendisitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi. Walaupun
apendisitis dapat terjadi pada setiap usia namun paling sering terjadi pada remaja dan dewsa
muda. Angka mortalitas penyakit ini tinggi sebelum era antibiotic. Apendisitis adalah
peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut, fatogenesis
utamanya diduga karena adanya obstruksi lumen (feces keras yang terutama oleh serat).
Penyumbatan pengeluaran secret mucus menyebabkan terjadinya pembengkakan, infeksi dan
ulserasi. (Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, 2005)
Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab
timbulnya appendisits. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang
merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan
immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian,
adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini
dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila
dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.

(http://www.medication.com//apendicities)
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus
buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang
merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara
pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan
masalah kesehatan. (http://www.medication.com//apendicities)
Dari pengertian diatas dapat simpulkan bahwa apendiks adalah termasuk ke dalam salah satu
organ sistem pencernaan yang terletak tepat dibawah dan melekat pada sekum yang berfungsi
sebagai imun. Apendiks berisi makanan yang akan mengosongkan diri secara teratur ke
dalam sekum, karena pengosongannya tidak efektif apendiks sering mengalami gangguan dan
mudah terinflamasi atau biasa dikenal dengan nama apendisitis. Apendisistis merupakan
inflamasi akut pada apendiks yang disebabkan oleh fekalit (massa keras dari feces), tumor
atau benda asing di dalam tubuh, namun ulserasi mukosa oleh parasit E. Histolytica juga
dapat menyebabkan apendisitis. Gaya hidup individu pun dapat menyebabkan terjadinya
apendisitis, kebiasaan individu mengkonsumsi makanan rendah serat dapat menyebabkan
konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intraluminal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa dan terjadilah apendisitis.
2. Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan
limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah
disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi
yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah
ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat
menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya
tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis.
3. Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat,
kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feces), tumor, atau benda asing. Proses inflamasi
meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat
secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen.
Akhirnya, apendiks yang terinflamasi berisi pus (brunner & suddarth, 1997).
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan
dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap
harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum
menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah
bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks,
sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga
mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah

terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum
setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul
dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding
apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam
keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini.
Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks.
Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.
Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan
menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan
dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya
gangguan pembuluh darah.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut
kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi.
4. Manifestasi Klinik
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri
tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya
disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan
menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke
titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan
nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.
Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang
apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut
gejala yang timbul tersebut.
1). Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh
sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan
gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena
adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2). Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan
rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan
menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis,
dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru
diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak
jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa
menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan
anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis
diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah
terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru
dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan
apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau
penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala
apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang
biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi
lebih ke regio lumbal kanan.
5. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis
dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg
(Blumberg Sign).
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan
letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan
terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis.
Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui
letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan
ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut
akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis)
dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan

ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum.
6. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis masih
mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama
yang masih muda sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal
dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik
lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya
dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium
kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis
pada kasus yang meragukan.2
7. Penatalaksanaan
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat adalah
segera dilakukan apendiktomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara
terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa
periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi
antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu,
barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan
terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau
abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan
tindakan bedah.
8. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perporasi apendiks, yang dapat dapat berkembng
menjadi peritonotis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Insident lebih
tinggi pada anak kebil dan lansia. Perforas terjadi secara umum 24 jam setelah awitan nyeri.
Gejala mencakup demam 37,70 C atau lebih tinggi, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinue

Anda mungkin juga menyukai