Anda di halaman 1dari 5

Pekerjaan kefarmasian di rumah sakit di Indonesia:

Pekerjaan Kefarmasian dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor


51 Tahun 2009 bahwa dalam menjalankan praktek kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian apoteker harus menerapkan Standar
Pelayanan Kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang
bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah
terkait obat yang berorientasi pada pasien (patient oriented). Standar
Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No 58 Tahun 2014.
Bagian keenam tentang kefarmasian (pasal 15)
dalam UndangUndang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit disebutkan bahwa
persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau.
Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di
Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu.
Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk
pembuatan formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan
untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi
Rumah Sakit. Dengan demikian semua Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang beredar di Rumah Sakit merupakan
tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga tidak ada
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi
Rumah Sakit.
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi
sebagai satu-satunya penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga
Rumah Sakit akan mendapatkan manfaat dalam hal:
a. pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
b. standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai;
c. penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai;
d. pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
e. pemantauan terapi Obat;
f. penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (keselamatan pasien);
g. kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang akurat;

h. peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit; dan
i. peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.
Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi: 1. menyelenggarakan,
mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan
Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai
prosedur dan etik profesi; 2. melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu
dan efisien; 3. melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna
memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko; 4.
melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien; 5. berperan aktif dalam
Tim Farmasi dan Terapi; 6. melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta
pengembangan Pelayanan Kefarmasian; 7. memfasilitasi dan mendorong
tersusunnya standar pengobatan dan formularium Rumah Sakit.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan di rumah sakit meliputi: 1.
pengkajian dan pelayanan Resep; 2. penelusuran riwayat penggunaan
Obat; 3. rekonsiliasi Obat; 4. Pelayanan Informasi Obat (PIO); 5. konseling;
6. visite; 7. Pemantauan Terapi Obat (PTO); 8. Monitoring Efek Samping
Obat (MESO); 9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); 10. dispensing sediaan
steril; dan 11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); Selain itu
Apoteker berperan dalam manajemen resiko yakni melakukan identifikasi
terhadap risiko yang potensial terjadi dalam melaksanakan pelayanan
farmasi klinik dan membuat upaya pencegahannya dan penanganannya.
Pelayanan farmasi klinik berupaya meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien
(quality of life) terjamin.
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian dalam PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
dijelaskan bahwa
1. Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping
dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian (pasal 20)
2. Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
dilaksanakan oleh Apoteker (pasal 21)
3. Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 harus menetapkan Standar Prosedur
Operasional (pasal 23)

4. Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan


diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan ketentuan
peraturan perundang-undangan (pasal 23)
5. Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat: a. mengangkat seorang Apoteker
pendamping yang memiliki SIPA; b. mengganti obat merek dagang
dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat
merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien; dan c.
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada
masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (pasal 24)
6. Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan pelayanan farmasi
pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga
Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya (pasal 27)
7. Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib mengikuti paradigma
pelayanan kefarmasian dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi (pasal 28)
Pekerjaan kefarmasian menurut FIP:
1. Pengobatan digunakan saat penting / dibutuhkan dan pemilihan
berdasarkan bukti yang telah teruji secara ilmiah dan atau pengalaman
klinis yang paling efektif dan paling sedikit menimbulkan bahaya.
2. Monitoring efikasi dan keamanan
3. Perlunya kolaborasi multidisiplin ilmu dan perhatian dari tenaga kesehatan
profesional.
4. Penerapan standar pelayanan kefarmasian dibutuhkan (evidance based
hospital pharmacy practice standard)
5. Farmasi rumah sakit memerlukan suatu kebijakan kesehatan dalam
memastikan sumber yang tepat untuk obat yang digunakan di rumah sakit
6. Farmasi rumah sakit harus bertindak dalam memastikan setiap pelayanan
rumah sakit dilakukan oleh farmasi yang telah melalui pelatihan tingkat
lanjut
7. Direktur
farmasi
harus
bertanggungjawab
secara
profesional
mengkoordinir penggunaan obat di rumah sakit
8. Apoteker( farmasis ) harus bertanggungjawab dalam pelayanan sebagai
sumber informasi dalam semua aspek pengobatan baik terhadap pasien
maupun tenaga medis di rumah sakit
9. Semua resep melalui review, interpretasi dan validasi oleh farmasis
sebelum diserahkan
10.Monitor pasien agar aspek keamanan, ketepatan dan optimal terapi yang
diperoleh, terdapat kriteria yang mana yang pelru dimonitor atau tidak
11.Record pasien dapat diakes oleh farmasis
12.Edukasi pasien atau pengasuh pasien dan menyediakan informasi
mengenai cara penggunaan obat yang tepat

13.Tenaga teknis kefarmasian diberikan pelatihan dan adanya spesialisasi di


rumah sakit perlu dikembangkan
14.Penelitian metode terbaru demi meningkatkan sistem dalam pengobatan
dan SDM
15.Pembuangan limbah medis dan limbah dari pasien adalah tanggungjawab
farmasi rumah sakit
16.Seleksi, implementasi dan maintanance teknologi untuk mendukung
pengobatan
17.Memastikan penyimpanan yang tepat untuk menjaga integritas
pengobatan melalui supply chain
18.Menjadi pemandu dalam pembuatan keputusan terapetik unutk
meningkatakan keselamatan pasien
19.Rencana kemungkinana unutk obat yang kurang dan dalam keadaan
darurat
20.Tujuh tepat (pasien, obat, dosis, rute, informasi, dokumentasi, dan waktu)

Terdapat kegiatan :
A. Penyediaan perbekalan farmasi (no 20-23) terkait transparansi, legal,
bebas konfik dan efektifitas biaya
B. Peresepan (no 24-29) terkait formularium rumah sakit berdasarkan best
available evidance, komite terapetik, edukasi rekan sejawat, keputusan
terapetik
C. Penyiapan dan penghantaran (no 30-39) terkait penyimpanan, penyerahan
dan distribusi, kontrol obat, standarisari penyimpanan, verifikasi, obat
racik memenuhi standarisasi, sistem untuk menelusuri obat dalam recall
D. Adminitrasi (no 40-48) terkait label, identitas pasien minimal 2 buah,
nama obat, rute, dosis, aturan pakai, volume, laju adminnitrasi, dosis
kemoterapi yang berisiko harus dicek oleh 2 orang (apoteker dan
adminitrasi), pencatatan resep
E. Monitoring ( no 49-55) terkait ADR (adverse drug reaction)
F. HR, pelatihan, dan pengembangan (no 56-65) terkait evidance based
hopital pharmacy human resource plans

Gap analisis antara pekerjaan


Indonesia dan secara global:

kefarmasian

rumah

sakit

di

Persamaan
1. Sama-sama berupaya menhasilkan hasil yang optimal terhadap outcame
terapi yang diterima pasien

2. Meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat


3. Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian harus
menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian
4. Apoteker bertanggungjawab sebagai sumber informasi mengenai
semua aspek pengobatan baik terhadap pasien maupun tenaga medis di
rumah sakit
5. Adanya peran tenaga teknis kefarmasian
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan

7. Adanya formularium di rumah sakit


8. Kajian dan pelayanan resep
9. Monitoring penggunaan obat demi keselamatan pasien ( keamanan dan
keefktifan obat )
10.
Memastikan ketepatan terapi

11.
Dilakukannya pembaharuan metode demi peningkatan
pengobatan terhadap pasien (di Indonesia disebutkan SOP dan
pengembangan pelayanan kefarmasian sedangkan yang dimaksud
oleh FIP dapat berupa teknologi pengobatan)
12.
Manajemen penyediaan perbekalan farmasi
13.
Manajemen resiko direncanakan (dalam FIP disebutkan terkait
dalam pengadaan obat dan keadaan darurat, sedangkan Indonesia
terkait pelayanan klinik)
14.Farmasis turut berperan dalam pembuatan keputusan terapetik (namun di
Indonesia peran apoteker hanya sebatas merekomendasikan ke dokter)

Perbedaan
1. Penyediaan perbekalan farmasi di rumah sakit Indonesia disebutkan
satu pintu, sedangkan di FIP tidak dijelaskan
2. Di FIP pemilihan pengobatan harus berdasarkan bukti yang telah teruji
secara ilmiah dan atau pengalaman klinis yang paling efektif dan paling
sedikit menimbulkan bahaya.
3. Di FIP disebutkan bahwa dosis kemoterapi atau obat yang berisiko harus
dicek oleh 2 orang (apoteker dan adminitrasi)

Rantai pasok : semua kegiatan yang terkait dengan aliran material, informasi
dan uang di sepanjang supply chain.
Perbedaan rantai pasok, persediaan, dan logistik :
Rantai pasok merupakan semua bagian dari mulai supplier bahan baku, pabrik,
depo atau distributor hingga konsumen
Logistik merupakan bagian dari supply chain yakni kegiatan mengantarkan
barang (produk ruah) dari suatu pabrik ke pabrik lainnya
Sedangkan persediaan merupakan barang-barang terkait bahan awal (raw
material) atau produk ruah dan produk jadi yang diatur dalam ruang
penyimpanan

Anda mungkin juga menyukai