Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

DISTOSIA

Disusun Oleh :
Yenda Cahya E. P 2009730117

Pembimbing :
dr. Andi Handi Ardaya, Sp.OG

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RSUD CIANJUR
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Persalinan normal suatu keadaan fisiologis, normal dapat berlangsung
sendiri tanpa intervensi penolong. Kelancaran persalinan tergantung 3 faktor
P utama yaitu kekuatan ibu (power), keadaan jalan lahir (passage) dan
keadaan janin (passanger). Faktor lainnya adalah psikologi ibu (respon ibu ),
penolong saat bersalin, dan posisi ibu saat persalinan.
Dengan adanya keseimbangan atau kesesuaian antara faktor-faktor "P"
tersebut, persalinan normal diharapkan dapat berlangsung. Bila ada gangguan
pada satu atau lebih faktor P ini, dapat terjadi kesulitan atau gangguan pada
jalannya persalinan.
Kelambatan atau kesulitan persalinan ini disebut distosia. Salah satu
penyebab dari distosia karena adalah kelainan janin. Distosia berpengaruh
buruk bagi ibu maupun janin. Pengenalan dini dan penanganan tepat akan
menentukan prognosis ibu dan janin.
B. TUJUAN
Tujuan penyusunan referat ini adalah :
1. Mengetahui jenis distosia yang terjadi pada persalinan
2. Mengetahui penyebab dari distosia yang terjadi pada persalinan
3. Mengetahui penatalaksanaan dari distosia yang terjadi pada persalinan

BAB II
ISI
A. Distosia
1. Definisi
Distosia berasal dari bahasa Yunani, Dys atau dus berarti buruk atau
jelek, tosia berasal dari tocos yang berarti persalinan, sehingga distosia
merupakan persalinan yang sulit, tidak ada kemajuan dalam persalinan atau
merupakan persalinan yang membawa satu akibat buruk bagi janin maupun
ibu (Winkjosastro et al, 2006).
2. Etiologi
Distosia terjadi karena beberapa faktor, yaitu kelainan power, passage,
dan passanger :
a) Kelainan Power
Power adalah kekuatan ibu mendorong janin, yaitu kekuatan his
dan kekuatan ibu dalam mengejan. His normal yaitu his yang timbul
dominan pada fundus uteri, simetris, kekuatannya semakin lama semakin
kuat dan sering serta mengalami fase relaksasi yang baik. Kelainan his
ini dapat berupa inersia uteri hipertonik atau inersia uteri hipotonik.
Kontraksi uterus atau his secara normal terjadi pada awal persalinan
yakni pada kala 1, pada awal kala 1 his yang timbul masih jarang yaitu 1
kali dalam 15 menit dengan kekuatan 20 detik, his ini semakin lama
akan timbul semakin cepat dan sering yakni interval 2 sampai 3 kali
dalam 10 menit dengan kekuatan 50 sampai 100 detik. Apabila kontraksi
tidak adekuat, maka serviks tidak akan mengalami pembukaan, sehingga
pada kondisi tersebut dilakukan induksi persalinan, dan apabila tidak ada
kemajuan persalinan maka dilakukan seksio sesaria, namun pada
persalinan kala II apabila ibu mengalami kelelahan maka persalinan
dilakukan dengan menggunakan vacum ekstraksi (Cuningham et al,
2010).
Persalinan kala III yaitu melahirkan plasenta, apabila placenta
belum lahir dalam waktu 30 menit maka hal ini terjadi karena tidak ada
kontraksi uterus atau karena adanya perlengketan sehingga merangsang
uterus maka di berikan pemberian induksin dan melakukan massage
uterus (Cuningham et al, 2010).

b) Kelainan Passage
Distosia karena adanya kelainan Passage yaitu karena adanya
kelainan pada jalan lahir, jalan lahir sendiri terbagi atas jalan lahir lunak
dan jalan lahir keras. Jalan lahir keras atau tulang panggul dapat berupa
kelainan bentuk panggul, dan kelainan ukuran panggul. Sedangkan jalan
lahir lunak yang sering dijumpai karena adanya tumor ovarium yang
menghalangi jalan lahir dan adanya edema pada jalan lahir yang
dipaksakan (Winkjosastro et al, 2006).
Jenis kelainan pada jalan lahir keras berupa kelainan bentuk yaitu
bentuk panggul yang tidak normal, diantaranya gynecoid, antropoid,
android, dan platipeloid. Terutama pada panggul android distosia sulit
diatasi, selain itu terdapat kelainan panggul yang disertai dengan
perubahan bentuk karena pertumbuhan intrauterine yaitu panggul
Naegele, robert, split pelvis dan panggul asimilasi. Perubahan bentuk
panggul juga dapat terjadi karena adanya penyakit seperti rakhitis,
osteomalasia, neoplasma, fraktur, atrifi, karies, nekrosis maupun penyakit
pada sendi sakroiliaka dan sendi sakrokoksigea. Penyakit tulang belakang
seperti kifosis, skoliosis dan spondilolistesis serta penyakit pada kaki
seperti koksiis, luksasio koksa dan atrofi atau kelumpuhan satu kaki
merupakan termasuk penyulit dalam proses persalinan pervaginam
(Winkjosastro et al, 2006).
c) Kelainan Passanger
Kelainan passanger merupakan kelainan pada letak, ukuran
ataupun bentuk janin, kelainan letak ini termasuk dalam kelainan
presentasi dan kelainan posisi, pada kondisi normal, kepala memasuki
pintu atas panggul dengan sutura sagitalis dalam keadaan melintang atau
oblik sehingga ubun-ubun kecil berada dikanan atau dikiri lintang atau
dikanan atau kiri belakang, setelah kepala memasuki bidang tengah
panggul (Hodge III), kepala akan memutar ke depan akibat terbentur
spina ischiadika sehingga ubun-ubun kecil berada didepan (putaran paksi
dalam), namun terkadang tidak terjadi putaran sehingga ubun-ubun kecil
tetap berada dibelakang atau melintang, keadaaan ini disebut dengan
deep transvere arrest, oksipitalis posterior persisten atau oksipitalis

transversus persisten, keadaan ini akan mempersulit persalinan


(Winkjosastro et al, 2006).
Presentasi muka merupakan salah satu kelainan janin, diagnosis
presentasi muka berdasarkan pemeriksaan luar yakni dada akan teraba
seperti punggung, bagian belakang kepala berlawanan dengan bagian
dada, dan daerah dada ada bagian kecil denyut jantung janin terdengan
jelas, dan berdasarkan pemeriksaan dalam umumnya teraba mata, hidung,
mulut dan dagu atau tepi orbita. Pada presentasi dahi pada umumnya
merupakan kedudukan sementara sehingga biasanya dapat menjadi
presentasi belakang kepala dan presentasi muka (Cuningham et al, 2010).
Letak sungsang merupakan keadaan dimana letak janin memanjang
dengan kepala dibagian fundus uteri dan bokong dibagian bawah cavum
uteri hal ini pula merupakan penyulit dalam persalinan. Selain letak
sungsang, letak lintang pula cukup sering terjadi, presentasi ini
merupakan presentasi yang tidak baik sama sekali dan tidak mungkin
dilahirkan pervaginam kecuali pada keadaan janin yang sangat kecil atau
telah mati dalam waktu yang cukup lama (Cuningham et al, 2010).
Beberapa kelainan dalam bentuk janin yaitu karena adanya
pertumbuhan janin yang berlebihan, berat neonatus pada umunya adalah
4000 gram, makrosomia atau bayi besar apabila lebih dari 4000 gram,
umumnya hal ini karena adanya faktor genetik, kehamilan dengan
diabetes mellitus, kehamilan post matur atau pada grande multipara.
Hidrocephalus pula merupakan kelainan bentuk janin, hal ini merupakan
keadaan dimana cairan serebrospinal dalam ventrikel janin berlebih
sehingga kepala janin menjadi besar dan keadaan ini dapat menyebabkan
cephalo pelvic disproportion (Winkjosastro et al, 2006).

B. Distosia Karena Kelainan Tenaga


1. Hypotonic uterine contraction
a) Definisi
Inersia uteri hipotoni atau hipotonic uterine contraction merupakan
suatu keadaan dimana kontraksi uterus terkoordinasi namun tidak
adekuat dalam membuat kemajuan dalam persalinan, biasanya his yang

muncul kurang kuat, terlalu lemah, pendek dan jarang. Inersia uteri
terbagi menjadi dua macam, yakni inersia uteri primer dan inersia uteri
sekunder. Inersia uteri primer adalah ketika his yang timbul sejak awal
lemah, sedangkan inersia uteri sekunder his lemah timbul setelah
sebelumnya mengalami his yang kuat (Cuningham et al, 2010).
b) Etiologi
Penyebab inersia uteri umumnya belum diketahui secara pasti,
namun ada beberapa yang menyebutkan penyebab terjadinya inersia uteri
karena ibu merupakan primi tua, psikis ibu dalam kondisi ketakutan,
peregangan uterus yang berlebih umumnya pada kondisi gemeli dan
hidramnion, herediter, uterus bikornis, atau karena bagian janin tidak
merapat pada segmen bawah rahim dalam hal ini kelainan letak atau CPD
(cephalo-pelvic disproportion) (Winkjosastro et al, 2006).
Secara normal his muncul sejak memasuki persalinan kala 1, his
yang timbul dominan pada bagian fundus uterus, terjadi secara simetris,
kekuatan his semakin lama semakin sering dan mengalami fase relaksasi,
sehingga his yang baik akan memberikan kemajuan persalinan. Apabila
sejak awal his yang timbul bersifat lemah, atau kurang kuat, pendek serta
jarang, maka hal ini disebut dengan inersia uteri primer hal ini umumnya
terjadi pada kala 1 fase laten. Namun apabila sebelumnya his baik, lalu
menjadi lemah, kurang kuat, pendek serta jarang, biasanya terjadi pada
kala 1 dan 2 serta saat pengeluaran placenta, maka hal ini dinamakan
inersia uteri sekunder (Winkjosastro et al, 2006).
c) Diagnosis
Dalam membantu melihat kelainan his dapat didukung dengan
pemeriksaan CTG dan USG, pada inersia uteri hipotoni, his yang timbul
tetap dominan pada fundus, namun kontraksi yang terjadi biasanya lebih
singkat dari biasanyanya, keadaan umum pasien pada umumnya baik,
rasa nyeri yang timbul tidak terlalu sakit. Apabila ketuban masih utuh,
keadaan ini tidak berbahaya baik bagi ibu maupun bagi janin, kecuali
apabila persalinan berlangsung lama (Winkjosastro et al, 2006).
d) Penatalaksanaan
Penanganan kasus inersia uteri hipotoni yaitu dilakukan
pengawasan yang meliputi tekanan darah, denyut jantung janin, dehidrasi
serta tanda-tanda asidosis, diberikan diet cair sebagai persiapan operasi,

infus D5% atau NaCl dan apabila nyeri diberikan pethidine 50 mg, serta
dilakukan pemeriksaan dalam di analisa apakah ada CPD menggunakan
pelvimetri atau MRI (Winkjosastro et al, 2006).
Apabila pasien inersia uteri dengan CPD maka dilakukan seksio
sesaria, apabila tidak ditemukan CPD maka perbaiki terlebih dahulu
keadaan umum pasien, apabila kepala atau bokong sudah masuk panggul
maka pasien di edukasi untuk aktivitas berjalan, lakukan pemecahan
ketuban, berikan oksitosin drip 5 IU per D5% dimulai 8 tetes permenit
sampai dengan 40 tetes permenit, pasien harus diawasi terus menerus
mengenai kekuatan interval his dan denyut jantung janin dan apabila
oksitosin drip gagal, maka dilakukan seksio sesaria (Winkjosastro et al,
2002).
2. Hypertonic uterine contraction
a) Definisi
His terlampau kuat atau juga disebut hypertonic uterine
contraction. Walaupun pada golongan incoordinated hypertonic uterine
contraction bukan merupakan penyebab distosia, namun hal ini
dibicarakan di sini dalam rangka kelainan his. His yang terlalu kuat dan
yang terlalu efisien menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang
singkat. Partus yang sudah selesai kurang dari tiga jam, dinamakan partus
presipitatus: sifat his normal, tonus otot di luar his juga biasa,
kelainannya terletak pada kekuatan his. Bahaya partus presipitatus bagi
ibu ialah terjadinya perlukaan luas pada jalan lahir, khususnya serviks
uteri, vagina dan perineum, sedangkan bayi bisa mengalami perdarahan
dalam tengkorak karena bagian tersebut mengalami tekanan kuat dalam
waktu yang singkat (Winkjosastro et al, 2006).
Batas antara bagian atas dan segmen bawah atau lingkaran retraksi
menjadi sangat jelas dan meninggi. Dalam keadaan demikian lingkaran
dinamakan

lingkaran

retraksi

patologik

atau

lingkaran

Bandl.

Ligamentum rotundum menjadi tegang secara lebih jelas teraba,


penderita merasa nyeri terus menerus dan menjadi gelisah. Akhirnya,
apabila tidak diberi pertolongan, regangan segmen bawah uterus
melampaui kekuatan jaringan; terjadilah ruptura uteri (Winkjosastro et al,
2006).

b) Etiologi
Kelainan his pertama kali ditemukan pada primigravida, khususnya
primigravida tua. Sampai seberapa jauh faktor emosi mempengaruhi
kelainan his, belum ada persesuaian paham antara para ahli. Hipertonic
uterine contraction dan incoordinate uterine contraction sering terjadi
bersama-sama yang ditandai dengan peningkatan tekanan uterus,
kontraksi yang tidak sinkron dan peningkatan tonus otot di segmen
bawah rahim serta frekuensi kontraksi yang menjadi lebih sering. Hal ini
pada umumnya berhubungan dengan solutio plasenta, penggunaan
oksitosin yang berlebihan, disproporsi sefalopelvik dan malpresentasi
janin (DeCherney, 2007).
c) Diagnosis
Kelainan his dapat didukung oleh pemeriksaan :
1. KTG
2. USG
d) Penatalaksanaan
Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab apapun, keadaan
wanita yang bersangkutan harus diawasi dengan seksama. Tekanan darah
diukur tiap empat jam, pemeriksaan ini perlu dilakukan lebih sering
apabila ada gejala preeklampsia. Denyut jantung janin dicatat dalam
setengah jam dalam kala I dan lebih sering kala II. Kemungkinan
dehidrasi dan asidosis harus mendapat perhatian sepenuhnya. Karena
pada persalinan lama selalu ada kemungkinan untuk melakukan tindakan
pembedahan dengan narkosis, hendaknya wanita jangan diberi makanan
biasa melainkan dalam bentuk cairan. Sebaiknya diberikan infus larutan
glukosa 5% dan larutan NaCl isotonik secara intravena berganti-ganti.
Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberi pethidin 50 mg yang dapat
diulangi; pada permulaan kala I dapat diberi 10 mg morfin. Pemeriksaan
dalam perlu diadakan, akan tetapi harus selalu disadari bahwa tiap
pemeriksaan dalam mengandung bahaya infeksi. Apabila persalinan
berlangsung 24 jam tanpa kemajuan yang berarti, perlu diadakan
penilaian yang seksama tentang keadaan. Selain penilaian keadaan
umum, perlu ditetapkan apakah persalinan benar-benar sudah mulai atau
masih dalam tingkat false labour, apakah ada inersia uteri atau

incoordinate uterine action dan apakah tidak ada disproporsi sefalopelvik


biarpun ringan. Untuk menetapkan hal terakhir ini, jika perlu dilakukan
pelvimetri roentgenologik atau MRI (Magnetis Resonence Imaging).
Apabila serviks sudah terbuka sedikit-dikitnya 3 cm, dapat diambil
kesimpulan bahwa persalinan dapat dimulai.1 Dalam menentukan sikap
lebih lanjut perlu diketahui apakah ketuban sudah atau belum pecah.
Apabila ketuban sudah pecah, maka keputusan untuk menyelesaikan
persalinan tidak boleh ditunda terlalu lama berhubung dengan bahaya
infeksi. Sebaiknya dalam 24 jam setelah ketuban pecah sudah dapat
diambil keputusan apakah perlu dilakukan seksio sesaria dalam waktu
singkat, atau persalinan dapat dibiarkan berlangsung terus (Winkjosastro
et al, 2006).
His terlalu kuat. Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat
dilakukan karena biasanya bayi sudah lahir tanpa ada seorang yang
menolong. Kalau seorang wanita pernah mengalami partus presipitatus,
kemungkinan besar kejadian ini akan berulang pada persalinan
berikutnya. Karena itu sebaiknya wanita dirawat sebelum persalinan,
sehingga pengawasan dapat dilakukan dengan baik. Pada persalinan
keadaan diawasi dengan cermat, dan episiotomi dilakukan pada waktu
yang tepat untuk menghindarkan terjadinya ruptura uteri. Dalam keadaan
demikian janin harus segera dilahirkan dengan cara yang memberikan
trauma sedikit-sedikitnya bagi ibu dan anak (Winkjosastro et al, 2006).
3. Incoordinate uterine action
Tonus uterus otot meningkat, juga di luar his, dan kontraksinya
tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi antara
kontraksi bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi
bagian atas, tengah dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam
mengadakan pembukaan. Di samping itu tonus otot uterus yang
meningkat menyebabkan rasa nyeri yang lebih keras dan lama bagi ibu
dan menyebabkan hipoksia dalam janin. His jenis ini juga disebut sebagai
uncoordinated hypertonic uterine contraction. Kadang-kadang dalam
persalinan lama dengan ketuban yang sudah lama pecah, kelainan his ini
menyebabkan spamus sirkuler setempat, sehingga terjadi penyempitan

kavum uteri pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran kontraksi atau
lingkaran konstriksi (Winkjosastro et al, 2006).
Secara teoritis lingkaran ini dapat terjadi dimana-mana, akan tetapi
biasanya ditemukan pada batas antara bagian atas dan bagian segmen
uterus. Lingkaran konstriksi tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan
dalam, kecuali pembukaan sudah lengkap, sehingga tangan dapat
dimasukkan ke dalam kavum uteri. Oleh sebab itu jika pembukaan belum
lengkap, biasanya tidak mungkin mengenal kelainan ini dengan pasti.
Adakalanya persalinan tidak maju karena kelainan pada serviks yang
dinamakan distosia servikalis. Kelainan ini bisa primer atau sekunder.
Distosia servikalis dinamakan primer kalau serviks tidak membuka
karena tidak mengadakan relaksasi berhubungan dengan incoordinate
uterin action. Penderita biasanya seorang primigravida. Kala I menjadi
lama, dan dapat diraba jalan serviks yang kaku. Kalau keadaan ini
dibiarkan, maka tekanan kepala uterus terus menerus akan menyebabkan
nekrosis jaringan serviks dan dapat mengakibatkan lepasnya bagian
tengah serviks secara sirkuler. Distosia servikalis sekunder disebabkan
oleh kelainan organik pada serviks, misalnya karena jaringan parut atau
karena karsinoma. Dengan his kuat serviks bisa robek, dan robekan ini
dapat menjalar kebagian bawah uterus. Oleh karena itu setiap wanita
yang

pernah

mengalami

operasi

pada

serviks,

selalu

diawasi

persalinannya di rumah sakit (Winkjosastro et al, 2006).


C. Distosia Karena Kelainan Letak dan Bentuk Janin
1. Posisi Oksipitalis Posterior Persisten (POPP)
a) Definisi
Secara normal pada presentasi belakang kepala, kepala yang
pertama sampai kedasar panggul adalah bagian oksiput, sehingga oksiput
berputar kedepan karena panggul luas didepan, pada POPP, oksiput ini
tidak berputar kedepan sehingga tetap dibelakang (Cuningham et al,
2010).
b) Etiologi
POPP ini dapat disebabkan karena beberapa hal, diantaranya
bentuk panggul antropoid, panggul android karena memiliki segmen

depan yang sempit, otot panggul yang sudah lembek biasanya hal ini
terjadi pada multipara, dan karena kepala janin yang kecil dan bulat
(Crowin, 2009).
c) Penatalaksanaan
Proses persalinan pada kasus POPP ini apabila dengan presentasi
kepala dan panggung longgar, maka dapat dilahirkan dengan spontan
namun dengan proses yang lama sehingga perlu adanya pengawasan
ketat dengan harapan janin dapat dilahirkan spontan pervaginam.
Tindakan baru dilakukan apabila kala II terlalu lama atau adanya tandatanda kegawatan pada janin. Pada persalinan dapat terjadi robekan
perineum yang teratur atau ekstensi dari episiotomi karena mekanisme
persalinan pervaginam pada POPP yaitu ketika kepala sudah sampai pada
dasar panggul, ubun-ubun besar dibawah symphisis sebagai hipomoklion
oksiput lahir melewati perineum, jalan lahir dengan Sirkum Farensia
Frontooksipitalis lebih besar dari Sirkum Suboksipito Bregmatika
sehingga kerusakan perineum atau vagina lebih luas. Sebelumnya periksa
ketuban pasien, apabila masih intake maka pecahkan terlebih dahulu
ketubannya, apabila penurunan kepala sudah lebih dari 3/5 diatas PAP
atau diatas 2 maka sebagiknya dilakukan seksio sesaria, apabila
pembukaan serviks belum lengkap dan tidak ada tanda obstruksi maka
diberikan oksitosin drip, bila pembukaan lengkap dan tidak ada kemajuan
pada fase pengeluaran, dipastikan kembali tidak adanya obstruksi
kemudian apabila tidak ada tanda obstruksi diberikan oksitosin drip,
namun bila pembukaan lengkap dan kepala masuk tidak kurang dari 1/5
PAP atau pada kala II bila kepala turun sampai dengan Hodge III dan
atau UUK lintang sudah dipimpin namun tak ada kemajuan sehingga
menyebabkan deep transvered arrest maka dilakukan vacum ekstraksi
atau forceps, namun apabila ada tanda obstruksi serta gawat janin maka
akhiri kehamilan dengan seksio sesaria (Cuningham et al, 2005).
Prognosis persalinan dengan POPP ini persalinan menjadi lebih
lama dan kerusakan jalan lahir lebih besar, selain itu kematian perinatal
lebih besar pada POPP dari pada presentasi kepala dengan UUK di
bagian depan (Cuningham et al, 2005).
2. Presentasi Puncak Kepala

a) Definisi
Presentasi puncak kepala adalah keadaan dimana puncak kepala
janin merupakan bagian terendah, hal ini terjadi apabila derajat
defleksinya ringan atau kepala dengan defleksi/ekstensi minimal dengan
sinsiput merupakan bagian terendah. Presentasi puncak kepala adalah
bagian terbawah janin yaitu puncak kepala, pada pemeriksaan dalam
teraba UUB yang paling rendah, dan UUB sudah berputar ke depan
(Muchtar, 2002).
Pada umumnya presentasi puncak kepala merupakan kedudukan
sementara yang kemudian berubah menjadi presentasi belakang kepala.
Mekanisme persalinannya hampir sama dengan posisi oksipitalis
posterior persistens, sehingga keduanya sering kali dikacaukan satu
dengan yang lainnya. Perbedaannya pada presentasi puncak kepala tidak
terjadi fleksi kepala yang maksimal, sedangkan lingkaran kepala yang
melalui jalan lahir adalah sirkumferensia frontooksipitalis dengan titik
perputaran (Cuningham et al, 2005).
b) Etiologi
Letak defleksi ringan dalam buku synopsis Obstetri Fisiologi dan
Patologi (2002) biasanya karena adanya kelainan panggul (panggul
picak), kepala bentuknya bundar, janin kecil atau mati, kerusakan dasar
panggul atau karena penyebab lain yaitu keadaan keadaan yang
memaksa terjadi defleksi kepala atau keadaan yang menghalangi
terjadinya fleksi kepala, hal ini sering ditemukan pada janin besar atau
panggul sempit, multiparitas, perut gantung, anensefalus, tumor leher
bagian depan (Muchtar, 2002).
c) Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis presentasi puncak kepala, pada
pemeriksaan lokalis abdomen biasanya didapatkan pada bagian fundus
uteri teraba bokong dan diatas panggul teraba kepala, punggung terdapat
pada satu sisi, bagian-bagian kecil terdapat pada sisi yang berlawanan,
oleh karena tidak ada fleksi maupun ekstensi maka tidak teraba dengan
jelas adanya tonjolan kepala pada sisi yang satu maupun sisi lainnya.

Pada auskultasi denut jantung janin terdengar paling keras di kuadran


bawah perut ibu, pada sisi yang sama dengan punggung janin.
Pemeriksaan dalam didapatkan sutura sagitalis umumnya teraba pada
diameter transversa panggul, kedua ubun-ubun sama-sama dengan
mudah diraba dan dikenali, keduanya sama tinggi dalam panggul.
Pemeriksaan radiologis akan membantu dan menegakkan diagnosis
kedudukan dan menilai panggul (Cuningham et al, 2005).
d) Penatalaksaan
Mekanisme persalinan pada presentasi puncak kepala, putaran
paksi dalam ubun-ubun besar (UUB) berputar ke simfisis, UUB lahir
kemudian dengan glabella sebagai hipomoglion, kepala fleksi sehingga
lahirlah oksiput melalui peineum. Lingkaran kepala yang melewati
panggul adalah circum fronto-occiput sebesar kurang lebih 34cm, oleh
karena itu partus akan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan
persalinan normal dimana diameter yang melewati panggul adalah
cirkum suboksipitobregmatikus (32cm). Kepala masuk panggul paling
sering pada diameter transversa PAP. Kepala turun perlahan-lahan,
dengan ubun-ubun kecil dan dahi sama tingginya (tidak ada fleksi
maupun ekstensi) dan dengan sutura sagitalis pada diameter transversa
panggul, sampai puncak kepala mencapai dasar panggul. Sampai di sini
ada beberapa kemungkinan penyelesaiannya, sering kali kepala
mengadakan fleksi, ubun-ubun kecil (UUK) berputar ke depan dan
kelahiran terjadi dengan kedudukan occipitoanterior, atau kepala
mungkin tertahan pada diameter transverse panggul, diperlukan
pertolongan operatif untuk deep transverse arrest, atau pada keadaan
kepala mungkin berputar ke belakang dengan atau tanpa fleksi, UUK
menuju ke lengkung sacrum dan dahi ke pubis, mekanisme pada kondisi
ini adalah kedudukan UUK belakang menetap dan kelahiran dapat
spontan atau dengan seksio sesaria (Cuningham et al, 2005).
Presentasi puncak kepala dapat ditunggu hingga memungkinkan
kelahiran spontan, namun bila 1 jam dipimpin mengejan bayi tidak lahir
dan kepala bayi sudah didasar panggul maka dilakukan ekstraksi forceps,

umunya persalinan pada presentasi puncak kepala dilakukan episiotomi


(Winkjosastro et al, 2006).
Prognosis pada persalinan ini cukup baik baik bagi ibu maupun
bagi janin meskipun sedikit lebih lama dan lebih sukar daripada
persalinan normal. Umumnya terjadi fleksi dan melanjut ke persalinan
normal (Winkjosastro et al, 2006).
3. Presentasi Muka
a) Definisi
Pada presentasi muka, kedudukan kepala mengalami defleksi
maksimal, sehingga oksiput tertekan pada punggung dan muka
merupakan bagian terendah menghadap ke bawah. Presentasi muka
dikatakan primer apabila sudah terjadi sejak masa kehamilan sedangkan
presentasi muka sekunder apabila terjadi saat persalinan (Cuningham et
al, 2005).
Pada presentasi muka, kepala berada dalam posisi hiperekstensi
sehingga oksiput menempel pada punggung bayi dan dagu (mentum)
menjadi bagian terbawah janin. Muka janin dapat tampil sebagai dahu
anterior atau posterior, relatif terhadap simfisis pubis. Pada janin aterm,
kemajuan persalinan biasanya terhalang oleh presentasi muka mentum
posterior atau dagu belakang karena dahi janin akan tertekan untuk
membuka jalan lahir. Posisi ini menghambat fleksi kepala janin yang
diperlukan untuk membuka jalan lahir. Namun berlawanan dengan hal
ini, fleksi kepala dan partus pervaginam sering dijumpai pada presentasi
dagu depan, banyak presentasi dagu posterior yang berubah spontan
menjadi presentasi dagu depan bahkan pada akhir persalinan (Cuningham
et al, 2005).
b) Etiologi
Presentasi muka umumnya terjadi karena keadaan-keadaan yang
memaksa terjadinya defleksi kepala atau karena keadaan yang
menghalangi terjadinya fleksi kepala. Oleh karena itu presentasi muka
dapat ditemukan pada kondisi panggul sempit atau janin besar. Pada
multiparitas dan perut gantung juga merupakan faktor yang memudahkan
terjadinya presentasi muka. Selain itu juga kondisi kelainan janin seperti

anencephalus dan pada tumor leher dapat mengakibatkan presentasi


muka (Crowin, 2009).
c) Diagnosis
Diagnosis presentasi muka tubuh janin berada dalam keadaan
ekstensi sehingga pada periksa luar didapatkan dada teraba seperti
punggung, bagian belakang kepala berlawanan dengan dada, bagian dada
ada bagian kecil dan DJJ terdengan lebih jelas. Sedangkan pada periksa
dalam, teraba dagu, mulut, hidung, tepi orbita, bila ada caput maka sulit
dibedakan dengan bokong, apabila ragu, maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan radiologis , rontgen atau MRI (Cuningham et al, 2005).
d) Penatalaksaan
Proses persalinan

presentasi

muka

kepala

turun

dengan

sirkumfarensia trakelo parietalis dengan dagu lintang atau miring, setelah


muka sampai dasar panggul terjadi putaran paksi dalam, dagu ke depan
di bawah arkus pubis, kemudian dengan submentum menjadi
hipomoklion kepala lahir dengan fleksi sampai dahi, UUB, belakang
kepala lewati perineum, kemudian putaran paksi luar dan badan lahir.
Terkadang dagu tidak dapat diputar ke depan, posisi ini merupakan
mentoposterior persistens maka pada situasi ini dilakukan seksio sesaria
(Winkjosastro et al, 2006).
Pada kondisi dagu belakang prognosis persalinan kurang baik dan
tidak dapat pervaginam, kematian perinatal pada presentasi muka
pencapai 2,5 hingga 5%. Apabila pada kondisi presentasi muka tidak
disertai CPD dan posisi dagu depan maka dilahirkan secara spontan.
Dagu belakang memiliki kesempatan berputar menjadi dagu depan bila
kala II posisi mentoposterior persistens, dagu diputar kedepan, bila
berhasil maka lahirkan secara spontan dan apabila gagal maka dilakukan
seksio sesaria (Winkjosastro et al, 2006).
Presentasi muka dapat dicoba diubah menjadi prsentasi belakang
kepala dengan cara tangan dimasukkan ke vagina, tekan bagian muka dan
dagu keatas, apabila tidak berhasil lakukan dengan perasat THORN,
bagian belakang kepala dipegang dengan tangan yang masuk vagina
kemudian tarik kebawah tangan yang lain tekan dada dari luar. Hal ini

dilakukan dengan syarat dagu belakang dan kepala belum turun. Indikasi
persalinan dengan seksio sesaria pada presentasi muka yaitu posisi
mentoposterior persistence dan panggul sempit (Muchtar, 2002).
4. Presentasi Dahi
a) Definisi
Presentasi dahi pada umumnya merupakan kedudukan sementara,
posisi ini dapat berubah menjadi presentasi belakang kepala atau
presentasi muka, kejaidan presentasi dahi ini 1:400 (Winkjosastro et al,
2006).
b) Etiologi
Etiologi atau penyebab terjadinya presentasi dahi adalah presentasi
muka (Winkjosastro et al, 2006).
c) Diagnosis
Diagnosis presentasi dahi berdasarkan pemeriksaan luar seperti
pada presentasi muka namun bagian belakang kepala tidak begitu
menonjol, DJJ akan jelas terdengar pada bagian dada. Pemeriksaan dalam
akan teraba sutura frontalis, ujung yang satu akan teraba UUB dan ujung
yang lainnya akan teraba pangkal hidung dan tepi orbita (Winkjosastro et
al, 2006).
d) Penatalaksaan
Persalinan pada presentasi dahi, apabila terjadi defleksi lagi dan
berubah menjadi presentasi muka maka persalinan menjadi lama dan
hanya 15% lewat persalinan spontan. Kematian perinatal pada presentasi
muka sebesar 20% (Cuningham et al, 2005).
Prognosis persalinan dengan presentasi dahi ditentukan oleh
janinnya, jika janin kecil maka persalinan mungkin terjadi spontan
karena bisa jadi janin berubah menjadi presentasi belakang kepala atau
presentasi muka, namun jika janin berat atau besarnya normal maka
persalinan tidak dapat pervaginam sehingga dilakukan seksio sesaria oleh
karena sirkumfarensia maksilo parietalis lebih besar dari lingkaran pintu
atas panggul. Pada kala I persalinan dilakukan prasat THORN, apabila
gagal maka janin tetap dilahirkan perabdominam yaitu seksio sesaria
(Cuningham et al, 2005).
5. Letak Sungsang
a) Definisi
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian

bawah kavum uteri. Tipe letak sungsang yaitu: Frank breech (50-70%)
yaitu kedua tungkai fleksi ; Complete breech (5-10%) yaitu tungkai atas
lurus keatas, tungkai bawah ekstensi ; Footling (10-30%) yaitu satu atau
kedua tungkai atas ekstensi, presentasi kaki (Cunningham, 2005).
b) Etiologi
Faktor predisposisi dari letak sungsang adalah prematuritas,
abnormalitas

uterus

(malformasi,

fibroid),

abnormalitas

janin

(malformasi CNS, massa pada leher, aneploid), overdistensi uterus


(kehamilan ganda, polihidramnion), multipara dengan berkurangnya
kekuatan otot uterus, dan obstruksi pelvis (plasenta previa, myoma,
tumor pelvis lain). Dengan pemeriksaan USG, prevalensi letak sungsang
tinggi pada implantasi plasenta pada cornu-fundal. Lebih dari 50 % kasus
tidak ditemukan faktor yang menyebabkan terjadinya letak sungsang
(Schiara et al, 1997).
c) Diagnosis
Diagnosis letak bokong dapat ditentukan dengan persepsi gerakan
janin oleh ibu, pemeriksaan Leopold, auskultasi denyut jantung janin di
atas umbilikus, pemeriksaan dalam, USG dan Foto sinar-X (Schiara et al,
1997).
d) Penatalaksanaan
Untuk memilih jenis persalinan pada letak sungsang Zatuchni dan
Andros telah membuat suatu indeks prognosis untuk menilai apakah
persalinan dapat dilahirkan pervaginam atau perabdominan. Jika nilai
kurang atau sama dengan 3 dilakukan persalinan perabdominan, jika nilai
4 dilakukan evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan
janin; bila nilai tetap dapat dilahirkan pervaginam, jika nilai lebih dari 5
dilahirkan pervaginam (Setjalilakusuma, 2000). ALARM memberikan
kriteria seleksi untuk partus pervaginam yaitu jenis letak sungsang adalah
frank atau bokong komplit, kepala fetus tidak hiperekstensi dan taksiran
berat janin 2500-3600 gram serta tindakan augmentasi dan induksi
persalinan diperbolehkan pada janin letak sungsang (Wiknjosastro,
2005).
Zatuchni dan Andros telah membuat suatu indeks prognosis untuk
menilai lebih tepat apakah persalinan dapat dilahirkan pervaginam atau
perabdominan, sebagai berikut (Cunningham, 2005).

Paritas
Umur
Kehamilan
Taksiran
berat janin
Pernah
letak
sungsang
Pembukaan
serviks
Station

0
Primigravida
>39 minggu

1
Multigravida
38 minggu

>3630 gr

3629 gr -3176 gr

< 3176 gr

Tidak

1x

>2x

<2 cm

3 cm

>4cm

<3

<2

1 atau lebih
rendah

< 37 minggu

Arti nilai :
< 3 : persalinan perabdomen
4

: evaluasi kembali secara cermat, khususnya berat badan janin bila


nilainya tetap maka dapat dilahirkan pervaginam

> 5 : dilahirkan pervaginam


Prosedur persalinan sungsang secara spontan :
a. Tahap lambat : mulai lahirnya bokong sampai pusar merupakan fase
yang tidak berbahaya.
b. Tahap cepat : dari lahirnya pusar sampai mulut, pada fase ini kepala
janin masuk PAP, sehingga kemungkinan tali pusat terjepit.
c. Tahap lama : lahirnya mulut sampai seluruh bagian kepala, kepala keluar
dari ruangan yang bertekanan tinggi (uterus) ke dunia luar yang
tekanannya lebih rendah sehingga kepala harus dilahirkan perlahanlahan untuk menghindari pendarahan intrakranial (adanya tentorium
cerebellum).
Teknik persalinan
a. Persiapan ibu, janin, penolong dan alat yaitu cunam piper.

b. Ibu tidur dalam posisi litotomi, penolong berdiri di depan vulva saat
bokong mulai membuka vulva, disuntikkan 2-5 unit oksitosin
intramuskulus. Dilakukan episiotomi.
c. Segera setelah bokong lahir, bokong dicengkram dengan cara Bracht,
yaitu kedua ibu jari

penolong sejajar sumbu panjang paha, sedangkan

jari-jari lain memegang panggul. Saat tali pusat lahir dan tampak
teregang, tali pusat dikendorkan terlebih dahulu.
d. Penolong melakukan hiperlordosis badan janin untuk menutupi gerakan
rotasi anterior, yaitu punggung janin didekatkan ke perut ibu, gerakan
ini disesuaikan dengan gaya berat badan janin. Bersamaan dengan
hiperlordosis,

seorang

asisten

melakukan

ekspresi

kristeller.

Maksudnya agar tenaga mengejan lebih kuat sehingga fase cepat dapat
diselesaikan. Menjaga kepala janin tetap dalam posisi fleksi, dan
menghindari ruang kosong antara fundus uterus dan kepala janin,
sehingga tidak teradi lengan menjungkit.
e. Dengan gerakan hiperlordosis, berturut-turut lahir pusar, perut, bahu,
lengan, dagu, mulut dan akhirnya seluruh kepala.
f. Janin yang baru lahir diletakkan diperut ibu.
Prosedur manual aid (partial breech extraction) :
Indikasi : jika persalinan secara bracht mengalami kegagalan misalnya
terjadi kemacetan saat melahirkan bahu atau kepala.
Tahapan :
a. Lahirnya bokong sampai pusar yang dilahirkan dengan tenaga ibu
sendiri.
b. Lahirnya bahu dan lengan yang memakai tenaga penolong dengan cara
klasik (Deventer), Mueller, Louvset, Bickenbach.
c. Lahirnya kepala dengan cara Mauriceau (Veit Smellie), Wajouk, Wid
and Martin Winctel, Prague Terbalik, Cunan Piper.
Cara klasik :
a. Prinsip-prinsip melahirkan lengan belakang lebih dahulu karena lengan
belakang berada di ruangan yang lebih besar (sacrum), baru kemudian
melahirkan lengan depan di bawah simpisis tetapi jika lengan depan
sulit dilahirkan maka lengan depan diputar menjadi lengan belakang,

yaitu dengan memutar gelang bahu ke arah belakang dan kemudian


lengan belakang dilahirkan.
b. Kedua kaki janin dilahirkan dan tangan kanan menolong pada
pergelangan kakinya dan dielevasi ke atau sejauh mungkin sehingga
perut janin mendekati perut ibu.
c. Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan
lahir dan dengan jari tengah dan telunjuk menelusuri bahu janin sampai
fossa cubiti kemudian lengan bawah dilahirkan dengan gerakan seolaholah lengan bawah mengusap muka janin.
d. Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada pergelangan kaki janin
diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik curam ke bawah
sehingga punggung janin mendekati punggung ibu.
e. Dengan cara yang sama lengan depan dilahirkan.
f. Jika lengan depan sukar dilahirkan, maka harus diputar menjadi lengan
belakang. Gelang bahu dan lengan yang sudah lahir dicengkram dengan
kedua tangan penolong sedemikian rupa sehingga kedua ibu jari tangan
penolong terletak di punggung dan sejajar dengan sumbu badan janin
sedang jari-jari lain mencengkram dada. Putaran diarahkan ke perut dan
dada janin sehingga lengan depan terletak di belakang kemudian lengan
dilahirkan dengan cara yang sama.
Cara Mueller
a. Prinsipnya : melahirkan bahu dan lengan depan lebih dahulu dengan
ekstraksi, baru kemudian melahirkan bahu dan lengan belakang.
b. Bokong janin dipegang secara femuro-pelviks, yaitu kedua ibu jari
penolong diletakkan sejajar spina sacralis media dan jari telunjuk pada
crista illiaca dan jari-jari lain mencengkram paha bagian depan. Badan
janin ditarik curam ke bawah sejauh mungkin sampai bahu depan
tampak dibawah simpisis, dan lengan depan dilahirkan dengan mengait
lengan di bawahnya.
c. Setelah bahu depan dan lengan depan lahir, maka badan janin yang
masih dipegang secara femuro-pelviks ditarik ke atas sampai bahu ke
belakang lahir. Bila bahu belakang tak lahir dengan sendirinya, maka
lengan belakang dilahirkan dengan mengait lengan bawah dengan
kedua jari penolong.
Cara louvset :

a. Prinsipnya : memutar badan janin dalam setengah lingkaran bolak-balik


sambil dilakukan traksi awam ke bawah sehingga bahu yang
sebelumnya berada dibelakang akhirnya lahir dibawah simpisis.
b. Badan janin dipegang secara femuro-pelviks dan sambil dilakukan
traksi curam ke bawah, badan janin diputar setengah lingkaran,
sehingga bahu belakang menjadi bahu depan. Kemudian sambil
dilakukan traksi, badan janin diputar lagi ke arah yang berlawanan
setengah lingkaran. Demikian seterusnya bolak-balik sehingga bahu
belakang tampak di bawah simpisis dan lengan dapat dilahirkan.
Cara Mauriceau (Veit-Smellie) :
a. Tangan penolong yang sesuai dengan muka janin dimasukkan ke dalam
jalan lahir. Jari tengah dimasukkan ke dalam mulut dan jari telunjuk dan
jari ke 4 mencengkram fossa kanina, sedangkan jari lain mencengkeram
leher. Badan anak diletakkan di atas lengan bawah penolong, seolaholah janin menunggang kuda. Jari telunjuk dan jari ke 3 penolong yang
lain mencengkeram leher janin dari arah punggung.
b. Kedua tangan penolong menarik kepala janin curam ke bawah sambil
seorang asisten melakukan ekspresi kristeller. Tenaga tarikan terutama
dilakukan oleh tangan penolong yang mencengkeram leher janin dari
arah punggung. Jika suboksiput tampak di bawah simpisis, kepala janin
diekspasi ke atas dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga
berturut-turut lahir dagu, mulut, hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar
dan akhirnya lahir seluruh kepala janin.
Cara cunam piper :
Pemasangan cunam pada after coming head tekniknya sama dengan
pemasangan lengan pada letak belakang kepala. Hanya pada kasus ini,
cunam dimasukkan pada arah bawah, yaitu sejajar pelipatan paha
belakang. Hanya pada kasus ini cunam dimasukkan dari arah bawah, yaitu
sejajar pelipatan paha belakang. Setelah suboksiput tampak dibawah
simpisis, maka cunam dielevasi ke atas dan dengan suboksiput sebagai
hipomoklion berturut-turut lahir dagu, mulut, muka, dahi dan akhirnya
seluruh kepala lahir.
6. Letak Lintang

a) Definisi
Letak lintang adalah bila dalam kehamilan atau dalam persalinan
sumbu panjang janin melintang terhadap sumbu panjang ibu (termasuk di
dalamnya bila janin dalam posisi oblique). Letak lintang kasep adalah
letak lintang kepala janin tidak dapat didorong ke atas tanpa merobekkan
uterus (Winkjosastro et al, 2006). Letak lintang dapat dibagi menjadi 2
macam, yang dibagi berdasarkan:
a. Letak kepala
1. Kepala anak bisa di sebelah kiri ibu
2. Kepala anak bisa di sebelah kanan ibu
b. Letak punggung
1. Jika punggung terletak di sebelah depan ibu, disebut dorso-anterior
2. Jika punggung terletak di sebelah belakang ibu, disebut dorsoposterior
3. Jika punggung terletak di sebelah atas ibu, disebut dorso-superior
4. Jika punggung terletak di sebelah bawah ibu, disebut dorso-inferior
b) Etiologi
Penyebab dari letak lintang sering merupakan kombinasi dari berbagai
faktor, sering pula penyebabnya tetap merupakan suatu misteri. Faktor
faktor tersebut adalah :
1) Fiksasi kepala tidak ada karena panggul sempit, hidrosefalus,
anesefalus, plasenta previa, dan tumor pelvis
2) Janin sudah bergerak pada hidramnion, multiparitas, atau sudah mati.
3) Gemeli
4) Pelvic kidney dan rectum penuh
5) Multiparitas disertai dinding uterus dan perut yang lembek
c) Diagnosis
1) Inspeksi
Perut membuncit ke samping
2) Palpasi
Fundus uteri lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan
Fundus uteri kosong dan bagian bawah kosong, kecuali kalau bahu
sudah masuk ke dalam pintu atas panggul

Kepala (ballotement) teraba di kanan atau di kiri


3) Auskultasi
Denyut jantung janin setinggi pusat kanan atau kiri.
4) Pemeriksaan dalam (vaginal toucher)
Teraba tulang iga, skapula, dan kalau tangan menumbung teraba
tangan. Untuk menentukan tangan kanan atau kiri lakukan dengan
cara bersalaman.
Teraba bahu dan ketiak yang bisa menutup ke kanan atau ke kiri. Bila
kepala terletak di kiri, ketiak menutup ke kiri.
Letak punggung ditentukan dengan adanya skapula, letak dada dengan
klavikula.
Pemeriksaan dalam agak sukar dilakukan bila pembukaan kecil dan
ketuban intak, namun pada letak lintang biasanya ketuban cepat
pecah.
d) Penatalaksanaan
Pada permulaan persalinan dalam letak lintang, pintu atas
panggung tidak tertutup oleh bagian bawah anak seperti pada letak
memanjang. Oleh karena itu seringkali ketuban sudah lebih dulu pecah
sebelum pembukaan lengkap atau hampir lengkap. Setelah ketuban
pecah, maka tidak ada lagi tekanan pada bagian bawah, sehingga
persalinan berlangsung lebih lama. His berperan dalam meluaskan
pembukaan, selain itu dengan kontraksi yang semakin kuat, maka anak
makin terdorong ke bawah. Akibatnya tubuh anak menjadi membengkok
sedikit, terutama pada bagian yang mudah membengkok, yaitu di daerah
tulang leher. Ini pun disebabkan karena biasnaya ketuban sudah lekas
pecah dan karena tak ada lagi air ketuban, maka dinding uterus lebih
menekan anak di dalam rahim. Dengan demikian bagian anak yang lebih
rendah akan masuk lebih dulu ke dalam pintu atas panggul, yaitu bahu
anak. Karena pada letak lintang pintu atas panggul tidak begitu tertutup,
maka tali pusat seringkali menumbung, dan ini akan memperburuk
keadaan janin.

Bila pembukaan telah lengkap, ini pada awalnya tidak begitu jelas
tampaknya. Karena tidak ada tekanan dari atas oleh bagian anak pada
lingkaran pembukaan, makan lingkaran ini tidak dapat lenyap sama
sekali, senantiasa masih berasa pinggirnya seperti suatu corong yang
lembut. Penting untuk diketahui, bahwa tidak ada pembukaan yang
benar-benar lengkap pada letak lintang seperti halnya pembukaan
lengkap pada letak memanjang.
Tandanya pembukaan itu sudah lengkap adalah lingkaran
pembukaan itu mudah dilalui oleh kepalan tangan pemeriksa, sedangkan
pada pembukaan yang belum lengkap, kepalan tangan pemeriksa sukar
untuk memasuki lingkaran tersebut. Lain halnya dengan letak
memanjang, pada letak lintang setelah pembukaan lengkap, karena his
dan tenaga mengejan, badan anak tidak dapat dikeluarkan dari rongga
rahim, akan tetapi sebagian besar masih di dalam uterus, meskipun tubuh
anak menjadi semakin membengkok.. Jika ini terjadi terus menerus,
maka akan terjadi suatu letak lintang kasep, dimana tubuh anak tidak
dapat lagi didorong ke atas. Letak lintang kasep terjadi bukanlah karena
lamanya persalinan, namun faktor yang penting ialah karena faktor
kuatnya his. Pada letak lintang kasep, biasanya anak telah mati, yang
disebabkan karena kompresi pada tali pusat, perdarahan pada plasenta,
ataupun cedera organ dalam karena tubuh anak terkompresi dan
membengkok.
7. Kehamilan Multipel
a) Definisi
Kehamilan kembar atau kehamilan multipel ialah suatu kehamilan
dengan dua janin atau lebih. Kehamilan multipel dapat berupa kehamilan
ganda atau gemelli (2 janin), triplet ( 3 janin ), kuadruplet ( 4 janin ),
Quintiplet ( 5 janin ) dan seterusnya (Cunningham, 2005).
b) Etiologi
Terjadinya kehamilan kembar atau multipel umumnya disebabkan
oleh adanya pembuahan satu atau lebih ovum yang berbeda. Pada
kehamilan ganda sepertiganya berasal dari satu ovum yang mengalami

pembuahan kemudian membelah menjadi dua struktur yang serupa.


Faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kehamilan multipel
antara lain (Cunningham, 2005) :
1) Ras
Kehamilan multipel terjadi pada 1 dari 100 kehamilan pada orang
kulit putih dan 1 dari 80 kehamilan pada orang kulit hitam.
2) Hereditas
Memiliki riwayat keturunan dari ibu lebih banyak mempengaruhi
dibanding riwayat keturunan dari ayah.
3) Usia ibu dan paritas
Kehamilan multijanin umunya terjadi pada ibu dengan usia mulai dari
pubertas hingga usia 37 tahun karena adanya aktivitas ovulasi ganda
yang cukup tinggi pada usia reproduksi aktif yang dipengaruhi oleh
peningkatan kadar hormon FSH. Kehamilan multipel lebih sering
terjadi pada ibu nullipara dibandingkan dengan ibu yang sudah pernah
melahirkan sebelumnya.
4) Faktor Gizi
Kehamilan kembar 20 sampai 30 persen lebih sering terjadi pada ibu
yang memiliki ukuran lebih tinggi dan lebih berat dibandingkan
dengan ibu yang memiliki ukuran tubuh yang lebih pendek dan kecil.
Selain itu tingginya asupan gizi sebelum kehamilan dan suplementasi
asam folat perikonsepsi dapat meningkatkan terjadinya kehamilan
kembar.
5) Terapi Kesuburan
Induksi ovulasi dengan

menggunakan

obat-obatan

hormonal

gonadotropin dapat meningkatkan terjadinya kehamilan multipel


karena adanya peningkatan secara mendadak hormon gonadotropin
dapat memicu adanya ovulasi ganda.
c) Diagnosis
Penegakan diagnosa pada kehamilan kembar dapat ditegakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
(Cunningham, 2005).
1) Anamnesis
Anamnesis yang dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis kehamilan
kembar adalah riwayat adanya kehamilan kembar sebelumnya atau
keturunan kembar dalam keluarga, telah mendapat pengobatan

infertilitas, adanya uterus yang cepat membesar dari amenorea,


gerakan janin yang terlalu sering dan adanya penambahan berat badan
ibu

menyolok

yang

tidak

disebabkan

obesitas

atau

edema

(Cunningham, 2005).
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan adanya dua kepala janin
yang berada di kuadram uterus yang berbeda, banyak didapatkan
bagian bagian kecil janin, teraba dua atau lebih bagian besar, dan
teraba dua ballotemen. Tinggi fundus uteri lebih besar dari kehamilan
pada umumnya. Denyut jantung janin yang terdengar lebih dari satu di
tempat yang berbeda dengan perbedaan 10 atau lebih (Cunningham,
2005).
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan USG dapat menunjukkan adanya 2 bayangan janin atau
lebih dengan 1 atau lebih kantong amnion. Diagnosis menggunakan
USG yang dilakukan pada trimester pertama masih sulit untuk
mendiagnosis jumlah janin pada uterus, jumlah kantong gestasional
yang terlihat, dan posisi dari janin di dalam uterus (Cunningham,
2005).
d) Penatalaksanaan
Penyulit dalam persalinan pada kehamilan kembar diantaranya
persalinan preterm, disfungsi uterus, kelainan presentasi, prolaps tali
pusat, dan perdarahan post partum. Sepanjang persalinan pasien harus
sudah diberikan infus dengan cairan RL, penyediaan transfusi darah,
ampisilin 2 gram untuk pencegahan infeksi, dan disiapkannya alat USG
untuk mengevaluasi setelah janin pertama lahir. Sebagian besar janin
kembar dalam presentasi kepala-kepala, kepala-bokong, bokong-bokong,
kepala-melintang, dan lain-lain. Presentasi kepala-kepala merupakan
presentasi paling stabil selama persalinan dan memungkinkan untuk
terjadinya persalinan pervaginam. Apabila presentasi janin pertama
bokong , dapat menyebabkan terjadinya penyulit dalam persalinan
apabila janin terlalu besar, janin terlalu kecil, adanya prolapsus tali pusat.

Apabila ditemui keadaan seperti ini sebaiknya dilakukan persalinan per


abdominam (Cunningham, 2005).
8. Makrosomia (Distosia Bahu)
a) Definisi
Makrosomia dimana janin diperkirakan memiliki berat > 4000
gram. Faktor resiko terjadinya makrosomia yaitu riwayat melahirkan bayi
besar sebelumnya, obesitas pada ibu, multiparitas, kehamilan postterm,
dan ibu dengan diabetes mellitus. Makrosomia dapat menyebabkan
terjadinya penyulit pada persalinan diantaranya distosia bahu dan
chepalo pelvic disproportion (CPD) (Cunningham, 2005).
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana diperlukannya
tambahan manuver obstetrik oleh karena terjadi impaksi bahu depan
diatas simphisis sehingga dengan tarikan ke arah belakang pada kepala
bayi tidak bisa untuk melahirkan bayi (Prawirohardjo, 2009).
b) Etiologi
Penyebab terjadinya distosia bahu antara lain :
1) Makrosomia ( bayi yang dikandung oleh seorang ibu dengan diabetes
mellitus, obesitas, dan kehamilan postterm).
2) Kelainan bentuk panggul.
3) Kegagalan bahu untuk melipat kedalam panggul.
c) Diagnosis
Penegakan diagnosis pada kondisi terjadinya persalinan dengan
distosia bahu antara lain (Prawirohardjo, 2009) :
1) Kepala janin telah lahir namun masih menekan vulva dengan kencang.
2) Dagu tertarik dan menekan perineum.
3) Turtle sign : suatu keadaan dimana kepala sudah dilahirkan gagal
melakukan putaran paksi luar dan tertahan akibat adanya tarikan yang
terjadi antara bahu posterior dengan kepala.
4) Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu.
d) Penatalaksanaan
Penanganan persalinan dengan distosia bahu dikenal dengan
ALARM (Ask for help, Lift the legs and buttocks, Anterior shoulder
disimpaction, Rotation of posterior shoulder, Manual remover posterior
arm).
1) Ask for help
Meminta bantuan asisten untuk melakukan pertolongan persalinan.
2) Lift the legs and buttocks
Melakukan manuver McRoberts yang dimulai dengan memposisikan
ibu dalam posisi McRoberts yaitu ibu terlentang, memfleksikan kedua

paha sehingga posisi lutut menjadi sedekat mungkin dengan dada, dan
merotasikan kedua kaki ke arah luar. Manuver ini dapat menyebabkan
terjadinya pelurusan relatif dari sakrum terhadap vertebra lumbal
disertai dengan rotasi simphisis phubis ke arah kepala ibu serta
pengurangan sudut kemiringan panggul. Mintalah asisten untuk
melakukan penekanan suprasimphisis ke arah posterior menggunakan
pangkal tangan (Manuver Massanti). Penekanan ini bertujuan untuk
menekan bahu anterior agar mau masuk ke simphisis. Sementara itu
lakukanlah tarikan pada kepala janin ke arah posterokaudal
(Cunningham, 2005).

3) Anterior shoulder disimpaction


Melakukan disimpaksi bahu depan dengan menggunakan dua cara
yaitu eksternal dan internal. Disimpaksi bahu depan secara eksternal
dapat dilakukan dengan menggunakan manuver massanti, sedangkan
disimpaksi bahu depan secara internal dapat dilakukan dengan
menggunakan manuver rubin. Manuver Rubin dilakukan dengan cara
(masih dalam manuver McRoberts) masukkan tangan pada bagian
posterior vagina, tekanlah daerah ketiak bayi sehingga bahu berputar
menjadi posisi obliq atau transversa dan dengan bantuan penekanan
simphisis maka akan membuat bahu bayi semakin abduksi sehingga
diameternya mengecil (Prawirohardjo, 2009).
4) Rotation of posterior shoulder

Melakukan rotasi bahu belakang dengan manuver Woods. Manuver ini


dilakukan dengan cara memasukkan tangan penolong sesuai dengan
punggung bayi (jika punggung kanan gunakan tangan kanan, dan
sebaliknya) ke vagina dan diletakkan di belakang bahu janin. Bahu
kemudian diputar 180 derajat ke anterior dengan gerakan seperti
membuka tutup botol (Cunningham, 2005).

5) Manual remover posterior arm


Pelahiran bahu belakang secara manual dapat dilakukan dengan
menggunakan manuver Shwartz. Manuver ini dilakukan dengan cara
memasukkan tangan ke vagina sepanjang humerus posterior janin
yang dipisahkan ketika lengan disapukan ke arah dada, namun tetap
terfleksi pada siku. Tangan janin digenggam dan ditarik sepanjang sisi
wajah dan kemudian lengan belakang dilahirkan dari vagina
(Cunningham, 2005).

9. Hidrosefalus
a) Definisi
Hidrosefalus adalah suatu kondisi dimana terjadi penumpukan
cairan serebrospinal yang berlebihan di ventrikel dan mengakibatkan
terjadinya pembesaran dari kranium. Volume cairan biasanya 500 1500
ml namun bisa juga mencapai 5000 ml. Lingkar kepala bayi aterm
normal berkisar antara 32 hingga 38 cm, namun pada hidrosefalus dapat
mencapai 50 cm. Pada presentasi apapun umumnya hidrosefalus dapat
mengakibatkan terjadinya cephalo pelvic disproportion yang berat
(Cunningham, 2005).
b) Etiologi
Hidrosefalus sebagian besar disebabkan oleh tidak lancarnya aliran
serebrospinalis atau berlebihannya produksi cairan serebrospinal pada
janin.
c) Diagnosis
Hidrosefalus pada janin dapat didiagnosis melalui (Cunningham, 2005):

1) Pada letak kepala dapat ditemukan kepala lebih besar dari biasanya
sehingga menonjol diatas simphisis.
2) Djj terletak lebih tinggi dari biasanya.
3) Pada pemeriksaan VT dapat diraba adanya sutura dan ubun-ubun yang
melebar tegang dan tulang kepala tipis.
4) Pada pemeriksaan USG didapatkan adanya BPD lebih besar dari usia
kehamilannya.
d) Penatalaksanaan
Persalinan pada janin dengan hidrosefalus upaya yang pertama kali
dilakukan adalah pengecilan ukuran kepala bayi dengan menggunakan
sefalosintesis

sehingga

bayi

dapat

dilahirkan

pervaginam

atau

perabdominam. Namun, sefalosintesis dapat mengakibatkan terjadinya


perdarahan intrakranial pada janin sehingga sebaiknya teknik ini
digunakan pada janin dengan kelainan yang sudah cukup parah. Pada
kehamilan dengan janin hidrosefalus sebaiknya dilakukan pelahiran
secara perabdominam (Cunningham, 2005).
D. Distosia Karena Kelainan Tulang Panggul
1. Definisi
Distosia karena kelainan panggul adalah persalinan yang sulit yang
disebabkan oleh adanya kelainan dari bentuk panggul atau ukuran panggul.
Menurut Caldwell dan Moloy bentuk panggul di bagi dalam empat jenis,
yaitu (Cunningham, 2005):
a) Panggul Ginekoid
Pintu panggul yang bundar dengan diameter transversa yang sedikit lebih
panjang daripada diameter anteroposterior dan panggul tengah serta pintu
bawah panggul yang cukup luas. Dinding samping panggul lurus, spina
tidak menonjol, dan diameter transversa spina ischiadika 10 cm atau
lebih.
b) Panggul Antropoid
Panggul jenis ini memiliki diameter anteroposterior yang lebih panjang
daripada diameter transversa dan dengan arkus pubis menyempit. Spina
ischiadika pada panggul jenis ini cenderung menonjol dan dinding
samping panggul cenderung berbentuk konvergen.
c) Panggul Android
Panggul android memiliki ciri pintu atas panggul berbentuk segitiga
dengan spina ischiadika menonjol kedalam dan arkus pubis menyempit.

Dinding samping biasanya konvergen, spina ischiadika menonjol, dan os


sakrum tidak melengkung tetapi lurus dan maju ke depan.
d) Panggul Platipelloid
Panggul dengan diameter anteroposterior yang lebih pendek daripada
diameter transversa pada pintu atas panggul dan dengan arkus pubis yang
luas. Sudut panggul anterior sangat lebar dan kelengkungan os sakrum
biasanya cukup.

Dari keempat jenis panggul diatas panggul ginekoid merupakan jenis


panggul dengan prognosa persalinan paling baik, sedangkan ketiga jenis
panggul lainnya dapat menyebabkan terjadinya distosia persalinan.
Distosia karena kelainan ukuran panggul (disproporsi fetopelvik)
dapat disebabkan karena berkurangnya ukuran panggul, ukuran janin yang
terlalu besar, atau kombinasi diantara keduanya. Setiap penyempitan pada
diameter panggul baik pintu atas panggul, pintu tengah panggul, maupun
pintu bawah panggul dapat menyebabkan terjadinya distosia pada
persalinan.
a) Penyempitan pintu atas panggul
Pintu masuk panggul dianggap

menyempit

apabila

diameter

anteroposterior terpendeknya kurang dari 10 cm atau diameter transversa


terbesarnya kurang dari 12 cm.
b) Penyempitan pintu tengah panggul
Pintu tengah panggul dikatakan menyempit apabila jumlah diameter
intraspinarum ditambah diameter sagitalis posterior panggul tengah
kurang dari atau sama dengan 13,5 cm.
c) Penyempitan pintu bawah panggul

Pintu bawah panggul menyempit didefinisikan sebagai pemendekan


diamter intertuberosum hingga 8 cm atau kurang (Cunningham, 2005).
2. Diagnosis
Penegakan diagnosis pada distosia akibat adanya kelainan ukuran
panggul dapat ditegakkan dengan melakukan pengukuran pengukuran
kapasitas panggul (Cunningham, 2005).
a) Pintu atas panggul
Dilakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan konjugata diagonalis
yang diukur dari tepi bawah simphisis phubis hingga ke promomtorium
os sacrum. Pintu atas panggul berukuran cukup apabila promontorium
tidak menonjol dan ukuran konjugata diagonalis lebih besar dari 11,5 cm.
b) Pintu tengah panggul
Dilakukan pemeriksaan dalam untuk mengetahui kapasitas pintu tengah
panggul, pintu tengah dikatakan tidak menyempit apabila spina
ischiadika tidak menonjol, dinding samping tidak teraba melengkung,
dan kecekungan os sacrum tidak dangkal.
c) Pintu bawah panggul
Dilakukan pengukuran diameter intertuberosum dengan meletakkan
tangan terkepal pada perineum diantara kedua tuberositas ischii. Ukuran
normal apabila lebih dari 8 cm.
3. Penatalaksanaan
Persalinan dengan distosia akibat adanya kelainan ukuran panggul
atau kelainan bentuk panggul sebaiknya dilakukan melalui perabdominam.
Persalinan pervaginam dapat dilakukan tetapi memiliki resiko kegagalan
yang cukup besar dan dapat menimbulkan terjadinya cedera pada kepala
janin (Cunningham, 2005).
BAB III
KESIMPULAN

1. Distosia merupakan persalinan yang sulit, tidak ada kemajuan dalam persalinan
atau merupakan persalinan yang membawa satu akibat buruk bagi janin
maupun ibu.
2. Distosia terjadi karena beberapa faktor, yaitu :
a. Kelainan Power
b. Kelainan Passage
c. Kelainan Passanger

3. Penanganan distosia tergantung dari jenis distosianya, dapat dilakukan


manuver obsteterik tambahan agar dapat dilahirkan secara pervaginam atau
melakukan persalinan perabdominam.

DAFTAR PUSTAKA
.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Sistem Reproduksi. Dalam : Buku Saku Patofisiologi.
Jakarta :EGC, 784-785.
Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al.
Abnormal Labor. In. Williams Obstetrics 23rd Edition. Thw Mc Graw-Hill
Companies, New York. 2010
Cuningham F G, Norman F, Kenneth J, Larry C, John C, Katharine D, et al..
Williams Obstetrics 22nd Edition. Thw Mc Graw-Hill Companies, New York.
2005
DeCherney,Alan. 2007. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics &
Gynecology,Ed 10. McGraw-Hill Companies.
Muchtar R. Bentuk dan Kelainan Panggul. Dalam. Sinopsis obstetri. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 2002: 315-330.
Schiara J, et al. 1997. Breech Presentation. Gynecology and Obstetric 6th edition,
Lippincot-Raven Publisher, Chicago.

Setjalilakusuma L. 2000. Induksi Persalinan, dalam Ilmu Bedah Kebidanan,


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.
Winkjosastro, Hanifa, 2006. Ilmu kebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai