Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Terapi Musik

2.1.1

Pengertian Terapi Musik


Terapi musik adalah suatu proses yang menggabungkan antara aspek

penyembuhan musik itu sendiri dengan kondisi dan situasi; fisik /tubuh, emosi,
mental, spiritual, kognitif dan kebutuhan sosial seseorang. Terapi musik adalah
metode penyembuhan dengan musik melalui energi yang dihasilkan dari musik
itu sendiri (Natalina, 2013).
Terapi musik adalah proses yang dapat mempengaruhi kondisi seseorang
baik fisik maupun mental. Musik memberikan rangsangan pertumbuhan fungsifungsi otak seperti fungsi belajar, ingatan, berbicara, mendengar dan fungsi
kesadaran (Satiadarma, 2004).
2.1.2

Jenis Terapi Musik


Menurut Natalina (2013), Terapi musik terdiri dari dua jenis yaitu:

1.

Aktif-Kreatif
Terapi musik diterapkan dengan melibatkan klien secara langsung untuk

ikut aktif dalam sebuah sesi terapi melalui cara: menciptakan lagu (composing)
yaitu klien diajak untuk menciptakan lagu sederhana ataupun membuat lirik atau
terapis yang akan melengkapi secara harmoni; improvisasi yaitu klien membuat
musik secara spontan dengan menyanyi ataupun bermain musik pada saat itu juga
atau membuat improvisasi dari musik yang diberikan oleh terapis. Improvisasi
dapat juga sebagai ungkapan perasaan klien akan suasana hatinya, situasi yang

7
Universitas Sumatera Utara

dihadapi maupun perasaan terhadap seseorang; dan re-creating musik yaitu klien
menyanyi dan akan melatih pernafasan, pengucapan kata-kata yang teratur,
artikulasi dan juga melatih lafal bicara dengan jelas. Lirik lagu yang sesuai juga
dapat menjadi bahan diskusi yang mengungkapakan perasaan klien.
2.

Pasif-Reseptif
Pada sesi reseptif : klien akan mendapatkan terapi dengan mendengarkan

musik. Terapi ini akan menekankan pada physical, emotional intellectual,


aesthetic or spiritual dari musik itu sendiri sehingga klien akan merasakan
ketenangan atau relaksasi. Musik yang digunakan dapat bermacam jenis dan gaya
tergantung dengan kondisi yang dihadapi klien.
2.1.3 Metode Terapi Musik
Penggunaan metode terapi musik secara aktif-kreatif lebih efektif dalam
proses penyembuhan. Memberi dampak yang besar pada pasien karena terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi motorik, emosional, kognitif, sosial dan
pembentukan kepribadian.
a. Motorik, terapi musik aktif menggerakkan tubuh pasien, mulai dari yang
sederhana seperti menganggukkan kepala, bertepuk tangan sampai
menggerakkan seluruh tubuh atau menari mengikuti irama musik. Hal ini
terjadi proses perengangan otot motorik klien yang mengaktifkan syaraf.
b. Emosional, terapi musik mempengaruhi perasaan klien yang berakibat
pada perubahan hormon.
c. Kognitif, agar bisa mengerti suatu lagu diperlukan pemahaman akan lagu
tersebut. Hal ini bisa dilihat dari lirik lagu dan irama lagu. Secara tidak

Universitas Sumatera Utara

langsung akan dituntut memahami lagu secara menyeluruh sehingga dapat


mengungkapkan perasaannya melalui lagu tersebut.
d. Sosial, terjadi hubungan saling percaya antara terapis dank lien melalui
komunikasi langsung maupun komunikasi lewat lagu (Natalina, 2013).
2.1.4 Manfaat Terapi Musik
Terapi musik merupakan pengobatan secara holistik yang

langsung

menuju pada simptom penyakit. Terapi ini akan berhasil jika ada kerjasama antara
klien dengan terapisnya. Proses penyembuhan sepenuhnya tergantung pada
kondisi klien, apakah seseorang benar-benar siap menerima proses secara
keseluruhan.
Terapi musik memiliki beberapa manfaat, yaitu:
1.

Musik pada kesehatan, yaitu : menurunkan tekanan darah melalui ritmik


musik yang stabil memberi irama teratur pada sistem kerja jantung,
menstimulasi kerja otak, mendengarkan musik dengan harmoni yang baik
akan menstimulasikan otak untuk melakukan proses analisa terhadap lagu itu,
meningkatkan imunitas tubuh, suasana yang ditimbulkan oleh musik akan
mempengaruhi sistem kerja hormon manusia. Jika mendengar musik yang
baik atau positif maka hormon yang meningkatkan imunitas tubuh juga akan
berproduksi, memberi keseimbangan pada detak jantung dan denyut nadi.

2.

Musik meningkatkan kecerdasan, yaitu daya ingat yaitu menyanyi dengan


menghafalkan lirik lagu, akan melatih daya ingat, konsentrasi pada saat
terlibat dalam bermusik (menyanyi, bermain instrument) akan menyebabkan
otak bekerja secara terfokus, emosional, musik mampu memberi pengaruh

Universitas Sumatera Utara

10

secara emosional terhadap makhluk hidup, musik meningkatkan kerja otot,


mengaktifkan motorik kasar dan halus, musik meningkatkan produktifitas,
kreatifitas dan imajinasi, musik menyeabkan tubuh menghasilkan hormon
beta-endorfin. Ketika mendengar suara kita sendiri yang indah maka homon
kebahagiaan (beta-endorfin) akan berproduksi, musik membentuk sikap
seseorang seperti meningkatkan suasana hati. Karakter seseorang dapat
terbentuk melalui musik, rangkaian nada yang indah akan membangkitkan
perasaan bahagia atau semangat positif, musik mengembangkan kemampuan
berkomunikasi dan sosialisasi, bermusik akan menciptakan sosialisasi karena
dalam bermusik dibutuhkan komunikasi (Natalina, 2013).
Terapi musik juga dapat membantu semua bentuk pertumbuhan klien baik
secara mental maupun fisik, membantu membangun kemampuan sosial, dapat
menciptakan harga diri yang besar, menjadi kreatif dalam bidang artistik dapat
memberikan efek mendalam untuk meningkatkan ekspresi diri sendiri,
menstimulasikan gerakan dan mengembangkan kemampuan koordinasi fisik serta
pengendaliannya, dan dapat membantu kesejahteraan emosional dan kesehatan
(Sheppard, 2007).
Musik digunakan untuk menjaga atau meningkatkan tingkat keadaan fisik,
mental, spiritual serta fungsi sosial atau emosional klien. Dengan menggunakan
pendekatan yang terencana dan sistematis terhadap penggunaan musik dan
akitivitas musik, penanganan dengan terapi musik untuk jiwa, tubuh dan roh
memungkinkan

terjadinya

seperti:

Pengurangan

kegelisahan

dan

stress,

pengendalian rasa sakit dan ketidaknyamanan dengan tanpa obat, perubahan

Universitas Sumatera Utara

11

positif dalam perasaan dan keadaan emosional, partisipasi aktif dan positif klien
dalam perawatan, mengembangkan keterampilan menangani masalah dan
berelaksasi, memenuhi kebutuhan fisik dan spiritual yang kompleks dari mereka
yang sekarat, relaksasi bagi seluruh keluarga, meningkatkan makna watu yang
digunakan bersama secara positif dan kreatif (Young & Koopsen, 2007).
Warna dan musik memancarkan frekuensi energi murni. Menggunakan
unsur energi ini untuk penyembuhan serta penumbuhan kesadaran spiritual. Selain
itu, warna dan musik dapat juga untuk menyingkirkan penghalang dalam diri
seseorang, agar energi alam leluasa melakukanpenyembuhan (Bassano, 2009).
2.1.5 Penerapan Terapi Musik
Menurut Natalina (2013), Dalam melakukan terapi musik dilakukan
langkah-langkah, yaitu : pengkajian melakukan observasi (pendataan klien) :
dari usia klien, jenis kelamin, latar belakang kondisi kesehatan klien, rancangan
terapi : menentukan jenis musik yang sesuai, membangun komunikasi antara
terapis dan klien, membangun kesadaran diri dan pemberdayaan, implementasi
dan tahap terakhir mengevaluasi klien.
Bicara tentang terapi musik, akses mendengarkan musik dapat melalui :
radio, kaset, video, televisi, pertunjukkan langsung, konser, kelompok komunitas
(Djohan, 2006).
2.1.6 Respon Fisiologis Terhadap Musik
Jenis musik yang dimainkan (seperti musik yang menenangkan) dapat
menentukan perubahan fisiologis. Musik yang menenangkan dapat mengubah
persepsi seseorang tentang waktu dan dapat menghasilkan respon hipometabolis

Universitas Sumatera Utara

12

yang mirip dengan respon relaksasi yang mengubah sistem autonimik, kekebalan,
endokrin (Young & Koopsen, 2007).
Dengan metabolisme yang baik, tubuh akan mampu membangun sistem
kekebalan tubuh yang baik, dan dengan sistem kekebalan yang baik tubuh
menjadi kuat atau lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan penyakit. Musik
dapat meningkatkan serotinin dan pertumbuhan hormon yang sama baiknya
dengan menurunkan hormon ACTH (Ardenal Corticotropin Hormon). Pemberian
intervensi terapi musik membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa
aman, sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, menurunkan rasa sakit dan
juga menurunkan tingkat stress. Hal ini terjadi karena adanya penurunan ACTH
yang merupakan hormon stress (Satiadarma, 2007).

2.2

Konsep Stress Hospitalisasi

2.2.1 Defenisi Stress Hospitalisasi


Stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan,
perubahan, ketegangan emosi. Segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri, dan
karena itu sesuatu yang mengganggu keseimbangan (Sunaryo, 2004).
Stress hospitalisasi adalah reaksi yang harus dihadapi dengan lingkungan
yang asing, pemberi asuhan tidak dikenal, dan kehilangan kemandirian (Wong,
2003).
2.2.2

Penyebab Stress Hospitalisasi


Stress yang terjadi pada anak menurut Wong (2008) merupakan akibat

perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan dan anak memiliki

Universitas Sumatera Utara

13

sejumlah keterbatasan mekanisme koping untuk menyelesaikan masalah ataupun


kejadian-kejadian yang bersifat menekan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stress adalah kurang kendali akan
peningkatan fisik persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi keterampilan
koping anak-anak, efek cahaya, suara dan bau yang berlebihan mengganggu
stimulasi sensorik, dan ketergantungan diskusi dengan kelompok usianya. Stress
yang dialami anak adalah terjadi suatu perpisahan antara orang tua dan teman
sebaya, kehilangan kontol, ketergantungan, perubahan peran keluarga, cedera dan
nyeri tubuh, dan rasa takut terhadap sakit itu sendiri (Wong, 2003).
Menurut Wong (2008), faktor resiko yang meningkatkan kerentanan anak
terhadap stress hospitalisasi adalah temperamen sulit, ketidaksesuaian anak
dengan orang tua, jenis kelamin laki-laki, kecerdasan dibawah rata-rata.
2.2.3

Tanda dan Gejala Stress


Menurut Foster (1989), tanda dan gejala stress anak usia sekolah terdiri

dari:
1.

Fisik, yang ditandai dengan : peningkatan denyut nadi atau HR, Peningkatan
tekanan darah, kesulitan bernafas, sesak nafas, sakit kepala, migran,
kelelahan, sulit tidur, masalah pencernaan yaitu diare, mual muntah, maag,
radang usus besar, sakit perut, gelisah, keluhan somatik, penyakit ringan,
keluhan psikomatik, Frekuensi buang air kecil, BB meningkat atau menurun
atau lebih 4,5 kg.

2.

Emosional, yang ditandai dengan : gampang marah, reaksi berlebihan


terhadap situasi tertentu yang relative kecil, luapan kemarahan, cepat marah,

Universitas Sumatera Utara

14

permusuhan, kurang minat, menarik diri, apatis, tidak bisa bangun di pagi
hari, cenderung menangis, menyalahkan orang lain, sikap mencurigakan,
khawatir, depresi, sinis, sikap negatif, menutup diri dan ketidakpuasan.
3.

Intelektual, yang ditandai dengan : menolak pendapat orang lain, daya hayal
tinggi (khawatir akan penyakitnya), konsentrasi menurun terutama pada
pekerjaan yang rumit, penurunan kreatifitas, berpikir lambat, reaksi lambat,
sulit dalam pembelajaran, sikap yang tidak peduli, malas.

2.2.4

Respon Fisiologis Terhadap Stres


Menurut Slota (2006), Ketika tubuh manusia berhadapan dengan stimulus

stress, sistem saraf otonomik diaktifkan, pengeluaran hormon yang mengontrol


mekanisme pertahanan fisiologis. Berikut adalah tanda dari aktivasi sistem saraf,
yaitu :
1.

Takikardi, takipnea, dan peningkatan tekanan darah

2.

Penyampitan (vasokontriksi) perifer dengan extremitas dingin

3.

Dilatasi pupil

4.

Kewaspadaan meningkat

5.

Hambatan sistem pencernaan

6.

Hambatan sistem imun

7.

Hiperkalemi pada anak

Universitas Sumatera Utara

15

2.3 Rawat Inap


2.3.1

Defenisi Rawat Inap


Rawat inap adalah suatu proses karena suatu alasan yang terencana atau

darurat, yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit. Menjalani terapi
dan perawatan sampai akhirnya akan dipulangkan kembali ke rumah (Wong,
2008).
Rawat inap merupakan pengalaman bagi individu karena faktor penyebab
stress yang dialami dan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan aman,
seperti: lingkungan asing sendiri, berpisah dengan orang terdekat, kehilangan
kebebasan dan kemandirian, pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan dan perilaku petugas rumah sakit (Wong, 2003).
2.3.2 Dampak Rawat Inap
Perawatan di rumah sakit merupakan masalah besar dan menimbulkan
ketakutan, kecemasan, bagi anak. Dampak rawat inap yang dialami bagi anak dan
orangtua akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Efek dan jumlah stress
tergantung pada persepsi anak dan orangtua terhadap diagnosa penyakit dan
pengobatan (Wong, 2008).
Anak-anak dapat bereaksi terhadap stress rawat inap sebelum mereka
masuk, selama dirawat, dan setelah pemulangan mereka ke rumah. Anak akan
cenderung lebih manja, akan meminta perhatian lebih dari orang tua. Stress yang
umumnya terjadi berhubungan dengan rawat inap adalah takut dengan lingkungan
rumah sakit, kegiatan rumah sakit, tindakan perawat yang menyakitkan dan takut
akan kematian. Konsep sakit yang dimiliki anak bahkan lebih penting

Universitas Sumatera Utara

16

dibandingkan usia dan kematangan intelektual dalam memperkirakan tingkat


kecemasan sebelum dirawat. Reaksi rawat inap pada anak bersifat individual dan
tergantung pada tahapan usia perkembangan anak. Emosional pada anak sering
ditunjukkan dengan ekspresi menagis, marah dan berduka sebagai bentuk yang
wajar dalam mengatasi stress akibat rawat inap (Wong, 2003).
Anak sering menganggap sakit adalah hukuman untuk perilaku buruk, hal
ini terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan koping. Anak juga
mempunyai kesulitan dalam

pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa

bermain dengan teman sebayanya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga
mereka harus ke rumah sakit dan harus mengalami rawat inap. Reaksi anak
tentang hukuman yang diterimanya dapat bersifat kooperatif, menyebabkan anak
menjadi marah. Sehingga anak kehilangan kontrol sehubungan terganggunya
fungsi motorik yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada anak,
sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai akan terhambat (Wong, 2008).
2.3.3

Reaksi Anak Usia Sekolah Terhadap Sakit dan Rawat Inap


Anak usia sekolah membayangkan rawat inap di rumah sakit adalah

perpisahan dengan orang tua, merasa tidak nyaman, aktivitas dan kemandiriannya
terbatas dan terhenti. Anak akan bertanya mengapa berada di rumah sakit,
bingung, dan bermacam pertanyaan yang akan ditanya dikarenakan anak tidak
mengetahui yang sedang terjadi. Reaksi rawat inap pada anak bersifat individual
dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak. Pengalaman
sebelumnya di rumah sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan
koping yang dimiliki anak (Wong,2008).

Universitas Sumatera Utara

17

Wong (2008) mengatakan reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : perkembangan anak terhadap sakit
berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak. Berkaitan dengan umur anak,
semakin muda anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri
mereka tentang pengalaman di rumah sakit; pengalaman rawat inap di rumah sakit
sebelumnya, apabila anak pernah mengalami yang tidak menyenangkan saat di
rawat inap, akan menyebabkan anak takut dan trauma, dan sebaliknya apabila saat
dirawat inap anak mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan maka
anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter, dukungan keluarga: anak
akan mencari dukungan dari orang tua, dan saudara kandungnya untuk
melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya; dan perkembangan koping
dalam menangani stresor pada anak baik dalam menerima keadaan bahwa anak
harus dirawat inap, maka akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani
perawatan di rumah sakit.
Stresor yang dihadapi anak usia sekolah yang dirawat inap adalah
lingkungan yang baru dan asing, pengalaman yang menyakitkan dengan tindakan
keperawatan, terapi, berpisah dengan orang tua dalam arti sementara. Anak usia
sekolah membayangkan dirawat inap merupakan hukuman, terpisah, merasa tidak
nyaman dan keterbatasan aktivitas. Anak menjadi ingin tahu dan bingung, anak
selalu bertanya kenapa orang itu, mengapa berada di rumah sakit, bermacam
pertanyaan anak yang akan ditanyakan karena anak tidak mengetahui apa yang
sedang terjadi (Schulte, 2001).

Universitas Sumatera Utara

18

2.4

Anak Usia Sekolah

2.4.1 Defenisi Anak Usia Sekolah


Anak usia sekolah adalah anak yang berumur 6 sampai 12 tahun yang
masih duduk di sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 dan perkembangan
sesuai usianya (Wong, 2008).
Usia sekolah merupakan usia dimana anak mulai berkenalan dengan musik
dilingkungan sosialnya secara luas. Usia sekolah merupakan usia yang baik untuk
belajar bermain musik. Musik merupakan bentuk rangsangan yang menyenangkan
untuk anak (Satiadarma, 2004).
2.4.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah
1.

Perkembangan Biologis
Selama masa kanak-kanak pertengahan, pertumbuhan tinggi dan berat

badan terjadi lebih lambat tetapi pasti jika dibandingkan dengan masa
sebelumnya. Antara usia 6-12 tahun, anak-anak akan mengalami pertumbuhan
sekitar 5 cm per tahun untuk mencapai tinggi badan 30-60 cm dan berat badannya
akan bertambah hampir dua kali lipat, bertambah 2-3 kg per tahun. Tinggi ratarata anak usia 6 tahun adalah sekitar 116 cm dan berat badannya sekitar 21 kg;
tinggi rata-rata anak usia 12 tahun adalah sekitar 150 cm dan berat badannya
mendekati 40 kg. Pada periode ini, anak laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi
dan kadang-kadang sedikit lebih berat dari anak perempuan (Wong, 2008).
2.

Perkembangan Psikososial
Masa

kanak-kanak

pertengahan

adalah

periode

perkembangan

psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten, yaitu waktu

Universitas Sumatera Utara

19

tenang antara fase Odipus pada masa kanak-kanak awal dan erotisisme masa
remaja. Selama waktu ini, anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya
sesama jenis setelah pengabdian pada tahun-tahun sebelumnya dan didahului
ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas (Wong, 2008).
Menurut Erikson perkembangan psikososial ada 2 tahap yaitu tahap
industri atau pencapaian dan tahap inferioritas atau perasaan kurang berharga.
Dimana tahap industri, anak usia sekolah ingin mengembangkan keterampilan dan
berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna secara sosial. Dengan
tumbuhnya rasa kemandirian, anak usia sekolah ingin terlibat dalam tugas yang
dapat dilakukan sampai selesai. Sedangkan pada tahap inferioritas, anak usia
sekolah tidak dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab yang terkait dengan
perkembangan rasa pencapaian, perasaan kurang berharga dapat timbul dari anak
itu sendiri dan dari lingkungan sosial nya (Wong, 2008).
3.

Perkembangan Kognitif
Tahap operasional konkret menurut J.Piaget adalah anak mampu

menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan. Pemikiran


egosentris yang kaku pada tahun-tahun prasekolah digantikan dengan proses
pikiran yang memungkinkan anak melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Selama tahap ini anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara
sesuatu hal dan ide. Anak mengalami kemajuan dari pembuat penilaian
berdasarkan apa yang mereka lihat (pemikiran perseptual) sampai membuat
penilaian berdasarkan alasan mereka (konseptual) (Wong, 2008).

Universitas Sumatera Utara

20

4.

Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg, pola pikir anak mulai berubah dari egosentrisme ke

pola pikir logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran
diri dan standar moral. Anak mempelajari standar-standar untuk perilaku yang
dapat diterima, bertindak sesuai dengan standar tersebut dan merasa bersalah jika
melanggarnya. Anak usia sekolah mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat
dibandingkan akibat yang dihasilkannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi
bersifat mutlak dan otoriter serta lebih banyak kebutuhan dan keinginan orang
lain. Mereka mampu memahami dan menerima bagaimana memperlakukan orang
lain dan seperti bagaimana yang anak inginkan (Wong, 2008).
5.

Perkembangan Spiritual
Perkembangan spiritual pada anak usia sekolah mempunyai batasan

berfikir yang sangat konkret, tetapi pelajar yang baik dan memiliki kemauan besar
untuk mengenal Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan adalah sayang dan
membantu dan mereka sangat tertarik dengan adanya surga dan neraka. Dengan
perkembangan kesadaran diri dan perhatian terhadap peraturan, anak takut masuk
neraka karena kesalahan dalam perbuatannya. Anak usia sekolah ingin dan
berharap dihukum apabila mereka melakukan kesalahan dan jika diberi pilihan
anak lebih memilih hukuman yang sesuai dengan kejahatannya. Sering kali anak
menggambarkan penyakit dan cedera adalah hukuman karena kelakuan yang
buruk yang nyata maupun kelakuan buruk dalam pikiran anak. Konsep agama
harus dijelaskan kepada anak dalam istilah yang konkret. Anak merasa nyaman
dengan berdoa atau melakukan ritual agama lainnya, dan aktivitas ini merupakan

Universitas Sumatera Utara

21

bagian kegiatan sehari-hari anak. Hal ini dapat membantu anak dalam melakukan
koping dalam menghadapi situasi yang mengancam (Wong, 2008).
6.

Perkembangan Sosial
Anak usia sekolah akan bersosialisasi dengan kelompok teman sebaya.

Selain orang tua dan sekolah, kelompok teman sebaya memberi sejumlah hal yang
penting kepada temannya yang lain. Anak usia sekolah memiliki budaya mereka
sendiri, disertai rahasia, adat istiadat, dan kode etik yang meningkatkan rasa
solidaritas kelompok dan melepaskan diri dari kelompok orang dewasa.
Identifikasi dengan teman sebaya memberi pengaruh kuat bagi anak dalam
memperoleh kemandirian dari orang tua. Bantuan dan dukungan kelompok
memberi anak rasa aman yang cukup untuk menghindari resiko penolakan dari
orang tua yang disebabkan oleh setiap kemenangan kecil dalam perkembangan
kemandirian (Wong, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai