TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Terapi Musik
2.1.1
penyembuhan musik itu sendiri dengan kondisi dan situasi; fisik /tubuh, emosi,
mental, spiritual, kognitif dan kebutuhan sosial seseorang. Terapi musik adalah
metode penyembuhan dengan musik melalui energi yang dihasilkan dari musik
itu sendiri (Natalina, 2013).
Terapi musik adalah proses yang dapat mempengaruhi kondisi seseorang
baik fisik maupun mental. Musik memberikan rangsangan pertumbuhan fungsifungsi otak seperti fungsi belajar, ingatan, berbicara, mendengar dan fungsi
kesadaran (Satiadarma, 2004).
2.1.2
1.
Aktif-Kreatif
Terapi musik diterapkan dengan melibatkan klien secara langsung untuk
ikut aktif dalam sebuah sesi terapi melalui cara: menciptakan lagu (composing)
yaitu klien diajak untuk menciptakan lagu sederhana ataupun membuat lirik atau
terapis yang akan melengkapi secara harmoni; improvisasi yaitu klien membuat
musik secara spontan dengan menyanyi ataupun bermain musik pada saat itu juga
atau membuat improvisasi dari musik yang diberikan oleh terapis. Improvisasi
dapat juga sebagai ungkapan perasaan klien akan suasana hatinya, situasi yang
7
Universitas Sumatera Utara
dihadapi maupun perasaan terhadap seseorang; dan re-creating musik yaitu klien
menyanyi dan akan melatih pernafasan, pengucapan kata-kata yang teratur,
artikulasi dan juga melatih lafal bicara dengan jelas. Lirik lagu yang sesuai juga
dapat menjadi bahan diskusi yang mengungkapakan perasaan klien.
2.
Pasif-Reseptif
Pada sesi reseptif : klien akan mendapatkan terapi dengan mendengarkan
langsung
menuju pada simptom penyakit. Terapi ini akan berhasil jika ada kerjasama antara
klien dengan terapisnya. Proses penyembuhan sepenuhnya tergantung pada
kondisi klien, apakah seseorang benar-benar siap menerima proses secara
keseluruhan.
Terapi musik memiliki beberapa manfaat, yaitu:
1.
2.
10
terjadinya
seperti:
Pengurangan
kegelisahan
dan
stress,
11
positif dalam perasaan dan keadaan emosional, partisipasi aktif dan positif klien
dalam perawatan, mengembangkan keterampilan menangani masalah dan
berelaksasi, memenuhi kebutuhan fisik dan spiritual yang kompleks dari mereka
yang sekarat, relaksasi bagi seluruh keluarga, meningkatkan makna watu yang
digunakan bersama secara positif dan kreatif (Young & Koopsen, 2007).
Warna dan musik memancarkan frekuensi energi murni. Menggunakan
unsur energi ini untuk penyembuhan serta penumbuhan kesadaran spiritual. Selain
itu, warna dan musik dapat juga untuk menyingkirkan penghalang dalam diri
seseorang, agar energi alam leluasa melakukanpenyembuhan (Bassano, 2009).
2.1.5 Penerapan Terapi Musik
Menurut Natalina (2013), Dalam melakukan terapi musik dilakukan
langkah-langkah, yaitu : pengkajian melakukan observasi (pendataan klien) :
dari usia klien, jenis kelamin, latar belakang kondisi kesehatan klien, rancangan
terapi : menentukan jenis musik yang sesuai, membangun komunikasi antara
terapis dan klien, membangun kesadaran diri dan pemberdayaan, implementasi
dan tahap terakhir mengevaluasi klien.
Bicara tentang terapi musik, akses mendengarkan musik dapat melalui :
radio, kaset, video, televisi, pertunjukkan langsung, konser, kelompok komunitas
(Djohan, 2006).
2.1.6 Respon Fisiologis Terhadap Musik
Jenis musik yang dimainkan (seperti musik yang menenangkan) dapat
menentukan perubahan fisiologis. Musik yang menenangkan dapat mengubah
persepsi seseorang tentang waktu dan dapat menghasilkan respon hipometabolis
12
yang mirip dengan respon relaksasi yang mengubah sistem autonimik, kekebalan,
endokrin (Young & Koopsen, 2007).
Dengan metabolisme yang baik, tubuh akan mampu membangun sistem
kekebalan tubuh yang baik, dan dengan sistem kekebalan yang baik tubuh
menjadi kuat atau lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan penyakit. Musik
dapat meningkatkan serotinin dan pertumbuhan hormon yang sama baiknya
dengan menurunkan hormon ACTH (Ardenal Corticotropin Hormon). Pemberian
intervensi terapi musik membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa
aman, sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, menurunkan rasa sakit dan
juga menurunkan tingkat stress. Hal ini terjadi karena adanya penurunan ACTH
yang merupakan hormon stress (Satiadarma, 2007).
2.2
perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan dan anak memiliki
13
dari:
1.
Fisik, yang ditandai dengan : peningkatan denyut nadi atau HR, Peningkatan
tekanan darah, kesulitan bernafas, sesak nafas, sakit kepala, migran,
kelelahan, sulit tidur, masalah pencernaan yaitu diare, mual muntah, maag,
radang usus besar, sakit perut, gelisah, keluhan somatik, penyakit ringan,
keluhan psikomatik, Frekuensi buang air kecil, BB meningkat atau menurun
atau lebih 4,5 kg.
2.
14
permusuhan, kurang minat, menarik diri, apatis, tidak bisa bangun di pagi
hari, cenderung menangis, menyalahkan orang lain, sikap mencurigakan,
khawatir, depresi, sinis, sikap negatif, menutup diri dan ketidakpuasan.
3.
Intelektual, yang ditandai dengan : menolak pendapat orang lain, daya hayal
tinggi (khawatir akan penyakitnya), konsentrasi menurun terutama pada
pekerjaan yang rumit, penurunan kreatifitas, berpikir lambat, reaksi lambat,
sulit dalam pembelajaran, sikap yang tidak peduli, malas.
2.2.4
2.
3.
Dilatasi pupil
4.
Kewaspadaan meningkat
5.
6.
7.
15
darurat, yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit. Menjalani terapi
dan perawatan sampai akhirnya akan dipulangkan kembali ke rumah (Wong,
2008).
Rawat inap merupakan pengalaman bagi individu karena faktor penyebab
stress yang dialami dan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan aman,
seperti: lingkungan asing sendiri, berpisah dengan orang terdekat, kehilangan
kebebasan dan kemandirian, pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan dan perilaku petugas rumah sakit (Wong, 2003).
2.3.2 Dampak Rawat Inap
Perawatan di rumah sakit merupakan masalah besar dan menimbulkan
ketakutan, kecemasan, bagi anak. Dampak rawat inap yang dialami bagi anak dan
orangtua akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Efek dan jumlah stress
tergantung pada persepsi anak dan orangtua terhadap diagnosa penyakit dan
pengobatan (Wong, 2008).
Anak-anak dapat bereaksi terhadap stress rawat inap sebelum mereka
masuk, selama dirawat, dan setelah pemulangan mereka ke rumah. Anak akan
cenderung lebih manja, akan meminta perhatian lebih dari orang tua. Stress yang
umumnya terjadi berhubungan dengan rawat inap adalah takut dengan lingkungan
rumah sakit, kegiatan rumah sakit, tindakan perawat yang menyakitkan dan takut
akan kematian. Konsep sakit yang dimiliki anak bahkan lebih penting
16
bermain dengan teman sebayanya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga
mereka harus ke rumah sakit dan harus mengalami rawat inap. Reaksi anak
tentang hukuman yang diterimanya dapat bersifat kooperatif, menyebabkan anak
menjadi marah. Sehingga anak kehilangan kontrol sehubungan terganggunya
fungsi motorik yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada anak,
sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai akan terhambat (Wong, 2008).
2.3.3
perpisahan dengan orang tua, merasa tidak nyaman, aktivitas dan kemandiriannya
terbatas dan terhenti. Anak akan bertanya mengapa berada di rumah sakit,
bingung, dan bermacam pertanyaan yang akan ditanya dikarenakan anak tidak
mengetahui yang sedang terjadi. Reaksi rawat inap pada anak bersifat individual
dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak. Pengalaman
sebelumnya di rumah sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan
koping yang dimiliki anak (Wong,2008).
17
Wong (2008) mengatakan reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : perkembangan anak terhadap sakit
berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak. Berkaitan dengan umur anak,
semakin muda anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri
mereka tentang pengalaman di rumah sakit; pengalaman rawat inap di rumah sakit
sebelumnya, apabila anak pernah mengalami yang tidak menyenangkan saat di
rawat inap, akan menyebabkan anak takut dan trauma, dan sebaliknya apabila saat
dirawat inap anak mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan maka
anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter, dukungan keluarga: anak
akan mencari dukungan dari orang tua, dan saudara kandungnya untuk
melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya; dan perkembangan koping
dalam menangani stresor pada anak baik dalam menerima keadaan bahwa anak
harus dirawat inap, maka akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani
perawatan di rumah sakit.
Stresor yang dihadapi anak usia sekolah yang dirawat inap adalah
lingkungan yang baru dan asing, pengalaman yang menyakitkan dengan tindakan
keperawatan, terapi, berpisah dengan orang tua dalam arti sementara. Anak usia
sekolah membayangkan dirawat inap merupakan hukuman, terpisah, merasa tidak
nyaman dan keterbatasan aktivitas. Anak menjadi ingin tahu dan bingung, anak
selalu bertanya kenapa orang itu, mengapa berada di rumah sakit, bermacam
pertanyaan anak yang akan ditanyakan karena anak tidak mengetahui apa yang
sedang terjadi (Schulte, 2001).
18
2.4
Perkembangan Biologis
Selama masa kanak-kanak pertengahan, pertumbuhan tinggi dan berat
badan terjadi lebih lambat tetapi pasti jika dibandingkan dengan masa
sebelumnya. Antara usia 6-12 tahun, anak-anak akan mengalami pertumbuhan
sekitar 5 cm per tahun untuk mencapai tinggi badan 30-60 cm dan berat badannya
akan bertambah hampir dua kali lipat, bertambah 2-3 kg per tahun. Tinggi ratarata anak usia 6 tahun adalah sekitar 116 cm dan berat badannya sekitar 21 kg;
tinggi rata-rata anak usia 12 tahun adalah sekitar 150 cm dan berat badannya
mendekati 40 kg. Pada periode ini, anak laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi
dan kadang-kadang sedikit lebih berat dari anak perempuan (Wong, 2008).
2.
Perkembangan Psikososial
Masa
kanak-kanak
pertengahan
adalah
periode
perkembangan
psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten, yaitu waktu
19
tenang antara fase Odipus pada masa kanak-kanak awal dan erotisisme masa
remaja. Selama waktu ini, anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya
sesama jenis setelah pengabdian pada tahun-tahun sebelumnya dan didahului
ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas (Wong, 2008).
Menurut Erikson perkembangan psikososial ada 2 tahap yaitu tahap
industri atau pencapaian dan tahap inferioritas atau perasaan kurang berharga.
Dimana tahap industri, anak usia sekolah ingin mengembangkan keterampilan dan
berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna secara sosial. Dengan
tumbuhnya rasa kemandirian, anak usia sekolah ingin terlibat dalam tugas yang
dapat dilakukan sampai selesai. Sedangkan pada tahap inferioritas, anak usia
sekolah tidak dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab yang terkait dengan
perkembangan rasa pencapaian, perasaan kurang berharga dapat timbul dari anak
itu sendiri dan dari lingkungan sosial nya (Wong, 2008).
3.
Perkembangan Kognitif
Tahap operasional konkret menurut J.Piaget adalah anak mampu
20
4.
Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg, pola pikir anak mulai berubah dari egosentrisme ke
pola pikir logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran
diri dan standar moral. Anak mempelajari standar-standar untuk perilaku yang
dapat diterima, bertindak sesuai dengan standar tersebut dan merasa bersalah jika
melanggarnya. Anak usia sekolah mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat
dibandingkan akibat yang dihasilkannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi
bersifat mutlak dan otoriter serta lebih banyak kebutuhan dan keinginan orang
lain. Mereka mampu memahami dan menerima bagaimana memperlakukan orang
lain dan seperti bagaimana yang anak inginkan (Wong, 2008).
5.
Perkembangan Spiritual
Perkembangan spiritual pada anak usia sekolah mempunyai batasan
berfikir yang sangat konkret, tetapi pelajar yang baik dan memiliki kemauan besar
untuk mengenal Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan adalah sayang dan
membantu dan mereka sangat tertarik dengan adanya surga dan neraka. Dengan
perkembangan kesadaran diri dan perhatian terhadap peraturan, anak takut masuk
neraka karena kesalahan dalam perbuatannya. Anak usia sekolah ingin dan
berharap dihukum apabila mereka melakukan kesalahan dan jika diberi pilihan
anak lebih memilih hukuman yang sesuai dengan kejahatannya. Sering kali anak
menggambarkan penyakit dan cedera adalah hukuman karena kelakuan yang
buruk yang nyata maupun kelakuan buruk dalam pikiran anak. Konsep agama
harus dijelaskan kepada anak dalam istilah yang konkret. Anak merasa nyaman
dengan berdoa atau melakukan ritual agama lainnya, dan aktivitas ini merupakan
21
bagian kegiatan sehari-hari anak. Hal ini dapat membantu anak dalam melakukan
koping dalam menghadapi situasi yang mengancam (Wong, 2008).
6.
Perkembangan Sosial
Anak usia sekolah akan bersosialisasi dengan kelompok teman sebaya.
Selain orang tua dan sekolah, kelompok teman sebaya memberi sejumlah hal yang
penting kepada temannya yang lain. Anak usia sekolah memiliki budaya mereka
sendiri, disertai rahasia, adat istiadat, dan kode etik yang meningkatkan rasa
solidaritas kelompok dan melepaskan diri dari kelompok orang dewasa.
Identifikasi dengan teman sebaya memberi pengaruh kuat bagi anak dalam
memperoleh kemandirian dari orang tua. Bantuan dan dukungan kelompok
memberi anak rasa aman yang cukup untuk menghindari resiko penolakan dari
orang tua yang disebabkan oleh setiap kemenangan kecil dalam perkembangan
kemandirian (Wong, 2008).