MORBUS HANSEN
Oleh:
Annisa Hidayati Priyono
1210313021
Mitra Nofembri Y
1210312096
Ridhatul Amalia C A
1210313006
Preseptor:
Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta merupakan
penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi dan
deformitas. Kusta (lepra atau penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian organ lainnya kecuali susunan saraf pusat. Penyakit yang terjadi bisa
ringan (lepra tuberkuloid) atau berat (lepra lepromatosa). Penderita lepra ringan tidak dapat
menularkan penyakitnya kepada orang lain.1
Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI, namun
jarang di urin. Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan dalam medium buatan
sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek masih belum memungkinkan. Pada sebagian
besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis
dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk
menjadi cacat. Tetapi diagnosis dapat dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang spesifik pada
pasien. Pengobatan pada pasien lepra meliputi terapi dengan satu obat atau dengan kombinasi
(Multi Drug Therapy).1
Oleh karena itu, mengingat kompleksnya masalah penyakit lepra, maka diperlukan
program pengendalian secara terpadu dan menyuluruh melalui strategi yang sesuai dengan
endemisitas penyakit lepra. Selain itu, perlu juga diperhatikan rehabilitas medis dan rehabilitas
sosial ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya. 1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang
diketahui secara jelas melalui gejala klinis serta pemeriksaan bakteriologi dan patologik. Kusta
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menggambarkan transmisi aktif penyakit di
masyarakat dan dianggap penting sebab berpotensi menyebabkan kecacatan yang memberikan
dampak psikososial pada pasien dan keluarganya.2
2.2 Epidemiologi
WHO menemukan proporsi anak yang bervariasi di antara kasus baru yang terdeteksi di
berbagai daerah. Tahun 2007 di Afrika proporsi anak berkisar antara 2,89% di Togo sampai
37,96% di Comorros. Amerika menunjukkan antara 14,02% di Republik Dominika dan 0,32% di
Argentina. Asia menunjukkan antara 3,34% di Nepal sampai 14,1% di Timor Leste. Pada tahun
2012, dari total 0,13 juta kasus kusta di India, 9,7% di antaranya ialah anak-anak.2 Berdasarkan
jenis kelamin anak laki-laki lebih banyak daripada perempuoan dengan rasio 2:1.3
Indonesia masih menjadi penyumbang kasus kusta nomor 3 terbanyak di dunia, setelah India
dan Brasil. Pada tahun 2011, Indonesia melaporkan 20.023 kasus baru kusta. Berdasarkan angka
tersebut, jumlah kasus dengan kecacatan tingkat 2, yaitu cacat yang kelihatan, berjumlah 2.025
orang. Menurut World Health Organization (WHO), bahwa di dunia kasus penderita kusta yang
dilaporkan sebanyak 312.036, dan jumlah kasus baru pada pertengahan tahun 2008 dilaporkan
dari 121 negara sebanyak 249.007 kasus.3
Sedangkan di Indonesia jumlah penderita pada tahun 2008 adalah 17.243 kasus. Penyakit
kusta dapat menyebabkan deformitas dan kecacatan, dimana hal ini timbul akibat beberapa
faktor resiko antara lain tipe penyakit kusta, lamanya penyakit aktif dan jumlah batang saraf
yang terkena. Kecacatan yang terjadi pada penderita kusta disebabkan masih kurangnya
pengetahuan/pengertian dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dankecacatan yang
ditimbulkannya.4,5,6
2.3 Etiologi
2.3.1
Penyebab
Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8
m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol 2. Waktu pembelahan Mycobacterium leprae sangat
lama, yaitu 2-3 minggu, kuman ini dapat bereproduksi optimal pada suhu 27C 30C secara in
vivo, tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung,
cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis), dan tidak mengenai
area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.1
Gambar
2.1
Mycobacterium leprae
2.3.2
Sumber Penularan
Manusia adalah satu-satunya sumber penularan.2
2.3.3
Cara penularan
Mycobacterium leprae mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi dapat
juga berlangsung hingga 40 tahun. Penularan dapat terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup)
keluar dari tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini dapat
terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien, akan tetapi pasien yang sudah
mengkonsumsi MDT tidak menjadi sumber penularan.1,2
2.3.4
Cara masuk M. leprae adalah melalui saluran pernafasan bagian atas atau melalui kontak
kulit.1,2
2.3.5
Pejamu
Hanya sedikit orang yang terjangkit lepra setelah kontak dengan pasien lepra, hal ini
disebabkan oleh adanya kekebalan tubuh seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause,
kehamilan serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit
lepra.1
2.4 Patogenesis
M.
leprae
berpredileksi
di
daerah-daerah
tubuh
yang
relatif
lebih
dingin.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun
yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang
dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M.
leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae
pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan
nontoksis.7
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell)
dan melalui dua sinyal yaitu sinyal pertama dan sinyal kedua. Sinyal pertama adalah tergantung
pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada
permukaan APC sedangkan sinyal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada
permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.
Adanya kedua sinyal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1
dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.7
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag
(fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan dengan C3 melalui
reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain
itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil
yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan
growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus
diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk
granuloma.7
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL
4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan
IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.7
Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.7
2.5 Manifestasi Klinis
Pada kusta, didaptkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah cukup untuk
menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang anestesi , penebalan saraf
perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 40
tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama
kali mengenai sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa
terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan
bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot,
nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul
kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90% pasien biasanya mengalami
keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat
membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada
tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal
tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah
mata, testis, dagu, cuoing hidung, daun telinga, dan lutut. 1 Perubahan saraf tepi yang terjadi
dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior,
radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa
tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan
sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi
panas dan dingin, serta nyeri dan raba).1
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate dan
tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).
Tabel 2.1 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO2
Lesi
kulit
(makula
infiltrate,
PB (Pausibasilar)
MB (Multibasilar)
1-5 lesi
>5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi
lebih
simetris
Kerusakan
Hilangnya
jelas
kurang jelas
BTA
Negatif
Positif
Tipe
Indeterminate
(I),
Lepromatosa
Tuberkuloid
(T),
Borderline lepromatous
tuberkuloid
saraf
(menyebabkan
sensasi
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
Borderline
(BT)
(LL),
(BB)
sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika imunitas menurun, maka
akan berubah menjadi bentuk yang lain.
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem
dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa, dan kepala.
Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah
mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi lebih
kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di pinggirnya.
Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf tidak terlalu membesar
dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya
bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif menuju bentuk
lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut juga dimorfik
dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi sangat bervariasi baik
ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yaitu hipopigmentasi
yang oval pada bagian tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris.
Dapat terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak
dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi.
f.Lepromatous leprosy (LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus dan
simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik. Hilangnya
rangsang saraf lambat dan progresif.
Tuberkuloid
(TT)
Borderline
Indeterminate
Tuberkuloid (BT)
(I)
Lesi
Bentuk
Makula
atau Makula
makula
dibatasi infiltrat;
infiltrat
Jumlah
saja
Satu
atau Satu
beberapa
Distribusi
dengan
satelit
Terlokasi
lesi Satu
atau
beberapa
dan Asimetris
Bervariasi
asimetris
Permukaan
Kering,skuama
Kering, skuama
Halus
agak
berkilat
Anestesia
Jelas
Jelas
Batas
Jelas
Jelas
BTA
Pada lesi kulit
Negatif
Negatif, atau 1+
Biasanya negatif
Tes Lepromin
Positif lemah
Dapat
positif
Borderline
Mid-borderline
Lepromatosa
(BB)
(BL)
Lesi
Bentuk
plak, Plak,
papul, papul
nodus
Jumlah
lesi
sehat (+)
Simetris
bentuk
Cenderung
Asimetris
kulit
simetris
Permukaan
Halus berkilat
Halus berkilat
Sedikit
berkilap,
Tidak jelas
Tidak jelas
Lebih jelas
Batas
Tidak jelas
Agak jelas
Agak jelas
Banyak
Agak banyak
Biasanya tidak
Tidak ada
BTA
Pada
lesi Banyak
kulit
Sekret
Banyak
hidung
Tes
ada
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
Lepromin
2.6 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis,
dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling
sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Kelainan kulit
pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau
keduanya. Secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu
penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan
menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa
suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di
daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya
alopesia di daerah lesi.1,6
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N.
versikolor sangat superfisialis dan ditemukan terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai
bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus.
Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikuler
dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga ada kalanya penderita
tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut. Kadang-kadang penderita dapat merasakan
gatal ringan, yang merupakan alasan berobat.1
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi, yaitu faktor herediter, penderita yang sakit
kronik atau yang mendapatkan pengobatan steroid dan malnutrisi.1
Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi, lesi kulit dengan
lampu Wood dan sediaan langsung. Pada pemeriksaan lampu Wood, berwarna kuning keemasan
dan pada sediaan langsung kerokan kulit dengan larutan KOH 20% terlihat campuran hifa
pendek dan spora-spora bulat yang dapat berkelompok.1
Obat-obatan yang dapat dipakai untuk penyakit ini misalnya suspensi selenium sulfide
(selsun), salisil spiritus 10%, derivat-derivat azol seperti mikonazol, klotrimazol, isokonazol dan
ekonazol, selain itu juga dapat menggunakansulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%,
tolsiklat, tolnaftat, dan haloprogin.1
Vitiligo
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat yang ditandai dengan adanya makula
putih yang dapat meluas. Penyebab pastinya belum diketahui akan tetapi berbagai faktor
pencetus seperti krisis emosi dan trauma fisik sering dilaporkan. Vitiligo dapat mengenai seluruh
bagian tubuh yang mengandung melanosit, misalnya rambut dan mata.1
Gejala klinisnya berupa makula berwarna putih dengan diameter beberapa milimeter
sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis
yang lain. Kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula apigmentasi. Di dalam
makula vitiligo dapat ditemukan makula dengan pigmentasi normal atau hiperpigmentasi disebut
repigmentasi perifolikular. Kadang-kadnag ditemukan tepi lesi yang meninggi, eritema dan gatal,
disebut inflamator.1
Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama di atas jari,
periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior, dan pergelangan tangan bagian
fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada area yang terkena trauma dapat timnul
vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang-kadang mengenai genital eksterna, puting susu, bibir
dan ginggiva.1
Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis (riwayat timbulnya lesi dan uban yang
timbul dini di keluarga, riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes melitus, dan
anemia pernisiosa, kemungkinan faktor pencetus, dan riwayat inflamasi, iritasi atau ruam kulit
sebelum bercak putih), gambaran klinis, pemeriksaan histopatologi dengan hematoksilin eosin
(HE) dan dengan pemeriksaan biokimia.1
Penderita vitiligo dianjurkan untuk menggunakan kamuflase agar kelainan tersebut
tertutup dengan cover mask. Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksipsoralen dengan gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung ultraviolet
gelombang panjang (ultraviolet A).1
Pemeriksaan Fungsi Saraf 7
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien. Kapas
disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang
disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan
mata pasien tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan bagian
tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau
tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin. Tabung reaksi
disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau
dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu:
makrofag akan mampu memfagosit M.leprae. Jika berlebihan dan tidak ada lagi kuman yang
difagosit, makrofag akan dapat berubah menjadi sel epiteloid yang kemudian menjadi sel datia
Langerhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Sel Virchow adalah kuman
M.leprae yang sudah ada di dalam dan menjadi tempat berkembang biak. Granuloma adalah
akumulasi makrofag dan derivatnya1.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat
subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah di bawah epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Di daerah ini didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur-unsur tersebut1.
3) Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. antibodi yang terbentuk yaitu antibody anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 6 kD serta 35 kD. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta
ialah:
2.9 Tatalaksana
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan pengobatan penderita.1
Terapi umum :2
1. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan
akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil
obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.
2. Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di seluruh
tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari pertolongan ke
saranan pelayanan kesehatan.
3. Penyakit ini mengganggu saraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika tidak ada
tindakan pencegahan.
4. Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak
mengandung pelembab, bukan detergen.
5. Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah
lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas.
6. Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).
7. Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera mencari
pertolongan medis.
8. Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau
menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam
Terapi khusus :
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. 1
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan
rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan
alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1
DDS (Dapsone)
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat bakteriostatik
dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA.
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah
5 sampai 6 bulan.1,2
Dosis: 100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak.2
Efek samping: nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang
dijumpai pada dosis lazim.2
Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling
ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang
berikatan secara irreversibel.2 Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena
memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi.
Dosis: 600 mg (10 mg/kg bb) setiap bulan, dengan pengawasan.
Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.1,2
Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna
untuk pengobatan reaksi kusta.2
Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain
itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan II.1,2
Efek samping: warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga
mirip ikteru. Efek samping lain yang hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan
gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).1,2
Obat alternatif
Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in vitro. Dosis
optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh
kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan
saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi.2
Minoksiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf
pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.2
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat
membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya
adalah nausea, vomitus dan diare.2
Regimen
pengobatan
kusta
disesuaikan
dengan
yang
direkomendasikan
oleh
Dewasa
Rifampisin
Dapson (DDS)
600 mg/bulan
Diminum
di
depanrumah
petugas kesehatan
Anak-anak
450 mg/bulan
(10-14 th)
Diminum
di
50 mg/hari diminum di
depanrumah
petugas kesehatan
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT sete;ah 6
bulan sampai 9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Bagi kasus PB dengan dosis tunggal
pengobatannya adlaah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg dan Monosiklin
100 mg (ROM) dosis tunggal.2
Rifampisin
Dewasa
600
diminum
Dapson (DDS)
Klofazimin (Lamprene)
depandi rumah
petugas kesehatan
di
depan
petugas
kesehatan diteruskan 50
mg/hari atau 3 kali 100
mg
setiap
minggu,
diminum di rumah
Anak-anak
450
(10-14 th)
diminum
depandi rumah
petugas
di
depan
petugas
kesehatan dilanjutkan dg
50
mg
selang
sehari
diminum di rumah
Selama pengobatan dilakaukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis
minimal selama 3 bulan. Pengobatan untuk kasus MB menurut WHO 1998 adalah 12 dosis
dalam 12 18 bulan. Penderita MB yang resisten rifampisin biasanya akan resisten pula dengan
DDS.dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg/hari atau
minosiklin 100 mg/hari setiap hari selama 18 bulan.2
2.10
Komplikasi
Komplikasi pada kusta, berlawanan dengan luka akibat dari respon imun terhadap
kuman, berasal dari kerusakan saraf tepi atau dari insufisiensi vena. Sekitar seperempat atau
sepertiga dari pasien yang didiagnosa dengan kusta memiliki, atau akan nanti, memiliki penyakit
kronis merupakan akibat dari kerusakan saraf yang ireversibel, biasanya pada tangan atau kaki,
atau juga keterlibatan pada mata. Hancurnya septum nasi pada tipe LL adalah akibat
pembentukan jaringan sikatriks yang mengganti tulang dan kartilago.4
Disabilitas okular
Keratitis bisa muncul akibat dari berbagai faktor termasuk mata kering, insensitivitas
kornea, dan lagoftalmus. Keratitis dan lesi pada bilik mata depan, dapat menyebabkan kebutaan.4
Ekstremitas
Kelemahan akibat rusaknya persarafan pada otot adalah bukti yang nyata pada disabilitas
yang terjadi. Pada kulit, hilangnya sensitifitas nyata terjadi. Ketika benda tajam atau temperatur
tinggi tidak bisa diintepretasikan, maka dapat terjadi luka yang menyebabkan infeksi. Hal ini
terjadi berulang dan dberakibat destruksi berat pada jaringan-jaringan tubuh.4
Insufisiensi vena
Akibat keterlibatan endoteliat dari katup vena dalam, yang dapat menyebabkan dermatitis
stasis dan ulkus pada tungkai.4
2.11
Prognosis
Quo ad vitam : bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun bersifat kronik
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. SAI
Umur
: 28 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
No Telepon
: 085263900789
Bangsa
: Indonesia
Suku
: Minang
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tukang Parkir
Status
: Belum Menikah
Tanggal Pemeriksaan
: 6 September 2016
ANAMNESIS
Seorang pasien Laki-laki berusia 28 tahun datang ke Poli Klinik Kulit dan Kelamin
RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk kontrol obat bulan ke 8 pada tanggal 6 September 2016
dengan:
Keluhan Utama:
Bercak-bercak kemerahan mati rasa di wajah, kedua lengan atas dan bawah, kedua tangan, kedua
tungkai atas dan bawah dan kedua kaki sejak 1 tahun yang lalu
Keluhan Tambahan:
Awalnya terdapat bercak kemerahan banyak yang timbul pada tangan sejak 1,5 tahun yang
lalu yang tidak nyeri dan tidak gatal. Namun pasien tidak berobat.
Bercak putih makin banyak mengenai muka, tangan dan kaki sejak 9 bulan yang lalu yang
tidak nyeri dan tidak gatal.
Jari kaki kelingking kiri pasien memendek sejak 8 bulan yang lalu.
Kelima jari kaki kanan dan kiri pasien kaku dan baal sejak 8 bulan yang lalu, pasien masih
bisa berjalan tanpa gangguan.
Jari tangan pasien kaku dan tidak baal sejak 8 bulan yang lalu.
Hidung pasien menjadi mendatar dan sering tersumbat kurang lebih sejak 1,5 tahun yang
lalu.
Riwayat pinggir alis mata rontok dan menipis namun pasien tidak ingat sejak kapan.
Pasien pertama kali berobat ke Puskesmas Mata Air Padang 9 bulan yang lalu diberikan obat
MDT setelah 5 kali minum obat muncul bercak baru yang kemerahan pada kulit, demam,
pegal linu, kemudian pasien dirujuk ke RSUP Dr. M . Djamil.
Telah diobati :
Dengan : DDS, Rifampisin, Klofasimin, Prednison
Berobat sejak : 8 bulan yang lalu
Berobat secara : Teratur
Berobat pengobatan : Membaik
Nenek pasien menderita penyakit dengan kelainan kulit yang sama hingga jari kaki dan
tangan puntung dan meninggal tahun 2006, tidak diobati. Pasien tinggal serumah dengan
neneknya.
PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign :
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Nafas
Status Generalisata
Berat badan
Tinggi badan
IMT
Status gizi
Mata
: 60 kg
: 168 cm
: 21
: Gizi baik
: Konjungtiva tidak anemis, sklerat tidak ikterik
Tertutup sempurna. Madarosis (-), ektropion (-), Entropion (-)
Pemeriksaan Thorak
: Tidak diperiksa
Pemeriksaan Abdomen : Tidak diperiksa
Status Dermatologikus 1
Lokasi
: wajah, kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas dan bawah, kedua kaki.
Distribusi
: Regional
Bentuk
Susunan
: Tidak khas
Batas
Ukuran
: Numular-Plakat
Effloresensi
Jumlah lesi
: > 5 lesi
Gangguan Sensibilitas :
Rasa tusuk
Rasa raba
Rasa suhu
: tidak dilakukan
: Sukar dinillai.
M. Orbiculais oculi
: Kuat/Kuat
: Sedang/Sedang
M. Interoseous dorsalis
: Kuat/Kuat
: Kuat/Kuat
M. Tibialis anterior
: Kuat/Kuat
Kelainan lain-lain :
Madarosis ada.
Status Venerologikus
Tidak diperiksa
Kelainan Selaput
Tidak diperiksa
Kelainan Kuku
Tidak diperiksa
Kelainan Rambut
Tidak ditemukan kelainan.
RESUME
Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 28 tahun dengan keluhan utama bercak-bercak
putih yang berasa baal di tangan dan kaki serta wajah sejak 1 bulan yang lalu, pasien datang
untuk kontrol obat bulan ke 8. Awalnya terdapat bercak putih banyak yang timbul pada tangan
sejak 1 tahun yang lalu yang tidak nyeri dan tidak gatal.Namun pasien tidak berobat. Bercak
putih makin banyak mengenai muka, seluruh tangan dan kaki sejak 9 bulan yang lalu yang tidak
nyeri namun tidak gatal. Pasien sudah berobat ke Puskesmas Mata Air padang 9 bulan yang lalu
diberikan obat MDT setelah meminum obat lima kali muncul bercak baru kemerahan, dengan
demam, malaesse, dan nyeri kemudian dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil. Pasien sudah berobat ke
Poliklinik DR. M. Djamil Padang sejak 8 bulan yang lalu diberikan obat 1 bulan teratur selama 8
bulan. Tidak ada lesi baru, keluhan berkurang. Nenek
kelainan kulit yang sama hingga jari kaki dan tangan puntung dan meninggal tahun 2006, tidak
diobati. Pasien tinggal serumah dengan neneknya. Jari kaki ke lima kiri pasien memendek sejak
8 bulan yang lalu. Kelima jari kaki kanan dan kiri pasien kaku dan tidak berasa sejak 8 bulan
yang lalu, pasien masih bisa berjalan tanpa gangguan. Jari tangan pasien kaku dan tidak berasa
sejak 8 bulan yang lalu. Hidung pasien menjadi mendatar kurang lebih sejak 1,5 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik diperoleh status generalis dalam batas normal, status
dermtologikus tampak lesi pada wajah, kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas dan
bawah, kedua kaki, leher kiri dan kanan, distribusi regional, bentuk bulat -tidak khas, lonjong,
susunan tidak khas, batas tegas tidak tegas, ukuran: numular-plakat, effloresensi makula
eritema, nodul eritema, makula hiperpigmentasi, ekskoriasi,ulkus ukuran 3 x 2 x 0,5 cm dan 2,5
x 1 x 0,25 cm dasar jaringan granulasi, isi pus, tepi tidak rata, dinding tidak bergaung, jaringan
sekitar berupa krusta kehitaman, dan jumlah lesi > 5 lesi. Terdapat gangguan sensibilitas raba,
dan nyeri berupa hipoestesi pada kedua tangan dan kaki, kekuatan otot kuat, dan terdapat
pembesaran saraf pada auricularis magnus, ulnaris dextra sinistra, poplitea lateral dextra dan
sinistra. Terdapat kelainan berupa absorbsi pada jari ke lima kaki kiri,kontraktur di jari ke 4, 5
tangan kanan, xerosis kutis di seluruh tingkai dan lengan, dan facies leonina.
Diagnosis Kerja
Morbus Hansen Tipe Multibasiler dalam terapi MDT MB bulan ke 8 dengan reaksi tipe ENL
Diagnosis Banding
Tidak ada
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan Bakterioskopik
PemeriksaanAnjuran
Pemeriksaan BTA cuping telinga
Pemeriksaan Histopatologik.
Pemeriksaan Serologik.
Biopsi Kulit
Diagnosis
Morbus Hansen Tipe Multibasiler Morbus Hansen Tipe Multibasiler dalam terapi MDT MB
bulan ke 8 dengan reaksi tipe ENL
PENATALAKSANAAN
Umum :
Penjelasan mengenai penyakit pengobatan pada pasien dan keluarga, serta kontrol rutin tiap
bulan ke poliklinik Kulit dan Kelamin, berobat teratur sampai dinyatakan sembuh.
Menjelaskan pada pasien bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat yang berisiko
terjadinya luka, dan luka merupakan tempat masuknya kuman sehingga hindari luka untuk
mencegah timbulnya kecacatan.
Menjelaskan pada pasien bahwa penggunaan Rifampisin menyebabkan warna buang air kecil
berwarna merah sehingga pasien tidak perlu khawatir.
Menjelaskan pada pasien bahwa penggunaan obat MDT dapat menyebabkan kulit lebih
gelap, namun setelah pengobatan selesai maka kulit pasien akan kembali seperti semula.
Menerangkan kepada pasien, jika ada keluarga yang menderita keluhan yang sama segera
dibawa berobat.
Menjelaskan pada pasien bahwa obat DDS menyebabkan anemia sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan darah secara rutin dan pasien perlu mengkonsumsi makanan bergizi.
Menjelaskan kepada pasien bahwa obat hari 1 dimakan 5 kapsul 1 tablet, yang ada paling
atas MDT MB, kemudian seterusnya 1 kapsul dan 1 tablet per hari.
Khusus :
Paket MDT multibasiler :
: bonam
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
BAB 3
DISKUSI
Diagnosis kusta dapat ditegakkan berdasarkan tiga tanda kardinal. Lesi kulit yang mati rasa,
penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf, dan BTA positif. Pada anamnesis didapatkan
keluhan utama bercak-bercak putih yang berasa baal di tangan dan kaki serta wajah sejak 1
bulan yang lalu, pasien datang untuk kontrol obat bulan ke 8. Awalnya terdapat bercak putih
banyak yang timbul pada tangan sejak 1 tahun yang lalu yang tidak nyeri dan tidak gatal.Namun
pasien tidak berobat. Bercak putih makin banyak mengenai muka, seluruh tangan dan kaki sejak
9 bulan yang lalu yang tidak nyeri namun tidak gatal. Pasien sudah berobat ke Puskesmas Mata
Air padang 9 bulan yang lalu diberikan obat MDT setelah meminum obat lima kali muncul
bercak baru kemerahan, dengan demam, malaesse, dan nyeri kemudian dirujuk ke RSUP Dr. M.
Djamil. Pasien sudah berobat ke Poliklinik DR. M. Djamil Padang sejak 8 bulan yang lalu
diberikan obat 1 bulan teratur selama 8 bulan. Tidak ada lesi baru, keluhan berkurang. Nenek
pasien menderita penyakit dengan kelainan kulit yang sama hingga jari kaki dan tangan puntung
dan meninggal tahun 2006, tidak diobati. Pasien tinggal serumah dengan neneknya. Jari kaki ke
lima kiri pasien memendek sejak 8 bulan yang lalu. Kelima jari kaki kanan dan kiri pasien kaku
dan tidak berasa sejak 8 bulan yang lalu, pasien masih bisa berjalan tanpa gangguan. Jari tangan
pasien kaku dan tidak berasa sejak 8 bulan yang lalu. Hidung pasien menjadi mendatar kurang
lebih sejak 1,5 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik diperoleh status generalis dalam batas normal, status dermtologikus
tampak lesi pada wajah, kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas dan bawah, kedua
kaki, leher kiri dan kanan, distribusi regional, bentuk bulat -tidak khas, lonjong, susunan tidak
khas, batas tegas tidak tegas, ukuran: numular-plakat, effloresensi makula eritema, nodul
eritema, makula hiperpigmentasi, ekskoriasi,ulkus ukuran 3 x 2 x 0,5 cm dan 2,5 x 1 x 0,25 cm
dasar jaringan granulasi, isi pus, tepi tidak rata, dinding tidak bergaung, jaringan sekitar berupa
krusta kehitaman, dan jumlah lesi > 5 lesi. Terdapat gangguan sensibilitas raba, dan nyeri berupa
hipoestesi pada kedua tangan dan kaki, kekuatan otot kuat, dan terdapat pembesaran saraf pada
auricularis magnus, ulnaris dextra sinistra, poplitea lateral dextra dan sinistra. Terdapat kelainan
berupa absorbsi pada jari ke lima kaki kiri,kontraktur di jari ke 4, 5 tangan kanan, xerosis kutis di
seluruh tingkai dan lengan, dan facies leonina. Pemeriksaan BTA 8 bulan yang lalu ditemukan
BTA positif. Berdasarkan data diatas, pasien didiagnosis Morbus hansen tipe multibasiler dalam
pengobatan MDT MB bulan ke 8 dengan reaksi tipe ENL derajat II.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi penjelasan mengenai penyakit, pengobatan pada
pasien dan keluarga, serta kontrol rutin tiap bulan ke poliklinik Kulit dan Kelamin, berobat
teratur sampai dinyatakan sembuh. Menjelaskan pada pasien bahwa daerah yang mati rasa
merupakan tempat yang berisiko terjadinya luka, dan luka merupakan tempat masuknya kuman
sehingga hindari luka untuk mencegah timbulnya kecacatan, menjelaskan pada pasien bahwa
penggunaan Rifampisin menyebabkan warna buang air kecil berwarna merah sehingga pasien
tidak perlu khawatir. Menjelaskan pada pasien bahwa penggunaan obat MDT dapat
menyebabkan kulit lebih gelap, namun setelah pengobatan selesai maka kulit pasien akan
kembali seperti semula. Menerangkan kepada pasien, jika ada keluarga yang menderita keluhan
yang sama segera dibawa berobat. Terapi khusus yang diberikan berupa MDT untuk kusta tipe
multibasiler. Prognosis pada pasien ini adalah dubia at bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Jakarta:
Bakti Husada; 2012.
2. Dayal R, Sanghi S. Leprosy in children. In: Kar HK, Kumar B, editors. IAL textbook of
leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher (P), 2010; p. 325-34.
3. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010.h. 73-88.
4. Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK. 2005. Jakarta. Frambusia dan Sub Direktorat
Kusta.
5. Kosasih A, Made Wisnu I, Emmy S.J, Linuwih S. M,Kusta,dalam : Juanda, Adhi,Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin.edisi IV. 2005.FKUI, Jakarta.
6. Atlas Kusta. 2004. Sasakawa Memorial Health Foundation. Tokyo, Japan.
7. Lewis
S.
Leprosy.
Update
4
Februari
2010.
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall, 7 September 2016.
8. Wisnu. I made, Emmy S Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam Menaldi, Sri
Linuwih dkk.(ed.) Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta:Balai Penerbit
FKUI;2015.h.87-102
9. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in leprosy.
Diunduh dari: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html, 7 September 2016.
10. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine
7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796
11. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam : Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin
Ed 7. Jakarta: FKUI. 2015. Hal 87-102
12. Bratschi MW, Steinmann P, Wickenden A, Gillis TP. Current knowledge on Mycobacterium
leprae transmission: a systematic literature review. Lepr Rev. 2015. p 142-155
13. Daili ESS, Menaldi Sl, Wisnu IM. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Jakarta: PT
Medical Multimedia Indonesia. 2005. Hal 51-59
14. Wolff K, Goldsmith LA, Katz, SI, Gilchrest BA, PallerAS, et Leffell DJ. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine Ed 7th Vol.2
15. Dogra S, Narang T, Kumar B. Leprosy evolution of the path to eradication. Indian J Med
Res. 2013.p 15-35.
16. Siregar. Saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.