Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

MORBUS HANSEN

Oleh:
Annisa Hidayati Priyono

1210313021

Mitra Nofembri Y

1210312096

Ridhatul Amalia C A

1210313006

Preseptor:
Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2016
BAB 1

PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta merupakan
penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi dan
deformitas. Kusta (lepra atau penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian organ lainnya kecuali susunan saraf pusat. Penyakit yang terjadi bisa
ringan (lepra tuberkuloid) atau berat (lepra lepromatosa). Penderita lepra ringan tidak dapat
menularkan penyakitnya kepada orang lain.1
Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI, namun
jarang di urin. Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan dalam medium buatan
sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek masih belum memungkinkan. Pada sebagian
besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis
dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk
menjadi cacat. Tetapi diagnosis dapat dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang spesifik pada
pasien. Pengobatan pada pasien lepra meliputi terapi dengan satu obat atau dengan kombinasi
(Multi Drug Therapy).1
Oleh karena itu, mengingat kompleksnya masalah penyakit lepra, maka diperlukan
program pengendalian secara terpadu dan menyuluruh melalui strategi yang sesuai dengan
endemisitas penyakit lepra. Selain itu, perlu juga diperhatikan rehabilitas medis dan rehabilitas
sosial ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya. 1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang
diketahui secara jelas melalui gejala klinis serta pemeriksaan bakteriologi dan patologik. Kusta
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menggambarkan transmisi aktif penyakit di
masyarakat dan dianggap penting sebab berpotensi menyebabkan kecacatan yang memberikan
dampak psikososial pada pasien dan keluarganya.2
2.2 Epidemiologi
WHO menemukan proporsi anak yang bervariasi di antara kasus baru yang terdeteksi di
berbagai daerah. Tahun 2007 di Afrika proporsi anak berkisar antara 2,89% di Togo sampai
37,96% di Comorros. Amerika menunjukkan antara 14,02% di Republik Dominika dan 0,32% di
Argentina. Asia menunjukkan antara 3,34% di Nepal sampai 14,1% di Timor Leste. Pada tahun
2012, dari total 0,13 juta kasus kusta di India, 9,7% di antaranya ialah anak-anak.2 Berdasarkan
jenis kelamin anak laki-laki lebih banyak daripada perempuoan dengan rasio 2:1.3
Indonesia masih menjadi penyumbang kasus kusta nomor 3 terbanyak di dunia, setelah India
dan Brasil. Pada tahun 2011, Indonesia melaporkan 20.023 kasus baru kusta. Berdasarkan angka
tersebut, jumlah kasus dengan kecacatan tingkat 2, yaitu cacat yang kelihatan, berjumlah 2.025
orang. Menurut World Health Organization (WHO), bahwa di dunia kasus penderita kusta yang
dilaporkan sebanyak 312.036, dan jumlah kasus baru pada pertengahan tahun 2008 dilaporkan
dari 121 negara sebanyak 249.007 kasus.3
Sedangkan di Indonesia jumlah penderita pada tahun 2008 adalah 17.243 kasus. Penyakit
kusta dapat menyebabkan deformitas dan kecacatan, dimana hal ini timbul akibat beberapa
faktor resiko antara lain tipe penyakit kusta, lamanya penyakit aktif dan jumlah batang saraf
yang terkena. Kecacatan yang terjadi pada penderita kusta disebabkan masih kurangnya
pengetahuan/pengertian dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dankecacatan yang
ditimbulkannya.4,5,6
2.3 Etiologi

2.3.1

Penyebab

Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8
m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol 2. Waktu pembelahan Mycobacterium leprae sangat
lama, yaitu 2-3 minggu, kuman ini dapat bereproduksi optimal pada suhu 27C 30C secara in
vivo, tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung,
cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis), dan tidak mengenai
area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.1

Gambar
2.1

Mycobacterium leprae

2.3.2

Sumber Penularan
Manusia adalah satu-satunya sumber penularan.2

2.3.3

Cara penularan
Mycobacterium leprae mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi dapat

juga berlangsung hingga 40 tahun. Penularan dapat terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup)
keluar dari tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini dapat
terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien, akan tetapi pasien yang sudah
mengkonsumsi MDT tidak menjadi sumber penularan.1,2

2.3.4

Cara masuk ke dalam pejamu

Cara masuk M. leprae adalah melalui saluran pernafasan bagian atas atau melalui kontak
kulit.1,2
2.3.5

Pejamu
Hanya sedikit orang yang terjangkit lepra setelah kontak dengan pasien lepra, hal ini

disebabkan oleh adanya kekebalan tubuh seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause,
kehamilan serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit
lepra.1

2.4 Patogenesis
M.

leprae

berpredileksi

di

daerah-daerah

tubuh

yang

relatif

lebih

dingin.

Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun
yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang
dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M.
leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae
pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan
nontoksis.7
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell)
dan melalui dua sinyal yaitu sinyal pertama dan sinyal kedua. Sinyal pertama adalah tergantung
pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada
permukaan APC sedangkan sinyal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada
permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.
Adanya kedua sinyal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1
dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.7
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag
(fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan dengan C3 melalui
reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain

itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil
yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan
growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus
diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk
granuloma.7
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL
4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan
IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.7
Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.7
2.5 Manifestasi Klinis
Pada kusta, didaptkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah cukup untuk
menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang anestesi , penebalan saraf
perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 40
tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama
kali mengenai sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa
terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan
bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot,
nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul
kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90% pasien biasanya mengalami
keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat
membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada
tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal
tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah
mata, testis, dagu, cuoing hidung, daun telinga, dan lutut. 1 Perubahan saraf tepi yang terjadi
dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior,

radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa
tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan
sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi
panas dan dingin, serta nyeri dan raba).1
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate dan
tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).
Tabel 2.1 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO2

Lesi

kulit

(makula

yang datar, papul yang


meninggi,

infiltrate,

PB (Pausibasilar)

MB (Multibasilar)

1-5 lesi

>5 lesi

Hipopigmentasi/eritema

Distribusi

lebih

simetris

plak eritem, nocus)

Distribusi tidak simetris

Kerusakan

Hilangnya sensasi yang

Hilangnya

jelas

kurang jelas

Hanya satu cabang saraf

Banyak cabang saraf

BTA

Negatif

Positif

Tipe

Indeterminate

(I),

Lepromatosa

Tuberkuloid

(T),

Borderline lepromatous

tuberkuloid

(BL), Mid borderline

saraf

(menyebabkan

sensasi

hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena

Borderline
(BT)

(LL),

(BB)

Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi:3


a. Indeterminate leprosy (I): makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema.
Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan spontan,

sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika imunitas menurun, maka
akan berubah menjadi bentuk yang lain.
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem
dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa, dan kepala.
Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah
mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi lebih
kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di pinggirnya.
Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf tidak terlalu membesar
dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya
bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif menuju bentuk
lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut juga dimorfik
dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi sangat bervariasi baik
ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yaitu hipopigmentasi
yang oval pada bagian tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris.
Dapat terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak
dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi.
f.Lepromatous leprosy (LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus dan
simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik. Hilangnya
rangsang saraf lambat dan progresif.

Tabel 2.2 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB2


Karakteristik

Tuberkuloid
(TT)

Borderline

Indeterminate

Tuberkuloid (BT)

(I)

Lesi
Bentuk

Makula

atau Makula

makula

dibatasi infiltrat;

dibatasi Hanya infiltrat


infiltrat

infiltrat
Jumlah

saja

Satu

atau Satu

beberapa
Distribusi

dengan

satelit

Terlokasi

lesi Satu

atau

beberapa

dan Asimetris

Bervariasi

asimetris
Permukaan

Kering,skuama

Kering, skuama

Halus

agak

berkilat
Anestesia

Jelas

Jelas

Tidak ada sampai


tidak jelas

Batas

Jelas

Jelas

Dapat jelas atau


tidak jelas

BTA
Pada lesi kulit

Negatif

Negatif, atau 1+

Biasanya negatif

Tes Lepromin

Positif kuat (3+)

Positif lemah

Dapat

positif

lemah atau negatif


*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui
setelah 3minggu
Tabel 2.3 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB2
Karakteristik Lepromatosa
(LL)

Borderline

Mid-borderline

Lepromatosa

(BB)

(BL)
Lesi
Bentuk

Makula, infiltrat Makula,


difus,

plak, Plak,

papul, papul

nodus
Jumlah

lesi

kubah, lesi punched


out

Banyak distribusi Banyak tapi kulit Beberapa,


luas, praktis tidak sehat masih ada

sehat (+)

ada kulit sehat


Distribusi

Simetris

bentuk

Cenderung

Asimetris

kulit

simetris
Permukaan

Halus berkilat

Halus berkilat

Sedikit

berkilap,

beberapa lesi kering


Anestesia

Tidak jelas

Tidak jelas

Lebih jelas

Batas

Tidak jelas

Agak jelas

Agak jelas

Banyak

Agak banyak

Biasanya tidak

Tidak ada

BTA
Pada

lesi Banyak

kulit
Sekret

Banyak

hidung
Tes

ada
Negatif

Negatif

Biasanya negatif

Lepromin

2.6 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis,
dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling
sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Kelainan kulit
pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau
keduanya. Secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu
penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan
menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa
suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di
daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya
alopesia di daerah lesi.1,6
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N.

aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis


posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk
tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. 1,6
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk
sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit,
mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama
karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:1,6
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah,
tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi
otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

2.7 Diagnosis Banding


Pitiriasis vesikolor
Disebabkan Malassezia furfur Robin adalah penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya
tidak memberikan keluhan subyektif, berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih
sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat
paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut. Kelainan kulit pitiriasis

versikolor sangat superfisialis dan ditemukan terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai
bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus.
Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikuler
dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga ada kalanya penderita
tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut. Kadang-kadang penderita dapat merasakan
gatal ringan, yang merupakan alasan berobat.1
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi, yaitu faktor herediter, penderita yang sakit
kronik atau yang mendapatkan pengobatan steroid dan malnutrisi.1
Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi, lesi kulit dengan
lampu Wood dan sediaan langsung. Pada pemeriksaan lampu Wood, berwarna kuning keemasan
dan pada sediaan langsung kerokan kulit dengan larutan KOH 20% terlihat campuran hifa
pendek dan spora-spora bulat yang dapat berkelompok.1
Obat-obatan yang dapat dipakai untuk penyakit ini misalnya suspensi selenium sulfide
(selsun), salisil spiritus 10%, derivat-derivat azol seperti mikonazol, klotrimazol, isokonazol dan
ekonazol, selain itu juga dapat menggunakansulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%,
tolsiklat, tolnaftat, dan haloprogin.1
Vitiligo
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat yang ditandai dengan adanya makula
putih yang dapat meluas. Penyebab pastinya belum diketahui akan tetapi berbagai faktor
pencetus seperti krisis emosi dan trauma fisik sering dilaporkan. Vitiligo dapat mengenai seluruh
bagian tubuh yang mengandung melanosit, misalnya rambut dan mata.1
Gejala klinisnya berupa makula berwarna putih dengan diameter beberapa milimeter
sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis
yang lain. Kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula apigmentasi. Di dalam
makula vitiligo dapat ditemukan makula dengan pigmentasi normal atau hiperpigmentasi disebut
repigmentasi perifolikular. Kadang-kadnag ditemukan tepi lesi yang meninggi, eritema dan gatal,
disebut inflamator.1

Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama di atas jari,
periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior, dan pergelangan tangan bagian
fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada area yang terkena trauma dapat timnul
vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang-kadang mengenai genital eksterna, puting susu, bibir
dan ginggiva.1
Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis (riwayat timbulnya lesi dan uban yang
timbul dini di keluarga, riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes melitus, dan
anemia pernisiosa, kemungkinan faktor pencetus, dan riwayat inflamasi, iritasi atau ruam kulit
sebelum bercak putih), gambaran klinis, pemeriksaan histopatologi dengan hematoksilin eosin
(HE) dan dengan pemeriksaan biokimia.1
Penderita vitiligo dianjurkan untuk menggunakan kamuflase agar kelainan tersebut
tertutup dengan cover mask. Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksipsoralen dengan gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung ultraviolet
gelombang panjang (ultraviolet A).1
Pemeriksaan Fungsi Saraf 7
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien. Kapas
disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang
disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan
mata pasien tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan bagian
tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau
tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin. Tabung reaksi
disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau
dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu:

1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)


2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n.
peroneus

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu dalam menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit yang diwarnai dengan Ziehl
Neelsen. Tempat yang akan diambil jaringan untuk pemeriksaan ini adalah kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan infiltratif 1.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril, lesi sebelumnya didesinfeki
kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menajdi iskemik, sehingga kerokan
jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan dibuat mencapai jaringan yang mengandung
sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung kuman M.leprae. kerokan jaringan
dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai. M.leprae tergolong BTA yang
akan tampak sebagai gambaran warna merah pada sediaan. Bentuk batang utuh (solid) adalah
kuman hidup, bentuk batang terputus (fragmented) dan butiran (granular) adalah bentuk mati.
Perbedaan dari ketiga bentuk itu menunjukkan kemampuan penularan kuman M.leprae. Kuman
yang berbentuk solid, berarti kuman tersebut lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dan
dapat menularkan ke orang lain. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sedian dapat dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+
menurut Ridley. Bernilai 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
1 + bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2 + bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3 + bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4 + bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5 + bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6 + bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
2) Pemeriksaan histopatologik
Kuman M.leprae yang berhasil masuk ke dalam tubuh manusia, reaksi yang muncul pada
tubuh orang tersebut bergantung pada Sistem Imun Seluler (SIS). Apabila SIS-nya tinggi,

makrofag akan mampu memfagosit M.leprae. Jika berlebihan dan tidak ada lagi kuman yang
difagosit, makrofag akan dapat berubah menjadi sel epiteloid yang kemudian menjadi sel datia
Langerhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Sel Virchow adalah kuman
M.leprae yang sudah ada di dalam dan menjadi tempat berkembang biak. Granuloma adalah
akumulasi makrofag dan derivatnya1.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat
subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah di bawah epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Di daerah ini didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur-unsur tersebut1.
3) Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. antibodi yang terbentuk yaitu antibody anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 6 kD serta 35 kD. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta
ialah:

Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)


Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)1

2.9 Tatalaksana
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan pengobatan penderita.1

Terapi umum :2
1. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan
akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil
obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.
2. Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di seluruh
tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari pertolongan ke
saranan pelayanan kesehatan.

3. Penyakit ini mengganggu saraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika tidak ada
tindakan pencegahan.
4. Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak
mengandung pelembab, bukan detergen.
5. Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah
lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas.
6. Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).
7. Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera mencari
pertolongan medis.
8. Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau
menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam
Terapi khusus :
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. 1
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan
rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan
alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1
DDS (Dapsone)
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat bakteriostatik
dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA.
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah
5 sampai 6 bulan.1,2
Dosis: 100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak.2
Efek samping: nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang
dijumpai pada dosis lazim.2

Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling
ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang
berikatan secara irreversibel.2 Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena
memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi.
Dosis: 600 mg (10 mg/kg bb) setiap bulan, dengan pengawasan.
Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.1,2
Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna
untuk pengobatan reaksi kusta.2
Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain
itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan II.1,2
Efek samping: warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga
mirip ikteru. Efek samping lain yang hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan
gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).1,2

Obat alternatif
Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in vitro. Dosis
optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh
kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan
saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi.2
Minoksiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan

hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf
pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.2
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat
membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya
adalah nausea, vomitus dan diare.2
Regimen

pengobatan

kusta

disesuaikan

dengan

yang

direkomendasikan

oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:


1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Tabel Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)2,3,4

Dewasa

Rifampisin

Dapson (DDS)

600 mg/bulan

100 mg/hari diminum di

Diminum

di

depanrumah

petugas kesehatan
Anak-anak

450 mg/bulan

(10-14 th)

Diminum

di

50 mg/hari diminum di
depanrumah

petugas kesehatan

Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT sete;ah 6
bulan sampai 9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Bagi kasus PB dengan dosis tunggal
pengobatannya adlaah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg dan Monosiklin
100 mg (ROM) dosis tunggal.2

Tabel Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)2,3,4

Rifampisin
Dewasa

600
diminum

Dapson (DDS)

Klofazimin (Lamprene)

mg/bulan100 mg/hari diminum300 mg/bulan diminum


di

depandi rumah

petugas kesehatan

di

depan

petugas

kesehatan diteruskan 50
mg/hari atau 3 kali 100
mg

setiap

minggu,

diminum di rumah
Anak-anak

450

(10-14 th)

diminum

mg/bulan50 mg/hari diminum150 mg/bulan diminum


di

depandi rumah

petugas

di

depan

petugas

kesehatan dilanjutkan dg
50

mg

selang

sehari

diminum di rumah

Selama pengobatan dilakaukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis
minimal selama 3 bulan. Pengobatan untuk kasus MB menurut WHO 1998 adalah 12 dosis
dalam 12 18 bulan. Penderita MB yang resisten rifampisin biasanya akan resisten pula dengan
DDS.dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg/hari atau
minosiklin 100 mg/hari setiap hari selama 18 bulan.2

Pengobatan ENL (Eritema Nodusum Leprosum)


Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosterois, antara lain prednison.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadangkadang lebih. Makin berat reaksi semakin tinggi fsisnya, tetapi sebaliknya bila rekasinya terlalu
ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi dosisnya diturunkan secara bertahap
sampai berhenti sama sekali. Dapat ditambahakan obat analgetik-antipiretik bila berat, penderita
dapat menjalani rawat inap.2

Pengobatan Reaksi Reversal


Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tifak. Sebab kalau tanpa neuritis akut
tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan utamanya adalah
kortikosteoris yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringatnya neuritis, makin berat makin
tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisosn 40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahanlahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa
kalau diperlukan dapat diberikan.2
Pencegahan cacat dan rehabilitasi
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf,
hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melalukan
pencegahan cacat adalah denganmelakukan diagnosis dini kusta dan pemberian pengobatan yang
cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Usaha
rehabilitasi yang dapat dilakukan antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun
hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.2

2.10

Komplikasi
Komplikasi pada kusta, berlawanan dengan luka akibat dari respon imun terhadap

kuman, berasal dari kerusakan saraf tepi atau dari insufisiensi vena. Sekitar seperempat atau
sepertiga dari pasien yang didiagnosa dengan kusta memiliki, atau akan nanti, memiliki penyakit
kronis merupakan akibat dari kerusakan saraf yang ireversibel, biasanya pada tangan atau kaki,
atau juga keterlibatan pada mata. Hancurnya septum nasi pada tipe LL adalah akibat
pembentukan jaringan sikatriks yang mengganti tulang dan kartilago.4

Disabilitas okular
Keratitis bisa muncul akibat dari berbagai faktor termasuk mata kering, insensitivitas
kornea, dan lagoftalmus. Keratitis dan lesi pada bilik mata depan, dapat menyebabkan kebutaan.4

Ekstremitas
Kelemahan akibat rusaknya persarafan pada otot adalah bukti yang nyata pada disabilitas
yang terjadi. Pada kulit, hilangnya sensitifitas nyata terjadi. Ketika benda tajam atau temperatur
tinggi tidak bisa diintepretasikan, maka dapat terjadi luka yang menyebabkan infeksi. Hal ini
terjadi berulang dan dberakibat destruksi berat pada jaringan-jaringan tubuh.4
Insufisiensi vena
Akibat keterlibatan endoteliat dari katup vena dalam, yang dapat menyebabkan dermatitis
stasis dan ulkus pada tungkai.4

2.11

Prognosis

Quo ad vitam : bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun bersifat kronik

dan membutuhkan pengobatan jangka panjang


Quo ad fungsionam : dubia ad bonam karena MH juga tidak mengakibatkan gangguan
fungsi organ-organ tubuh pada pasien ini, walaupun dapat menyebabkan deformitas pada

beberapa kasus yang terlambat mendapatkan pengobatan


Quo ad sanationam : dubia ad malam
Quo ad Kosmetikum : dubia ad malam

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. SAI

Umur

: 28 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jl. Samudra No. 48, RT IV/RW I, Olo, Padang.

No Telepon

: 085263900789

Bangsa

: Indonesia

Suku

: Minang

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Tukang Parkir

Status

: Belum Menikah

Tanggal Pemeriksaan

: 6 September 2016

ANAMNESIS
Seorang pasien Laki-laki berusia 28 tahun datang ke Poli Klinik Kulit dan Kelamin
RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk kontrol obat bulan ke 8 pada tanggal 6 September 2016
dengan:
Keluhan Utama:
Bercak-bercak kemerahan mati rasa di wajah, kedua lengan atas dan bawah, kedua tangan, kedua
tungkai atas dan bawah dan kedua kaki sejak 1 tahun yang lalu
Keluhan Tambahan:

Awalnya terdapat bercak kemerahan banyak yang timbul pada tangan sejak 1,5 tahun yang
lalu yang tidak nyeri dan tidak gatal. Namun pasien tidak berobat.

Bercak putih makin banyak mengenai muka, tangan dan kaki sejak 9 bulan yang lalu yang
tidak nyeri dan tidak gatal.

Jari kaki kelingking kiri pasien memendek sejak 8 bulan yang lalu.

Kelima jari kaki kanan dan kiri pasien kaku dan baal sejak 8 bulan yang lalu, pasien masih
bisa berjalan tanpa gangguan.

Jari tangan pasien kaku dan tidak baal sejak 8 bulan yang lalu.

Hidung pasien menjadi mendatar dan sering tersumbat kurang lebih sejak 1,5 tahun yang
lalu.

Penglihatan berkurang tidak ada.

Riwayat kelopak mata tidak dapat menutup sempurna tidak ada.

Riwayat pinggir alis mata rontok dan menipis namun pasien tidak ingat sejak kapan.

Pasien pertama kali berobat ke Puskesmas Mata Air Padang 9 bulan yang lalu diberikan obat
MDT setelah 5 kali minum obat muncul bercak baru yang kemerahan pada kulit, demam,
pegal linu, kemudian pasien dirujuk ke RSUP Dr. M . Djamil.

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Penyakit diderita sejak tahun 2015

Telah diobati :
Dengan : DDS, Rifampisin, Klofasimin, Prednison
Berobat sejak : 8 bulan yang lalu
Berobat secara : Teratur
Berobat pengobatan : Membaik

Komplikasi yang sering timbul :


Benjol-benjol merah yang terasa nyeri
Nyeri sendi
Demam
Pasien tidak pernah dirawat di Rumah Sakit sebelumnya

Riwayat kontak dan keluarga

Nenek pasien menderita penyakit dengan kelainan kulit yang sama hingga jari kaki dan
tangan puntung dan meninggal tahun 2006, tidak diobati. Pasien tinggal serumah dengan
neneknya.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat vaksinasi BCG tidak jelas

Pasien tidak pernah menderita bercak-bercak mati rasa sebelumnya.

Pasien tidak pernah menderita penyakit kulit lain sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga/Atopi :

Riwayat bersin-bersin pagi hari tidak ada.

Riwayat alergi makanan tidak ada.

Riwayat alergi obat tidak ada.

Riwayat mata merah, berair, dan gatal tidak ada.

Riwayat asma tidak ada.

PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign :

Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Nafas

: Tidak tampak sakit


: Composmentis cooperatif
: 120/70 mmHg
: 87 x/i
: 20 x/i

Status Generalisata

Berat badan
Tinggi badan
IMT
Status gizi
Mata

: 60 kg
: 168 cm
: 21
: Gizi baik
: Konjungtiva tidak anemis, sklerat tidak ikterik
Tertutup sempurna. Madarosis (-), ektropion (-), Entropion (-)

Pemeriksaan Thorak
: Tidak diperiksa
Pemeriksaan Abdomen : Tidak diperiksa

Status Dermatologikus 1
Lokasi

: wajah, kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas dan bawah, kedua kaki.

Distribusi

: Regional

Bentuk

: Bulat - Tidak khas

Susunan

: Tidak khas

Batas

: Tegas tidak tegas

Ukuran

: Numular-Plakat

Effloresensi

: makula eritema, nodul eritema, makula hiperpigmentasi, ekskoriasi

Jumlah lesi

: > 5 lesi

Gangguan Sensibilitas :
Rasa tusuk

: hipoestesi pada lesi di kedua tangan dan kaki

Rasa raba

: hipoestesi pada lesi di kedua tangan dan kaki

Rasa suhu

: tidak dilakukan

Pembesaran Saraf Perifer :

N. auricularis magnus sinistra

: Terdapat pembesaran , konsistensi kenyal


padat, nyeri.

N. auricularis magnus dextra

: Sukar dinillai.

N. ulnaris dextra dan sinistra

: Terdapat pembesaran konsistensi kenyal


padat, nyeri.

N. poplitea lateral dextra dan sinistra : Terdapat pembesaran konsistensi


kenyal padat, nyeri.

N. tibialis posterior dextra dan sinistra : Sukar dinilai

Tes Kekuatan Otot :

M. Orbiculais oculi

: Kuat/Kuat

M. Abductor digiti minimi

: Sedang/Sedang

M. Interoseous dorsalis

: Kuat/Kuat

M. Abductor pollicis brevis

: Kuat/Kuat

M. Tibialis anterior

: Kuat/Kuat

Kelainan lain-lain :

Kontraktur pada seluruh jari kaki, jari ke 4, 5 tangan kanan

Mutilasi tidak ada

Absorbsi pada jari ke 5 kaki kiri

Atrofi otot tidak ada.

Xerosis kutis ada di seluruh tungkai dan lengan.

Ulkus trofik ada pada telapak kaki kiri

Madarosis ada.

Legopthalmus tidak ada

Claw hand tidak ada.

Ape hand tidak ada.

Wrist drop tidak ada.

Dropped foot tidak ada.

Fasies Leonina ada.

Status Venerologikus
Tidak diperiksa
Kelainan Selaput
Tidak diperiksa
Kelainan Kuku
Tidak diperiksa
Kelainan Rambut
Tidak ditemukan kelainan.

RESUME
Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 28 tahun dengan keluhan utama bercak-bercak
putih yang berasa baal di tangan dan kaki serta wajah sejak 1 bulan yang lalu, pasien datang
untuk kontrol obat bulan ke 8. Awalnya terdapat bercak putih banyak yang timbul pada tangan
sejak 1 tahun yang lalu yang tidak nyeri dan tidak gatal.Namun pasien tidak berobat. Bercak
putih makin banyak mengenai muka, seluruh tangan dan kaki sejak 9 bulan yang lalu yang tidak
nyeri namun tidak gatal. Pasien sudah berobat ke Puskesmas Mata Air padang 9 bulan yang lalu
diberikan obat MDT setelah meminum obat lima kali muncul bercak baru kemerahan, dengan
demam, malaesse, dan nyeri kemudian dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil. Pasien sudah berobat ke
Poliklinik DR. M. Djamil Padang sejak 8 bulan yang lalu diberikan obat 1 bulan teratur selama 8
bulan. Tidak ada lesi baru, keluhan berkurang. Nenek

pasien menderita penyakit dengan

kelainan kulit yang sama hingga jari kaki dan tangan puntung dan meninggal tahun 2006, tidak
diobati. Pasien tinggal serumah dengan neneknya. Jari kaki ke lima kiri pasien memendek sejak
8 bulan yang lalu. Kelima jari kaki kanan dan kiri pasien kaku dan tidak berasa sejak 8 bulan
yang lalu, pasien masih bisa berjalan tanpa gangguan. Jari tangan pasien kaku dan tidak berasa
sejak 8 bulan yang lalu. Hidung pasien menjadi mendatar kurang lebih sejak 1,5 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik diperoleh status generalis dalam batas normal, status
dermtologikus tampak lesi pada wajah, kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas dan
bawah, kedua kaki, leher kiri dan kanan, distribusi regional, bentuk bulat -tidak khas, lonjong,
susunan tidak khas, batas tegas tidak tegas, ukuran: numular-plakat, effloresensi makula
eritema, nodul eritema, makula hiperpigmentasi, ekskoriasi,ulkus ukuran 3 x 2 x 0,5 cm dan 2,5
x 1 x 0,25 cm dasar jaringan granulasi, isi pus, tepi tidak rata, dinding tidak bergaung, jaringan
sekitar berupa krusta kehitaman, dan jumlah lesi > 5 lesi. Terdapat gangguan sensibilitas raba,
dan nyeri berupa hipoestesi pada kedua tangan dan kaki, kekuatan otot kuat, dan terdapat
pembesaran saraf pada auricularis magnus, ulnaris dextra sinistra, poplitea lateral dextra dan
sinistra. Terdapat kelainan berupa absorbsi pada jari ke lima kaki kiri,kontraktur di jari ke 4, 5
tangan kanan, xerosis kutis di seluruh tingkai dan lengan, dan facies leonina.

Diagnosis Kerja
Morbus Hansen Tipe Multibasiler dalam terapi MDT MB bulan ke 8 dengan reaksi tipe ENL
Diagnosis Banding
Tidak ada
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan Bakterioskopik
PemeriksaanAnjuran
Pemeriksaan BTA cuping telinga
Pemeriksaan Histopatologik.
Pemeriksaan Serologik.
Biopsi Kulit
Diagnosis
Morbus Hansen Tipe Multibasiler Morbus Hansen Tipe Multibasiler dalam terapi MDT MB
bulan ke 8 dengan reaksi tipe ENL
PENATALAKSANAAN
Umum :

Penjelasan mengenai penyakit pengobatan pada pasien dan keluarga, serta kontrol rutin tiap
bulan ke poliklinik Kulit dan Kelamin, berobat teratur sampai dinyatakan sembuh.

Menjelaskan pada pasien bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat yang berisiko
terjadinya luka, dan luka merupakan tempat masuknya kuman sehingga hindari luka untuk
mencegah timbulnya kecacatan.

Menjelaskan pada pasien bahwa penggunaan Rifampisin menyebabkan warna buang air kecil
berwarna merah sehingga pasien tidak perlu khawatir.

Menjelaskan pada pasien bahwa penggunaan obat MDT dapat menyebabkan kulit lebih
gelap, namun setelah pengobatan selesai maka kulit pasien akan kembali seperti semula.

Menerangkan kepada pasien, jika ada keluarga yang menderita keluhan yang sama segera
dibawa berobat.

Menjelaskan pada pasien bahwa obat DDS menyebabkan anemia sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan darah secara rutin dan pasien perlu mengkonsumsi makanan bergizi.

Menjelaskan kepada pasien bahwa obat hari 1 dimakan 5 kapsul 1 tablet, yang ada paling
atas MDT MB, kemudian seterusnya 1 kapsul dan 1 tablet per hari.

Khusus :
Paket MDT multibasiler :

Rifampisin 600 mg/bulan


DDS 100 mg/hari
Klofazimin 200 mg/bulan diteruskan 50 mg/3 kali seminggu/bulan

Prednison 15-30 mg sehari


Neurodex 3 x 1 Tab (Vit B1 100mg, B6 200 mg, B12 200mcg)
Zink 1 x 20 mg
Kompres larutan PK 1/5000 pada ulkus
Prognosis
Quo ad vitam

: bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Quo ad kosmetikum : dubia ad malam

BAB 3
DISKUSI
Diagnosis kusta dapat ditegakkan berdasarkan tiga tanda kardinal. Lesi kulit yang mati rasa,
penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf, dan BTA positif. Pada anamnesis didapatkan
keluhan utama bercak-bercak putih yang berasa baal di tangan dan kaki serta wajah sejak 1
bulan yang lalu, pasien datang untuk kontrol obat bulan ke 8. Awalnya terdapat bercak putih
banyak yang timbul pada tangan sejak 1 tahun yang lalu yang tidak nyeri dan tidak gatal.Namun
pasien tidak berobat. Bercak putih makin banyak mengenai muka, seluruh tangan dan kaki sejak
9 bulan yang lalu yang tidak nyeri namun tidak gatal. Pasien sudah berobat ke Puskesmas Mata
Air padang 9 bulan yang lalu diberikan obat MDT setelah meminum obat lima kali muncul
bercak baru kemerahan, dengan demam, malaesse, dan nyeri kemudian dirujuk ke RSUP Dr. M.
Djamil. Pasien sudah berobat ke Poliklinik DR. M. Djamil Padang sejak 8 bulan yang lalu
diberikan obat 1 bulan teratur selama 8 bulan. Tidak ada lesi baru, keluhan berkurang. Nenek
pasien menderita penyakit dengan kelainan kulit yang sama hingga jari kaki dan tangan puntung
dan meninggal tahun 2006, tidak diobati. Pasien tinggal serumah dengan neneknya. Jari kaki ke
lima kiri pasien memendek sejak 8 bulan yang lalu. Kelima jari kaki kanan dan kiri pasien kaku
dan tidak berasa sejak 8 bulan yang lalu, pasien masih bisa berjalan tanpa gangguan. Jari tangan
pasien kaku dan tidak berasa sejak 8 bulan yang lalu. Hidung pasien menjadi mendatar kurang
lebih sejak 1,5 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik diperoleh status generalis dalam batas normal, status dermtologikus
tampak lesi pada wajah, kedua lengan atas dan bawah, kedua tungkai atas dan bawah, kedua
kaki, leher kiri dan kanan, distribusi regional, bentuk bulat -tidak khas, lonjong, susunan tidak
khas, batas tegas tidak tegas, ukuran: numular-plakat, effloresensi makula eritema, nodul
eritema, makula hiperpigmentasi, ekskoriasi,ulkus ukuran 3 x 2 x 0,5 cm dan 2,5 x 1 x 0,25 cm
dasar jaringan granulasi, isi pus, tepi tidak rata, dinding tidak bergaung, jaringan sekitar berupa
krusta kehitaman, dan jumlah lesi > 5 lesi. Terdapat gangguan sensibilitas raba, dan nyeri berupa

hipoestesi pada kedua tangan dan kaki, kekuatan otot kuat, dan terdapat pembesaran saraf pada
auricularis magnus, ulnaris dextra sinistra, poplitea lateral dextra dan sinistra. Terdapat kelainan
berupa absorbsi pada jari ke lima kaki kiri,kontraktur di jari ke 4, 5 tangan kanan, xerosis kutis di
seluruh tingkai dan lengan, dan facies leonina. Pemeriksaan BTA 8 bulan yang lalu ditemukan
BTA positif. Berdasarkan data diatas, pasien didiagnosis Morbus hansen tipe multibasiler dalam
pengobatan MDT MB bulan ke 8 dengan reaksi tipe ENL derajat II.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi penjelasan mengenai penyakit, pengobatan pada
pasien dan keluarga, serta kontrol rutin tiap bulan ke poliklinik Kulit dan Kelamin, berobat
teratur sampai dinyatakan sembuh. Menjelaskan pada pasien bahwa daerah yang mati rasa
merupakan tempat yang berisiko terjadinya luka, dan luka merupakan tempat masuknya kuman
sehingga hindari luka untuk mencegah timbulnya kecacatan, menjelaskan pada pasien bahwa
penggunaan Rifampisin menyebabkan warna buang air kecil berwarna merah sehingga pasien
tidak perlu khawatir. Menjelaskan pada pasien bahwa penggunaan obat MDT dapat
menyebabkan kulit lebih gelap, namun setelah pengobatan selesai maka kulit pasien akan
kembali seperti semula. Menerangkan kepada pasien, jika ada keluarga yang menderita keluhan
yang sama segera dibawa berobat. Terapi khusus yang diberikan berupa MDT untuk kusta tipe
multibasiler. Prognosis pada pasien ini adalah dubia at bonam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Jakarta:
Bakti Husada; 2012.
2. Dayal R, Sanghi S. Leprosy in children. In: Kar HK, Kumar B, editors. IAL textbook of
leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher (P), 2010; p. 325-34.

3. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010.h. 73-88.
4. Modul Pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK. 2005. Jakarta. Frambusia dan Sub Direktorat
Kusta.
5. Kosasih A, Made Wisnu I, Emmy S.J, Linuwih S. M,Kusta,dalam : Juanda, Adhi,Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin.edisi IV. 2005.FKUI, Jakarta.
6. Atlas Kusta. 2004. Sasakawa Memorial Health Foundation. Tokyo, Japan.
7. Lewis
S.
Leprosy.
Update
4
Februari
2010.
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall, 7 September 2016.
8. Wisnu. I made, Emmy S Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam Menaldi, Sri
Linuwih dkk.(ed.) Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta:Balai Penerbit
FKUI;2015.h.87-102
9. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in leprosy.
Diunduh dari: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html, 7 September 2016.
10. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine
7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796
11. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam : Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin
Ed 7. Jakarta: FKUI. 2015. Hal 87-102
12. Bratschi MW, Steinmann P, Wickenden A, Gillis TP. Current knowledge on Mycobacterium
leprae transmission: a systematic literature review. Lepr Rev. 2015. p 142-155
13. Daili ESS, Menaldi Sl, Wisnu IM. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Jakarta: PT
Medical Multimedia Indonesia. 2005. Hal 51-59
14. Wolff K, Goldsmith LA, Katz, SI, Gilchrest BA, PallerAS, et Leffell DJ. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine Ed 7th Vol.2
15. Dogra S, Narang T, Kumar B. Leprosy evolution of the path to eradication. Indian J Med
Res. 2013.p 15-35.
16. Siregar. Saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.

Anda mungkin juga menyukai