Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

A. ANAMNESIS
I.
IDENTITAS KASUS
a. No. Rekam Medik (RM)
b. Identitas / Jenis Kelamin
c. Tanggal Lahir
d. Umur
e. Alamat
f. Pekerjaan
g. Agama
h. Pendidikan
i. Tanggal pemeriksaan

: 846939
: Ny. K / Perempuan
: 30 / 01 / 1994
: 22 Tahun
: Condet, Jakarta timur
: Ibu Rumah Tangga
: Islam
: SMA
: 24 November 2015

II.

KELUHAN UTAMA
Kedua tangan terasa sangat gatal sejak 1 bulan SMRS

III.

KELUHAN TAMBAHAN
Kedua tangan terasa panas dan perih

IV.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Seorang wanita, berusia 22 tahun, datang ke RS Polri dengan keluhan kedua
tangan terasa sangat gatal sejak 1 bulan SMRS. Keluhan juga di sertai dengan tangan
terasa panas dan perih. Pasien mengatakan kulit sekitar menjadi kering dan pecahpecah. Keluhan dirasakan semakin hari semakin gatal. Gatal tidak dicetuskan oleh
keringat.
1 bulan yang lalu, pasien mencuci pakaian nya sendiri dengan menggunakan
mesin cuci, pasien melakukan pembilasan pakaian terlebih dahulu dengan
menggunakan air yang mengandung detergent, kemudian tidak lama setelah
berkontak dengan air detergent pasien mengatakan kedua tangannya terasa sangat
gatal dan melepuh, awalnya tangan pasien kemerahan kemudian muncul bintik-bintik
merah yang disusul dengan munculnya gelembung-gelembung kecil berisi air di
kedua telapak tangan pasien yang terasa sangat gatal, panas dan perih. Gatal terasa
terus menerus, sampai menjalar ke kedua lengan bawah, leher, pinggul, dan kedua
tungkai bawah pasien yang terkena tumpahan air detergent saat mencuci. Sebelumnya
pasien sudah lama tidak berkontak dengan air detergent, biasanya aktivitas mencuci
baju dilakukan oleh mertua pasien.

Pasien sudah berobat ke dokter umum di berikan obat CTM, Dexametason tab
dan salep yang pasien lupa namanya namun pasien mengatakan tidak ada perbaikan.
V.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pasien mengatakan pertama kali mengalami hal serupa sejak tahun 2013, setiap kali
pasien berkontak dengan air detergent pasien mengeluh gatal. Sebelumnya di obati
keluhan membaik. Riwayat alergi terhadap makanan, dan cuaca dingin di sangkal
oleh pasien. Riwayat penyakit atopi di sangkal oleh pasien.

VI.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada riwayat penyakit serupa pada keluarga. Tidak ada riwayat alergi pada
keluarga. Tidak ada riwayat penyakit atopi pada keluarga.

VII.

RIWAYAT ALERGI
Terdapat riwayat alergi terhadap air detergent pada pasien sejak tahun 2013. Riwayat
alergi terhadap makanan, debu dan cuaca dingin di sangkal oleh pasien.

B. PEMERIKSAAN FISIK
I.
STATUS GENERALIS
Keadaan umum
Kesadaran
Vital sign

II.

Kepala

: Baik
: Komposmentis
: TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
BB : 50 kg
: dalam batas normal

Leher

: dalam batas normal

Dada

: dalam batas normal

Abdomen

: dalam batas normal

Ekstremitas Atas

: dalam batas normal

Ekstremitas Bawah

: dalam batas normal

STATUS DERMATOLOGIS

RR : 24 kali/menit
TB : 155 cm

Lokasi : Regio antebrachii sinistra bagian distal


Eflorosensi : tampak plak hiperpigmentasi multiple dengan diameter terkecil 1 cm
dan diameter terbesar 7 cm, berbatas tidak tegas, pada permukaan ditemukan skuama
kasar dengan likenifikasi, terdapat fissura dan dasar kulit yang eritema.

Lokasi : Regio dorsum manus dextra dan antebrachii dekstra


Eflorosensi : tampak papul-papul milier, multiple, dengan diameter terkecil 0,1 cm
dan diameter terbesar 0,5 cm, berbatas tegas, bentuk sebagian besar bulat.

Lokasi : regio crural dekstra, coxal sinistra dan thoracocervical


Eflorosensi : tampak papul eritema multiple, dengan diameter terkecil 0,01 cm dan
diameter terbesar 0,1 cm, dengan batas tegas, bentuk sebagian besar bulat, dengan
kulit sekitar yang kering, tampak ekskoriasi.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
D. RESUME

Seorang wanita, berusia 22 tahun, datang ke RS Polri dengan keluhan kedua


tangan terasa sangat gatal sejak 1 bulan SMRS. Keluhan juga di sertai dengan tangan
terasa panas, perih, dan kulit sekitar menjadi kering dan pecah-pecah. Keluhan
dirasakan semakin hari semakin gatal. Gatal tidak dicetuskan oleh keringat. 1 bulan
yang lalu, ada riwayat kontak dengan air detergent lalu kedua tangan menjadi sangat
gatal dan melepuh, awalnya tangan pasien kemerahan kemudian muncul bintik-bintik
merah yang disusul dengan munculnya gelembung-gelembung kecil berisi air di
kedua telapak tangan pasien. Gatal menjalar ke kedua lengan bawah, leher, pinggul,
dan kedua tungkai bawah pasien. Pasien sudah berobat ke dokter umum di berikan
obat CTM, Dexametason tab dan salep yang pasien lupa namanya namun pasien
mengatakan tidak ada perbaikan. Pasien pertama kali mengalami hal serupa sejak
tahun 2013 setiap berkontak dengan air detergent. Riwayat alergi makanan (-), asma
(-), penyakit atopi (-). Tidak ada riwayat penyakit serupa dan alergi pada keluarga.
Pada pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pada pemeriksaan dermatologis
tampak plak hiperpigmentasi multiple pada region antebrachii sinistra bagian distal
disertai fissura (+), likenifikasi (+), dengan dasar eritema. Pada region antebrachii
dekstra dan dorsum manus dextra terdapat papul eritema multiple. Pada region crural
dextra, coxal dextra dan thoracoservical tampak papul eritema multiple dengan
ekskoriasi (+).
E. DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis Kontak Alergi ec susp Detergent
F. DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis kontak iritan ec susp detergent
G. PEMERIKSAAN ANJURAN
Patch Test
H. TERAPI
1. Non medikamentosa
- Memberikan informasi kepada pasien bahwa penyakitnya disebabkan oleh proses
imunologis dan bukan penyakit menular.

Memberi edukasi kepada pasien untuk selalu menggunakan perlengkapan / pelindung


tangan dan kaki saat melakukan aktivitas yang bersentuhan dengan allergen (contoh :

memakai boots atau memakai sarung tangan plastik sebelum mencuci baju).
Menasehati pasien untuk tidak menggaruk lesi.

2. Medikamentosa
Sistemik :
Dexametason 0,5 mg 3 x 2 tab
Cetirizine 10 mg 1 x 1 tab
I. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA
DERMATITIS KONTAK ALERGI
a.

Definisi
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari

suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis
kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan
oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau
tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang
cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar
di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk
membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan maupun alergen. DKA
adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering, menjengkelkan, dan menghabiskan
biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja (Occupational Contact
Dermatitis) adalah iritan dan 20% alergi. Namun, data terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa persentase dermatitis kontak akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih
tinggi, berkisar antara 50 dan 60 persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi dari kerja
DKA.
Dermatitis kontak alergi tidak berhubungan dengan atopi. DKA merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi imunologi tipe IV, dimediasi terutama oleh limfosit yang
sebelumnya tersensitisasi, yang menyebabkan peradangan dan edema pada kulit.
b. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak
alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif).
Namun sedikit sekali informasi mengenai prevalensi dermatitis ini di masyarakat.

Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak dengan bahan-bahan
di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh dermatitis kontak akibat kerja (DKAK). Angka
kejadian ini sebenarnya 20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan, sumber dari
National Institute of Occupational Safety Hazards, 2006.
c. Faktor yang mempengaruhi
Dermatitis kontak merupakan penyakit kulit multi faktorial yang dipengaruhi oleh faktor
eksogen dan faktor endogen.
1. Faktor Eksogen
Faktor yang memperparah terjadinya dermatitis kontak sebenarnya sulit diprediksi. Beberapa
faktor berikut dianggap memiliki pengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak.
1. Karakteristik bahan kimia :
Meliputi pH bahan kimia (bahan kimia dengan pH terlalu tinggi > 12 atau terlalu rendah
< 3 dapat menimbulkan gejala iritasi segera setelah terpapar,sedangkan pH yang sedikit
lebih tinggi > 7 atau sedikit lebih rendah < 7memerlukan paparan ulang untuk mampu
timbulkan gejala) , jumlah dankonsentrasi (semakin pekat konsentrasi bahan kimia maka
semakin banyak pulabahan kimia yang terpapar dan semakin poten untuk merusak
lapisan kulit) , beratmolekul (molekul dengan berat < 1000 dalton sering menyebabkan
dermatitis kontak, biasanya jenis dermatitis kontak alergi), kelarutan dari bahan kimia
yang dipengaruhi oleh sifat ionisasi dan polarisasinya (bahan kimia dengan sifat lipofilik
akan mudah menembus stratum korneum kulit masuk mencapai selepidermis
dibawahnya).
2. Karakteristik paparan:
Meliputi durasi yang dalam penelitian akan dinilai dari lama paparan perhari dan lama
bekerja (semakin lama durasi paparan dengan bahan kimia maka semakin banyak pula
bahan yang mampu masuk ke kulitsehingga semakin poten pula untuk timbulkan reaksi),
tipe kontak (kontak melaluiudara maupun kontak langsung dengan kulit), paparan dengan
lebih dari satu jenisbahan kimia (adanya interaksi lebih dari satu bahan kimia dapat
bersifat sinergisataupun antagonis, terkadang satu bahan kimia saja tidak mampu

memberikangejala tetapi mampu timbulkan gejala ketika bertemu dengan bahan lain)
danfrekuensi paparan dengan agen (bahan kimia asam atau basa kuat dalam sekali
paparan bisa menimbulkan gejala, untuk basa atau asam lemah butuh beberapakali
paparan untuk mampu timbulkan gejala, sedangkan untuk bahan kimia yangbersifat
sensitizer paparan sekali saja tidak bisa menimbulkan gejala karena harusmelalui fase
sensitisasi dahulu).
3. Faktor lingkungan:
Meliputi temperatur ruangan (kelembaban udara yang rendah serta suhu yang dingin
menurunkan komposisi air pada stratum korneum yang membuat kulit lebih permeable
terhadap bahan kimia) dan faktor mekanik yang dapat berupa tekanan, gesekan, atau
lecet, juga dapat meningkatkan permeabilitas kulitterhadap bahan kimia akibat kerusakan
stratum korneum pada kulit.
2. Faktor Endogen
Faktor endogen yang turut berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak meliputi:
1. Faktor genetik, telah diketahui bahwa kemampuan untuk mereduksi radikal bebas,
perubahan kadar enzim antioksidan, dan kemampuan melindungi protein dari trauma
panas, semuanya diatur oleh genetik. Dan predisposisi terjadinya suatu reaksi pada tiap
individu berbeda dan mungkin spesifik untuk bahan kimia tertentu.
2. Jenis kelamin, mayoritas dari pasien yang ada merupakan pasien perempuan,
dibandingkan laki-laki, hal ini bukan karena perempuan memiliki kulit yang lebih rentan,
tetapi karena perempuan lebih sering terpapar dengan bahan iritan dan pekerjaan yang
lembab.
3. Usia, anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap bahan kimia, sedangkan
pada orang yang lebih tua bentuk iritasi dengan gejala kemerahan sering tidak tampak
pada kulit.

4. Ras, sebenarnya belum ada studi yang menjelaskan tipe kulit yang mana yang secara
signifikan mempengaruhi terjadinya dermatitis. Hasil studi yang baru, menggunakan
adanya eritema pada kulit sebagai parameter menghasilkan orang berkulit hitam lebih
resisten terhadap dermatitis, akan tetapi hal ini bisa jadi salah, karena eritema pada kulit
hitam sulit terlihat.
5. Lokasi kulit, ada perbedaan yang signifikan pada fungsi barier kulit pada lokasi yang
berbeda. Wajah, leher, skrotum, dan punggung tangan lebih rentan dermatitis.
6. Riwayat atopi, dengan adanya riwayat atopi, akan meningkatkan kerentanan terjadinya
dermatitis karena adanya penurunan ambang batas terjadinya dermatitis, akibat kerusakan
fungsi barier kulit dan perlambatan proses penyembuhan.
7. Faktor lain dapat berupa perilaku individu: kebersihan perorangan, hobi dan pekerjaan
sambilan, serta penggunaan alat pelindung diri saat bekerja
c.

Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti

respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV.
Reaksi hipersensititas di kullit timbulnya lambat (delayed hipersensivitas), umumnya dalam
waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu
mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya
kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang terikat dengan protein,
membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel
langerhans, selanjutnya dipresentasikan oleh sel T. Setelah kontak dengan antigen yang telah
diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdiferensisi dan
berploriferasi memebneetuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Selsel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga
menyebabkab keadaan sensivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama
sampai kulit menjdi sensitif disebut fase induksi tau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu.

Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat
sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase
yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada
kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan
bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang
dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi
umumnya berlangsung antara 24-48 jam.
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama
dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans
akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan
merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi
dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast
dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi
melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel,
kerusakan sel langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2)
oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 dan
sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut
berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga
histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa
mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau
meredakan peradangan.

Skema Patogenesis DKA


Kontak Dengan
Alergen secara
Berulang
Alergen kecil dan
larut dalam
lemak disebut
hapten
Menembus
lapisan corneum

Difagosit oleh sel


Langerhans
dengan
pinositosis
Hapten + HLADR
Membentuk
antigen
Dikenalkan ke
limfosit T melalui
CD4

Sel langerhans
keluarkan sitokin

IL-1, ICAM-1, LFA3,B-7, MHC I dan


II

Sitokin akan
memproliferasi
sel T dan
menjadi lebih
banyak dan
memiliki sel T
Sitokin akan
keluar dari getah
bening
Beredar ke
seluruh tubuh

Individu
tersensitisasi
Fase
Sensitisasi (I)
2-3 minggu

Fase Elitisasi (II)


24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin
inflamasi lebih
kompleks

Proliferasi dan
ekspansi sel T di
kulit

IFN
keratinosit LFA
-1, IL-1, TNF-
Eikosanoid (dari sel
mast dan
keratinosit
Dilatasi vaskuler
dan peningkatan
permeabilitas
vaskuler

Respons klinis DKA

Faktor kemotaktik,
PGE2 dan OGD2, dan
leukotrien B4 (LTB4) dan
eiksanoid menarik
neutrofil, monosit ke
dermis

Molekul larut
(komplemen dan
klinin) ke epidermis
dan dermis

d.

Gejala
Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan

bercak eritema berbatas tegas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel
atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi(basah). Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin jugga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini
sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.
Gejala yang umum dirasakan penderita adalah pruritus yang umumnya konstan dan
seringkali hebat (sangat gatal). DKA biasanya ditandai dengan adanya lesi eksematosa berupa
eritema, udem, vesikula dan terbentuknya papulovesikula; gambaran ini menunjukkan aktivitas
tingkat selular. Vesikel-vesikel timbul karena terjadinya spongiosis dan jika pecah akan
mengeluarkan cairan yang mengakibatkan lesi menjadi basah. Mula-mula lesi hanya terbatas
pada tempat kontak dengan alergen, sehingga corak dan distribusinya sering dapat meiiunjukkan
kausanya,misalnya: mereka yang terkena kulit kepalanya dapat curiga dengan shampo atau cat
rambut yang dipakainya. Mereka yang terkena wajahnya dapat curiga dengan cream, sabun,
bedak dan berbagai jenis kosmetik lainnya yang mereka pakai. Pada kasus yang hebat, dermatitis
menyebar luas ke seluruh tubuh.
e.

Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit
berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan
papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana
atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan,
obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit
kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun

keluarganya. Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti
yang tercantum dalam tabel 1 berikut.
Tabel 1. Penelusuran riwayat pada DKA
Demografi dan riwayat

Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status

pekerjaan

pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,


paparan berulang dari alergen yang didapat saat

Riwayat penyakit dalam

kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.


Faktor genetik, predisposisi

keluarga
Riwayat penyakit

Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-

sebelumnya
Riwayat dermatitis yang

obat yang digunakan, tindakan bedah


Onset, lokasi, pengobatan

spesifik

2. Pe
m
er
ik

saan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi
terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2 Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di
pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan
hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat
kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen
Tabel 2. Berbagai Lokasi Terjadinya DKA
Lokasi
Tangan

Kemungkinan Penyebab
Pekerjaan yang basah (Wet Work) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)

Lengan

dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.


Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu

Ketiak

semen, dan tanaman.


Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada

Wajah

di pakaian.
Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).

Bibir
Kelopak mata

Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.


Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep

Telinga

mata.
Anting

Leher

kacamata, obat topikal, gagang telepon.


Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat

Badan

warna pakaian.
Tekstil, zat warna, kancing logam, karet

yang

terbuat

dari

nikel,

tangkai

(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut


atau pewangi pakaian.
Antiseptik, obat topikal,

Genitalia

nilon,

kondom,

pembalut wanita, alergen yang berada di


Paha dan tungkai bawah

tangan, parfum, kontrasepsi.


Tekstil, kaus kaki nilon,

obat

topikal,

sepatu/sandal.
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati
beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud
kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :
a

Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi
terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak
langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa
berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.

Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien
hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir

Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut,
alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak,
bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan
dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas.
Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena
nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis kontak alergi
subakut pada telinga dan sebagian leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi
terhadap bahan plastik

Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian. Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karet dari

celananya. Terlihat adanya eritema yang berbatas tegas sesuai dengan daerah yang
terkena alergen.

Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut


wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis
kontak yang terjadi pada daerah vulva karena alergi pada cream yang mengandung
neomisin, terlihat eritema.

Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil,
dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada
gambar dermatitis kontak alergi yang terjadi karena Quaternium-15,bahan
pengawet pada pelembab.Kaki mengalami skuama, krusta.

f.

Diagnosis Banding
Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran morfologik

yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermtitis numularis, dermtitis seboroik, atau
psoriris. Diagnosis banding yang utama ialah dengan dermatitits kontak iritan. Dalam keadaan
ini pemeriksn uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah dermatitis tersebut
karena kontak alergi.

Dermatitis kontak iritan, yaitu tidak ada alergen yang dapat dikenali. Sering keadaan ini
hanya dapat dibedakan dari dermatitis kontak alergi dengan uji tempel. DKA dapat
memperparah DKI yang sudah ada sebelumnya

TABEL 3. Perbedaan DKI dan DKA


No.
1.
2.

DKI
Cenderung akut
Semua orang bisa terkena

3.
4.
5.

Lesi awal berupa : makula, eritema,


vesikel, bula, dan erosi.
Penyebab : iritan primer
Tergantung konsentrasi bahan iritan
dan status swar kulit. Terjadi jika
bahan iritan melewati ambang batas

6.

Onset pada saat kontak pertama

DKA
Cenderung kronik
Hanya orang tertentu (riwayat alergi/sensitisasi)
yang terkena
Lesi awal berupa : makula, eritema, papula,
melebar dari tempat awal
Penyebab : alergen
Tidak tergantung dengan konsentrasi.
Konsentrasi rendah sekalipun sudah dapat
memicu DKA. Bergantung pada tingkat
sensitisasi
Onset pada saat kontak berulang

Dermatitis Atopik: suatu kondisi yang umumnya terjadi pada siku atau belakang lutut.
Seringkali kelainan ini berhubungan dengan riwayat alergi, asma, dan/atau riwayat
keluarga alergi atau eksim. Dermatitis atopik timbul pada usia kanakkanak, ditandai
dengan kelainan berupa kulit kering dan bersisik yang bersifat simetris.

Dermatitis Numularis: atau eczemadiscoid, suatu kondisi yang biasanya muncul


sesudah cedera minor, misalnya gigitan serangga atau luka bakar. Kelainan kulit ini
dapat terjadi pada segala usia, baik pria maupun wanita. Namun demikian, pada
beberapa anak, kelainan ini merupakan tanda dari dermatitis atopik.

Dermatitis Seboroik: yang disebabkan oleh jamur Malasseziafurfur. Biasanya


kelainan ini hanya terjadi pada kulit yang berambut.

Psoriasis: peradangan pada kulit dengan karakteristik plak dan papula eritema yang
tebal dengan sisik perak. Lokasi predileksi psoriasis termasuk siku, lutut, kulit kepala,
telinga, umbilikus, dan glutealcleft.

Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis
seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis
Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak
alergi.
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang
secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila
dipakai untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila
menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya,
misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak
larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral.
Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila

diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang
dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil
bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan
pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan
alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan
kemungkinan terkena iritasi.

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien


Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau
berat dapat terjadi reaksi angry back atau excited skin reaksi positif palsu,
dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin
memburuk.
2) Tes dilakukan

sekurang-kurangnya

satu

minggu

setelah

pemakaian

kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel


dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis
ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu.
Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali
diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua
dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif

palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan


menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria type), karena
dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada
penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang
diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito,
2010):
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

T.R.U.E. Test
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam


Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi,
biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk
membantu membedakan antara respons alergik atau iritasi, dan juga

mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien
untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi.
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan
setelah pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih jelas antara
pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi
tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi tipe
decrescendo).
b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara :
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan
cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak
perlu diikut sertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer
yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik
biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan
subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya
formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan adalah Hematoksilin-Eosin (HE). Ada
pula yang menggunakan pewarnaan oersein dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal
jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam cairan fiksasi.
Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi
dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis
epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik.
1) Epidermis :

a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.


b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai dengan
penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.
2) Dermis :
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi


Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal, spongiosis
sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat
infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi dari
papila epidermis.
3. Gold Standard Diagnosis
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji
tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan
uji tempel diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System
Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat
berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari
rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan ini yang
bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun jarang dapat memberikan efek
toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar,

apalagi dengan bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui.
h. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta tidak
menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang
bersentuhan dengan alergen
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris,
pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan
terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul.
Terapi Topikal
Untuk dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau
vesikel, serta eksudatif (madidans), kelainan kulit dikompres beberapa kali sehari selama 15-20
menit. Dapat menggunakan larutan garam faal atau larutan salisil 1:1000, larutan potassium
permanganate 1:10.000, larutan Burowi (aluminium asetat) 1:20-1:40. Kompres dihentikan
apabila edema telah hilang. Pada beberapa kasus yang lebih berat, diperlukan kortikosteroid
topical dari potensi sedang hingga potensi tinggi. Dapat juga menggunakan formulasi
triamsinolone acetonide 0,1% dalam lotio Sarna (kampor 0,5 %, mentol 0,5%, fenol 0,5%).
Pada keadaan subakut, penggunaan krim kortikosteroid potensi sedang hingga potensi
tinggi merupakan pilihan utama. Sedang kompres terbuka tidak diindikasikan.
Sedangkan untuk lesi kronik, diberikan salap kortikosteroid potensi tinggi atau sangat
tinggi sebagai terapi initialnya. Untuk terapi rumatan dapat digunakan kortikosteroid potensi
rendah. Diberikan juga emolien, seperti gliserin, urea 10%, atau preparat ter untuk lesi yang
likenifikasi dan kering. Pada kondisi likenifikasi yang berat, pemberian kortikosteroid intralesi
dapat memberikan manfaat.
Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda

(setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal


atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus).Golongan makrolaktam yang tidak
mengakibatkan atrofi kulit sehingga aman untuk digunakan di wajah dan mata.
Terapi sistemik
Untuk mengurangi rasa gatal dan peradangan yang moderate dapat diberikan
antihistamin.
-

Klorfeniramin maleat
Dewasa : 3 4 mg / dosis, 2-3 kali / hari
Anak : 0,09 mg / KgBB/ dosis, 3 kali / hari
Difenhidramin
Dewasa : 10 20 mg/dosis, i.m 1-2 kali/hari
Anak : 0,5 mg/KgBB/hari, 1-2 kali/24 jam
Loratadin
Dewasa : 1 tablet / hari
Sedangkan kortikosteoroid oral diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi

peradangan pada keadaan akut yang berat, misalnya prednison 30 mg/hari (dibagi 3dosis).
Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Pada kondisi yang lebih parah,
dimana pekerjaan sehari-hari pasien terganggu dan tidak bisa tidur, dapat diberikan prednison
oral 70mg sebagai dosis initial, yang diturunkan 5-10 mg/hari selama 1-2 minggu.
-

Prednison

Dewasa : 5 10 mg /dosis, 2 -3 kali / hari


Anak : 1 mg / KgBb / hari
- Dexametason
Dewasa : 0,5 1 mg / dosis, 2-3 kali / hari
Anak : 0,1 mg / KgBB / hari
- Triamsinolon
Dewasa : 4 8 mg / dosis, 2-3 kali / hari
Anak : 1 mg / KgBB / hari
Apabila terdapat infeksi sekunder, terdapat fisura, erosi, dan secret purulen dapat
ditambahkan antibiotic misalnya eritromisin 4250-500 mg selama 7-10 hari.
i. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk, 2005). :

a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis


kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada
e.
f.
g.
h.

sabun bilas dengan air


Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain
Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang berisiko

terhadap paparan alergen


j. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang
berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit
sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan kasar
atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus)
k. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis yang
disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia). Faktor
lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari
misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.

DAFTAR PUSTAKA
Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an update. Tersedia
dalam

http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/contact

%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf. Diakses pada tanggal 22


November 2012
Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: FK UI
Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta : FKUI.
Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact Allergy in the
Adult General Population. Denmark : National Allergy Research Centre, Departement of
Dermato-Allergology, Genofte Hospital, University of Copenhagen .
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Haji Adam
Malik

Medan.

Universitas

Sumatra

Utara,

Medan.

Tersedia

dalam

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 11 November


2012.

Anda mungkin juga menyukai