Lapsus Pteregium
Lapsus Pteregium
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. E
Tanggal lahir
: 18 Agustus 1979
Umur
: 37 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Suku/bangsa
: Maluku/Indonesia
Alamat
: Ambon, Maluku
Pekerjaan
: Pegawai swasta
Tanggal pemeriksaan
: 03 Oktober 2016
Tempat pemeriksaan
B. ANAMNESIS
Keluhan utama
Anamnesis terpimpin :
I. INSPEKSI
OD
OS
Lakrimasi (-)
Lakrimasi (-)
Sekret (-)
Sekret (-)
Intak
Intak
Jernih
Jernih
Normal
Normal
10. Pupil
11. Lensa
Jernih
Jernih
II. PALPASI
OD
OS
1. Tensi Okular
Tn
Tn
2. Nyeri tekan
Tidak ada
Tidak ada
3. Massa tumor
Tidak ada
Tidak ada
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
1. Palpebra
2. Apparatus
lakrimalis
3. Silia
4. Konjungtiva
5. Bola mata
6. Mekanisme
muskular
7. Kornea
8. Bilik mata depan
9. Iris
4. Glandula preaurikuler
III.
TONOMETRI
: 15 mmHg/17 mmHg
IV.
V.
VISUS
VI.
COLOR SENSE
VII.
LIGHT SENSE
VIII.
PENYI
NARA
N
OD
OS
Hiperemis (+),
tampak selaput
berbentuk segitiga di
daerah nasal bola
mata dengan apeks
sudah melewati
limbus namun belum
mencapai pupil
Hiperemis (+),
tampak selaput
berbentuk segitiga di
daerah nasal bola
mata dengan apeks
sudah melewati
limbus dan telah
mencapai pupil
2. Kornea
Jernih
Jernih
3. Bilik
mata
depan
Normal
Normal
5. Pupil
6. Lensa
Jernih
Jernih
OBLIK
1. Konjungt
iva
4. Iris
IX.
X.
USG B-SCAN
D. FOTO KLINIS
E. RESUME
Seorang laki-laki, 37 tahun, datang ke klinik mata dengan keluhan rasa
mengganjal pada kedua mata dialami sejak 1 tahun yang lalu sebelum
datang ke klinik. Tampak selaput kecil dan tipis berwarna putih pada kedua
mata. Secara perlahan, selaput tersebut semakin meluas dan terasa
mengganjal. Penglihatan kabur atau berasap tidak ada. Keluhan disertai air
mata yang berlebih sesekali dan perih saat mengedipkan mata, riwayat sering
OD Pterigium stadium II
G. DIAGNOSIS BANDING
Pseudopterigium
Pinguekula
H. RENCANA PENATALAKSANAAN
I. PROGNOSIS
Qua ad vitam
: Bonam
Qua ad sanam
: Bonam
Qua ad visam
: Bonam
J. DISKUSI KASUS
Pasien ini didiagnosis dengan OD Pterigium stadium II dan OS
Pterigium stadium III berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis, didapatkan keluhan adanya rasa
mengganjal pada kedua mata yang dialami sekitar 1 tahun sebelum datang
ke klinik mata.
Pada pemeriksaan slit lamp, pada OD didapatkan adanya jaringan
fibrovaskuler berbentuk segitiga pada konjungtiva dengan tepi apeks
melewati limbus, namun belum mencapai dan menutupi pupil, yang
menunjukkan tanda pterigium stadium II, sedangkan pada OS didapatkan
adanya jaringan fibrovaskuler berbentuk segitiga pada konjungtiva dengan tepi
apeks melewati limbus dan telah mencapai pupil, yang menunjukkan tanda
pterigum stadium III.
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk pterigium.
Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi peradangan.
Bila terjadi peradangan dapat diberikan steroid topikal. Tindakan pembedahan
pada pterigium adalah suatu tindakan definitif untuk mengangkat jaringan
pterigium dengan berbagai teknik operasi.
Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah teknik graft
konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap paling rendah dalam
tingkat rekurensinya. Diharapkan agar penderita sedapat mungkin
menghindari faktor pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari,
angin, dan debu serta rajin merawat dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh
karena itu, dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau topi
pelindung bila keluar rumah atau beraktivitas yang cukup lama terpapar sinar
matahari. Menurut kepustakaan, umumnya pterigium bertumbuh secara
perlahan dan jarang sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna
sehingga prognosisnya baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pterygos yang artinya
sayap (wing). Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan
kornea, bersifat degeneratif dan invasif, dan umumnya bilateral pada sisi
nasal ataupun pada sisi temporal yang meluas ke daerah kornea, biasanya
berbentuk segitiga dengan bagian apeks menghadap ke sentral kornea dan
basis menghadap lipatan semilunar pada cantus. Pterigium mudah meradang
dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan tampak berwarna
kemerahan.1,2,3,4
II. EPIDEMIOLOGI
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim yang panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan
kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan
ekuator yaitu daerah < 370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi
tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan < 2% pada daerah di atas
lintang 400.5
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar
kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk
daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan
prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah
garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.5,6
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigium meningkat terutama dekade ke-2 dan 3 kehidupan dengan insiden
tertinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterigium rekuren sering terjadi pada
umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 2 kali lebih berisiko
ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.3
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola
mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat
ke bola mata baik di bagian atas maupun bawah. Lipatan ini disebut dengan
forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus
sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut
membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang
bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior.
Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat
ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem
lakrimal. Pada bagian lateral, forniks lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.6
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:2,4
1.
Konjungtiva palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan
dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi
zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada
mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara
pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga
terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.
Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva
palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat
vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai
dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata
menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika
mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera di bawahnya dapat divisualisasikan.
Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan
alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva
bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh
kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu
dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang
melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva forniks ini melekat
secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat
longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola
mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.
10
adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini
menjelaskan konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papilar bukan
folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun
dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini
menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius
(kelenjar krause dan wolf ring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar
lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di
forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi
tarsus atas.2,4
IV.
11
12
13
14
4.
PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi,
dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan
faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel
basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF
(vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase,
migrasi sel, dan angiogenesis.8
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular
15
GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti
mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat
timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3
dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
menurun.1,6,8
Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan
di luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral.Penyakit ini
muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya
16
di sisi nasal.tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadangkadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut Stockers line. Pterigium
terdiri dari tiga bagian(1):
1.
Bagian kepala atau apeks, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu
pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi
dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line atau Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini
juga merupakan area kornea yang kering.
2.
3.
17
Gambar 7. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan
terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B) Whitish:
Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan
lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung (1)
VIII.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,
gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di
luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta
dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,2, 6
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke
kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.6
IX.
PENATALAKSANAAN
1
Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi
maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV
dan pemberian air mata buatan (topical lubricating drops).8
Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico,
yaitu:8
18
Menurut Ziegler:
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan
operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam
penanganan pterigium di antaranya adalah:8
1
19
XII.
DIAGNOSIS BANDING
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini
terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea
marginal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada
mata(1, 2).
1) Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal
20
limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena
kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi
tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal (1, 2).
Gambar 8. Pinguekula (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang berbeda
dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.(1, 2)
2) Pseudopterigium
Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang
merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan
dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea (1, 2).
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea,
dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan
dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada
pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada
pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat
adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium,
pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid (1, 2).
21
X. KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium meliputi sebagai berikut:6,12
Pre-operatif:
1
Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah
astigmat karena pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea
akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat
pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan
dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas.
Hal ini diduga akibat tear meniscus antara puncak kornea dan
peninggian pterigium.
Kemerahan
Iritasi
Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (menipis),
dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan
conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat
sementara dan tidak mengancam penglihatan. 12
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
22
XI.
Pterigium rekuren.
PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien
dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.6
23
DAFTAR PUSTAKA
1
Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Dehli: New age
international; 2007. Pg. 51-4, 80-2.
Riordan-Eva Paul, Witcher JP. Vaughan & Asburys oftalmologi umum. 17th ed.
Jakarta: EGC; 2009. Pg. 119.
Ilyas S. Ilmu penyakit mata. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. Pg. 2-7, 117.
Chui J, Coroneo MT, Tat LT, et al. Ophthalmic pterygium. The American
Journal of Pathology; 2011; 178(2): 817-25.
24