Anda di halaman 1dari 8

UJI COBA TERKONTROL KORTIKOSTEROID PADA ANAK DENGAN

CEDERA KOROSIF ESOFAGUS


Abstrak
Pendahuluan
Masih kontroversial apakah terapi kortikosteroid menurunkan pembentukan striktur
esofagus setelah ingesti material kaustik.
Metode
Peneliti melakukan penelitian prospektif selama 18 tahun dimana 60 anak (median usia
2 tahun) dengan cedera esofagus setelah ingesti material kaustik secara acak diberikan
terapi dengan atau tanpa kortikosteroid. Kortikosteroid inisial prednisolon diberikan (2
mg per kilogram per kilogram per hari via intravena) dilanjutkan dengan prednison oral
selama tiga minggu. Seluruh pasien dievaluasi menggunakan esofagoskopi selama 24
jam setelah ingesti. Pasien dengan cedera esofagus sedang atau berat menjalani
pengulangan esofagoskopi dan barium meal selama masa tindak lanjut.
Hasil
Striktur esofagus berkembang pada 10 dari 31 anak yang diterapi dengan kortikosteroid
dan pada 11 dari 29 kontrol (P tidak signifikan). Empat anak dari kelompok steroid dan
tujuh dari kelompok kontrol membutuhkan penggantian esofagus (P tidak signifikan).
Seluruh pasien, kecuali 1 dari 21 pasien dengan striktur mengalami lesi sirkumferensial
pada esofagoskopi inisial.
Kesimpulan
Tidak ditemukan manfaat penggunaan kortikosteroid pada tatalaksana anak yang
menelan material kaustik. Perkembangan striktur esofagus hanya berhubungan dengan
tingkat keparahan cedera korosif.
Material kaustik secara luas digunakan dalam bentuk kristalin dan cairan untuk bahan
pembersih di rumah dan industri sehingga dapat menyebabkan bencana kesehatan
publik. Selain peraturan untuk membatasi konsentrasi material tersebut dan membuat

kemasan aman bagi anak, bayi masih menggapai material walaupun sudah dijauhkan
dari jangkauan,1 sehingga ingesti aksidental masih terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya.2
Penatalaksanaan luka bakar kaustik pada esofagus telah berubah selama dua dekade
terakhir. Kebanyakan penulis merekomenfasikan evaluasi dini cedera esofagus
dibandingkan evaluasi lambat,3-5 dan beberapa peneliti merekomenfasikan dilatasi dini,
sebelum striktur berkembang.3 beberapa penulis merekomenfasikan menggunakan stent
esofagus atau pemasangan pipa nasogastrik untuk periode panjang.6-8 Setelah laporan
oleh Spain et al., yang menyebutkan bahwa kortikosteroid menurunkan respons
inflamatorik pada mencit,9 steroid telah menjadi salh satu dari terapi utama. Penelitian
eksperimental oleh Haller dan Bachman10 dan Knox et al. menunjukkan penurunan
insiden striktur setelah cedera basa. Penggunaan steroid untuk pencegahan striktur pada
pasien telah diklaim oleh beberapa peneliti.5,12-15 Steroid berhubungan dengan efek
samping serius, yang paling utama adalah peningkatan kerentanan terhadap infeksi, dan
banyak peneliti mempertayakan efikasi steroid dalam pecegahan striktur setelah cedera
esofagus berat.16-20 Beberapa penelitian didedikasikan untuk pertimbangan pada pasien
anak,19,20 dan penggunaan steroid sangat jarang menjadi topik penelitian atau uji coba
terkontrol.5,16
Peneliti melaporkan pengalaman selama 18 tahun dengan 131 anak yang mengingesti
material kaustik. Pada 60 anak dengan cedera esofagus berat, penggunaan steroid
ditentukan berdasarkan pengacakan, dengan 31 pasien mendapat steroid dan 29 pasien
sebagai kontrol.
Metode
Seluruh pasien dengan riwayat ingesti kaustik dari 1971 sampai 1988 diterima di
departemen surgikal. Anak yang diketahui menelan amonia atau pemutih pakaian
(sodium hipokhlorit) dieksklusi dari penelitian, akrena material ini biasanya hanya
menyebabkan luka bakar superfisial dari mukosa dan tidak dilaporkan menyebabkan
striktur pada anak. Pada 131 anak lainnya yang menelan cairan alkali atau asam, usia
pasien, dan jarak antara ingesti dan rawatan rumah sakit, dan tipe serta karakteristik
agen kaustik didokumentasikan.

Esofagoskopi rigid dilakukan di bawah anestesi umum pada 131 pasien dalam 24 jam
setelah ingesti dan biasanya dalam 12 jam. Mulut, orofaring, laring, dan esofagus
dinilai, namun esofagoskop hanya mencapai esofagus sejauh daerah luka bakar berat
pertama. Cedera esofagus diklasifikasikan menjadi: derajat satu, cedera eritema dan
edema; derajat dua, cedera menyebabkan ulserasi dengan jaringan nekrotik dan plak
putih, yang tidak sirkumferensial; dan derajat tiga, cedera menyebabkan ulserasi plak
putih, peluruhan mukosa dengan pola sirkumferensial.21
Pasien yang mengalami luka bakar esofagus diacak untuk mendapat terapi steroid atau
tidak mendapat terapi berdasarkan nomor terakhir dari nomor identitas pasien, pasien
dengan nomor genap mendapatsteroid dan pasien dengan nomor ganjil dimasukkan
dalam kelompok kontrol. Karena hampir seluruh pasien berusia antara 1 sampai 3 tahun,
tidak dilakukan penyesuaian berdasarkan usia. Keputusan untuk menggunakan steroid
atau tidak ditentukan sebelum evaluasi cedera, namun tidak ada terapi yang diberikan
sebelum ditentukan bahwa cedera benar-benar terjadi. Hal ini menyebabkan jumlah
pasien pada tiap kelompok tidak sama. Persetujuan dari orang tua diperoleh dari setiap
kasus, dan penelitian telah disetujui oleh dewan peninjau institusional. Peneliti tidak
disamarkan untuk pengelompokkan pasien.
Pasien pada kelompok yang mendapat terapi steroid diberikan prednisolon (2 mg per
kilogram berat badan per hari) secara intravena, dilanjutkan dengan pemberian oral.
Prednisone 2.5 mg per kilogram per hari diberikan secara oral selama 3 minggu dan
kemudian dilakukan tappering off selama 14 sampai 21 hari. Ampisilin 50 mg per
kilogram per hari diberikan secara intravena, dengan perubahan ke oral setelah makan
ditoleransi. Terapi dengan antibiotik dilanjutkan selama pasien menfapat steroid.
Seluruh pasien dengan derajat cedera bervariasi menjalani pemeriksaan barium meal
dalam beberapa hari dan tiga minggu pasca cedera. Dikarenakan ahli radiologi yang
mengevaluasi hasil tidak mengetahui mengenai penelitian, tidak ada bias pada evaluasi
adanya cedera atau bias mengenai derajat striktur.
Pasien dengan cedera derajat satu pertama kali diberikan cairan dan melanjutkan diet
biasa dalam 24 sampai 48 jam; pasien ditindak lanjut sebagai pasien rawat jalan. Pasien
dengan luka bakar derajat dua atau tiga menjalani barium meal dan esofagoskopi ulang
setelah tiga minggu. Jika pasien tidak mengalami perkembangan striktur, pasien

ditindak lanjut sebagai pasien rawat jalan. Jika pasien menelan cairan alkali industi,
gastrostomy Stamm dilakukan saat evaluasi cedera dan digunakan untuk pemberian
makan dan untuk dilatasi retrograd. Pada pasien lainnya, gastrostomi dilakukan setelah
evaluasi pembentukan striktus dan jika dianggap aman untuk melakukan dilatasi
retrograd.
Striktur diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, atau berat bergantung pada derajat
gangguan lumen esofagus. Striktur ditangani sebagai berikut: striktur ringan didilatasi
via antegrade menggunakan dilator Maloney ketika seberapa dibutuhkan dan dipantau
secara klinis; striktur moderat didilatasi via antegrad secara reguler setiap dua sampai
tingga minggu, dengan interval antar dilatasi meningkat seiring kemampuan pasien
makan makanan padat tanpa disfagia. Dilatasi kemudian dilakukan kapan perlu jika
pasien mengalami disfagia atau tidak dapat menelan makanan padat.
Gastrostomi dengan pengikatan dilakukan setelah tiga minggu pada anak dengan
striktur berat jika tidak dilakukan sebelumnya. Dilatasi retrograd dilakukan
menggunakan dilator Tucker22 secara reguler dan kemudian diganti dengan dilatasi
antegrad sampai jaringan parut melunak dan setelah dilatasi aman untuk dilakukan dari
atas. Pasien yang refrakter setelah usaha dilatasi multipel selama beberapa bulan akan
menjalani penggantian esofagus.
Insiden pembentukan striktur dan kebutuhan untuk penggantian esofagus pada
kelompok steroid dan kontrol dianalisis menggunakan analisis chi square dan uji Fisher
exact. Seluruh nilai P <0.05 dianggap signifikan secara statistik.
Hasil
Sebanyak 131 peserta penelitian yang dianggap menelan material kaustik berusia 11
bulan sampai 17 tahun, dengan usia median lebih dari 2 tahun. Kebanyakan pasien
(88%) berusia 1-3 tahun. Pasien paling tua, 17 tahun, menelan alkali karena percobaan
bunuh diri; cedera lainnya merupakan kecelakaan.
Sebanyak 71 pasien (54%) tidak mengalami cedera esofagus, namun 57 dari pasien
mengalami luka bakar pada mulut. Sebanyak 60 anak (46%) mengalami cedera esofagus
dan seluruhnya mengalami luka bakar pada mulut atau faring. Dua pasien mengalami

obstruksi jalan napas, satu pasien membutuhkan intubasi endotrakeal selama 48 jam.
Pasien lainnya mengami cedera laring berat dan membutuhkan trakeostomi permanen.
Dari 60 luka bakar, 55 kasus disebabkan agen yang diketahui, dan 43 dari kasus (78%)
disebabkan oleh alkali. Tujuh anak mengalami luka bakar kimia karena detergen dan 5
karena asam. Satu anak mengalami luka bakar kimia karena tablet Clinitest. Meskipun
terdapat tren cedera lebih ringan dengan ingesti material kaustik yang solid, perbedaan
derajat cedera pada pasien yang menelan cairan dibandingkan material solid tidak
berbeda secara statistik (gambar 1).
Setelah evaluasi dan klasifikasi luka bakar, 31 anak diterapi dengan steroid langsung
setelah esofagoskopi, dan 29 bertindak sebagai kontrol (lihat Metode). Striktur
berkembang pada 10 dari 31 pasien yang diterapi dengan steroid (tabel 1). Sebanyak 21
psaien yang mendapat steroid dan 18 kontrol tidak mengalami perkembangan striktur
(P>0.05). dengan satu pengecualian, seluruh pasien mengalami luka bakar derajat satu
atau dua.
Tidak ada pasien dengan luka bakar derajat satu yang mengalami striktur. Dari 20
pasien yang mengalami luka bakar derajat dua, hanya satu pasien yang mengalami
strikur. Pasien ini ditangani dengan steroid. Sebanyak 20 dari 21 pasien yang
mengalami cedera derajat tiga mengalami strikturproporsi yang signifikan
dibandingkan dengan pasien dengan luka bakar lebih ringan (P<0.001) (tabel 2).
Penggunaan steroid tidak mengubah insiden striktur di antara pasien dengan luka bakar
derajat tiga (9 dari 10 pasien dari kelompok steroid dan 11 pasien dari kelompok
kontrol). (Tabel 1).
Dari 21 pasien dengan striktur, 11 (52 persen) membutuhkan penggantian esofagus4
pasien diterapi dengan steroid dan 7 kontrol. Dari 11 pasien ini, 7 pasien menjalani
dilatasi multipel sampai 15 bulan, tanpa perubahan menjadi lumen adekuat. Pada 4
pasien lainnya, striktur mengobliterasi lumen esofagus dalam beberapa minggu ingesti
dan tidak dapat didilatasi. Perbedaan antara kedua kelompok, menunjukkan tren yang
mendukung terapi steroid, tidak signifikan secara statistik (tabel 1). Dengan
pembentukan striktur, kebutuhan untuk penggantian esofagus berkorelasi dengan derajat
cedera. Hanya 1 dari 20 pasien dengan cedera derajat dua yang membutuhkan

penggantian (5%), sedangkan 10 dari 21 pasien dengan luka bakar derajat tiga (48%)
mengalami striktur yang tidak dapat didilatasi dan membutuhkan penggantian esofagus
(P<0.0001). Satu pasien dengan cedera derajat dua dan membutuhkan penggantian
esofagus diterapi dengan steroid. Penggantian dilakukan dengan insersi pipa gastrik
pada 7 pasien, interposisi kolon pada tiga pasien, dan reseksi dan anastomose lokal pada
1 pasien.
Pada kelompok yang mendapat terapi steroid, satu pasien mengalami efek samping
serius. Beberapa minggu setelah ingesti material kaustik dan terapi steroid, anak lakilaki usia 3 tahun ditemukan mengalami abses otak yang membutuhkan drainase terbuka.
Pasien tersebut pulih, namun membutuhkan penggantian esofagus setelah dilatasi
esofagus gagal.
Pembahasan
Cedera kaustik pada esofagus masih menjadi masalah kesehatan yang serius pada anak.
Risiko paling tinggi adalah pada anak usia 1 sampai 3 tahun dengan rasa ingin tahu
tinggi, yang mengeksplorasi dunia, dan menolak usaha orang tua untuk membatasi anak
dari berbagai bagian dan bahaya di rumah. Walaupun telah ada peraturan mengenai
konsentrasi yang diizinkan pada pembersih rumah tangga, diperkirakan terdapat 5000
ingesti aksidental agen kaustik per tahun.2 Hal ini merupakan angka yang lebih rendah
dari sebenarnya, dikarenakan hanya 10 persen dari ingesti yang dilaporkan. 1 walaupun
dengan kerja sama produsen kebutuhan rumah tangga, cairan alkali dengan kekuatan
industri dan produk yang serupa masih tersedia di lingkungan rural pada wadah yang
tidak aman untuk anak.23
Penggunaan steroid pada terapi ingesti agen kaustik masih kontroversial. Setelah
laporan pada 1950 oleh Spain et al.9 mengenai efek steroid pada respons inflamatorik
mencit, telah banyak penelitian mengenai efek steroid pada pembentukan striktur
esofagus.3,4,12-21 Haller dan Bachman10 melaporkan penelitian pada kucing menunjukkan
steroid bersamaan dengan antibiotik menurunkan pembentukan striktur, namun efek
steroid pada model binatang belum jelas. 11 Beberapa penelitian terkontrol mengenai
efek steroid5,16 merupakan penelitian singkat dengan sedikit pasien. Sedikit dari
penelitian ini yang dibatasi pada anak.19,20 Penelitian ini mengikutsertakan 131 anak

selama pengalaman 18 tahun melalui uji coba prospektif dan terkontrol. Kedalaman
luka bakar dievaluasi oleh pengamat tunggal yang memiliki kesempatan untuk
mengikuti setiap pasien sampai akhir terapi.
Seluruh pasien yang diperkirakan mengalami luka bakar kimia esofageal menjalani
esofagoskopi dalam 24 jam setelah menelan agen kaustik.4Peneliti menggunakan
anestesi umum endotrakeal pada seluruh kasus untuk menghindari risiko perforasi pada
anak hyang memberontak atau menghindari risiko aspirasi pada anak yang dilakukan
sedasi. Pemeriksaan esofafus dilakukan dengan aman secara dini setelah ingesti jika
esofagoskop dapat lewat namun tidak melewati cedera paling proksimal yang diamati.
Endoskopi fleksibel diklaim lebih aman dibandingkan endoskopi rigid, dan memiliki
keunggulan tambahan untuk mengevaluasi seluruh esofagus sampai lambung dan
duodenum. Anak yang menelam material kaustik karena tidak sengaja, biasanya
berhenti menelan ketika merasa nyeri. Walaupun pada titik ini biasanya sudah sangat
terlambat untuk menghindari cedera esofagus, lambung dan duodenum biasanya masih
terlindungi. Hal ini valid pada serial ini, bahkan pada pasien yang menelan material
asam. Pada individu dewasa, dimana usaha bunuh diri merupakan alasan paling umum
ingesti material kaustik, evaluasi bagian lebih distal disarankan.
Jika terapi steroid bermanfaat, maka terapi ini harus segera dimulai; karena potensi efek
samping obat ini, peneliti tidak mau memberikan pada pasien yang tidak mengalami
cedera esofagus. Seluruh pasien menjalasi esofagoskopi dalam 24 jam setelah cedera
dan sebelum memulai terapi steroid. Hal ini membuat potensi kedua kelompok tidak
setara, dan faktanya lebih banyak pasien dengan luka bakar derajat dua yang masuk
dalam kelompok dengan terapi steroid. Namun demikian, penggunaan steroid
ditentukan untuk setiap pasien sebelum evaluasi. Terdapat jumlah pasien luka bakar
derajat tiga yang sama pada kedua kelompok, dan dikarenakan derajat luka bakar
merupakan faktor yang paling penting terhadap luaran, dua kelompok dapat
dikembangkan, dikarenakan seluruh kecuali 6 pasien berusia 1-3 tahun, tidak
memungkinkan untuk membandingkan luaran pada kelompok usia yang berbeda.
Diamati dari Gambar 1 bahwa terdapat perbedaan antara agen kaustik solid dan cair
dengan derajat cedera, namun perbedaan ini tidak signifikan secara statistik.
Kemungkinan karena material solid lebih sulit untuk tertelan, karena akan menempel di

mulut dan anak akan berhenti menelan saat sensasi nyeri pertama kali. Namun
demikian, anak sering menelan makanannya jika merasa memakan permen dan maka
dari itu anak tidak mampu menghentikan refleks menelan. Jika agen solid mencapai
esofagus, agen ini dapat mencetuskan cedera yang sama seriusnya dengan cedera yang
disebabkan material cair, maka dari iru seluruh pasien membutuhkan evaluasi
menyeluruh.
Dari 60 anak dengan cedera esofagus, 21 anak (35%) mengalami striktur. Dari 21
pasien, 10 ditangani dengan steroid dan 11 tidak, tanpa perbedaan signifikan antara
kedua kelompok. Sebanyak 11 dari 21 anak membutuhkan penggantian esofagus,
termasuk 4 dari 10 anak dari kelompok steroid dan 7 dari 11 anak dari kelompok
kontrol. Pada seluruh anak, faktor penting pada perkembangan striktur adalah derajat
cedera (P<0.001). Meskipun terapi steroid dimulai dalam 24 jam setelah ingesti material
kaustik, penkembangan striktur tidak dipengaruhi dengan penggunaan agen ini. Hanya
satu pasien dengan luka bakar kurang dari derajat tiga yang mengalami striktur. Pada
pasien ini, klasifikasi cedera derajat dua mungkin merupakan kesalahan. Kemungkinan
lainnya, karena peneliti hanya memeriksa lokasi luka bakar yang pertama kali ditemui,
terdapat lesi lebih distal lebih dalam yang tidak diamati. Pada anak dengan striktur yang
mendapat terapi steroid, terdapat tren pergantian esogagus yang lebih jarang (4 dari 10
anak pada kelompok steroid vs. 7 dari 11 anak dari kelompok kontrol. Jumlah pasien
terlalu sedikit, namun demikian, ditemukan perbedaan yang signifikan. Maka, manfaat
steroid pada terapi cedera esofagus tidak terbukti.

Anda mungkin juga menyukai