Anda di halaman 1dari 7

TRYPANOSOMIASIS GAMBIA

Pendahuluan
Trypanosomiasis Gambia adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Trypanosoma gambiense. Penyakit ini disebut juga West African Trypanosomiasis atau
West African Sleeping Sickness.
Parasit ini pertama sekali ditemukan oleh Forde, pada tahun 1901, melalui
pemeriksaan darah tepi dari seorang pasien di Gambia, Afrika barat. Castellani, 1903,
juga menemukan parasit jenis yang sama pada pemeriksaan cairan serebrospinal pada
pasien yang berbeda. Dan oleh Dutton, 1902, parasit tersebut diberi nama Trypanosoma
gambiense. Trypanosoma gambiense merupakan protozoa berflagella yang hidup dalam
darah (Haemoflagellates) dan dikelompokkan dalam family Trypanosomidae.
Lalat tsetse, jantan dan betina, bertindak sebagai vektor pambawa parasit ini,
terutama Glossina palpalis. Lalat ini banyak terdapat di sepanjang tepi-tepi sungai yang
mengalir di bagian barat dan tengah Afrika. Lalat ini mempunyai jangkauan terbang
sampai mencapai 3 mil.
Selain manusia, binatang peliharaan seperti babi, kambing dan sapi serta binatang
liar dapat menjadi hospes resevoir bagi parasit ini. Penyakit ini dapat ditularkan dari
hewan vertebrata ke manusia atau dari manusia ke manusia.
Mobilitas penduduk dunia saat ini sangatlah memungkinkan untuk penyebaran
parasit ini ke berbagai wilayah dunia. Khususnya bagi masyarakat yang mengunjungi
daerah endemik ataupun daerah di luar Afrika yang memiliki vektor pembawa penyakit
ini.
Morfologi
Secara umum Trypanosomidae mempunyai 4 bentuk / morfologi yang berbeda, yaitu
1.

Bentuk Amastigot (Leismanial form)


Bentuk bulat atau lonjong, mempunyai satu inti dan satu kinetoplas serta tidak
mempunyai flagela. Bersifat intraseluler. Besarnya 2-3 mikron.

2.

Bentuk Promastigot (Leptomonas form)


Bentuk memanjang mempunyai satu inti di tengah dan satu flagela panjang yang
keluar dari bagian anterior tubuh tempat terletaknya kinetoplas, belum
mempunyai membran bergelombang, ukurannya 15 mikron.

3.

Bentuk Epimastigot (Critidial form)


Bentuknya memanjang dengan kinetoplas di depan inti yang letaknya di tengah
mempunyai membran bergelombang pendek yang menghubungkan flagela
dengan tubuh parasit, ukurannya 15-25 mikron.

4.

Bentuk Tripomastigot (Trypanosome form)


Bentuk memanjang dan melengkung langsing, inti di tengah, kinetoplas dekat
ujung posterior, flagela membentuk dua sampai empat kurva membran
bergelombang, ukurannya 20-30 mikron
Pada penderita Trypanosomiasis gambia (juga pada hewan vertebrata yang
terinfeksi) umumnya ditemukan bentuk Trypomastigot. Trypomastigot ini memiliki
bentuk mirip bulan sabit dengan ukuran panjang 15-35 mikron dan lebar 1,5 3,5
mikron. Didalamnya terdapat organella antara lain :
1. Inti besar berbentuk lonjong, terletak di tengah dan berfungsi untuk menyediakan
makanan. Disebut juga Troponukleus.
2. Kinetoplas, berbentuk bulat atau batang. Ukuran lebih kecil dari inti dan terletak
di depan atau di belakang inti. Kinetoplas terdiri dari 2 bagian yaitu benda
parabasal dan blefaroplas.
3. Flagela merupakan cambuk halus yang keluar dari blefaroplas dan berfungsi
untuk bergerak.
4. Undulating membrane (membran bergelombang), adalah selaput yang terjadi
karena flagela melingkari badan parasit, sehingga terbentuk kurva-kurva.
Terdapat 3-4 gelombang membran
Pada stadium akhir, di dalam darah penderita, Trypomastigot memiliki beberapa
bentuk yang berbeda, yaitu :

Bentuk panjang dan langsing, memiliki flagela

Bentuk pendek dan lebih gemuk, sebagian tidak berflagela

Bentuk intermediet dengan inti terkadang ditemukan di posterior.

Karena

bentuknya

yang

bervariasi,

trypomastigot

ini

disebut Pleomorphic

trypanosoma. Dalam tahap perkembangannya di dalam vektor, Trypanosoma gambiense


tidak memiliki bentuk Amastigot dan Promastigot.

Daur Hidup
Trypanosoma gambiense mengalami perubahan bentuk morfologi selama siklus
hidupnya. Pleomorfik trypanosoma, yang merupakan bentuk infektif akan terhisap
bersama darah, saat lalat tsetse menggigit penderita. Parasit akan masuk ke dalam saluran
pencernaan vektor dan mengalami beberapa kali perubahan bentuk dan multiplikasi.
Dalam waktu 3 minggu, parasit akan berubah menjadi bentuk Epimastigot. Bentuk
Epimastigot juga mengalami perubahan bentuk menjadi metacyclic form dan memenuhi
kelenjar air liur lalat. Metacyclic form merupakan bentuk infektif pada vektor dan siap
untuk ditularkan ke korban selanjutnya. Waktu yang diperlukan parasit ini untuk
berkembang menjadi bentuk infektif dalam tubuh vektor adalah 20-30 hari. Lalat yang
mengandung bentuk infektif ini akan tetap infektif seumur hidupnya.
Biasanya lalat tsetse menggigit manusia/hewan vertebrata pada siang hari.
Penularan kepada penderita melalui gigitan vektor disebut anterior inoculation. Di dalam
jaringan tempat gigitan tersebut, parasit mengalami proses multiplikasa secara belah
pasang memanjang. Proses multiplikasi, diawali dengan pembelahan blepharoblast dan
parabasal body. Kemudian diikuti pembelahan inti, membran undulating dan terakhir
pembelahan tubuh parasit. Flagella dan axonema tidak ikut membelah, tetapi bentuk baru
berasal dari blepharoblast yang baru terbentuk tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, baik hewan vertebrata maupun manusia,
Trypanosoma gambiense hidup di dalam darah, kelenjar getah bening, limpa dan bahkan
sampai ke susunan saraf pusat.
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala dan tanda penyakit ini dapat bervariasi dan umumnya dibagi atas 3 fase :
1.

Fase awal (Initial stage)


Ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi lokal pada daerah gigitan lalat tsetse.
Reaksi inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk ulkus atau parut ( primary
chancre). Reaksi inflamasi ini biasanya mereda dalam waktu 1-2 minggu.

2.

Fase penyebaran (Haemoflagellates stage)


Setelah fase awal mereda, parasit masuk ke dalam darah dan kelenjar getah
bening (parasitemia). Gejala klinis yang sering muncul adalah demam yang tidak
teratur, sakit kepala, nyeri pada otot dan persendian. Tanda klinis yang sering
muncul antara lain : Lymphadenopati, lymphadenitis yang terjadi pada bagian
posterior kelenjar cervical (Winterbottons sign), papula dan rash pada kulit.

Pada fase ini juga terjadi proses infiltrasi perivascular oleh sel-sel endotel, sel
limfoid dan sel plasma, hingga dapat menyebabkan terjadinya pelunakan jaringan
iskemik dan perdarahan di bawah kulit (ptechial haemorhagic). Parasitemia yang
berat (toksemia) dapat mengakibatkan kematian pada penderita.
3.

Fase kronik (Meningoencephalitic stage)


Pada fase ini terjadi invasi parasit ke dalam susunan saraf pusat dan
mengakibatkan terjadinya meningoenchepalitis difusa dan meningomyelitis.
Demam dan sakit kepala menjadi lebih nyata. Terjadi gangguan pola tidur ,
insomnia pada malam hari dan mengantuk pada siang hari. Gangguan
ekstrapiramidal dan keseimbangan otak kecil menjadi nyata. Pada kondisi yang
lain dijumpai juga perubahan mental yang sangat nyata. Gangguan gizi umumnya
terjadi dan diikuti dengan infeksi sekunder oleh karena immunosupresi. Jumlah
lekosit normal atau sedikit meningkat. Bila tercapai stadium tidur terakhir,
penderita sukar dibangunkan. Kematian dapat terjadi oleh karena penyakit itu
sendiri atau diperberat oleh penyakit lain seperti malaria, disentri, pneumonia atau
juga kelemahan tubuh.
Diagnosa
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnosa adalah :
1. Mengetahui riwayat tempat tinggal dan riwayat bepergian ke daerah endemik.
2. Menemukan tanda dan gejala klinis :

Demam yang bersifat periodik

Dijumpai reaksi inflamasi lokal (primary chancre) pada tempat inokulasi, rash
pada kulit, lympadenopati pada bagian cervical posterior (Winterbottons sign)

Gangguan neurologis, terutama pola tidur (diurnal somnolence, nocturnal


insomnia), gangguan status mental, gangguan keseimbangan otak kecil,
gangguan ekstrapiramidal.

3. Menemukan parasit pada pemeriksaan :

Darah tepi dengan pewarnaan.

Biopsi aspirasi pada primary chancre

Cairan cerebrospinal

4. Pemeriksaan Serologi

ELISA

Immunofluorescent indirek

Prognosa menjadi baik bila segera dilakukan pengobatan sebelum mengenai susunan
saraf pusat. Bila parasit sampai ke dalam susunan saraf pusat, penyakit dapat berkembang
dan menjadi kronis atau bahkan mematikan.
Pengobatan
Pengobatan dapat bervariasi dan biasanya berhasil bila dimulai pada permulaan penyakit.
Bila susunan saraf pusat telah terlibat, biasanya pengobatan kurang baik hasilnya. Obatobat yang sering digunakan antara lain :
1. Eflornithine dengan dosis 400 mg/kg/hari IM atau IV dalam 4 dosis bagi, selama 14
hari dan dilanjutkan dengan pemberian oral 300 mg/kg/hari sampai 30 hari.
2. Suramin dengan dosis 1 gr IV pada hari ke 1,3,7,14,21 dimulai dengan 200 mg untuk
test secara IV. Dosis diharapkan memcapai 10 gram. Obat ini tidak menembus bloodbrain barrier dan bersifat toksis pada ginjal.
3. Pentamadine, dengan dosis 4 mg/kg/hari/hari IM selama 10 hari.
4. Melarsoprol, dengan dosis 20 mg/kg IV dengan pemberian pada hari ke
1,2,3,10,11,12,19,20,21 dan dosis perharinya tidak lebih dari 180 mg. Enchephalopati
dapat muncul sebagai efek pemberian obat ini . Hai ini terjadi oleh karena efek
langsung dari arsenical (kandungan dari melarsoprol) dan juga oleh karena reaksi
penghancuran dari Trypanosma (reactive enchepalopathy). Bila efek tersebut muncul,
pengobatan harus dihentikan.
Eflornithine, Suramin dan Pentamine digunakan pada pasien pada fase awal dan
penyebaran. Sementara Melarsoprol dapat digunakan pada ketiga fase tersebut.
Pencegahan
Pencegahan penyakit ini meliputi :
1. mengurangi sumber infeksi
2. melindungi manusia terhadap infeksi
3. mengendalikan vektor
Pengurangan sumber infeksi dapat dilakukan dengan cara melakukan pengobatan secara
tuntas pada penderita, bahkan memusnahkan hewan vertebrata yang terinfeksi. Kontak
terhadap vektor dapat dihindari dengan menjauhi habitat vektor, memakai pelindung

kepala dan tubuh, menggunakan kelambu serta memakai reppellent. Dan oleh karena
bahayanya penyakit ini, beberapa ahli menyarankan untuk dilakukan skrining serologi
pada semua orang yang beresiko dan yang berasal/keluar dari daerah endemik.
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan mengurangi tempat hidup dan
perindukan vektor. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida
untuk

mengurangi

jumlah

lalat

dewasa.

Profilaksis

secara

umum

tidaklah

direkomendasikan oleh para ahli dan sampai saat ini belum ditemukan vaksin bagi
penyakit ini.

Kepustakaan

1. Faust, E, Russell, P, Clinical Parasitology, 7th ed, Philadelphia, 1964 : 133-143.


2. Brown, H, Dasar Parasitologi Klinis, Ed 3, Jakarta, 1964 : 78-86 ; 441-444
3. Zaman, V, Keong, L,A, Handbook of Medical Parasitology, 3rd ed, Singapore, 1995:
45-48.
4. E, Chan, Trypanosomiasis dan Leismaniasis, Dept of Parasitology & Med
Entomol/Faculty of Medicine UKM
5. Napitupulu, T, Protozoologi Kedokteran, Bagian Parasitologi FK USU, Diktat
Kuliah: 21-24.
6. Prasetyo, H, Protozoologi Kedokteran, Ed 1, Airlangga University Press, 1997 : 3538
7. Salfelder,K, Protozoan Infectios in Man, English Ed, Stuttgart, 1988 : 43-47.
8. Wilson,W, Sande, M, Diagnosis and Treatment in Infectious Diseases, Current,
United State of America, 2001 : 849-852

Anda mungkin juga menyukai