Anda di halaman 1dari 13

KONSEP TRAUMA DAN ANALISIS

A.

Pengertian Traumatic Counseling


Trauma berasal dari kata Yunani yaitu tramatos yang berarti
luka dari sumber luar Tetapi kata trauma bisa juga luka sumber
dalaman yaitu luka emosi, rohani, dan fisik yang disebabkan oleh
keadaan yang mengancam diri kita. Gejala akibat trauma sangat
beragam dan membingungkan. Trauma meninmbulkan kepedihan dan
penderitaan yang bisa berkepanjangan.
Sutirna (2013: 29) mengatakan konseling traumatic adalah
upaya konselor untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui
proses

hubungan

pribadi

sehingga

klien

dapat

memahami

diri

sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha


untuk mengatasinya sebaiknya mungkin.
Jadi, konseling traumatic adalah kebutuhan mendesak untuk
membantu mengatasi beban psikologis yag diderita akibat bencana
maupun hal yang lainnya. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat
kehilangan orang orang yang dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan
kehilangan pekerjaan, bisa mempengaruhi kestabilan emosi para
korban.

Mereka

yang

tidak

kuat

mentalnya

dan

tidak

tabah

menghadapi petaka bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan


berujung pada stress berat yang sewaktu waktu bisa menjadi mereka
lupa ingatan atau gila.
B.
Tujuan Trauma Counseling
Adapun tujuan konseling trauma menurut Sutirna (2013: 30)
yaitu lebih menekankan pada pulihnya kembali klien pada keadaan
sebelum trauma dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan
lingkungan yang baru.
D. Penyebab dari trauma meliputi 2 faktor
1.

Faktor Internal (Psikologis)


Bentuk

gangguan

dan

kekacauan

fungsi

mental,

atau

kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan bereaksinya


mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli
ekstern dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan
fungsi atau gangguan struktur dari satu bagian, satu organ, atau
sistem kejiwaan/mental. Merupakan totalitas kesatuan ekspresi proses

kejiwaan/mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan


dengan

faktor-faktor

kausatif

sekunder

lainnya

(patalogi=ilmu

penyakit).
2. Faktor Eksternal (Fisik)

Faktor

orang

tua

dalam

bersosialisasi

dalam

kehidupan

keluarga, terjadinya penganiyayaan yang menjadikan luka atau


trauma fisik.

Kejahatan atau perbuatan yang tidak bertanggung jawab yang

mengakibat kan trauma Fisik dalam bentuk luka pada badan dan
organ pada tubuh korban.
E.

Proses dan Tahapan dalam Konseling Traumatik


1.
2.

Tahap Awal Konseling (Penghantaran)


Tahap

Kerja

Konseling

(Penjelajahan,

Penafsiran,

Pembinaan)
a.
b.
c.
3.

Penjelajahan
Penafsiran
Pembinaan
Tahap Pengakhiran Konseling
RESPON TRAUMATIK TERHADAP BALITA DAN REMAJA

A. Respon Umum Pada Usia Balita


Pada anak yang berumur di bawah 5 tahun umumnya sulit untuk mengekspresikan
secara verbal apa yang membuat mereka menjadi stress atau mengatakan mereka sedang
stress, namun terdapat beberapa perilaku yang mencerminkan si anak dalam keadaan
stress seperti tidak mau berpisahdengan orang tuanya, lekat terus menerus dan banyak
menangis disbanding biasanya, terdapat perilaku regresif seperti menghisap jempol,
mengompol dan ketakutan akan gelap yang berlebihan, menunjukkan perilaku agresif
seperti menggigit, banyak menangis tanpa sebab yang jelas dan sering terbangun malam
hari tanpa sebab yang jelas.
B. Respon Umum Pada Usia Kanak-Kanak 6-11 tahun
Anak yang berada pada rentang usia 6-11 tahun umumnya sudah memiliki
kemampuan verbal yang cukup baik sehingga mereka mampu mengekspresikan perasaan
dan pikirannya melalui kata-kata. Anak di usia sekolah dasar jika terjadi stress akan
mengalami susah tidur, penurunan nafsu makan atau makan berlebihan, mereka juga
sering berbohong dan menunjukkan prestasi akademik yang buruk.

Setiap anak yang mengalami bencana alam sangat memungkinkan mengalami


masalah psikologis mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat. Kondisi bencana
yang dapat menimbulkan stress dan trauma menurut University of Illinois Extension
Disaster Resources (Megawangi dan Amriel, 2006: 10-11) adalah sebagai berikut:
a. Pengalaman atas kejadian bencana yang menakutkan, menyaksikan tragedi kematian
b.
c.
d.
e.
f.
g.

atau kehancuran.
Hancurnya rumah atau tempat tinggal.
Tempat pengungsian yang padat, tidak nyaman, serta penuh tekanan.
Butuhnya penyesuaian diri di tempat pengungsian, sekolah, kawan baru, dan lainnya.
Terpisah atau kehilangan anggota keluarga.
Tekanan ekonomi akibat kehilangan mata pencaharian.
Orang tua yang juga mengalami stress sehingga kurang mendapatkan perhatian dari

orang tua.
h. Melakukan pekerjaan orang dewasa.
i. Berkurangnya waktu bermain.
C. Respon Umum Pada Remaja
Remaja yang memiliki trauma akan memiliki rasa bersalah yang besar akan
kegagalannya menghindari kejadian yang menyakitkan. Hal ini dapat memunculkan
fantasi balas dendam yang coba disembuhkan dan dapat mengganggu proses pemulihan
dari trauma. Meningkatnya gejala trauma dapat menyebabkan munculnya gejala
gangguan stress paska trauma (PTSD).
Pada usia remaja rentang usia 12-18 tahun sudah mampu untuk berkomunikasi secara
verbal dengan baik, namun mereka seringkali menjadi tidak komunikatif karena periode
remaja merupakan periode kritis, mereka cenderung ingin bebas dari orang tua dan
menyangkal jika mengalami stress. Stess pada usia ini seringkali bermanifestasi dalam
bentuk lari dari tanggung jawab dan tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Remaja
yang mengalami stress juga cenderung untuk melakukan berbagai perilaku beresiko
tinggi yang mungkin saja membahayakan jiwa mereka. Tidak jarang kasusnya remaja
yang mengalami stress juga melakukan tindakan bunuh diri.
CIRI CIRI TRAUMA
A. Gejala gejala trauma
Gejala trauma sebagai berikut secara umum:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mengalami mimpi buruk yang mengecewakan dan menyedihkan


Shock, penolakan dan rasa tidak percaya diri
Marah secara tiba-tiba dan perubahan mood secara tiba-tiba
Rasa bersalah dan malu terhadap diri sendiri
Mengucilkan diri dari pergaulan orang lain
Terbayang-bayang pengalaman mas lalu yang memicu rasa takut

7. Seolah-olah merasakan kembali perasaan negative yang pernah terjadi di masa lalu
8. Selalu menghindari hal-hal yang membuat ingat pada kejadian negative pada masa
lalu
9. Muncul perubahan kepribadian
10. Melakukan pelampiasan, biasanya berupa perilaku negative
B. Proses terjadinya trauma
Transmisi energi pada trauma dapat menyebabkan kerusakan tulang, pembuluh darah
dan organ termasuk fraktur, laserasi, kontusi, dan gangguan pada semua sistem
organ,sehingga tubuh melakukan kompensasi akibat ada trauma bila kompensasi tubuh
tersebut berlanjut tanpa dilakukan penanganan akan mengakibatkan kematian seseorang.
C. Ciri-ciri trauma secara umum
1. Sering mengalami mimpi buruk
2. Merasakan pikiran pikiran yang menakutkan tentang kejadian
yang pernah dialami
3. Berusaha menghindari segala sesuatu yang mengingatkan pada
kejadian
4. Merasa dingin secara emosional
5. Tidak peduli/sulit untuk percaya pada orang lain
6. Sulit tidur
7. Kehilangan minat pada aktifitas yang biasa dilakukan
8. Perasaan bersalah
9. Mudah marah atau agresif
10.
Sulit berkonsentrasi
11.
Takut berada di ruang publik/tempat yang sepi
12.
Cemas
13.
Suasana hati berubah-ubah dengan cepat
14.
Tangisan/kesedihan yang berulang-ulang
Dan semua itu terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berbulanbulan atau bahkan bertahun-tahun.
Cirri-ciri trauma berdasarkan jenis trauma:
1. Cirri-ciri Trauma terhadap kondisi fisik
Pada trauma fisik dapat kita lihat secara nyata seperti :
a. Bekas luka
b. Memar yang parah di berbagai bagian anggota tubuh
c. Terlihat
menjauhi
benda-benda
tajam
yang

dapat

membahayakan fisik
d. Cenderung menghindari tempat yang membahayakan kondisi

2.

fisiknya
e. Gangguan Makan
f. Gangguan tidur
g. Energi yang rendah
h. Merasakan sakit terus-menerus yang tidak bisa dijelaskan
Cirri-ciri Trauma terhadap kognitif

a. Menurun kemampuan konsentrasi terhadap stimulus (misalnya,


pertanyaan harus diulang).
b. Proses pikir yang tidak tertata, misalnya tidak relevan atau
c.
d.
e.
f.

3.

inkoheren.
Minimal 2 dari yang berikut :
Menurunkan tingkat kesadaran.
Gangguan persepsi, Ilusi, halusinasi.
Gangguan tidur, tidur berjalan dan insomnia atau ngatuk pada

siang hari.
g. Meningkat atau Menurun aktivitas psikomotor.
h. Disorientasi, tempat, waktu, orang.
i. Gangguan daya ingat, tidak dapat mengingat hal baru,
j. Penyimpangan memori, terutama tentang trauma
k. Kesulitan membuat keputusan
Cirri-ciri trauma terhadap sosial
1. Merasa gelisah berada di tempat keramaian
2. Merasa takut/cemas untuk bertemu orang baru
3. Selalu merasa takut disituasi dimana anda sedang
diperhatikan/dinilai/dijudge
4. Khawatir akan mempermalukan diri sendiri
5. Khawatir bahwa orang lain akan melihat anda takut/cemas
6. Menghindari dimana anda akan menjadi pusat perhatian
7. Menghindari kegiatan sosial, walaupun kegiatan sosial itu
terlihat menyenangkan
8. Menghindar/bersembunyi ketika ada tamu yang belum dikenal

datang ke rumah
9. Takut/cemas menerima telepon dari orang yang gak dikenal
10. Takut menatap orang lain
11. Sangat susah berbicara di lingkungan social
4. cirri-ciri trauma terhadap emosi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Depresi, menangis secara spontan, putus asa


Kecemasan
Serangan panik
Merasa takut
Kompulsif dan perilaku obsesif
Merasa luar kendali
Lekas marah, marah dan kebencian
Mati rasa emosional
Penarikan dari rutinitas normal dan hubungan

5. Cirri-ciri trauma terhadap perilaku


a. Merasa kebingungan
b. Secara tiba-tiba histeris
c. Stress

d. Banyak melamun
e. Ketakutan.
GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA
A. Pengertian Gangguan Stress Pasca Trauma
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan

sindrom

kecemasan, labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari


pengalaman yang amat pedih setelah stres fisik maupun emosi yang
melampaui batas ketahanan orang biasa. Selain itu, PTSD dapat pula
didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental
secara ekstrem yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar,
atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian
yang mengancam kehidupannya (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2007).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa PTSD
merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian
traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman
kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan
ekstrem, horor, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu
kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat
berlangsung

kronis

dan

berkembang

menjadi

gangguan

stres

pascatrauma yang kompleks dan gangguan kepribadian.


B. Simtom-Simtom Gangguan Stress Pasca Trauma
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk PTSD merinci bahwa gejala
mengalami, menghindari, dan terus terjaga lebih dari 1 bulan. Untuk
pasien yang gejalanya ada, tetapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang
sesuai adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnosis DSM-IV-TR, PTSD
memungkinkan klinisi untuk merinci apakah gangguan tersebut akut
(jika gejala kurang dari 3 bulan) atau kronis (jika gejala telah ada
selama 3 bulan atau lebih). DSM-IV-TR juga memungkinkan klinisi
merinci bahwa gangguan tersebut adalah dengan awitan yang
tertunda jika awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah peristiwa yang
memberikan stres (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2010). Menurut DSM-IVTR, kriteria diagnosis bagi penderita gangguan stres pascatrauma:

1. Kejadian traumatik
a. Satu

atau

banyak

peristiwa

yang

membuat

seseorang

mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu


kejadian yang berupa ancaman kematian, cidera yang serius
sehingga mengancam integritas fisik dirinya sendiri atau
orang lain.
b. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan
ketakutan atau ketidakberdayaan yang sangat kuat.
2. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:
a. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang
dialaminya dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran,
pikiran, persepsi).
b. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang
dialaminya (yang mencemaskan).
c. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian
trauma yang dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi
karena ilusi, haluinasinya).
d. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang
mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan
peristiwa trauma).
3. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan
trauma dan mematikan perasaan/tidak berespon terhadap suatu hal
sehingga akan berdampak pada perubahan rutinitas pribadi (Bison,
J., 2009). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
a.

Kemampuan

untuk

menghindari

pikiran,

perasaan,

percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma.


b.

Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat


membangkitkan

kembali

kenangan

akan

trauma

yang

dialaminya.
c.

Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa


trauma.

d.

Kurangnya

ketertarikan

peristiwa penting.

dalam

berpartisipasi

terhadap

e.

Merasa terasing dari orang di sekitarnya.

f.

Terbatasnya rentang emosi (tidak dapat merasakan cinta dan


dicintai).

g.

Perasaan bahwa masa depannya suram.

4. Gejala hiperarousal yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di


bawah ini:
a.

Sulit untuk memulai tidur/sulit mempertahankannya.

b.

Sulit berkonsentrasi.

c.

Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya.

d.

Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).

e.

Reaksi kaget yang berlebihan.

5. Durasi dari gangguan (gejala di kriteria 2, 3, 4) lebih dari sebulan.


Gangguan/gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan
fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting
lainnya.
4.

Penyebab Gangguan Stress Pasca Trauma


Kejadian trauma akibat ulah manusia antara lain: menjadi korban
banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik, melihat pembunuhan,
perang, dan kejahatan kriminal lainnya di mana ia tinggal. Kejadian
trauma juga dapat terjadi akibat kecelakaan baik, yang menyebabkan
cidera fisik maupun yang tidak. Akan tetapi tidak semua orang akan
mengalami PTSD setelah suatu peristiwa traumatik, karena walaupun
stresor diperlukan, namun stresor sendiri tidaklah cukup untuk
menyebabkan suatu gangguan. Maka dari itu, menurut Kaplan &
Sadock

(2007),

terdapat

beberapa

faktor

lain

yang

harus

dipertimbangkan, diantaranya:
1.

Faktor biologis
Teori biologis pada PTSD telah dikembangkan dari penelitian
praklinik

model

stres

pada

binatang

yang

didapatkan

dari

pengukuran variabel biologis populasi klinis dengan PTSD. Banyak


sistem neurotransmitter telah dilibatkan dalam kumpulan data
tersebut. Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan,

pembangkitan, dan sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan


teori tentang norepinefrin, dopamin, opiate endogen, dan reseptor
benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal.
2. Faktor psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada
perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara
tipikal menimbulkan emosi yang negatif (sedih, marah, takut)
sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem
saraf simpatis (fight or flight response).
Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang
mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma
maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan
merupakan respon refleks yang spesifik.
Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman
kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku
yang tidak disukai dan tidak akan diulangi.
3.

Faktor sosial
Dukungan sosial yang tidak kuat dari keluarga dan lingkungan
meningkatkan

risiko

perkembangan

PTSD

setelah

seseorang

mengalami kejadian traumatik. Macam-macam stresor traumatik:


a. Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian
yang menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa
tanah longsor, terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena
granat atau bom, kepala terpancung, tertembak, pembunuhan
masal atau tindakan brutal di luar batas kemanusiaan.
b. Kematian mendadak/berpisah dari anggota keluarga/orang
yang dikasihi.
c. Berhasil

selamat

dari

tindak

kekerasan,

bencana

alam/kecelakaan hebat.
d. Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman.
e. Mendadak berada dalam keadaan terasing, tercabut dari

lingkungan fisik, budaya, kerabat, teman sebaya yang dikenal.


f. Terputusnya hubungan dengan dunia luar, dilarang melakukan
berbagai adat istiadat atau kebiasaan.
g. Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privasi (hak
pribadi).
h. Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat
tinggal, kesehatan.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON
A. Faktor yang Mempengaruhi Respon (Terhadap Peristiwa Traumatik)
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam perkembangan
PTSD. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon
fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah, denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya
itu mulai hilang maka tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stres dan proses
ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang
cukup untuk menginaktivasi reaksi stres maka kemungkinan kita masih akan
merasakan efek stres dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi
PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang

lebih tinggi

bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan
bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, dimana hormon stres
meningkat dan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan fisik
(Paige, S.R., 2005).
Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah
manusia, ataupun akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam antara lain: menjadi
korban yang selamat dari tsunami, gempa bumi, badai. Kejadian trauma akibat ulah
manusia antara lain: menjadi korban banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik,
melihat pembunuhan, perang, dan kejahatan kriminal lainnya di mana ia tinggal.
Kejadian trauma juga dapat terjadi akibat kecelakaan baik, yang menyebabkan cidera
fisik maupun yang tidak. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami PTSD setelah
suatu peristiwa traumatik, karena walaupun stresor diperlukan, namun stresor sendiri
tidaklah cukup untuk menyebabkan suatu gangguan.
Menurut Weems, et al (2007), terdapat beberapa faktor yang berperan dalam
meningkatkan risiko seseorang mengalami PTSD, antara lain:

a) Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya. Semakin berat trauma
yang dialami dan semakin posisi seseorang dengan suatu kejadian, maka
semakin meningkatkan risiko seseorang tersebut mengalami PTSD.
b) Durasi trauma dan banyaknya trauma yang dialaminya. Semakin lama/kronik
seseorang mengalami kejadian trauma semakin berisiko berkembang menjadi
PTSD. Trauma yang multipel lebih berisiko menjadi PTSD.
c) Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban
semakin berisiko menjadi PTSD. Selain itu, kejadian trauma yang sangat
interpersonal seperti kasus pemerkosaan juga salah satu faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya PTSD.
d) Jenis kelamin. Breslau, et al (1997) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
perempuan dua kali lipat lebih memungkinkan untuk mengalami PTSD.
Hal ini disebabkan oleh rendahnya sintesa serotonin pada perempuan
(Connor & Butterfield, 2003).
e) Status pekerjaan. Status pekerjaan dapat mempengaruhi timbulnya stres dan
lebih

lanjut

akan

mencetuskan

terjadinya

perasaan

tidak

nyaman,

sehingga lebih berisiko untuk menderita PTSD (Tarwoto & Wartonah, 2003).
f) Usia. PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan
usia tua (> 60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan
mengalami PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus jika
dibandingkan

dengan

orang

dewasa,

karena

masih

adanya

rasa

ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan intelektual yang


sedang berkembang, serta kurangnya pengalaman hidup dalam memecahkan
berbagai persoalan sehingga dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian
seseorang.
g) Tingkat pendidikan.

Minimnya

tingkat

pendidikan

seseorang

akan

mempengaruhi tingginya angka kejadian PTSD (Connor & Butterfield, 2003).


h) Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti: depresi, fobia
sosial, gangguan kecemasan. Seseorang yang hidup di tempat pengungsian
(misalnya sedang berada di lokasi peperangan/konflik di daerahnya) dan
kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan juga dapat
mempengaruhi terjadinya PTSD.
KONSELING KRISIS
A. Pengertian Konseling Krisis
Konseling krisis berbeda dengan konseling pada umumnya, pada konseling krisis cara
konselor merespon harus secara cepat untuk menstabilkan dan memberikan jalan untuk

maju kedepan. Fungsi konseling krisis berbeda dengan konseling pada umumnya,
konseling krisis tinjauannya adalah penurunan penderitaan dan peningkatan stabilitas
untuk merujuk klien jangka panjang. Konselor bekerja sama dengan konseli secara
khusus untuk menangani masalah yang melibatkan beberapa profesi yang menjadi
kebutuhan orang dalam bentuk krisis.
Konseling krisis merupakan pelayanan bantuan kepada klien yang sedang mengalami
krisis untuk menghimpun berbagai sumber energi yang ada di sekitarnya, sehingga
dapat dimanfaatkan untuk pemecahan masalah ketidakamanan dan kemaslahatan
kehidupannya di dunia dan di akhiratnanti.Dalam membantu klien yang sedang
mengalami krisis, dapat dilaksanakan konseling krisis antara lain dengan: (1)
memberikan perhatian terhadap penderita krisis, (2) memandu dan memberi kesempatan
pada klien untuk melaksanakan relaksasi, (3) mencari nilai positif pada setiap kejadian,
(4) mengajak klien untuk meningkatkan kesabaran, (5) melakukan shalat dengan
sempurna, (6) tidak mengharapkan balas jasa (ucapan terima kasih) dari siapapun, dan
(7) meniatkan segala kegiatan sebagai ibadah untuk mencari ridha-Nya.
B. Tujuan Konseling Krisis
Tujuan diadakan konseling krisis adalah untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi kepada klien yang
sedang mengalami krisis.
C. Elemen Konseling Krisis
Unsur-unsur yang umum dalam sebuah krisis, menuru Norman Wright (1993) dalam
Haksasi (2010:9-10) adalah:
1. Kejadian yang penuh resiko
Ini adalah kejadian yang mengawali suatu reaksi berantai dari kejadian- kejadian
yang mencapai puncaknya dalam suatu krisis. Contohnya seperti, Seorang istri yang masih
muda yang bersiap-siap menghadapi kariernya selama tujuh tahun sekarang menemukan
dirinya hamil. Seorang mahasiswa tahun terakhir yang menyerahkan dirinya untuk
bermain sepak bola selama waktu kuliahnya agar dipilih sebagai pemain profesional,
mengalami kecelakaan sehingga pergelangan kakinya hancur. Semua orang yang disebut
di atas mempunyai banyak persamaan.
2. Keadaan rentan
Tidak semua peristiwa ini membawa seseorang kepada suatukrisis. Kalau orang
tidak rentan, pasti krisis itu tidak mungkin terjadi. Tidak tidur dua malam saja bisa

membuat seorang menjadi rentan terhadap suatu situasi yang biasanya dapat ia
tanggulangi tanpa kesulitan. Keadaan sakit dan tertekan menyebabkan mekanisme untuk
mengatasi masalah makin menurun.
3. Faktor pencetus yang menimbulkan krisis
Cara lain untuk mengatakan hal ini ialah bahwa ini adalah faktor terakhir yang
ditambahkan pada faktor-faktor lain.Sebagian orang kelihatannya dapat menguasai diri
pada saat dilanda kehilangan yang cukup berat atau kehancuran hati, tetapi kemudian
mereka ambruk karena suatu persoalan kecil saja. Ini merupakan persoalan yang terakhir,
tetapi reaksi dan air mata saat itu merupakan tanggapan terhadap kehilangan yang cukup
berat sebelum itu.
4. Keadaan krisis yang aktif.
Ketika seseorang tidak dapat lagi mengatasi situasi, maka krisis yang aktif dapat
berkembang. Ada beberapa petunjuk tentang keadaan ini.1) Ada gejala-gejala stres -secara psikologis, fisiologis, atau kedua-duanya. Ini dapat termasuk depresi, sakit kepala,
kegelisahan, luka lambung. Selalu ada suatu jenis kegelisahan yang ekstrem.2) Ada sikap
panik atau gagal. 3) Fokusnya adalah pada pembebasan. "Keluarkan aku dari keadaan ini!"
merupakan keinginan dan jeritannya. Ia inginlepas dari penderitaan karena stres tersebut.

Anda mungkin juga menyukai