Refleksi Kasus
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun oleh :
(1410029037)
Pembimbing:
dr. Yudhy Arius, Sp.BP-RE
KASUS
Pasien MRS pada tanggal 21 September 2015 melalui Instalasi Gawat Darurat RSUD
AWS Samarinda dan dirawat inap di Ruang Cempaka.
Anamnesis
Identitas Pasien:
Nama
: An. D
Umur
: 14 bulan
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
Tanggal MRS
: 21 September 2015
No. RM
: 85 73 41
: Bapak W
Umur
: 42 tahun
Pekerjaan
: Supir
: Ibu R
Umur
: 33 tahun
Pekerjaan
: IRT
Pendidikan terakhir : SD
Alamat
1. Keluhan Utama
Luka bakar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami luka bakar di daerah dada, leher, dan pipi kiri 15 menit SMRS.
Luka bakar terjadi akibat tersiram air panas saat pasien mengambil gelas berisi air panas.
Pasien segera di bawa ke IGD RS A.W. Sjahranie Samarinda. Pasien sangat rewel dan
terus menangis. Ibu pasien mengaku tidak mengoleskan apapun di luka bakar tersebut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami riwayat serupa sebelumnya. Pasien tidak pernah
di rawat di rumah sakit, dan tidak memiliki penyakit bawaan sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal oleh keluarga pasien.
5. Riwayat Saudara-Saudara Pasien:
1. Aterm, spontan, 16 tahun, sehat
2. Aterm, spontan, 10 tahun, sehat
mengaku tidak mengalami permasalahan, kondisi stress disangkal, demam tidak ada,
hiperemesis gravidarum tidak ada, hipertensi tidak ada, diabetes mellitus tidak ada,
trauma tidak ada, mengkonsumsi jamu-jamuan tidak ada, mengkonsumsi alkohol dan
rokok tidak pernah. Ibu pasien rutin mengonsumsi sumplemen penambah darah dan
tidak mengonsumsi obat-obatan tertentu.
Pasien lahir secara sectio caesarea dengan indikasi kala 2 lama suspek distosia
bahu diusia kehamilan 9 bulan dengan BB 2500 gram, Menangis kuat, biru atau kuning
disangkal.
8. Riwayat Psikososial dan Lingkungan
Bapak pasien merokok setiap harinya di dalam maupun di luar rumah. Di rumah
tidak memelihara binatang peliharaan seperti kucing dan adanya kucing liar yang
berkeliaran di sekitar rumah pun disangkal.
9. Riwayat Makanan & Minuman
Pasien minum ASI eksklusif sejak lahir hingga usia 6 bulan, selanjutnya diberi
makanan pendamping ASI sampai saat ini.
10. Riwayat Imunisasi
Jenis
Imunisasi
BCG
Polio
Campak
DPT
Hepatitis B
II
+
+
+
+
////////
+
+
+
Imunisasi
III
IV
///////
+
///////
+
+
///////
+
///////
///////
///////
Booster I
Booster II
///////
///////
-
///////
///////
-
: 2500 gram
BB sekarang
: 9,5 kg
PB Lahir
: 51 cm
PB sekarang
: 78 cm
Gigi keluar
: 6 bulan
Berdiri
: 9 bulan
4
Tersenyum
: 2 bulan
Berjalan
: 12 bulan
Miring
: 5 bulan
Tengkurap
: 6 bulan
Masuk TK
:-
Duduk
: 7 bulan
Masuk SD
:-
Merangkak
: 6 bulan
Sekarang kelas
:-
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran
: komposmentis, E4V5M6
Tanda-Tanda Vital
1.
2. Frekuensi nafas
: 32x/menit
3. Suhu
: 36,9oC
Status Gizi
Berat Badan
: 9 kg
Panjang Badan
: 78 cm
BB/PB
: Normal (ideal)
Status generalisata
Kepala
Bentuk : Normal
Leher
KGB
Toraks
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Inspeksi
Palpasi
: soefl, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
: timpani
Ekstremitas
Superior
Luka bakar regio brachii 1/3 distal sinistra grade IIA seluas 1%
Inferior
Status Lokalis :
Facei :
Terdapat luka bakar di colli anterior sinistra grade IIA seluas 2%, Bulla (+)
Thorax Anterior
Brachii Sinistra
Terdapat luka bakar regio brachii 1/3 distal sinistra grade IIA seluas 1%
Diagnosis Kerja
Combustio grade IIA-B 10% ec scald
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium: Darah Lengkap, GDS, Elektrolit, Bt, Ct
Leukosit
: 14.500
GDS
: 257
Hb
: 11,6
Ur
: 20,0
Hct
: 37,2
Cr
: 0,5
Trombosit
: 331.000
BT
: 3
Na
: 136
CT
: 9
: 3,9
Cl
: 108
Penatalaksanaan
Tanggal
17/1/16
Irigasi luka bakar NaCl 0,9 % 10 menit tutup dengan kassa basah
Subjektif
Keluhan (-)
Objektif
N : 112x/menit
Assessment
Combustio grade
Planning
IVFD RL 750cc/24 jam
7
RR : 28x/menit
IIA-B 10 % ec
T : 36,5
scald
Regio
post
jam IV (H-1)
-
sinistra
Diet TKTP
Keluhan (-)
N : 110x/menit
Combustio
grade
RR : 28x/menit
IIA-B 10 % ec
T : 36,7
scald
Regio
post
jam IV (H-3)
-
sinistra
Diet TKTP
Keluhan (-)
N : 112x/menit
Combustio
grade
RR : 32x/menit
IIA-B 10 % ec
T : 36,8
scald
Regio
post
jam IV (H-5)
-
sinistra
Diet TKTP
Keluhan (-)
N : 110x/menit
Combustio
grade
RR : 32x/menit
IIA-B 10 % ec
T : 36,8
scald
Diet TKTP
Perioperatif :
debridement II H-0
N : 116x/menit
Combustio
RR : 28x/menit
IIA-B 10 % ec
T : 36,8
scald
Regio
faceicolli
RS
2%
Keluhan (-)
Regio
grade
29/1/2016
sinistra
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Luka bakar adalah cedera terhadap jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan
panaskering (api), panas lembab (uap atau cairan panas), kimiawi (bahan-bahan korosif), barangbarang elektrik (aliran listrik atau lampu), friksi, atau energi elektromagnetik dan radian
(Dorland, 2002).
Etiologi
Luka bakar yang paling sering terjadi adalah luka bakar termal sebagai akibat dari
kebakaran rumah, kecelakaan kendaraan, bermain korek api, pakaian yang terbakar, atau air
panas. Selain itu penyebab yang lain adalah luka bakar kimia yang disebabkan senyawa yang
asam, atau alkali yang mengenai tubuh pasien karena kontak, minum, terhirup, atau karena
suntikan. Luka bakar listrik menjadi sebab yang terjadi karena kontak dengan kawat listrik yang
mengandung arus listrik dengan sumber listrik tegangan tinggi. Luka bakar gesekan atau
ekskoriasi, terjadi ketika kulit mengalami gesekan hebat dengan permukaan yang kasar. Luka
bakar karena serangan matahari secara berlebihan (Kowalak, Welsh, dan Mayer, 2012).
-
Brush burn
: luka akibat penggosokan atau friksi kuat; misalnya oleh tambang yang
Chemical burn
Electric burn
: luka bakar yang terjadi akibat kontak dengan arus listrik, disebut pula
contac burn.
-
Flash burn
: suatu lesi termal yang dihasilkan oleh suatu pemaparan sangat singkat
terhadap radiasi panas intensitas tinggi, seperti pada ledakan atau lecutan listrik mendadak.
-
Radiation burn
: suatu luka bakar yang disebabkan oleh pajanan sinar-X, radium, cahaya
10
Penyebab luka bakar dan kedalamannya (Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013):
Penyebab luka bakar
Air panas
Api
Asam
Elektrik
full thickness
Api, air panas, dan kontak dengan benda yang panas atau dingin menginduksi kerusakan
sel melalui koagulasi yang menyebabkan nekrosis. Sedangkan bahan kimia dan elektrik secara
langsung menyebabkan cedera sel dengan merusak membran sel (Jeschke, 2013).
Patofisiologi
Protein sel mulai mengalami degradasi pada suhu 40oC. Degradasi protein ini akan
memulai perubahan hemostasis sel. Hal ini bersifat reversibel jika suhu mengalami penurunan.
Mulai pada suhu 45oC protein sel secara permanen akan mengalami denaturasi. Hal ini dapat
dilihat sebagai jaringan nekrosis. Kecepatan kerusakan sel bergantung pada suhu dan lama waktu
paparan, penyebab luka bakar, dan usia pasien yang terkena luka bakar (Jeschke, 2013).
Cedera sel memicu pelepasan mediator kimiawi yang turut menimbulkan peningkatan
permeabilitas kapiler secara lokal, sedangkan pada kasus luka bakar berat, pelepasan mediator ini
menyebabkan pengingkatan permeabilitas kapiler secara sistemik. Kejadian patofisiologi yang
spesifik bergantung pada penyebab dan klasifikasi luka bakar (Kowalak, Welsh, dan Mayer,
2012).
11
Zona ini merupakan area nekrotik dimana sel-sel sudah mengalami kerusakan secara
permanen saat kejadian.
2. Zona stasis
Zona stasis berada di sekitar zona koagulasi yang mempunyai perfusi jaringan yang
menurun. Zona ini dapat menjadi zona koagulasi atau bertahan sebagai zona stasis
tergantung dengan lingkungan. Kerusakan pembuluh darah dan kebocoran plasma terjadi
pada zona stasis ini.
3. Zona hiperemis
Zona ini memiliki karakteristik vasodilatasi pembuluh darah sehingga tampak hiperemis.
Zona ini merupakan jaringan viabel dimana proses penyembuhan bermula dan secara
umum tidak berpotensi menjadi jaringan nekrotik (Jeschke, 2013).
Gambar 1. Zona luka bakar menurut Jackson (Hettiaratchy & Dziewulski, 2004)
12
akan terjadi re-epitelisasi dari epitel yang tersisa, juga folikel rambut, kelenjar keringat dalam
waktu 1-2 minggu, tidak diperlukan tindakan operatif. Penyembuhan luka tidak menimbulkan
jaringan parut, namun dalam beberapa waktu warna kulit akan mengalami perubahan. Luka
bakar ini diberikan salep antibiotik dan ditutup dengan kassa (Klein, 2007) (Jeschke, 2013).
Luka bakar derajat IIB (second-degree deep -thickness)
Luka bakar ini meliputi destruksi epidermis dan dermis sampai retikular dermis. Luka
bakar tampak pucat dengan bintik-bintik pink terutama jika lebih dari 48 jam. Sensasi nyeri pada
luka bakar berkurang, pasien akan merasakan sensasi tumpul pada pemeriksaan dengan ujung
jarum (Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013) (Jeschke, 2013). Penyembuhan luka bakar
derajat ini selama 3-8 minggu dengan kontrol infeksi yang baik dan tanpa tindakan operasi
tergantung kondisi jaringan viabel yang tersisa. Luka bakar derajat IIB sembuh dengan scar, dan
memungkinkan terjadinya kontraktur. Oleh karena itu, jika luka tidak mengalami re-epitelisasi
secara sempurna dalam 3 minggu, perlu dilakukan tindakan eksisi dan skin graft (Klein, 2007).
Luka bakar derajat tiga (full-thickness)
Luka bakar ini merupakan luka bakar yang berat dan mengenai setiap sistem serta organ
tubuh. Luka bakar derajat tiga meluas lewat epidermis serta dermis dan mengenai lapisan
jaringan subkutan. Luks bakar ini tampak coklat-hitam, kasar, dan tidak terasa nyeri (Klein,
2007). Luka bakar derajat III ini dapat juga berwarna cerry red karena karboksihemoglobin yang
tertahan di luka. Penatalaksaan terbaik luka bakar derajat III adalah eksisi dan skin graft
(Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013) (Jeschke, 2013).
Penentuan Luas Luka Bakar
Penentuan luas luka bakar menggunakan rule of nine atau rule of Wallace yang sering
digunakan untuk menentukan luas luka bakar. Luas luka bakar hanya menghitung luka bakar
derajat II dan III (partial and full-thickness dermal injury). Luka bakar superfisial (derajat I)
tidak masuk dalam perhitungan. Metode lain yang digunakan adalah dengan menggunakan
tangan pasien yang di estimasikan 1% dari luas luka bakar. Tabel Lund and Bowder merupakan
metode yang akurat untuk menentukan luas luka bakar karena mempertimbangakn usia dalam
penentuan luas luka bakar (Klein, 2007).
14
Gambar 3. The rules of nine. Metode klasik penentuan luas luka bakar. Perbedaan proporsi tubuh
dewasa dan anak membuat perbedaan dalam perhitungan luas luka bakar (Klein, 2007).
Tatalaksana
Pertolongan pertama pada kasus luka bakar :
-
Pastikan keamanan penolong. Hal ini penting ketika kebakaran dan pada kasus
luka bakar elektrik dan bahan kimia.
Hentikan proses. Stop, drop, and roll adalah metode terbaik untuk memadamkan
api pada seseorang yang terbakar.
Periksa luka yang lain. Lakukan secondary survey untuk memastikan tidak ada
luka yang terlewat. Pasien luka bakar akibat ledakan mempunyai kemungkinan
cedera kepala atau cedera tulang belakang.
Dinginkan daerah luka bakar. Dinginkan dengan air minimum 10 menit dan
efektif dalam 1 jam pertama setelah terjadi luka bakar. Hal ini sangat efektif
terutama luka bakar yang disebabkan karena air panas. Suhu air kurang lebih
15oC serta hindari kondisi hipoterni.
Oksigen. Pasien luka bakar setelah keluar dari tempat kebakaran sebaiknya
mendapatkan oksigen, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran
(Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013).
15
Bebaskan
jalan napas. Pada luka bakar dengan distress jalan napas dapat
Di lakukan pemasangan
intermitten pengisapan.
-
Untuk menghilangkan nyeri hebat dapat diberikan morfin intravena dan jangan
secara intramuskuler.
Diberikan tetanus toksoid bila diperlukan. Pemberian tetanus toksoid booster bila
penderita tidak mendapatkannya dalam 5 tahun terakhir.
Pencucian Luka di kamar operasi dalam keadaan pembiusan umum. Luka dicuci
debridement dan di disinfektsi dengan salvon 1 : 30. Setelah bersih tutup dengan
tulle kemudian olesi dengan Silver Sulfa Diazine (SSD) sampai tebal. Rawat
tertutup dengan kasa steril yang tebal. Pada hari ke 5 kasa di buka dan penderita
dimandikan dengan air dicampur Salvon 1 : 30
16
Penutupan luka dapat terjadi atau dapat dilakukan bila preparasi bed luka telah
dilakukan dimana didapatkan kondisi luka yang relative lebih bersih dan tidak
infeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur operasi. Secara persekundam terjadi
proses epitelisasi pada luka bakar yang relative superficial. Untuk luka bakar
yang dalam pilihan yang tersering yaitu split tickness skin grafting. Split tickness
skin grafting merupakan tindakan definitive penutup luka yang luas. Tandur alih
kulit dilakukan bila luka tersebut tidak sembuh-sembuh dalam waktu 2 minggu
dengan diameter > 3 cm. (Noer, Saputro & Perdanakusuma, 2006).
.
Pasien luka bakar yang perlu dirujuk ke pusat luka bakar menurut American Burn
Association (Klein, 2006):
-
Luka bakar derajat II dan III lebih dari >10% luas permukaan tubuh pada
penderita <10 atau >50 tahun
Luka bakar derajat II dan III >20% luas permukaan tubuh diluar usia tersebut
Luka bakar derajat II dan III yang mengganggu fungsi atau kosmetik seperti pada
wajah, tangan, kaki, genitalis, perineum, atau sendi utama.
Luka bakar derajat III >5% luas permukaan tubuh pada semua umur.
Luka bakar kimia, dengan gangguan fungsi atau kosmetik yang serius.
Trauma inhalasi
Luka bakar pada penderita yang karena penyakit yang sedang dideritanya dapat
mempersulit penanganan, memperpanjang pemulihan, atau dapat mengakibatkan
kematian.
Penderiat luka bakar yang mempunyai trauma lain (seperti fraktur) yang
meningkatkan morbiditas atau mortalitas, ditangani terlebih dahulu di unit gawat
darurat sampai stabil, kemudian dirujuk ke pusat luka bakar.
Anak-anak dengan luka bakar yang dirawat di rumah sakit tanpa petugas dan
pealatan yang memadai
17
Airway
Trauma inhalasi akan menyebabkan edema pada saluran nafas yang akan menutup
saluran nafas secara total. Tatalaksana pada kasus ini adalah pemasangan endotracheal tube yang
dilakukan pada 4-24 jam pertama. Lakukan persiapan krikotiroidotomi jika pemasangan
endotracheal tube gagal. Riwayat pasien dan gejala yang tampak lebih diutamakan pada trauma
inhalasi dibandingkan dengan keluhan pasien. Riwayat pasien dapat berupa menghirup gas panas
di rumah atau di dalam kendaraan. Sedangkan tanda yang bisa dilihat adalah bulla pada palatum,
mukosa hidung terbakar dan bulu hidung terbakar, tanda terbakar pada sekitar mulut dan leher
(Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013).
Breathing
Gangguan pernafasan dapat terjadi pada trauma inhalasi. Gejala klinis yang mungkin
timbul adalah peningkatan respiration rate, takikardia, cemas, dan bingung karena penurunan
saturasi oksigen. Gejala ini tidak muncul secara akut, namun berkembang pada 1-5 hari
kemudian. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah fisioterapi,nebulisasi, dan pemberian
oksigen setelah masalah airway tertangani. Pasien harus dimonitor respiration rate dan analisa
gas darahnya. Gangguan pernafasan dapat muncul dari keracunan metabolik, yakni peningkatan
kadar karboksihemoglobin dalam darah. Keadaan ini dapat diterapi dengan pemberian oksigen
24 jam. Eschar pada dinding dada akibat luka bakar derajat III dapat mengganggu proses
bernafas pasien hingga terjadi retensi karbon dioksida dan kesulitan saat inspirasi. Terapi yang
dilakukan untuk kasus ini adalah escharotomi dinding dada (Williams, Bulstrode, dan Oconnell,
2013).
Resusitasi cairan pada luka bakar
Prinsip resusitasi cairan pada luka bakar adalah volume intravaskular harus sesuai dengan
kondisi luka bakar untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang baik, tidak hanya untuk
organ penting seperti otak, ginjal, dan usus, namun juga jaringan perifer seperti kulit yang luka
(Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013).
Resusitasi cairan pada anak dilakukan jika luas luka bakar lebih dari 10% luas permukaan
tubuh, sedangkan dewasa lebih dari 15% luas permukaan tubuh. Di beberapa negara, resusitasi
18
cairan dilakukan pada luas luka bakar lebih dari 30% luas permukaan tubuh. Ketika pasien masih
dapat minum oer oral, maka air yang digunakan adalah air yang mengandung garam.
Kebutuhan cairan resusitasi disesuaikan dengan luas luka bakar, dan berat badan. Ada
beberapa formula perhitungan kebutuhan cairan luka bakar, antara lain Parkland formula, Evan
formula, Brooke formula, dan modifikasi Brooke (Noer, Saputro & Perdanakusuma, 2006).
Formula penghitungan kebutuhan cairan yang mudah dan sering dipakai adalah formula
Parkland yang diuraikan oleh Baxter (Klein, 2007). Formula ini menghitung kebutuhan cairan
pasien dalam 24 jam pertama setelah luka bakar, yakni persentasi luas luka bakar x berat badan
pasien (kg) x 4 = volume (mL). Setengah dari kebutuhan cairan diberikan 8 jam pertama dan
sisanya diberikan 16 jam kemudian (Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013).
Evan formula adalah sebagai berikut : 1) luas luka dalam persen x berat badan dalam kg
menjadi ml NaCl per 24 jam; 2) luas luka bakar dalam persen x berat badan dalam kg menjadi ml
plasma per 24 jam. 3) sebagai pengganti cairan yang hilang akibat penguapan adalah 2000 cc
glukosa 5% per 24 jam. Separuh jumlah diatas diberikan dalam 8 jam pertama dan sisanya
diberikan pada 16 jam berikutnya (Sjamsuhidajat, 2011).
Brooke formula adalah sebagai berikut 1) 0,5 x luas luka dalam persen x berat badan
dalam kg menjadi ml koloid per 24 jam; 2) 1,5 x luas luka bakar dalam persen x berat badan
dalam kg menjadi ml kristaloid per 24 jam. 3) sebagai pengganti cairan yang hilang akibat
penguapan adalah 2000 cc glukosa 5% per 24 jam. Separuh jumlah diatas diberikan dalam 8 jam
pertama dan sisanya diberikan pada 16 jam berikutnya
Modifikasi Brooke formula adalah luas luka bakar dalam persen x berat badan pasien
(kg) x 2 = volume (mL) kristaloid dalam 24 jam. Setengah dari kebutuhan cairan diberikan 8 jam
pertama dan sisanya diberikan 16 jam kemudian.
Ada beberapa tipe cairan yang digunakan untuk resusistasi luka bakar, yakni cairan
kristaloid, maupun cairan koloid. Berikut adalah beberapa contoh cairan yang digunakan:
1.
Ringer laktat adalah cairan kristaloid yang paling sering digunakan untuk resusitasi
kristaloid mempunyai efektifitas yang hampir sama dengan cairan koloid dalam
mempertahankan cairan intravaskular. Selain harganya yang lebih murah, cairan
kristaloid juga bertahan dalam intravaskular meskipun protein banyak keluar ke
intersitisial sehubungan dengan luka bakar yang terjadi.
19
Anak-anak dengan luka bakar harus diperhatikan kebutuhan cairan hariannya. Digunakan
cairan dextrose-salin dengan pemberian sebagai berikut (Williams, Bulstrode, dan
Oconnell, 2013) :
100ml/kgBB dalam 24 jam 10 kg pertama
50 ml/kgBB dalam 24 jam 10 kg kedua
20 ml/kgBB dalam 24 jam untuk setiap kilogram berat badan > 20 kg
Anak-anak dengan berat <15 kg harus mendapat cairan rumatan menggunakan cairan
dengan dextrose sesuai berat badannya karena anak-anak tidak mempunya cadangan
glikogen yang adekuat (Klein, 2007).
2.
Salin hipertonis. Salah satu contoh dari cairan ini adalah HAS (Human Albumin
Solution) yang termasuk juga cairan koloid. Salin hipertonis sangat efektif saat terjadi
syok pada pasien luka bakar. Cairan ini memiliki osmolaritas yang tinggi dan sifat
hipernatremia. Cairan ini mengurangi ekstravasasi cairan intraseluler ke ruang
ekstraseluler yang pada akhirnya akan mengurangi edema jaringan sehingga menurunkan
kemungkinan tindakan intubasi atau escharotomi pada pasien luka bakar (Williams,
Bulstrode, dan Oconnell, 2013).
Resusitasi dengan cairan koloid juga termasuk pemberian protein plasma. Protein plasma
sebaiknya diberikan 12 jam pertama setelah luka bakar, karena pada waktu ini akan
terjadi kebocoran protein yang masif dari luka bakar tersebut, menyebabkan ekstravasasi
cairan ke rongga interstisial yang akan mengakibatkan edema jaringan. Formula
penggunaan cairan koloid yang paling sering digunakan adlaah formula Muir and
Barclay : 0,5 x persentasi luas luka bakar x berat badan = 1 porsi cairan. 1 porsi cairan
diberikan dalam waktu 3 periode, periode pertama adalah setiap 4 jam sebanyak 3 kali,
perode kedua setiap 6 jam sebanyak 2 kali, dan periode ketiga adalah 12 jam seelah
pemberian yang terakhir (Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013).
20
Monitoring resusitasi
Resusitasi cairan yang diberikan dengan monitoring produksi urin dewasa 30cc/jam atau
pada anak 1cc/kgBB/jam. Urin output adalah hal yang penting dievaluasi untuk monitor
resusitasi cairan yang dilakukan. Urin output normal adalah 0,5-1 cc/kgBB/jam. Jika urin output
kurang dari normal maka jumlah cairan dinaikkan 50% dari kebutuhan awal. Apabila urin output
tidak adekuat disertai dengan tanda-tanda hipoperfusi (takikardia, akral dingin, dan peningkatan
hematokrit) maka dilakukan bolus cairan 10 cc/kgBB. Penting pula untuk memastikan bahwa
pasien tidak mendapatkan resusitasi berlebihan, yang ditandai dengan jumlah urin output
mencapai 2 cc/kgBB/jam. Segera turunkan jumlah cairan resusitasi jika mengalami hal seperti
ini.
Berat jenis urine pada luka bakar berat dapat normal atau meningkat. Keadaan ini
menunjukkan keadaan hidrasi penderita, bilamana berat jenis meningkat berhubungan dengan
naiknya kadar glukosa urine (Noer, Saputro & Perdanakusuma, 2006). Pemasangan Central
Venous Cathether (CVC) merupakan salah satu cara memantau resusitasi cairan yang dilakukan.
Pemeriksaan serial asam laktat hematokrit menjadi indikator sekunder resusitasi cairan (Klein,
2007). Monitoring tekanan darah, asam basa juga perlu dilakukan untuk melihat tanda- tanda
kurang atau kelebihan cairan (Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013) (Jeschke, 2013).
Takikardia sering ditemukan pada repon inflamasi sistemik tubuh, nyeri, atau gelisah, oleh
karenanya takikardia tidak dianjurkan untuk menjadi barometer status cairan pasien luka bakar
(Jeschke, 2013).
Hal lain yang perlu dinilai untuk menilai resusitasi adalah albumin, elektrolit, liver
function test, maupun renal function test. Pemeriksaan keadaan paru perlu diobservasi tiap jam
untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi dantara lain stridor bronkospasme, adanya
sekret, wheezing, atau dispnea merupakan tanda adanya impending obstruksi. Penilaian luka
bakar, bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau atau ada
tanda-tanda pus maka kasa perlu diganti. Bila bersih perawatan selanjutnya dilakukan 5 hari
kemudian (Noer, Saputro & Perdanakusuma, 2006).
21
Autolytic debridement (invivo enzymes self digest devitalized tissue) adalah suatu
proses usaha tubuh untuk melakukan pembuangan jaringan mati. Di dalam luka
akan muncul enzim yang berefek mencairkan jaringan non-vital. Keadaan ini
perlu dibantu dengan mempertahankan suasana luka supaya tetap lembab
menggunakan penutup luka yang dapat mempertahankan kelembaban luka.
22
Perdanakusuma, 2006).
Bacterial balance. Infeksi luka ditentukan oleh keseimbangan daya tahan luka
dengan jumlah mikroorganisme. Bila jumlah mikroorganisme < 10 4/gram jaringan
kemungkinan terjadi infeksi adalah 6%. Bila > 10 4/gram jaringan kemungkinan
infeksi 89% dan bila >105/gram jaringan, hampir dapat dipastikan terjadi infeksi dan
penutupan luka akan gagal. Dalam hal ini mungkin diperlukan pemberian antibiotik
sesuai pola kuman di samping tindakan debridement (Noer, Saputro &
Perdanakusuma, 2006).
Silver sulfadiazine adalah antimikroba topikal yang paling sering digunakan. Silver
sulfadiazine merupakan antimikroba broad-spectrum yang bekerja baik terhadap
staphylococcus dan streptococcus. Namun, silver sulfadiazine tidak mampu
menembus eschar dan efektifitasnya berkurang pada luka bakar yang terinfeksi. Luka
bakar yang diberi silver sulfadiazine akan membentuk pseudo-eschar berwarna
kuning-keabuan yang mudah dibersihkan saat rawat luka (Klein, 2007).
Mafenide adalah antimikroba topikal lain yang biasa digunakan. Obat ini berbentuk
krim dan merupakan antimikroba broad-spectrum. Obat ini mampu menembus
eschar dan bekerja baik pada luka bakar yang terinfeksi. Mafenide juga sering
digunakan pada daerah telinga dan hidung untuk mencegah kondritis. Mafenidesoaked gauze dapat digunakan untuk menutup luka skin graft untuk mencegah
kolonisasi bakteri (Klein, 2007).
23
24
Eskarotomi
Komponen yang penting dalam awal manajemen luka bakar adalah menentukan apakah
perlu tindakan eskarotomi. Secara umum, eskarotomi diindikasikan pada luka bakar fullthickness sirkumferensial pada anggota gerak atau rongga dada yang mempengaruhi ventilasi
pasien. Luka bakar jenis ini memiliki efek seperti tourniquet pada anggota gerak. Eskarotomi
dapat menggunakan scalpel atau elektrokauter. Insisi dilakukan pada eschar, bukan pada fasia.
Eskarotomi pada anggota gerak atas dilakukan pada mid-axial line, menghindari jalur saraf.
Tindakan ini dapat mengakibatkan perdarahan yang bermakna, sehingga diperlukan persiapan
darah sebelum tindakan eskarotomi (Williams, Bulstrode, dan Oconnell, 2013) (Klein, 2007).
Gambar 3. Lokasi eskariotomi. Insisi dilakukan pada mid-axial line dan mid-lateral line dari
ekstremitas dan thorax (dashed lines) (Brunicardi et al, 2007)
25
DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi F.C. et al.2007. Scwartzs Principle of Surgery 8th edition. McGraw-Hill
Dorland W.A.N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC
Hettiaratchy S, Dziewulski P. 2004. ABC of burns Introduction. BMJ. Hal. 329:504-6 dalam
Gurnida D.A.2011. Nutrisi pada Luka Bakar.
Jeschke M.G. 2013. Pathophysiology of Burn Injury dalam Burn Care and Treatment. New
York : Springer
Klein M.B. 2007. Thermal, Chemical, and Electrical Injuries dalam Grabb & Smiths Plastic
Surgery 6th edition. Philadelphia:
Wolters Kluwer
business
Kowalak, Welsh, dan Mayer. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Noer M.S, Saputro I.D, & Perdanakusuma D. 2006. Penanganan Luka Bakar. Surabaya:
Airlangga University Press.
Sjamsuhidayat.R & Wim de jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit buku
kedokteran EGC.
Williams N.S., Bulstrode C.J.K., dan OConnell P.R. 2013. Bailey and Loves Short Practice of
Surgery Ed.26. France : CRC Press
26