Anda di halaman 1dari 4

II.

Teori Dasar
Kulit merupakan organ tubuh yang penting yang merupakan permukaan
luar organism dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar
Fungsi kulit (Mutschler,1991 hal 577):
-

Melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan fisika, terutama

kerusakan mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme.


Mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapan

air secukupnya tetap terjadi (perspiration insensibilis).


Bertindak sebagai pengatur panas denga melakukan kontriksi dan

dilatasi pembuluh darah kulit serta pengeluaran keringat.


Dengan pengeluaran keringat ikut menunjang kerja ginjal, dan
Bertindak sebagai ala pengindera dengan reseptor yang dimilikinya
yaitu reseptor tekan, suhu dan nyeri.

Kulit terdiri atas (Mutschler,1991)


-

Bagian ectoderm yaitu epidermis (kulit luar) dan kelengkapannya

(kelenjar, rambut, kuku)


Bagian jaringan ikat, yaitu korium (kulit jangat).

Epidermis terdiri dari beberapa lapisan yaitu stratum corneum (lapisan


tanduk), stratum lucidum (lapisan keratohialin, hanya terdapat pada telapak
kaki dan tangan), stratum granulosum (lapisan bergranul) dan stratum
germinativum (lapisan yang bertumbuh), yang dapat dibagi lagi menjadi
stratum spinosum (lapisan berduri) dan stratum basal (lapisan basal)
(Mutschler,1991).
Bahan tambahan yang dapat berfungsi untuk meningkatkan penembusan zat
aktif (penetrant enhancer) terkadang perlu ditambahkan. zat yang dapat
meningkatkan permeabilitas obat menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau
kerusakan permanen struktur permukaan kulit. Bahan-bahan yang dapat
digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain air, sulfoksida, senyawasenyawa azone, pyrollidones, asam-asam lemak, alkohol danglikol, surfaktan,
urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid.

Air dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi karena air akan


meningkatkan hidrasi pada jaringan kulit sehingga akan meningkatkan
penghantaran obat baik untuk obat-obat yang bersifat hidrofilik maupun
lipofilik. Adanya air juga akan mempengaruhi kelarutan obat dalam stratum
korneum dan mempengaruhi partisi pembawa ke dalam membran (Williams

dan Barry, 2004).


Pada asam lemak, semakin panjangnya rantai pada asam lemak maka akan
meningkatan penetrasi perkutan. Asam lemak yang biasa digunakan adalah
asam oleat, asam linoleat, dan asam laurat. Asam laurat dapat meningkatkan
penetrasi senyawa yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik. Mekanismenya
dengan cara berinteraksi dengan lipid pada stratum korneum menggunakan

konfigurasi cis (Swarbrick dan Boylan, 1995 ; Williams dan Barry, 2004).
Etanol dapat meningkatkan penetrasi dari levonorgestrel, estradiol, dan
hidrokortison. Efek peningkatan penetrasi etanol tergantung dari konsentrasi
yang digunakan. Fatty alcohol seperti propilen glikol dapat digunakan
sebagai peningkat penetrasi pada konsentrasi 1-10% (Swarbrick dan Boylan,
1995 ; Williams dan Barry, 2004).

Uji difusi in-vitro


Suatu uji perlu dilakukan untuk memperkirakan jumlah obat yang mampu
berdifusi menembus kulit. Uji tersebut dilakukan secara in-vitro menggunakan
bahan dan alat yang mewakili proses difusi obat melewati stratum korneum. Salah
satu metode yang digunakan dalam uji difusi adalah metode flow through. Adapun
prinsip kerjanya yaitu pompa peristaltik menghisap cairan reseptor dari gelas
kimia kemudian dipompa ke sel difusi melewati penghilang gelembung sehingga
aliran terjadi secara hidrodinamis, kemudian cairan dialirkan kembali ke reseptor.
Cuplikan diambil dari cairan reseptor dalam gelas kimia dengan rentang waktu
tertentu dan diencerkan dengan pelarut campur. Kemudian diukur absorbannya
dan konsentrasinya pada panjang gelombang maksimum, sehingga laju difusi
dapat dihitung berdasarkan hukum Fick di atas. Membrane difusi dapat
menggunakan membran sintesis yang menyerupai stuktur stratum korneum

ataupun bisa menggunakan bagian kulit dari hewan uji (membran stratum
korneum ular) (Swarbrick dan Boylan, 1995).
Absorpsi perkutan
Penggunaam obat dengan mengaplikasikannya pada kulit disebut dengan
pemberian obat secara perkutan. Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul
obat dari kulit ke dalam jaringan di bawah kulit, kemudian masuk kedalam
sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif. Mengacu pada Rothaman,
penyerapan perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan senyawa dari
lingkungan luar ke bagian dalam kulit dalam peredaran darah dan kelenjar getah
bening. Istilah perkutan menunjukan bahwa penembusan terjadi pada lapisan
epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda.
Absorbsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi obat
melalui stratum korneum yang terdiri dari kurang lebih 40% protein (pada
umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa trigliserida, asam lemak
bebas, kolesterol dan fosfat lemak. Stratum korneum adalah lapisan terluar dari
kulit yang terpapar ke permukaan yang masuk ke dalam bagian epidermis kulit.
Stratum komeum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan
yang semi permeabel, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif,
jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada
konsentrasi obat (Shargel, 1988).
Asam salisilat
Asam salisilat diabsorpsi melalui kulit dan didistribusikan dalam ruang
ekstraseluler dan kadar plasma maksimum tercapai 6-12 jam setelah pemakaian.
Karena 50-80% dari salisilat terikat pada abumin, maka peningkatan kadar serum
salisilat bebas ditemukan pada pasien dengan hipoalbuminemia. Metabolit dalam
urine dari asam salisilat yang diberikan secara topikal meliputi salicyluric acid dan
glukuronida-glukoronida phenolic dan acyl dari asam salisilat; dan hanya 6% dari
keseluruhan dari asam salisilat yang diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Kirakira 95% dari dosis tunggal salisilat diekskresi di dalam urine dalam waktu 24 jam

setelah diabsoprsi. Mekanisme yang menyebabkan asam salisilat menghasilkan


efek-efek keratolitik dan efek-efek terapeutik lainnya belum banyak diketahui.
Obatobat ini mungkin melarutkan protein-protein permukaan permukaan sel,
menjaga agar stratum korneum tetap utuh, sehingga menghasilkan deskuamasi
pada sisa-sisa keratotik. Asam salisilat bersifat keratolitik pada konsentrasi 3-6%.
Sementara itu, pada konsentrasi yang melebihi 6%, asam salisilat dapat bersifat
destruktif terhadap jaringan-jaringan tubuh (Shargel, 1988).

Daftar Pustaka
Aiache, J.M. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi ke-2.. Surabaya: Airlangga
University Press.
Chien Y.W. 1987. Transdermal Controlled Systemic Medication. New York:
Marcel Dekker Inc.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. ITB. Bandung.
Shargel, L. and Andrew, A. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan..
Surabaya : Airlangga University Press.
Swarbrick, J. dan Boylan, J., 1995, Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of
Pharmaceutical Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., New York,
413-445.
Williams, A.C., dan Barry, B.W. 2004. Penetration Enhancers. Advanced Drug
Delivery Reviews. 5(6): 603-61

Anda mungkin juga menyukai