Anda di halaman 1dari 36

ANALISIS PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Putusan Nomor: 214/G.TUN/2001/P.TUN-JKT,


Putusan Nomor: 191/B/2002/PT.TUN.JKT,
Putusan Nomor: 361K/TUN/2003

Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Asha Alifa K

1306380235

Aufa Mursyida

1306406865

Fajar Yuda Arafah

1306402961

Meidana Pascadinianti

1306380613

Mutia Ariani

1306406833

Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Depok 2015
Kata Pengantar

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
kami dapat menyusun dan menyelesaikan Makalah Analisis Putusan Peradilan Tata Usaha
Negara ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini dibuat dengan maksud agar kami dan para pembaca dapat memahami
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dari segi teori dan praktiknya dalam masyarakat.
Dengan menganalisis putusan PTUN, dapat dipahami mengenai prosedur beracara PTUN dan
penerapan hukumnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN beserta
perubahannya).
Akhir kata, Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini.
Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, Atas perhatian Ibu dan
Bapak pengajar mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, kami ucapkan
terima kasih.

Jakarta, 1 Desember 2015

Tim Penulis

Daftar Isi
BAB I: PENDAHULUAN
1. Latar Belakang..................................................................................................
2. Pokok Permasalahan...........................................................................................
3. Tujuan Penelitian................................................................................................

4
5
5

BAB II: ANALISIS KASUS


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kasus Posisi.........................................................................................................
Pertimbangan Putusan Majelis Hakim di PTUN, PTTUN, dan MA..................
Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.................................
Dasar Pengajuan Gugatan Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara.............
Subyek dan Obyek Gugatan..............................................................................
Tenggang Waktu...............................................................................................
Upaya Administratif..........................................................................................
Proses Peradilan.................................................................................................
Upaya Hukum....................................................................................................

7
8
12
13
15
20
23
24
27

BAB III: PENUTUP


Kesimpulan....................................................................................................................

35

Saran..............................................................................................................................

36

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah rangkaian peraturanperaturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya Peraturan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Adminsitrasi
Negara). Dengan kata lain Hukum Acara PTUN adalah hukum yang mengatur cara-cara
bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, serta mengatur hak dan kewajiban pihakpihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN), Hukum Acara
PTUN memiliki beberapa ciri-ciri khas yang berbeda dengan Hukum Acara Perdata,
antara lain dalam proses PTUN yang selalu menjadi pokok permasalahan adalah
mengenai sah tidaknya penggunaan wewenang pemerintahan Badan atau Jabatan TUN
menurut hukum publik. Dalam konkretnya, yang disengketakan itu selalu berupa salah
satu bentuk tindakan hukum TUN yang dilakukan oleh suatu Badan atau Jabatan TUN
yang berupa suatu Penetapan Tertulis menurut pengertian Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). 1
Selain itu, Tergugat dalam peradilan TUN adalah Badan atau Pejabat TUN yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. 2 Sedangkan
Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Dengan adanya ketidakseimbangan antara
Penggugat dan Tergugat dalam Hukum Acara PTUN, kompensasi perlu diberikan
terutama pada saat pembuktian mengingat kedudukan Penggugat diasumsikan dalam
posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat.
Selain dari para pihak dan obyek sengketa Hukum Acara PTUN, proses beracara
dalam Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga berbeda dengan Hukum Acara Perdata.
Salah satunya adalah dengan adanya upaya administratif sebelum mengajukan gugatan
ke PTUN atau Pengadilan Tinggi TUN dan selanjutnya juga masih terbuka prosedur
kasasi dan peninjauan kembali apabila Tergugat belum puas atas putusan tertentu. Hal ini
1Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 25.

2Indonesia, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 51 Tahun 2009, LN No.
160 Tahun 2009, TLN No. 5079, Ps. 1 ayat 12.
4

menunjukan betapa sempurnanya sistem perlindungan hukum yang diterapkan dalam


PTUN. 3
Berdasarkan uraian diatas, PTUN berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk
memperoleh keadilan dan memperjuangkan haknya atas suatu tindakan hukum yang
dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang kedudukannya lebih kuat dari masyarakat
agar tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Dalam kesempatan ini, kami selaku para penulis akan membahas kasus
pertanahan dengan cara menganalisis Putusan PTUN pada tingkat pertama (Putusan
Nomor:

214/G.TUN/2001/P.TUN-JKT),

banding

(Putusan

Nomor:

191/B/2002/PT.TUN.JKT), dan kasasi (Putusan Nomor: 361K/TUN/2003) sebagai


bentuk pengamatan kami atas teori-teori Hukum Acara PTUN yang dibandingkan dengan
praktiknya di kehidupan masyarakat.
2. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana prosedur beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara dalam Putusan
Nomor:

214/G.TUN/2001/P.TUN-JKT,

Putusan

Nomor:

191/B/2002/PT.TUN.JKT, dan Putusan Nomor: 361K/TUN/2003?


2. Bagaimana penerapan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara dalam Putusan
Nomor:

214/G.TUN/2001/P.TUN-JKT,

Putusan

Nomor:

191/B/2002/PT.TUN.JKT, dan Putusan Nomor: 361K/TUN/2003?

3. Tujuan Penelitian
1. Memahami prosedur beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara Putusan Nomor:

214/G.TUN/2001/P.TUN-JKT, Putusan Nomor: 191/B/2002/PT.TUN.JKT, dan


Putusan Nomor: 361K/TUN/2003.
2. Memahami penerapan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara dalam Putusan
Nomor:

214/G.TUN/2001/P.TUN-JKT,

Putusan

Nomor:

191/B/2002/PT.TUN.JKT, dan Putusan Nomor: 361K/TUN/2003.

3Indroharto, Op. Cit., hlm. 55.


5

BAB II
ANALISIS KASUS
1. Kasus Posisi
Ny. Tutun Suganda selaku Penggugat merupakan Warga Negara Indonesia yang
menggugat Kepala Badan Pertanahan Nasional atas penerbitan Surat Keputusan Badan
6

Pertanahan Nasional (dahulu Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan


Nasional) Nomor 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat
Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No. 8/Puspasari atas nama Ny. Tutun
Suganda yang terletak di Desa Puspasari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor,
Propinsi Jawa Barat belum pernah ia terima dan baru diketahui oleh Penggugat pada
tanggal 20 September 2001.
Diterbitkannya SK Badan Pertanahan Nasional Nomor 24-XI-1996 tanggal 3
Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat
Hak Milik No. 8/Puspasari atas pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal
17 Oktober 1988 No. 31/Pdt.G/1988/PN.Bgr jo Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
tanggal 7 Oktober 1989 No. 233/Pdt/1989/PT.Bdg jo Putusan Mahkamah Agung RI
tanggal 17 Februari 1993 No. 1311.K/Pdt/1990 dalam perkaran antara Tengku
Muhammad Hasan melawan Dharma Tandiono Sukanta. Selanjutnya, didasarkan atas
Berita Acara Lelang tanggal 27 November 1993 No. 994/1993-94 yang dimenangkan
oleh R.H.A. Saleh untuk memenuhi Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bogor No.
09/Eks/Pdt.PN.Bgr. jo No. 31/Pdt.G/1988/PN.Bgr tanggal 24 November 1993 dalam
perkara antara Tengku Muhammad Hasan melawan Dharma Tandiono Sukanta lalu.
Tetapi lelang eksekusi tersebut tidak benar menurut Penggugat karena dilakukan atas
tanah hak milik Penggugat yang berada pada Desa Puspasari, Kecamatan Citeureup,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat namun Penggugat yang dulunya bernama Gan
Tjoen Nio tidak ikut sebagai pihak dalam perkara tersebut.
Sebelum pernikahan antara Penggugat dengan Dharma Tandiono Sukanta (pihak
dalam perkara Lelang di atas) yang dahulu bernama Tan Kong Tjoan telah diadakan
perjanjian Pemisahan Harta Perkawinan yang menyebabkan barang milik Penggugat
tidak dapat digunakan untuk membayar utang Dharma Tandiono Sukanta, yang karena
hal tersebut Lelang Eksekusi di atas adalah batal demi hukum.
Sewaktu SK Badan Pertanahan Nasional Nomor 24-XI-1996 tanggal 3 Desember
1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik
No. 8/Puspasari atas Ny. Tutun Suganda diterbitkan, tanah tersebut sedang dalam
penyitaan-jaminan oleh PN Jakarta Selatan yang seharusnya Tergugat tidak dapat
menerbitkan SK yang dapat memindahkan hak atas tanah yang berstatus quo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) huruf C Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986.
Berdasarkan dalil-dalil yang telah dikemukakan di atas, Penggugat mohon kepada
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk:
7

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;


2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Tergugat No. 24-XI1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikt Hak Milik
No.7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No.8/Puspasari atas nama Ny.
Tutun Suganda tersebut;
3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Tergugat No.
24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikt Hak
Milik No.7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No.8/Puspasari atas nama
Ny. Tutun Suganda tersebut;
4. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara yang timbul dari perkara
ini.
2. Pertimbangan Putusan Majelis Hakim di PTUN, PTTUN, dan MA
A. Pengadilan Tata Usaha Negara :
- Dalam eksepsi :
Tergugat dalam eksepsi-nya menyatakan bahwa objek sengketa yang digugat oleh
Penggugat tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara karena
menurut Tergugat Surat Keputusan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertahanan
Nasional No.24-xi-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak
Milik No.7/Puspasari dan No.8/Puspasari, tercatat atas nama Ny. Tutun Suganda adalah
keputusan yang dikeluarkan untuk melaksanakan putusan Pengadilan Negeri Bogor
tanggal 17 Oktober 1988 No. 31/Pdt.G/1988/PN.Bgr jo. Putusan Pengadilan Tinggi
Bandung tanggal 17 Februari 1990No.233/Pdt/89/PT.Bdg jo putusan Mahkamah Agung
RI tanggal 17 Februari 1993 No. 1311 K/Pdt/1990, dan juga putusan Pengadilan Negeri
Bogor No. 10/Pdt/Bth/1993/PN.Bgr tanggal 13 Juni 1994. Dalam pasal 2 huruf e
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dinyatakan
bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang
tersebut.
Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa terbitnya Surat Keputusan
Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertahanan Nasional No.24-xi-1996 tanggal 3
Desember adalah untuk menjalankan putusan peradilan merupakan hal yang keliru
karena perkara tersebut bukanlah mengenai sengketa kepemilikan tanah namun sengketa
utang-piutang, sehingga pelaksanaan putusannya adalah pembayaran utang. Kemudian,
8

penggugat sebagai pemilik tanah bukan merupakan pihak dalam sengketa tersebut
sehingga penggugat tidak mungkin dihukum membayar hutang. Selanjutnya, hakim
dalam pertimbanganya menyatakan bahwa secara formal surat keputusan Menteri
Agraria tersebut telah memenuhi unsur pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu sebagai suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata. Dengan adanya surat keputusan tersebut sertifikat hak milik
atas tanah penggugat dinyatakan batal dengan segala akibat hukumnya, oleh karena itu
surat keputusan bersifat konkret, final ditujukan untuk penggugat dan menimbulkan
akibat hukum bagi penggugat, memenuhi unsur pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Bahwa berdasarkan hal tersebut
Majelis Hakim menyatakan eksepsi Tergugat tidak cukup beralasan hukum dan harus
dinyatakan ditolak.
- Dalam Pokok Perkara :
Dalam gugatan, penggugat pada inti nya berasalan bahwa objek sengketa, yaitu Surat
Keputusan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertahanan Nasional No.24-xi-1996
tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No.7/Puspasari dan
No.8/Puspasari, tercatat atas nama Ny. Tutun Suganda tidak seharusnya dikeluarkan
karena selain keputusan tersebut merupakan keputusan atas lelang eksekusi yang dalam
perkara tersebut Penggugat tidak termasuk sebagai pihak dan atas tanah-tanah tersebut
sedang dalam sengketa dalam perkara No.193Pdt.G/1994/PN.Jak.Sel dan sedang dalam
penyitaan jaminan oleh Pengadillan Negeri Jakarta Selatan sehingga atas tanah tersebut
tidak dapat diterbitkan surat keputusaan yang dapat memindahkan hak atas tanah
tersebut. Berkaitan dengan tersbeut Penggugat menganggap bahwa pada saat
menerbitkan Surat Keputusan Tersebut Terguggat seharusnya mengetahui bahwa atas
atanah tersebut engan dalam sengketa dan dalam penyitaan dan setelah melihat
pertimbangan tersebut Tergugat harusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan
tersebut, sesuai dengan pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa benar antara Penggugat
dan Dharma Tandiono Sukanta selaku termohon lelang eksekusi. Kemudian, mengenai
Surat Keputusan tersebut jika dicermati, maka belum terjadi peralihan hak milik karena
9

Penggugat belum menyerahkan sertifikat tanah miliknya secara faktual pada saat lelang
ekseskusi. Selain itu terhadap sertifikat Hak Milik No.7 dan No.8/Puspasari telah
diletakkan sita jaminan dan masih terkait sengketa kepemilikan di Pengadilan Negeri.
Menurut Majelis Hakim, pada saat menerbitkan Surat Keputusan tersebut tidak cermat
dan teliti karena tidak memperhatikan kepentingan pihak lain yang dirugikan akibat akan
diterbitkannya

surat

keputusan

tersebut.

Selain

itu,

Majelis

hakim

dalam

pertimbangannya juga menyatakan bahwa tindakan tergugat jika dikaitkan dengan pasal
30 (1) dan (2) PP No. 10/1961 serta Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik maka
seharusnya Tergugat tidak menerbitkan surat keputusan tersebut. Berkaitan dengan hal
tersebut maka tindakan Tergugat telah memenuhi krteria pasal 53 ayat (2) huruf b dan c
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Bahwa, asas dasar
diatas Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan
batal Surat Keputusan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertahanan Nasional No.24xi-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik
No.7/Puspasari dan No.8/Puspasari, tercatat atas nama Ny. Tutun Suganda,
memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Agraria atau Kepala
Badan Pertahanan Nasional No.24-xi-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan
Sertifikat Hak Milik No.7/Puspasari dan No.8/Puspasari, tercatat atas nama Ny. Tutun
Suganda dan menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
273.000,00 (Dua Ratus Tiga Puluh Tujuh ribu Rupiah).
B. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara :
Pihak Tergugat / pembanding yaitu Kepala Badan Pertahanan Nasional Indonesia
dengan kuasa-nya mengajukan permohonan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta No.214/G.TUN/2001/PTUN JKT pada tanggal 12 Juni 2002. Terhadap
permhononan banding Tergugat / Pembanding secara nyata diajukan masih dalam
tenggang waktu yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan karena-nya permohonan banding
dapat diterima. Kemudian pada tanggal 26 September 2002, Tenggugat / Pembanding
menyerahkan memori banding yang pada pokok-nya tidak sependapat dengan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut. Dalam hal ini setelah Majelis Hakim
memeriksa dan meneliti sengketa ini dan berkas perkara yang terdiri dari salinan resmi
putusan

Majelis

Hakim

Pengadilan

Tata

Usaha

Negara

Jakarta

No.214/G.TUN/2001/PTUN JKT tanggal 27 April 2009 yang dimohonkan banding,


10

surat-surat nukti kedua belah pihak serta memori banding dari Tergugat / pembanding
menyatakan bahwa pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta dalam menjatuhkan putusannya adalah tidak tepat.
Majelis Hakim Tinggi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa telah
diperoleh fakta hukum telah terbuktinya eksepsi Tergugat / pembanding, bahwa Surat
Keputusan Tergugat/ Pembanding yang menjadi objek sengketa dalam perkara tersebut
merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sehigga tidak termasuk kedalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
menurut pasal 2 huruf e Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Atas dasar tersebut maka Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No.
214/G.TUN/2001/PTUN JKT tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan harus
dibatalkan. Artinya, Majelis Hakim Tinggi telah menerima permohonan banding dari
Tergugat/ dan menyatakan Pembanding Penggugat / Terbanding sebagai pihak yang
kalah dan dihukum untuk membayar biaya sengketa yang timbul di dua tingkat
Pengadilan yang untuk tingkat banding seperti yang ditetapkan yaitu sebanyak Rp.
200.000,- (Dua Ratus Ribu Rupiah).
C. Mahkamah Agung
Setelah putusan dari Pengadilan Tinggi yang diberitahukan kepada Penggugat pada
kemudian Penggugat/ Terbanding mengajukan permohonan kasasi secara lisan pada
tanggal 14 Mei 2003 yang diikuti dengan memori kasasi dengan alasan-alasannya yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara pada tanggal 6 Juni 2003.
Bahwa setelah itu Tergugat/ Pembanding yang pada tanggal 9 Juni 2003 diberitahu
memori kasasi dari Penggugat/ Pembanding dan terhadapnya diajukan jawaban memori
kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilaan Tata Usaha Negara Jakarta pada
tanggal 7 Juli 2003. Bahwa terhadap alasan-alasan yang diajukan Penggugat /
Terbanding, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat
dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sudah tepat dalam
pertimbangannya dan tidak salah

menerapkan hukum atau melanggar hukum yang

berlaku. Mengenai keberatan penggugat pula, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya


menyatakan putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/
atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh permohononan kasasi
11

yang diajukan oleh Pemohon Kasasi harus ditolak. Oleh karena pemohon kasasi dari
pemohon ditolak, maka pemohon kasasi wajib membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini yaitu sebesar Rp. 500.000,00 (Lima Ratus Ribu Rupiah)
3. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
a. Asas Point dinteret
Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan, apabila tidak ada kepentingan
maka tidak ada gugatan (Pasal 53 ayat (1) UU 9 Tahun 2004). Dalam putusan ini
penggugat memiliki kepentingan, dimana adanya pembatalan sertifikat hak milik
atas nama tergugat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor: 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan
Sertifikat Hak Milik No.7/Puspasari dan Sertifikat No.8/Puspasari atas nama Ny.
Tutun Suganda..
b. Asas Dominus Litis
Hakim berperan aktif terhadap jalannya perkara (Pasal 63 ayat (2) butir a dan b,
Pasal 80 ayat (1), Pasal 83 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86 ayat (1), Pasal 103 ayat (1),
Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986). Disini dapat dilihat Majelis Hakim telah aktif
mendengarkan dalil-dalil dari kedua belah pihak dan memeriksa bukti-bukti yang
relevan yang diajukan oleh kedua belah pihak.
c. Asas Presumptio Justae Causa
Setiap keputusan tata usaha negara dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum
dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim sebagai keputusan yang bersifat
melawan hukum (Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986). Setelah diputus oleh Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara bahwa gugatan penggugat ditolak, maka tergugat
dapat melaksanakan Surat Keputusan tersebut, sehingga pembatalan sertifikat hak
milik atas nama penggugat tetap berlaku.
d. Asas Erga Omnes
Putusan Peradilan Tata Usaha Negara akan menimbulkan konsekuensi mengikat
umum dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung persamaan yang

12

mungkin timbul pada masa yang akan datang. Apabila selanjutnya akan ada
sengketa pemberhentian secara tidak hormat pegawai seperti ini, maka putusan ini
juga berlaku pada sengketa tersebut.

4. Dasar Pengajuan Gugatan Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara


Gugatan yang diajukan terhadap Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara harus
memenuhi unsur-unsur yang ada dalam pasal 56 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang salah satunya adalah harus
memuat dasar gugatan. Seperti dalam penyusunan surat gugatan perdata, surat gugatan
TUN pun sebaiknya jelas dalil-dalilnya dan konkret mengenai hubungan hukum yang
terjadi yang merupakan dasar-dasar dari gugatannya (fundamentum petendi)4
Dalam pasal 53 ayat (2) huruf c Undang-undang No. 5 Tahun 1986 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara diatur mengenai alasan-alasan yang dapat digunakan dalam
gugatan atas sengketa tata usaha negara, yaitu:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturanperundang-undangan
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negaea pada waktu mengeluarkna keputusan
sebagiamana yang dimaksud pada ayat (1) telah menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan
tersebut.
Penjelasan Pasal 53 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam pemerintahan yang bebas
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan bertugas untuk 1)
mengumpulkan fakta yang relevan; 2) mempersiakan, mengambi dam melaksanakan
4 Ibid., hlm. 77.

13

keputusan yang bersangkutan dengan memperhatikan asas-asa hukum yang tidak tertulis;
3) dengan penu kelonggaran menentukan senddiri isi, cara menyusun dan saat
mengeluarkan keputusan itu. Kemudian, pengujian dari segi hukum terhadap Keputusan
tersebut juga harus memeperhatikan apakan semua fakta yang relevan telah ikut
dipertimbangkan, apakah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan pada
waktu mempersiapkan, menerbitkan atau memutuskan dan melaksanakan telah
mmeperhatikan asasasas yang berlaku. Dalam hal ini Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara haruslah teliti dan cermat saat mempersiapkan dan me menerbitkan atau
memutuskan suatu keputusan. Fakta-fakta yang ada dan relevan garuslah menjadi
pertimbangan, begitu pula dengan asa-asa yang ada harus diperhatikan agar tidak
melanggar asaas-asas yang ada.
Berdasarkan alasan hukum gugatan Penggugat menggugat Tergugat dengan dasar
gugatan :
1. Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 24-XI-1996 merupakan
keputusan atas lelang eksekusi yang dalam perkara tersebut Penggugat tidak
termasuk sebagai pihak dan atas tanah-tanah tersebut sedang dalam sengketa dalam
perkara No.193Pdt.G/1994/PN.Jak.Sel dan sedang dalam penyitaan jaminan oleh
Pengadillan Negeri Jakarta Selatan sehingga atas tanah tersebut tidak dapat
diterbitkan surat keputusaan yang dapat memindahkan hak atas tanah tersebut.
2. Atas lelalng ekseskusi tersebuut, penggungat menyatakan bahwa ekseskusi tersebut
tidak sah karena penggugat bukan merupakan pihak dalam perkara tersebut, dan
antara penggugat dan Dharma Tadiono Sukanta telah ada perjanjian pra-nikah yang
menyatakan bahwa ada perpisahan harta antara suami dan istri sehingga harta milik
penggugat tidak dapat digunakan untuk membayar hutang Dharma Tadiono Sukanta
sehingga lelalang eksekusi tersebut batal demi hukum.
3. Dalam jawaban yang diajukan oleh Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Bogor
dalam perkara No. 61/Pdt.G/2001/PN.Jak.Tim dinyatakan bahwa terhadap sertifikat
Hak Milik No. 7/Puspasari dan No.8/Puspasari atas nama Ny. Suganda telah
dibatalkan dengan keputusan terguggat, yaitu berupa surat keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 24-XI-1996 tentang pembatalan sertifikat Hak Milik atas
nama Ny. Suganda dan apabila penggugat merasa keberatan maka dapat mengajukan
14

gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara sesuai Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
4. Tergugat pada waktu mengeluarkan keputusan telah mengetahui bahwa atas tanah
tersebut sedang dalam sengketa dan dalam penyitaan jaminan, maka setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang berkaitan dengan keputusan tersebut
seharusya tergugat tidak sampai pada pengambilan keputusan itu seperti dalam pasal
53 ayat (2) huruf c Undang-undang No. 5 Tahun 1986 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
5. Tergugat saat menerbitkan Surat Keputusan tersebut tidak cermat dan teliti karena
tidak memperhatikan kepentingan pihak lain yang dirugikan akibat akan
diterbitkannya surat keputusan tersebut. Selain itu, Majelis hakim dalam
pertimbangannya juga menyatakan bahwa tindakan tergugat jika dikaitkan dengan
pasal 30 (1) dan (2) PP No. 10/1961 serta Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
maka seharusnya Tergugat tidak menerbitkan surat keputusan tersebut.

5. Subyek dan Obyek Gugatan


Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak, yaitu:
a. Penggugat
Penggugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang No. 51
Tahun 2009 adalah Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Dari pengertian penggugat diatas dapat ditentukan bahwa pihak-pihak yang dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:
a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN);
b. Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN).

15

Kepentingan yang dimaksud dalam kaitannya dengan pengajuan gugatan tersebut,


mengandung arti, yaitu:
1. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum, dan
2. Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses
gugatan yang bersangkutan (Indroharto, 1993: 38-40).
Dalam Putusan ini Penggugat adalah Tutun Suganda seorang Warga Negara Indonesia
yang memberi kuasa kepada DARYO. M, SH, Advokat dan Pengacara pada Kantor
Advokat dan Pengacara DEA LAW FIRM.
Penggugat merupakan seorang manusia yang mengemban hak dan kewajiban.
Penggugat dianggap memiliki kepentingan nilai yang harus dilindungi oleh hukum yang
berkaitan dengan faktor kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat, karena
sesuai dengan jusrisprudensi peradilan perdata5, yaitu:
1. Penggugat mempunyai hubungan dengan penggugat sendiri, artinya untuk dianggap
sebagai orang yang berkepentingan, penggugat itu mempunyai kepentingan sendiri
untuk mengajukan gugatan tersebut. Ia juga memberikan kuasa kepada ahli kuasanya
dengan surat kuasa khusus.
2. Kepentingan penguggat juga bersifat pribadi, artinya penggugat mengajukan gugatan
karena kepentingan penggugat sendiri, yang jelas dapat dibedakan dengan
kepentingan orang lain.
3. Kepentingan pernggugat bersifat langsung, artinya kerugian yang diderita akibat
dikeluarkannya KTUN harus benar-benar dirasakan secara langsung oleh penggugat.
4. Kepentingan itu secara obyektif yang dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun
intensitasnya.
Dengan itu maka, Tutun Suganda dalam putusan ini dapat dikatakan sebagai
penggugat sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 karena
ia merupakan seseorang yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan

5 Ibid., hlm. 34.


16

Nasional Nomor: 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat


Hak Milik No.7/Puspasari dan Sertifikat No.8/Puspasari atas nama Ny. Tutun Suganda
b. Tergugat
Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat adalah jabatan yang ada pada Badan Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu
atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah
orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat kepada orang tersebut.
Badan atau Pejabat TUN sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986
jo. UU No. 9 Tahun 2004 adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Dalam kasus ini, yang digugat atau yang menjadi tergugat adalah Kepala Badan
Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non
Kementrian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin
oleh Kepala. (Sesuai dengan Perpres No. 63 Tahun 2013) Kepala Badan Pertanahan
Nasional merupakan suatu jabatan pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
KTUN.
Wewenang yang dimiliki oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional dilihat dari sumber
kewenangan penerbitan keputusan objek yang disengkatan yaitu

Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Dalam Pasal 1
angka 14 disebutkan bahwa pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan
pemberian suatu hak atas tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut
mengandung cacad hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Menurut pasal 3 angka (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Pemberian dan pembatalan Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri
dan menurut pasal 3 ayat (2) Pemberian dan pembatalan hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor
Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan dan Pejabat yang ditunjuk.
Berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku diatas, maka Tergugat mempunyai
wewenang untuk menerbitkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

17

Nomor: 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik
No.7/Puspasari dan Sertifikat No.8/Puspasari atas nama Ny. Tutun Suganda.
Dengan itu, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat dikatakan sebagai
Tergugat yang diatur pada pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun
2004

Obyek Sengketa
Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara sesuai pasal 1 angka 3 UU No. 5
Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004 adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Dalam putusan ini Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan adalah Surat
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 24-XI-1996 tanggal 3 Desember
1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No.7/Puspasari dan Sertifikat
No.8/Puspasari atas nama Ny. Tutun Suganda. Surat Keputusan tersebut merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara sesuai pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9
Tahun 2004 karena:
a. Berupa penetapan tertulis; bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih
ditekankan kepada isinya, yang berisi kejelasan tentang:
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
c. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut; dan
d. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Surat keputusan yang dipersengketakan dalam putusan sudah memenuhi ketiga
kriteria diatas, yaitu dikeluarkan oleh Kepala Pertanahan Nasional (tergugat) untuk Tutun
Suganda (penggugat) tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No.7/Puspasari dan
Sertifikat No.8/Puspasari atas nama Tutun Suganda (penggugat)
18

e. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN


Badan atau Pejabat TUN sebagai Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 UU No.
5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha negara
adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam putusan ini yang menjadi Badan atau Pejabat TUN (tergugat) adalah Kepala
Badan Pertanahan Nasional.
f. Berisi tindakan Hukum TUN
Sebagai suatu tindakan hukum, penetapan tertulis harus mampu menimbulkan suatu
perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada.6 Dalam SK yang
dipersengketakan dalam putusan ini, perubahan dalam hubungan hukum yang terjadi
telah menghapuskan hak milik penggugat atas tanah yang tertera dalam sertifikat yang
dibatalkan oleh tergugat.
g. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan;
Yang dimaksud adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang
dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik ditingkat pusat
maupun ditingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah yang juga mengikat secara umum
(Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Sedangkan menurut
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan
mengikat secara umum.
h. Bersifat konkret
Diartikan bahwa obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi
berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.7 Surat Keputusan yang dipersengketakan dalam
6 Indroharto, Op. Cit., hlm. 175.
7 Ibid., hlm. 172.
19

putusan ini bersifat konkret karena jelas mengenai Pembatalan Sertifikat Hak Milik atas
nama Penggugat.
i. Bersifat individual
Diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum,
tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Surat Keputusan yang dipersengketakan
dalam putusan ini bersifat individual karena ditujukan pada satu orang tertentu yaitu
Tutun Suganda (penggugat).
j. Bersifat final
Diartikan keputusan tersebut sudah definitif, keputusan yang tidak lagi memerlukan
persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini dapat
menimbulkan akibat hukum.
k. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam
suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan
hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan
akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan
Tertulis.
Dalam Surat Keputusan yang dipersengketakan di putusan ini, akibat hukum yang
ditimbulkan adalah hilangnya hak milik penggugat atas tanah yang tertera dalam
sertifikat yang dipersengketakan.

6. Tenggang Waktu
Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, suatu gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Sehingga apabila gugatan telah melewati jangka waktu yang ditentukan, maka gugatan
tersebut menjadi batal demi hukum. Penentuan 90 (sembilan puluh) hari tersebut
dinterpretasikan secara bervariasi. Intepretasi tersebut antara lain: 1) Sejak hari
20

diterimanya Keputusan TUN yang digugat itu memuat nama penggugat; 2) Setelah
lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam aturan perundang-undangan yang
memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan
namun ia tidak berbuat apa-apa; 3) Setelah 4 bulan apabila peraturan perundangundangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan
keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa; 4) Sejak hari pengumuman apabila
KTUN itu harus di umumkan.
Berdasarkan Yurisprudensi vide Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg. 5
K/TUN/1992 tanggal 21 Januari 1993 yang menyebutkan bahwa jangka waktu
termaksud dalam pasal 55 UU PTUN Tahun 1986 dihitung sejak Penggugat mengetahui
adanya keputusan merugikan dirinya. Apabila ditemukan perselisihan mengenai
tenggang waktu pengajuan gugatan, maka masing-masing pihak harus membuktikan dan
memastikan dengan alat bukti, kapan pengguat benar-benar sudah mengathui adanya
keputusan pejabat/Badan TUN yang merugikannya. Sehingga, pada dasarnya, tergugat
tidak bisa berpatokan pada tanggal diterbitkannya surat keputusan yang dimaksud.
Tergugat hanya dapat berpatokan pada saat surat keputusan tersebut diberitahu kepada
penggugat. Pemberitahuan ini, pada dasarnya dapat dibuktikan dengan penyerahan surat
keputusan tersebut ke alamat tempat tinggal penggugat.8
Dalam Putusan Nomor 214/G.TUN/2001/P.TUN-JKT, yang menjadi obyek sengketa
adalah Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional No. 24-XI-1996 yang dikeluarkan
pada tanggal 3 Desember 1995. Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional ini berisi
tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No.
8/Puspasari atas nama Ny. Tutun Suganda.
Dengan demikian, tenggang waktu sembilan puluh hari dalam perkara ini dihitung
sejak saat diterimanya Surat Keputusan tersebut oleh Penggugat, yaitu tanggal 3
Desember Tahun 1996. Dengan demikian, gugatan Penggugat yang diajukan ke
Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 11 Desember 2001
pada dasanya sudah melewati tenggang waktu sembilan puluh hari sebagaimana diatur
dalam Pasal 55 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang RI Nomor
9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Disni dapat dipermasalahkan mengenai posisi pihak Ny. Tutun Suganda selaku
penggugat. Apakah Ny. Tutun Suganda tersebut adalah pihak yang dituju pada
8 Boy Yendra Tamin, Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan Ke Pengadilan Tata Usaha
Negara http://www.boyyendratamin.com/2014/08/tenggang-waktu-mengajukan-gugatanke.html, diakses pada 17 November 2015
21

Keputusan Badan Pertanahan Nasional tersebut atau hanya sebatas pihak lain yang
berkepentingan. Hal tersebut perlu diperhatikan karena ada penafsiran yang berbeda
mengenai tenggang waktu menggugat bagi pihak yang dituju dan pihak yang
bekepentingan. Tenggang waktu mengajukan gugatan bagi pihak yang dituju dengan
sebuah KTUN adalah sembilan hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak
ke ketiga yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu
diumumkan. Namun sampai sekarang ini belum ada ketentuan yang secara langsung
mengatur mengenai kapan KTUN tersebut diumumkan.
Berdasarkan SEMA No 2 Tahun 1991, diatur bahwa bagi pihak ketiga yang
berkepentingan maka penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui
keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut. Dengan demikian,
pada dasarnya MA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang
waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa merasa kepentingannya dirugikan
tidak hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi
merasa

kepentingannya

dirugikan.9 Sehingga

melalui

SEMA tersebut

sangat

dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun
silam.
Dengan demikian, merujuk pada SEMA No. 2 Tahun 1991, tersebut, dapat
disimpulkan bahwa meskipun tenggang waktu pengajuan gugatan telah terlampaui,
namun Ny. Tutun Suganda masih dapat mengajukan gugatannya. Hal ini dikarenakan
kepetingan yang dirugikannya tersebut, menurut SEMA No 2 Tahun 1991, tidak dibatasi
oleh batas waktu 90 hari.

7. Upaya Administratif
Penyelesaian suatu sengketa Tata Usaha Negara dapat dilakukan melaui dua cara
yakni secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung suatu sengketa
diselesaikan melalui mekanisme pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
setempat. Sedangkan, penyelesaian secara langsung diselesaikan melalui jalur upya
administratif. Upaya administratif ialah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang
9 Irvan Mawardi, Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara
Pilkada http://www.hukum.bunghatta.ac.id/tulisan.php?dw.38, diakses pada 17 November
2015
22

atau badan hukum perdata untuk menyelesaikan sengketa TUN yang timbul akibat merasa
tidak puas dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dilaksanakan di
lingkungan instansi pemerintahan itu sendiri.10 Tetapi hal yang perlu diperhatikan ialah
mengenai rasa tidak puas di mana tidak cukup apabila seseorang atau badan hukum
perdata hanya merasa tidak puas dengan suatu Keputusan Tata Usaha Negara lantas
langsung mengajukan gugatan. Penggugat atau pihak yang merasa kepentingannya
dilanggar dengan dikeluarkan atau tidak dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
perlu mencermati terlebih dahulu apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang hendak
digugat benar melanggar ketentuan dalam undnag-undang.
Penyelesain melalui upaya administratif ini bersifat imperatif, yang artinya wajib
dilakukan oleh pencari keadilan (penggugat) sebelum menggunakan upaya hukum
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara11. Upaya administrative terdiri dari
a. Prosedur keberatan, yaitu penyelesian sengketa Tata Usaha Negara yang
dilakukan dengan cara mengajukan keberatan kepada instansi yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara ; dan
b. Prosedur banding administrative, yaitu penyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara dengan cara dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara12

Pada upaya administratif, perlu diperhatikan mengenai tenggang waktu untuk


mengajukan gugatan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tenggang waktu untuk mengajukan gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah 90 hari. Di mana apabila terdapat upaya
administrative tenggang waktu 90 hari dihitung sejak hari diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha
Negara di instansi yang menangani upaya administratifnya. Sedangkan apabila tidak
10 Indonesia, Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986, LN
No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344, Pasal 48 ayat (2).
11 M. Nasir, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal.
52.
12 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II
Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 50
23

tersedia upaya administratif maka tenggang waktu 90 hari terhitung sejak diterimanya
atau diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara semula13.
Upaya administrative sendiri bertujuan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara melalui jalur musyawarah sehingga mengurangi resiko ketengangan yang timbul
apabila diselesaikan melalui pengadilan tata usaha negara. Selain itu dengan terlebih
dahulu diselesaikan melalui upaya administrative diharapkan dapat membantu
meringankan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara guna
menghindari penumpukan kasus.
8. Proses Peradilan
Proses berperkara dalam Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki dua proses,
yaitu acara biasa dan acara singkat. Acara singkat adalah suatu cara dengan cara yang
sederhana atau sesingkat mungkin untuk menanggulangi arus masuknya perkara yang
sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk diproses sebagai suatu gugatan TUN yaitu
pemutusan hanya dilakukan dengan rapat permusyawaratan Ketua Pengadilan tanpa
adanya proses antar pihak dan tanpa dilakukan pemeriksaan dimuka persidangan
umum.14 Dalam acara singkat tidak mengenal tahapan pemeriksaan. Acara cepat
dimungkinkan dikarenakan terdapat kepentingan Penggugat yang mendesak. Undangundang tidak memberikan penjelasan secara tegas mengenai apa yang dimaksud
kepentingan yang cukup mendesak, namun dapat kita ambil contoh kasus yang
memerlukan acara singkat adalah pembongkaran yang memperlihatkan adanya hak
dasar penggugat berupa kepentingan yang cukup mendesak.
Dalam kasus yang kami analisa, perkara yang diajukan dalam PTUN tergolong ke
dalam perkara yang masuk ke dalam acara biasa dikarenakan tidak ada kepentingan
dari Pengugat yang mendesak. Acara biasa ini adalah acara normal yang biasa
ditempuh yang akan dilalui oleh setiap gugatan yang diajukan. Tujuan yang ingin
dicapai diacara biasa adalah untuk memperoleh suatu putusan pengadilan yang final
yang baik dan berbobot yang didasarkan atas hasil pemeriksaan yang cermat dan teliti
mengenai dasar dan latar belakang dari sengketa yang diajukan, mengenai kadar
kebenaran dari dalil-dalil yang diajukan para pihak maupun dasar-dasar hukum
13 M. Nasir, Op.cit, hal. 57
14Indroharto, Op. Cit., hlm. 149.
24

perkaranya.15 Kasus yang kami analisa mengenai penerbitan Surat Keputusan Badan
Pertanahan Nasional (dahulu Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional) Nomor 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat
Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No. 8/Puspasari atas nama Ny.
Tutun Suganda. Acara biasa terdapat 3 tahapan, yaitu:
a. Penelitian administrasi
Periode sub iudice dimulai dengan penelitian pendahuluan yang bersifat
formal ketatausahaan peradilan belaka yang dilakukan oleh staf Kepaniteraan
yaitu Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Muda. Penelitian administrasi hanya
dilakukan dari segi formalnya saja yaitu mengenai bentuk maupun isi surat
gugatan sesuai dengan Pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986, dan jangan sampai
menyangkut segi materi gugatan. Dalam SEMA tanggal 9 Juli 1991, Panitera
yang bersangkutan harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya dan dapat
meminta kepada pihak yang bersangkutan untuk memperbaiki yang dipandang
perlu. Panitera tidak berhak menolak pendaftara perkara yang bersangkutan
dengan dalih apapun.16 Kalau keabsahan surat gugatan tidak terpenuhi, Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang untuk mengeluarkan penetapan
dismissal, yaitu bahwa gugatan tidak dapat diterima.
Dalam kasus ini, Penggugat telah menjalankan tahapan pemeriksaan
persiapan yaitu telah menggugat Tergugat dengan surat gugatan tertanggal 11
Desember 2001 yang diterima dan terdaftar di dalam register Kepaniteraan
Pengadulan Tata Usahan Negara pada tanggal 13 Desember 2001 dengan nomor:
214/G.TUN/2001/PTUN-JKT dan telah diperbaiki pada sidang Pemeriksaan
Persiapan tanggal 21 Januari 2002.

b. Dismissal Procedure

15Ibid., hlm. 67.


16Ibid., hlm. 82-83.

25

Dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan dalam rapat
permusyawaratan, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan
bahwa gugatan yang diajukan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.
Dalam proses pemeriksaan oleh Hakim tidak hanya memeriksa format gugatan
tetapi juga memeriksa materi perkaranya. Suatu gugatan tidak dapat diterima atau
tidak berdasar, dalam hal:
a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 56 tidak
dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktu.
Dalam kasus ini tidak terdapat tahap dismissal procedure, karena perkara
ini termasuk dalam wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara. Surat Gugatan
juga sudah sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986.
Lalu, gugatan dari Penggugat didasarkan pada alasan-alasan yang layak yaitu
Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional mengenai
Pembatalan Sertifikat Hak Milik yang merugikan Penggugat dan selanjutnya
dilaksanakan proses pemeriksaan persiapan.
c. Pemeriksaan Persiapan
Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara sesuai dengan
Penetapan Penunjukan Majelis Hakim sesuai Penetapan Ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta Nomor: 214/PEN/2001/PTUN-JKT tanggal 19 Desember
2001 tentang Penunjukan Susunan Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara gugatan ini, maka pemeriksaan dengan acara biasa akan dilanjutkan
dengan yang disebut pemeriksaan persiapan. Dalam Pasal 63 UU No. 5 Tahun
1986, sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Majelis Hakim wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang
jelas. Dalam pemeriksaan persiapan tersebut Hakim wajib memberikan nasihat
kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dengan data yang diperlukan
26

dalam jangka waktu 30 hari dan dapat meminta penjelasan ataupun surat-surat
resmi yang ada kaitannya dengan keputusan yang disengketakan kepada Badan
atau Pejabat TUN yang bersangkutan.17
Dalam putusan yang kami analisis, tahap pemeriksaan persiapan pada
tanggal 21 Januari 2002 yang memperbaiki gugatan yang sudah diregister
Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara tertanggal 13 Desember 2001.
Setelah dilakukan pemeriksaan persiapan, perkara dilanjutkan ke persidangan
yang terbuka untuk umum.
9. Upaya Hukum
Pada dasarnya, upaya hukum terbagi atas dua macam yakni: 1) upaya hukum biasa
dan; 2) upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang hanya dapat
diajukan terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap, sedangkan upaya hukum
luar biasa adalah upaya hukum yang diajukan kepada putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Dalam peradilan Tata Usaha Negara, upaya hukum biasa dapat dilakukan dalam
bentuk perlawanan terhadap putusan dismissal, banding kepada PTUN, dan kasasi. Upaya
hokum luar biasa dalam Peradilan Tata Usaha Negara dapat dilakukan melalui perlawanan
oleh pihak ketiga dan peninjauan kembali.
Ditinjau dari perkara ini, maka upaya hukum yang digunakan oleh para pihak adalah
upaya hukum biasa, yakni upaya hukum banding dan upaya hokum kasasi. Selanjutnya, akan
dibahas secara rinci mengenai upaya hukum banding dan upaya hukum kasasi terkait dengan
perkara.
a) Banding
Pada dasarnya terhadap suatu putusan PTUN, berdasarkan Undang-undang No. 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 122, penggugat atau tergugat dapat
meminta pemeriksaan banding oleh kepada PTUN, apabila baik tergugat maupun penggugat
tidak puas atas putusan tersebut dan merasa dirugikan. Pemeriksaan dalam tingkat banding,
bertujuan agar seluruh pemeriksaan, baik mengenai fakta-fakta maupun penerapan hukum
17Ibid., hlm. 88.
27

serta putusan akhir yang telah dilakukan oleh Hakim tingkat pertama, diulang kembali oleh
Pengadilan Tinggi.
Pemeriksaan tingkat banding bersifat devolutif. Devolutif artinya seluruh pemeriksaan
perkara dipindahkan dan diulang oleh Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Pengadilan
Tinggi seperti duduk di tempat Hakim tingkat Pertama.18
Prosedur permohonan pemeriksaan banding dimulai dari pemohon, dalam hal ini
adalah tergugat yakni Kepala Badan Pertanahan Nasional Indonesia, mengajukan
permohonan Banding atas putusan PTUN No. 214/G.TUN/2001/P.TUN-JKT kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 12 Juni 2002. Permohonan
pemeriksaan banding tersebut dapat diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya
yang khusus dikuasakan untuk itu kepada PTUN yang menjatuhkan putusan PTUN tersebut
dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan PTUN itu diberitahukan secara sah. Pemohon
mengajukan banding kepada PTUN pada tanggal 12 Juni 2002 melalui kuasanya yakni Tondo
Subagjo, S.H., Nurmaksudi, S.H., Erry Yuliani P, S.H., dan Suharno SH., dimana
permohonan banding telah diajukan dalam batas tenggang waktu 14 hari sehingga memenuhi
syarat sebagaimana Pasal 123 UU PTUN Tahun 1986.
Selanjutnya panitera akan mencatat di dalam daftar perkara (register banding). Setelah
itu, panitera akan memberi tahukan kepada termohon, dalam hal ini Ny. Tutun Suganda, yang
sebelumnya adalah penggugat. Panitera telah memberi tahu Ny. Tutun Suganda selaku
termohon. Pernyataan banding tersebut telah disampaikan dengan surat pemberitahuan
pernyataan banding nomor surat 075/Bd/2002/PTUN-JKT pada tanggal 12 Juni 2002 kepada
terbanding.
Selambat-lambatnya 30 hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat,
Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas
perkara di kantor PTUN dalam tenggang waktu 30 hari setelah mereka menerima
pemberitahuan tersebut. Para pihak telah diberi kesempatan untuk melihat berkas perkara
masing-masing dengan surat pemberitahuan untuk melihat berkas perkara, tertanggal 25 Juli
2002 Disini Panitera telah melanggar Pasal 126 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, dimana
Panitera telah lewat waktu dalam memberitahukan kepada kedua belah pihak.
Pemohon Banding, dalam waktu 14 hari sesudah pernyataan banding harus
menyerahkan memori banding di kepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta.
Dalam hal ini pemohon telah menyerahkan memori banding pada tanggal 26 September
2002. Kemudian kontra memori banding disampaikan oleh termohon kasasi selambat18 Indroharto, op.cit., hlm 222-223.

28

lambatnya 14 hari sesudah disampaikan memori banding dan harus sudah diterima di
kepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, sehingga dapat disampaikan pada
pihak lawannya. Namun, dalam perkara ini, baik termohon ataupun kuasanya, yakni Daryo
M., S.H., Effendi Husin S.H., H. Abdurrahman Yasin, S.H., Isnu S Djatmiko, S.H., Setiyono,
S.H., Metiawati, S.H., H. Dahlan Dani, S.H., dan H.A. Nawawie, S.H., tidak menyerahkan
memori kontra banding. Selain itu, para pihak dapat juga menyerahkan surat keterangan dan
bukti kepada Panitera PTUN dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra
memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Panitera Pengadilan. Salinan
putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada Panitera
PTUN selambat-lambatnya 60 hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding.

b) Kasasi
Para pihak, pada dasarnya memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi
kepada Mahkamah Agung, dalam hal para pihak keberatan atas putusan banding yang
dikeluarkan pada pengadilan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana yang
disebutkan pada Pasal 51 jo. Pasal 131 UU PTUN Tahun 1986 dimana disebutkan bahwa
Berkaitain dengan Peradilan Tata Usaha Negara, terhadap putusan tingkat terakhir ataupun
tingkat banding dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung Dalam
perkara ini, pihak termohon yang kalah dalam tingkat pengadilan banding di Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, yakni Ny. Tutun Suganda mengajukan upaya hukum
kasasi terhadap putusan banding dengan nomor putusan 191/B/2002/PT.TUN.JKT. Dengan
demikian Mahkamah Agung selaku Pengadilan Negara Tertinggi di Indonesia dapat
melaksanakan peradilan kasasi atas permohonan para pihak yang putusan-putusan tingkat
banding atau tingkat terakhir.
Dalam hal hukum acara, maka hukum acara yang digunakan adalah sebagaimana
yang diatur pada Pasal 55 Ayat 1 dari Undang Undang No 14. Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Pada dasarnya Bab IV mengenai hukum acara Undang-Undang Mahkamah Agung
tersebut, yang termasuk didalamnya pasa 55 ayat 1, hanya mengatur mengenai hukum acara
Kasasi untuk Peradilan Umum. Namun apabila ditinjau lebih jauh terhadap Pasal 55 Ayat 1
UU MA Tahun 1985 ini, maka pemeriksaan kasasi yang diatur dalam pasal ini sebenarnya
hanya pada paragraf 2 mengenai Peradilan Umum. Tidak diatur sama sekali mengenai
pemeriksaan kasasi bagi peradilan khusus seperti Peradilan Tata Usaha ataupun Peradilan29

peradilan khusus lainnya. Sehingga acara pemeriksaan kasasi dalam UU ini dapat dianggap
berlaku bagi hukum acara pemeriksaan kasasi pada putusan yanng berasal dari lingkup
TUN.19
Selanjutnya dalam ketentuan umum pada Pasal 43 dan 44 UU MA Tahun 1985
ditentukan bahwa :
a. Permohonan pemeriksaan kasasi itu hanya dapat diajukan jika Pemohon terhadap
perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding. Dalam perkara ini,
Pemohon Kasasi Ny. Tutun Suganda melawan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia telah menggunakan upaya hukum banding di Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dengan nomor putusan 191/B/2002/PT.TUN.JKT
b. Yang mengajukan permohonan hanyalah pihak yang berperkara atau wakilnya.
Jadi pihak ketiga diberi hak untuk mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi
kecuali yang telah memasuki proses baik sebagai Penggugat maupun sebagai
Tergugat dengan mendampingi tergugat asal. Dalam perkara ini yang mengajukan
permohan adalah Ny. Tutun Suganda sebagai penggugat awal dalam pengajuan
perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara dimana ia adalah pihak yang berperkara
langsung. Selanjutnya, dalam kasasi, maka Ny. Tutun Suganda juga disebut
sebagai Pemohon Kasasi dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Indonesia
sebagai termohon kasasi.
c. Permohonan kasasi baik oleh para pihak maupun oleh Jaksa Agung itu hanya
dapat diajukan satu kali

saja. Dalam perkara ini, pemohon kasasi baru

mengajukan permohanan kasasi untuk pertama kali.


Prosedur dalam melakukan kasasi adalah sebagai berikut :
Secara procedural, majelis hakim Kasasi pada Mahkamah Agung akan melakukan
persidangan, tanpa dihadiri oleh para pihak. Hal ini dikarenakan pada dasarnya persidangan
kasasi merupakan suatu persidangan Judex Juris,

jadi persidangan hanya dilakukan

berdasarkan berkas-berkas yang dikirimkan ke Mahkamah Agung serta kontra dan memori
kasasi yang disampaikan..
Merujuk pada Pasal 46 Ayat 1 dan 2 UU MA Tahun 1985, maka dapat disimpulkan
bahwa permohonan kasasi harus disampaikan secara lisan atau tertulis melalui Panitera
Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 hari
sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada
Pemohon Kasasi. Apabila tenggang waktu waktu itu tidak dipergunakan, maka pihak yang
19 Ibid., hlm. 229.
30

berperkara dianggap telah menerima putusan tersebut. Pada prakteknya, tata cara memohon
kasasi diawali dengan mengisi akta kasasi yang sudah disediakan oleh Kepaniteraan
Pengadilan yang bersangkutan. Selanjutnya, apabila yang memohon kasasi itu sseseorang
kuasa ia harus melampiirkan surat kuasa khusus.
Dalam perkara ini, pemohon kasasi secara lisan dengan perantara kuasanya, yakni
Daryo M., S.H., Effendi Husin S.H., H. Abdurrahman Yasin, S.H., Isnu S Djatmiko, S.H.,
Setiyono, S.H., Metiawati, S.H., H. Dahlan Dani, S.H., dan H.A. Nawawie, S.H., sesuai
dengan surat kuasa khusus tanggal 11 Desember 2001 mengajukan permohonan kasasi
dengan nomor 039/KAS-2003/PTUN-JKT pada tanggal 27 Mei Tahun 2003 sedangkan
putusan banding diberitahukan kepada Pembanding pada tanggal 14 Mei 2003. Dengan
demikian, ketentuan mengenai tenggang waktu perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan
tenggang waktu paling lambat 14 hari.
Setelah permohonan memenuhi biaya perkara kasasi, barulah perkara dicatat dalam
buku daftar kasasi oleh staf Kepaniteraan Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan
sesuai dengan akta permohonan kasasi nomor 039/KAS-2003/PTUN-JKT. Kemudian
selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah akta kasasi didaftar, Panitera Pengadilan
Tingkat Pertama yang memutus perkara itu memberitahukan lagi dengan surat

tercatat

kepada pihak lawan.


Selanjutya berdasarkan pasal 47 UU MA Tahun 1985, pemohon kasasi wajib
menyampaikan

memori yang berisi alasan kasasinya dalam waktu 14 hari setelah

permohonan kasasi didaftar dalam buku daftar kasasi oleh staff Kepaniteraan Pengadilan
Tingkat pertama yang menerimanya. Memori tersebut oleh Panitera Pengadilan yang
menerimanya dikirimkan ke pihak lawannya yang kemudian pihak terakhir ini mempunyai
hak untuk menyampaikan memori balasannya. Dalam perkara ini, Termohon Kasasi telah
mengirimkan memori kasasi pada tanggal 6 Juni 2003 yang selanjutnya pada tanggal 9 Juni
2003 Termohon kasasi telah diberitahu tentang memori kasasi dari Pemohon Kasasi.
Selanjutnya, Termohon kasasi mengajukan jawaban memori kasasi yang diterima di
Kepaniteeraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 7 Juli 2003. Tenggang
waktu pengajuan memori kasasi telah memenuhi peraturan tersebut, dikarenakan waktu saat
mengajukan memori kasasi dihitung dari didaftarkannya akta permohonan adalah 13 hari,
namun mengenai jawaban memori kasasi baru diterima setelah 28 hari sejak pemberitahuan
memori kasasi kepada termohon. Hal ini tentunya tidak memenuhi ketentuan tenggang waktu
jawaban memori kasasi.

31

Dikarenakan dalam acara pemeriksaan kasasi di Peradilan Tata Usaha Negara merujuk
pada UU MA Tahun1985, maka dalam hal mengenai ketentuan alasan-alasan yang dapat
dijadikan sebagai alasan diajukan kasasi mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU MA
Tahun 1985. Dalam hal ini, ketentuan tersebut diatur dalam dalam pasal 30 UU MA Tahun
1985 yang terdiri dari :
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, tidak bewenangan dalam hal ini
berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas
terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat
gugatan.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dalam hal ini yang dimaksud
adalah kesalahan penerapan hukum baik hukum formil maupun hukum materiil,
sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh judex
facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga
diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Dalam perkara ini Pemohon Kasasi mengajukan permohonan kasasi-nya ke
Mahmakah Agung yang dalam memori kasasi nya memuat alasan-alasan sebagaiman diatur
dalam Pasal 30 UU MA Tahun 1985 huruf b yaitu terjadunya kesalahan penerapan atau
pelanggaran hukum yang berlaku. Hal ini dibuktikan dalam memori kasasi pada poin 2 yang
menyatakan bahwa:
1. Surat Keputusan Termohon Kasasi dalam hal ini Surat Keputusan Badan Pertanahan
Nasional No. 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat
Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No. 8/Puspasari atas nama Ny.
Tutun Saganda yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini adalah suatu
keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang dmkasud dalam pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 dan penjelasannya, karena baik judul maupun
isinya yang berupa tindakan hukum Tata Usaha Negara berdaarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, konkret, individual, dan final yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum.
2. Surat Keputusan Termohon Kasasi dalam hal ini Surat Keputusan Badan Pertanahan
Nasional No. 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat
Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No. 8/Puspasari atas nama Ny.
Tutun Saganda yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini bukan merupakan
32

suatu keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang PTUN Tahun
1986 (Pasal 2 huruf e).
3. Putusan pengadilan yang disebut-sebut dalam Surat Keputusan Badan Pertanahan
Nasional No. 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat
Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No. 8/Puspasari atas nama Ny.
Tutun Saganda bukan mengenai sengketa kepemilikan tanah akan tetapi sengketa
hutang-piutang sehingga yang dapat digunakan dalam keputusan Tata Usaha Negara
tersebut adalah risalah lelang yang bersangkutan yang menurut PP No. 10 Tahun
1961 mempunyai nilai seperti Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang untuk
pelaksanaanya masih diperlukan syarat-syarat lain dan tidak dapat dilaksanakan
denga cara melanggar Undang-undang ic. Pasal 199 ayat (1) HIR jo. Pasal 231
KUHP.
Mengenai alasan Pemohon Kasasi pada dasarnya mengacu pada pertimbangan hakim
yang telah tidak arif dan bijaksana serta adanya

kesalahan penerapan hukum perihal

pertimbangan hukum judex facti tingkat pertama yang dalam hal ini menyatakan batal Surat
Keputusan Badan Pertanahan Nasional No. 24-XI-1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang
Pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No. 8/Puspasari
atas nama Ny. Tutun Saganda dan memerintahkan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Indonesia untuk mencabut surat keputusan tersebut.
Namun pada dasarnya, menurut hakim pada kasasi, Pertimbangan hakim pada proses
banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah sudah tepat dalam
pertimbangannya yaitu tidak salah dalam meneruapkan hukum. Selanjutnya tidak ada
pertentangan dari judex factie dalam perkeara ini terhadap hukum positif dan undang-undang
di Indonesia. Sehingga pada dasarnya putusan kasasi Mahkamah Agung telah tepat.

33

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan analisis diatas, dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan kasus ini,
antara lain:
1. Obyek sengketa dalam kasus ini adalah Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional
(dahulu Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional) Nomor 24-XI1996 tanggal 3 Desember 1996 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No.
7/Puspasari dan Sertifikat Hak Milik No. 8/Puspasari atas nama Ny. Tutun
Sugandayang bersifat konkret, individual dan final. Sehingga memenuhi syarat dari
obyek sengketa PTUN.
34

2. Dasar gugatan yang diajukan oleh Penggugat adalah bahwa Tergugat saat
menerbitkan Surat Keputusan tersebut tidak cermat dan teliti karena tidak
memperhatikan kepentingan pihak lain yang dirugikan akibat akan diterbitkannya
surat keputusan tersebut Gugatan diajukan pada tanggal 11 Desember 20019 dimana
gugatan tersebut diajukan masih dalam tenggang waktu sembilan puluh hari sejak
diterimanya Surat Keputusan yaitu pada tanggal 20 September 2001.
3. Proses persidangan dalam kasus ini meliputi penelitian administrasi dan berlanjut ke
tahap pemeriksaan persiapan tanpa melalui dismissal procedure karena dalam perkara
ini perkara ini termasuk wewenang PTUN, syarat gugatan telah dipenuhi dan gugatan
tersebut diajukan berdasarkan alasan yang layak. Setelah melalui tahap pemeriksaan
persiapan, perkara dilanjutkan ke persidangan yang terbuka untuk umum.
4. Prosedur upaya hukum banding dan kasasi yang dilakukan oleh Penggugat telah
sesuai prosedur.

Saran
Dalam hal banding yang diajukan oleh tergugat dan diterimanya banding tersebut dan
ditolaknya kasasi yang diajukan oleh penggugat, menurut kami majelis hakim harus
mempertimbangkan lebih lanjut mengenai objek sengketa. Karena pasalnya objek gugatan
termasuk kedalam objek gugatan PTUN. Sehingga menurut kami seharusnya banding yang
diajukan tergugat ditolak.
Daftar Pustaka
Buku
Erliana, Anna dan Soemaryono. Tuntunan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha
Negara. Jakarta: PT Primamedia Pustaka, 1999.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku
II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

35

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II


Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Nasir, M. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Djambatan, 2003.
Internet
Tamin, Boy Yendra. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan Ke Pengadilan Tata Usaha
Negara http://www.boyyendratamin.com/2014/08/tenggang-waktu-mengajukan-gugatanke.html, diakses pada 17 November 2015.
Mawardi, Irvan. Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada
http://www.hukum.bunghatta.ac.id/tulisan.php?dw.38, diakses pada 17 November 2015.
Undang-Undang
Indonesia. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986, LN No.
77 Tahun 1986, TLN No. 3344.
Indonesia. Perubahan AtasUndang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 9 Tahun
2004, LN No. 35 Tahun 2004, TLN No. 4380.
Indonesia. Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No.
51 Tahun 2009, LN No. 160 Tahun 2009, TLN No. 5079.

36

Anda mungkin juga menyukai