Anda di halaman 1dari 10

Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah

sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau
kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup
analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung
jawab.
Etika adalah seperangkat prinsip moral yang menjadi pedoman perilaku seseorang.
Moral ini dibentuk oleh norma-norma sosial, praktek-praktek budaya, dan pengaruh
agama. Etika mencerminkan keyakinan tentang apa yang benar, apa yang salah,
apa yang adil, apa yang tidak adil, apa yang baik, dan apa yang buruk dalam hal
perilaku manusia

BAB II PEMBAHASAN A.
Pengertian Etika Pelayanan Kesehatan
Dalam arti yang sempit, pelayanan kesehatan adalah suatu tindakan pemberian
obat-obatan dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan
dengan swasta masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan
masyarakat, kemampuan masyarakat. Konsep ini lebih menekankan bagaimana
pelayanan publik terutama pelayanan kesehatan berhasil diberikan melalui suatu
sistem yang sehat. Pelayanan kesehatan ini dapat dilihat sehari-hari di RSUD
ataupun puskesmas-puskesmas. Tujuan pelayanan kesehatan adalah menyediakan
obat-obatan dan pelayanan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Obat-obatan dan
pelayanan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan kesehatan yang
terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap masyarakat, kalau perlu
melebihi harapan masyarakat. Dalam arti yang luas, konsep pelayanan kesehatan
(health service) identik dengan memberikan pelayanan jasa demi kepentingan
masyarakat luas. Dalam konteks ini pelayanan kesehatan lebih dititik beratkan
kepada bagaimana elemen-elemen pelayan kesehatan seperti para tim medis
melakukan pelayanan, dimana pelayanan kesehatan identik dengan pengobatan
yang merupakan bagian dari manajemen ilmu kesehatan.
1. Pentingnya Etika Pelayanan Kesehatan
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan antara administrasi dan
politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator harus sungguh-sungguh netral,
bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan kesehatan. salah satunya
jasa pelayanan kesehatan. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran
dikotomi administrasi

politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada


keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik dalam kebijakan
pentingnya pelayanan kesehatan. Sejak saat ini dimata masyarakat mulai
memberikan
perhatian khusus terhadap permainan etika yang dilakukan
oleh para tim medis yang beprofesi dibidang pelayanan kesehatan. Penilaian
keberhasilan seorang administrator atau para tim medis dibidang pelayanan
kesehatan tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi,
dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya
terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry,
1995). Alasan mendasar mengapa pelayanan kesehatan harus diberikan adalah

adanya public interest atau kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi oleh
pemerintah terutama dibidang
pelayanan kesehatan, karena pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara
profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Bertens (2000)
menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan
biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar
Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan
filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, karangan Purwadarminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai 1.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral; 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan 3. Nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dengan
memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga
arti penting etika, yaitu a) Etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan
sistem nilai.
b)
Etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan kode
etik;
c)
Sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut filsafat moral.
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas
konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang
perbuatan itu sendiri

yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya
mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara
etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku
hanya dalam pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku
dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan
tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi

tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan
cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang
cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.

2. Beberapa Permasalahan Etika Pelayanan Kesehatan


Realita yang terjadi saat ini, terkait dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) menjadi tidak relevan ditengah masyarakat yang membutuhkan
pelayanan dan penanganan sesuai dengan tujuan diadakannya program kesehatan
Gratis, program yang satu ini terlalu indah ditelinga Rakyat, namun apakah realita
yang terjadi dilapangan, apakah seindah pemaparan didalam tujuan pokok
diadakannya program itu, ataukah memang lahan bisnis bagi Oknum-oknum
tertentu, seperti halnya yang dialami oleh Penderita Tumor Ganas atas nama
Salahudin warga Dusun Madalibi Desa Madaprama, Kecamatan Woja Kabuapten
Dompu ,Salahuddin terdaftar sebagai peserta Jamkesmas pada PPK : 23050101Puskemas Dompu Barat, No. Peserta 0002512250605, atau kepesertaan : P/I/S/A
peserta tanggal lahir 01/07/1972, yang sudah sejak tanggal 20/10/2010 masuk
Rumah Sakit Umum Dompu Akibat luka dalam yang dialaminya pada rusuk bagian
kiri, selama dua hari menginap dirumah sakit yakni pada ruangan perawatan kelas I
dengan harga Rp. 30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah) Per hari total Rp. 60.000,(Enam Puluh Ribu Rupiah) selama dua hari, ditambah dengan biaya lain-lain sampai
dengan Rp 363,000,- (tiga Ratus Enam Puluh Tiga Ribu Rupiah), Pembayaran
berdasarkan ketentuan pihak Rumah Sakit, yang memang pada saat awal masuk
rumah Sakit, di Tanya oleh petugas Rumah Sakit apakah mau masuk kelas I atau
Kelas II pak/bu?, kira
-kira begitu dicontohkan oleh salah satu petugas RSUD dibagian yang menangani
Jamkesmas, pada saat Dinamika Info News menelusuri apakah nama Salahudin
terkafer atau tidak sebagai peserta Jamkesmas diruang registrasi Jaminan
Kesehatan gratis RSUD Dompu, 28/03/11.
Begitu juga penjelasan keluarga penderita, justru ditanya dengan pertanyaan yang
sama oleh pihak rumah sakit bahwa kelas yang akan di masuki oleh pasien adalah
kelas I atau Kelas II, beberapa keluarga penderita tumor yang enggan disebut
namanya pada saat dikonfirmasi Majalah Dinamika Info News dikediamannya di
Desa Madaprama 27/03/11.

Keluarga penderita mengeluhkan, sungguh Ironisnya, pihak Rumah Sakit sudah


mengetahui bahwa calon pasien itu memiliki Kartu Jaminan Kesehatan secara gratis,
kenapa justru dipertanyakan lagi, sementara untuk JAMKESMAS hanya kelas III yang
bisa
dipakai untuk tempat merawat penderita, inikan sama halnya program tersebut
dibisniskan,
keluhnya.

Disamping penjelasan tentang ruang mana saja yang berhak dipakai untuk merawat
peserta JAMKESMAS yang tidak jelas, yang terkesan menunjuk alias mengarahkan,
penderita agar menempati ruang yang ditunjuk oleh pihak Rumah Sakit Umum
Dompu, imbuhnya.
Komentar pihak Dokter RSUD Dompu, begini pak!, ruangan kelas III, ruangan itu
saja yang digratiskan, kalau ruangan I dan II itu, ruangan
untuk pasien Askes Pegawai dan orang

orang tertentu saja, cetus salah satu yang mengetahui bahwa Data Jamkesmas
untuk nama Salahudin terdaftar sebagai peserta pada program Pemerintah
khususnya Jaminan Kesehatan Gratis Masyarakat itu dengan berapi-api, sambil
menarik tanda bukti pembayaran Rumah Sakit yang dibayarkan Keluarga Salahudin
pada saat merawat tujuh bulan yang lalu. Ditempat terpisah dr. H. Ahmad Faisal,
spA. Selaku Direktur pada Rumah Sakit Umum Dompu (RSUD) membantah kalau
pihaknya yang menolak Jamkesmas yang dimiliki oleh Salahudin, apalagi
menyarankan kepada penderita maupun keluarganya untuk masuk kelas lain selain
kelas yang sudah ditentukan untuk Program Kesehatan Gratis ini, ditambahkannya
hal senada mungkin saja pihak pasien yang ada Kartu Jamkesmasnya ini namun
tidak terdaftar diregistrasi sebagai peserta pada program itu, jika Salahudin
terdaftar di registrasi itu, tidak ada alasan pihak Rumah Sakit untuk membebankan
kepada pasien dengan biaya-biaya, jelasnya pada saat dikonfirmasi media ini
diruang kerjanya 28/03/11. Pelayanan Kesehatan yang diharapkan adalah
pelayanan yang bermutu walaupu harus dibayar, bagaimana jikalau digratiskan,
sementara yang dibayar sekalipun sakitnya tak

kunjung sembuh alias makin parah, Perut itu, kian hari makin buncit, sementara
pihak
keluarga penderita sudah menyurat Kepada Dinas terkait, Bupati Dompu, dan
DPRD, namun sejauh ini belum ada tanggapan serius dari pihak-pihak diatas,
keluhnya. Pihak keluarga mengharapkan agar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Dompu
Mundur dari jabatan jika tidak tanggap dengan persoalan rakyat, ungkapnya.

Dilanjutkannya, bahwa pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu, senagaja tutup


mata
dengan pederitaan yang dialami oleh Penderita tumor Ganas seperti Salahudin ini,
dan masih banyak persoalan yang sama diluar sana, yang sama sekali diduga
minimnya sosialisasi khususnya tentang kesehatan masyarakat lainnya yang ada di
Kabupaten Dompu. oleh karena itu, diharapkan Kepada pengambil kebijakan agar
jangan ada lagi Kepala Dinas yang hanya mementingkan kepentingan dirinya
sendiri tampa menghiraukan keluhan rakyat yang menjadi tanggung jawabnya
Kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan
kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah
adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau
masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa
kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku
seorang
birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki
independensi dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada otonomi
dalam beretika. Alasan lain
lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan
itu sendiri.
Berkenaan dengan karakteristik masyarakat umum yang terkadang begitu variatif
sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan
menggunakan prinsip kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya merupakan
prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan
ketidak adilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu
yang relatif lebih maju

Kebijakan mengutamakan putera daerah merupakan salah satu contoh


yang populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian
pelayanan kesehatan sangat besar. Pelayanan kesehatan tidak sesederhana
sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik
berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara
terbaik pemberian pelayanan kesehatan itu sendiri.
Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan kesehatan
mengambil langkahlangkah profesional yang didasarkan kepada keleluasaan bertindak
(discretion).
Keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau
aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan
perilaku yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia,
pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik
(pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan),
desain organisasi pelayanan kesehatan (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi
otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen
pelayanan kesehatan yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan
teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak
dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb
Pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab
melemahnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Alasan utama yang menimbulkan
tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan
perundang-undangan, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial budaya yang kurang
mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali,
sistem pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia,
pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak
menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral itu sendiri. Karena itu
pembenahan moral merupakan beban besar di masa
mendatang dan apabila tidak
diperhatikan secara serius maka proses pembusukan terus terjadi dan dapat
berdampak pada disintegrasi bangsa. Dibutuhkan Kode Etik dalam pelayanan
kesehatan. Kode etik pelayanan kesehatan di Indonesia masih terbatas pada
beberapa profesi seperti ahli keperawatan, kebidanan dan kedokteran sementara
kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan
bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai

agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang
diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui
bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan
kesehatan untuk mengenyampingkan kepentingan masyarakat umum. Kehadiran
kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para
pegawai yang bekerja dibidang kesehatan. Kelemahan kita terletak pada ketiadaan
atau terbatasnya kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan
mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku dalam pelayanan kesehatan
masih kurang maksimal, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas
yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih membiarkan diri
kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika. Kadangkadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan
tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada.
Mendahulukan orang-orang elit atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji
bila itu diterapkan dalam konteks organisasi masyarakat yang menghendaki
perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam
organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi masyarakat terutama dalam
pelayanan kesehatan. Berdasarkan hal sudah dikemukakan diatas, maka kita akan
melihat apakah benar puskesmas menjadi sarana kesehatan yang tidak bermutu
lagi dimasyarakat. Dalam hal ini, puskesmas dibawah tanggung jawab Dinas
Kesehatan menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat, mulai dari preventif,
kuratif, promotif dan rehabilitatif. Program Dinkes yang telah ada tidah sepenuhnya
berjalan dengan lancar, dapat dilihat dari masih adanya masalah kesehatan yang
ditemui dalam masyarakat,

Etika pelayanan kesehatan


adalah suatu pemahaman akan asas norma dan nilai yang berlaku di masyarakat
dalam tindakan medis pemberian obat-obatan dan jasa kepada masyarakat oleh
pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara
langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta masyarakat, berdasarkan jenis
dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat

Etiko medikolegal
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan Medikolegal adalah
suatu tindakan medis yang mempunyai akibat hukum

Bioetika Medis
adalah studi interdisipliner tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
perkembangan biologi dan kedokteran, tidak hanya memperhatikan masalahmasalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya
masalah pada masa yang akan datang.

Dalam praktek pelayanan kesehatan saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu
memberi perhatian terhadap berbagai dilema di atas. Atau dengan kata lain, para
pemberi pelayanan kesehatan harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat
universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi
norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma
tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu
kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu

memecahkan dilema tersebut. Harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita
berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.
Kesimpulan
Secara umum kita telah mengetahui bahwa peranan pelayanan kesehatan yaitu
sebagai organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang
bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh
masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang
dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tesebut
diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas
guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu
pelayanan kepada perorangan. Tetapi dinamika yang terjadi saat ini yaitu begitu
banyak penyalahgunaan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh para tim medis
maupun oknum-oknum tertentu yang mana hal tersebut didasari oleh lemahnya
moralitas sehingga merugikan masyarakat terutama masyarakat yang berada
dibawah garis kemiskinan.
Dari dinamika yang terjadi ternyata Moralitas menjadi dasar terpenting bagi setiap
manusia didalam menjalankan profesinya baik didalam hal pelayanan kesehatan
maupun yang lainnya, oleh karna itu kita harus bisa lebih mengenal dan memahami
bahwa untuk melakukan pelayanan yang baik kita harus memahami, Sistem nilai,
Kode etik dan filsafat moral yang mana hal tersebut dapat menjadi petunjuk untuk
melakukan tingkah laku yang baik terutama dari segi moral.

Anda mungkin juga menyukai