Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN TUTORIAL

BLOK SISTEM SARAF SKENARIO III


TEMAN KULIAHKU MENDADAK LUMPUH

KELOMPOK A1
ANGGITA DEWI

G0012015

ASTRID ASTARI AULIA

G0012033

DARMA AULIA HANAFI

G0012051

EMA NOVALIA DEWI K S

G0012069

LADYSA ASHADITA

G0012111

SABILA FATIMAH

G0012199

GILANG YUKA S.

G0012083

KHAIRUNNISA N. HUDA

G0012107

PARADA JIWANGGANA

G0012159

ZAKKA ZAYD Z.

G0012241

LD MUHLIS A.

G0012113

UTARI NURUL ALIFAH

G0012225

NAMA TUTOR :
Dr. Noer Rahma, dr, Sp.KFR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2013

BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO III
TEMAN KULIAHKU MENDADAK LUMPUH
Beberapa hari ini menjadi hari buruk bagi Ani, teman satu kosku. Sudah
sejak 4 hari lalu Ani dirawat di ruang intensif (ICU) dengan alat bantu napas.
Sampai dengan terakhir aku dan teman-teman mengunjunginya di RSDM, belum
ada perbaikan kondisi. Aku masih teringat tiga hari sebelum masuk rumah sakit ia
mengeluh kedua tungkainya terasa kesemutan kemudian terasa lemah sehingga
kesulitan untuk menaiki tangga. Ani bilang kelemahannya itu menjalar dari bawah
ke atas. Akhirnya kami mengantar Ani ke rumah sakit. Dokter yang memeriksa
mengatakan bahwa dari hasil pemeriksaan reflek di tungkai dan lengan hasilnya
menurun. Dia disarankan mondok hari itu juga. Setelah 2 hari perawatan dia
berkeringat banyak dan berdebar-debar dan dipindahkan ke ruang ICU karena
dokter juga mengatakan ada tanda-tanda kegagalan napas.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Seven Jump
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam skenario
Dalam skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario
a. ICU : Merupakan kepanjangan dari intensive care unit untuk perawatan
intensif dan butuh monitoring contohnya ketika kesadaran menurun
dengan komplikasi.
b. Refleks : Gerakan involunter jika diberikan stimuli tertentu di area
tertentu. Tipe : 1) patofisiologis, 2) fisiologis dalam & superficial, 3)
visceral & superficial. (Dorland, 2008)
c. Gagal nafas : Suatu kegawatan yang disebabkan karena pertukaran
oksigen dan karbondioksida dikarena sistem nafas yang tidak bisa
memenuhi

metabolisme.

Dapat

menyebabkan

hipoksia

(oksigen

menurun), hiperkapnia (karbondioksida di arteri naik), asidodis.


(Price&Wilson, 2003)
d. Alat bantu nafas : Pembantuan oksigen oleh ventilator dapat
meningkatkan konsentrasi dari oksigen
e. Kesemutan: (1) Nama lain dari parasteshia yaitu aliran darah tidak lancar,
syaraf tertekan, (2) Sensasi kulit abnormal tanpa stimulus dari luar,
(3)Paresteshi pada ujung jari yaitu neurpoti disebabkan karena metabolik,
autoimun, infeksi dan trauma. (Dorland, 2008)
f. Kelemahan : Penurunan kekuatan otot: spastik (lesi UMN) dan flaccid
(lesi LMN).
2. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:
a. Mengapa pasien merasa kedua kakinya kesemutan dan lemah?
b. Mengapa kelemahannya menjalar?
c. Mengapa hasil pemeriksaan refleks menurun?

d. Mengapa 2 hari perawatan pasien berkeringat banyak dan berdebare.


f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.

debar?
Apa sajakah tanda gagal nafas?
Apa kaitannya antara gagal nafas dan gejala lain? Kelainan? Mekanisme?
Pada sistem saraf manakah yang menyebabkan hal ini?
Apa saja pemeriksaan yang perlu dilakukan?
Terapi apa yang diberikan kepada pasien?
Apa saja diagnosis banding kasus?
Apa hubungan umur dan jenis kelamin dengan kelainan?
Bagaimana prognosis kasus?
Bagaimana normalnya refleks pasien?
Alasan apa yang membuat pasien harus rawat inap?
Terapi awal apa yang diberi dokter? Apakah ada kaitan dengan gejala
lanjutan?

3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara


mengenai permasalah
a. Kesemutan disebabkan lesi pada sistem saraf. Kemungkinan sistem
syraf yang terkena adalah sistem syaraf di perifer. Berdasarkan dari
gejala yang dialami pasien, lesi kemungkinan terdapat pada syaraf
LMN karena gejalanya adalah lemah (flaccid) jika pada syaraf UMN

gejalanya adalah tegang (spastik).


Jaras motorik
Nm volunter
a. UMN: merupakan semua neuron yang mengirimkan impuls ke lmn
langsung melalui interneuron. Terdiri dari traktus piramidal dan
traktus ekstrapiramidal.
1) Traktus piramidal : merupakan jaras motorik utama yang
pusatnya ada pada gyrus precentralis (area 4 broadmann)
2) Traktus extrapiramidal (sistem extrapiramidal) : merupakan
jaras yang melibatkan ganglia basalis dan berfungsi untuk
mengatur gerakanvolunteer kasar dan tidak terampil.
b. LMN: merupakan neuron yang menyalurkan (1) Nuclei saraf otot
motorik (2)Nuclei radix centralis nn. Spinales. Terdapat dua jenis:
1) Lmn: besar, akson tebal, mempersyarafi otot ekstrafusal
2) Umn: kecil, akson halus, mempersyarafi otot interfusal
fungsinya mengendalikan tonus dan gerakan tangkas

1.

c. Motor end plate: ujung saraf eferen menuju otot


d. Otot skeletal
Kerusakan pada motorneuron bisa terjadi karena:
a. Inhibisi interneuron
b. Kerusakan motorneuron: sedikit paresis, banyak paralisis

Kelemahan menjalar progresif karena bisa disebabkan autoimun dan juga


adanya tumor. Dilihat dari gejala kelemahan yang menjalar ini, diagnosis
banding yang didapatkan salah satunya adalah Sindroma Transeksi
Medulla Spinalis.
Sindrom Transeksi Medula Spinalis yaitu kelainan pada sistem
saraf otonom dan tepi menyerang pada pars cervicalis. Ada dua tipe:
a. Akut: langsung kesemutan keseluruhan. Sindrom Transeksi
medulla spinalis total paling sering disebabkan oleh trauma,
jarang disebabkan oleh inflamasi atau infeksi (mielitis
transversa).

Trauma

medulla

spinalis

akut

awalnya

menimbulkan keadaan yang disebut syok spinal, gambaran


klinis yang patofisiologinya belum dipahami secara total. Di
bawah tinggkat lesi terdapat paralisis flasid komplet dan semua
modalitas sensati hilang. Fungsi berkemih, defekasi, dan
seksual juga hilang,. Hanya refleks bulbokavernosus yang tetap
ada, suatu oin penting untuk diferensiasi diagnosis kondisi ini
dari poli radikulitis (pada radikulitis refles ini biasanya tidak
ada). Juga terdapat perubahan trofik pada tingkat lesi,
khususnya, hilangnya berkeringat dan gangguan termoregulasi.
Terdapat kecenderungan bermakna untuk terbentuk ulkus
dekubitus. Batas atas defisit sensorik sering dibatasi oleh zona
hiperalgesia.
b. Progresif: menjalar dari bawah ke atas. Sindrom transeksi
medulla spinalis yang muncul secara perlahan-lahan bukan
secara tiba-tiba, misalnya karena tumor tumbuh secara lambat,
syok spinal tidak terjadi. Sindrom transeksi pada kasus ini
biasnaya parsial, tidak total. Paraparesis spastik yang berat dan
progresif terjadi di bawah tingkat lesi, disertai oleh defisit

sensorik, disfungsi miksi, defekasai, dan seksual, serta


manifestasi otonomik (regulasi vasomotor dan berkeringat yang
abnormal, kecenderungan untuk terjadi ulkus dekubitus)
Pada pembagian gejala Sindrom transeksi medulla spinalis
pada berbagai pars, gejala terjadi menurut dermatomnya. Maka,
respiratory distress dapat terjadi apabila sindrom ini terjadi
pada VTh1 dan yang di atasnya. (Baehr&Frotscher,2007)
5. Gagal nafas disebabkan adanya kenaikan kecepatan nafas.
Tanda umum: penurunan kesadaran hingga hilangnya kesadaran,
sianosis, nafas cepat, pusing, sesak napas, kelelahan dan berkeringat,

pecandu alkohol, penggunan narkoba, perokok.


Peningkatan risiko gagal nafas: pada seseorang sedang menderita

GBS, pecandu alkohol, pengguna narkoba, dan perokok.


Gambaran gagal nafas: seperti dispnea hebat.
Klinis: 1) tekanan arteri kurang dari 50 mmhg & ph 7,25 sedangkan 2)

tekanan karbondioksida arteri lebih dari 50 mmhg


13. Pemeriksaan refleks ada babinski, chaddok, klonus pergelangan kaki
tangan patella, gordon, hover, oppenheim, rossolimo, dan lain-lain.
Interpretasi: (tidak ada batasan tegas)
Negatif (-)
: tidak ada
Negatif positif (+/-)
: lemah
Positif satu (+1)
: normal
Positif dua (+2)
: peningkatan refleks
4. Langkah IV: Mengeinventarisir permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3
Setelah berdiskusi, kami telah mengetahui beberapa anatomi sistem
syaraf dan gejala lesi lesi yang terjadi di syaraf baik itu yang terjadi di
LMN ( Lower Motor Neuron) atau pada UMN (Upper Motor Neuron). Kami
juga menyimpulkan bahwa pasien mengalami permasalahan pada sistem
syarafnya yaitu di sistem syaraf perifer, khususnya lesi pada LMN karena
gejala yang dialami pasien adalah flasid. Berdasarkan data-data yang kami
peroleh pada skenario, kami membuat hipotesis diagnosis sementara yaitu
Guillane Barre Syndrom (GBS) dan Sindroma Transeksi Medula Spinalis.

5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran


1. Mengetahui penyebab hasil pemeriksaan refleks menurun.
2. Mengetahui penyebab 2 hari perawatan pasien berkeringat banyak dan
3.
4.
5.
6.
7.

berdebar-debar.
Mengetahui sistem saraf yang menyebabkan hal ini.
Mengetahui pemeriksaan yang perlu dilakukan.
Mengetahui terapi apa saja yang perlu diberikan kepada pasien
Mengetahui apa saja diagnosis banding kasus.
Mengetahui hubungan umur dan jenis kelamin dengan kelainan yang

dialami pasien.
8. Mengetahui bagaimana prognosis kasus pasien.
9. Mengetahui alasan apa saja yang membuat pasien harus rawat inap.
10. Mengetahui terapi awal apa yang perlu diberikan dokter.

6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru


7. Langkah VII: Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru
yang diperoleh
a. Sindrom Transeksi Medulla Spinalis
Sindrom Transeksi Medulla Spinalis Akut
Sindrom Transeksi medulla spinalis total paling sering disebabkan oleh
trauma, jarang disebabkan oleh inflamasi atau infeksi (mielitis transversa).
Trauma medulla spinalis akut awalnya menimbulkan keadaan yang disebut syok
spinal, gambaran klinis yang patofisiologinya belum dipahami secara total. Di
bawah tinggkat lesi terdapat paralisis flasid komplet dan semua modalitas sensati
hilang. Fungsi berkemih, defekasi, dan seksual juga hilang,. Hanya refleks
bulbokavernosus yang tetap ada, suatu oin penting untuk diferensiasi diagnosis
kondisi ini dari poli radikulitis (pada radikulitis refles ini biasanya tidak ada). Juga
terdapat perubahan trofik pada tingkat lesi, khususnya, hilangnya berkeringat dan
gangguan termoregulasi. Terdapat kecenderungan bermakna untuk terbentuk ulkus
dekubitus. Batas atas defisit sensorik sering dibatasi oleh zona hiperalgesia.
Dalam beberapa hari atau minggu setelah kejadian penyebab, neuron
spinalis perlahan-lahan kembali mendapatkan fungsinya, setidaknya sebagian,
tetapi tetap terputus dari sebagian besar impuls neuronal yang berasal dari sentral
yang normalnya mengatur neuron tersebut. Kemudian, neuron-neuron ini menjadi

otonom, dan timbul yang disebut otomatisme spinal. Pad abanyak kasus, stimulus
di bawaj tingkat lesi mencetuskan fleksi tiba-tiba pada panggul, lutut, dan
pergelangan kaki (refleks fleksoris); jika sindrom transeksi medulla spinalis total,
ekstremitas tetap berada pada posisi fleksi pada jangka panjang setelah stimulus
karena elevasi spastik pada tonus otot. (sebaliknya, pada sindrom transkesi
medulla spinalis inkomplet, tungkai awalnya mengalami fleksi ketika distimulasi,
tetapi kemudian kembali ke posisi semula.) Defekasi dan miksi perlahan-lahan
berfungsi kembali, tetapi tidak berada di bawah kendali volunter; bahkan kandung
kemih dan rektum secara refleksif mengosongkan diri ketika terisi dalam jumlah
tertentu. Disinergia sfingter detrusor menyebabkan retensi urin dan miksi refleksif
yang sering. Refleks tendon dalam dan tonus otot perlahan-lahan kembali dan
dapat meningkat secara patologis. Namun, potensi seksual tidak kembali.
Sindrom Transeksi Medulla Spinalis Progresif
Ketika sindrom transeksi medulla spinalis muncul secara perlahan-lahan
bukan secara tiba-tiba, misalnya karena tumor tumbuh secara lambat, syok spinal
tidak terjadi. Sindrom transeksi pada kasus ini biasnaya parsial, tidak total.
Paraparesis spastik yang berat dan progresif terjadi di bawah tingkat lesi, disertai
oleh defisit sensorik, disfungsi miksi, defekasai, dan seksual, serta manifestasi
otonomik (regulasi vasomotor dan berkeringat yang abnormal, kecenderungan
untuk terjadi ulkus dekubitus)
Pada pembagian gejala Sindrom transeksi medulla spinalis pada berbagai
pars, gejala terjadi menurut dermatomnya. Maka, respiratory distress dapat terjadi
apabila sindrom ini terjadi pada VTh1 dan yang di atasnya.

Sumber:
Baehr, M. dan M. Frotscher. (2007). Diagnosis Topik Neurologi DUUS: Anatomi,
Fisiologi, Tanda, dan Gejala. Jakarta: EGC

b. Guillain Barre Syndrome (GBS)


Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri

3)

dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat. 7)
Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya myelin, material yang membungkus saraf.Hilangnya myelin ini disebut
demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf
tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi
dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS
disebut

juga Acute

Inflammatory

Demyelinating

Polyradiculoneuropathy

(AIDP)1,2)
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini
belum diketahui.Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun.2,3)
Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan
oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus,
cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV.1,5,8) Selain virus, penyakit ini juga
didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni
pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella
dan , Mycobacterium Tuberculosa.

1,5,8,12)

; vaksinasi seperti BCG, tetanus,

varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit


kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan
dan anestesi epidural.
timbul GBS .10)
Patofisiologi

8,12)

Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 4 minggu sebelum

Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri.

5)

Antigen

tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses


pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik.

4)

Ada beberapa

teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri
mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya
sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut
menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri
berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin 5)
bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. 6)
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut.5)
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya
untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls
sensoris dari seluruh bagian tubuh.6)
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 2,0 per
100.000 penduduk. 7)
GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah
sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina ,
dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung
terjadi pada musim panas.
GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.
Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 1,9 per 100.000 penduduk.
Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan
penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.4,7)

Angka kematian berkisar antara 5 10 %.Penyebab kematian tersering


adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada +
penderita GBS. Antara 5 10 % sembuh dengan cacat yang permanen. 7)
Gejala klinis
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat
ekstremitas yang bersifat asendens

1,3,8,11)

. Parestesia ini biasanya bersifat

bilateral.1,2) Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama


sekali. 2,10)
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif 8), dalam hitungan jam, hari maupun minggu,

7)

ke

ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat.Kerusakan saraf motoris ini bervariasi
mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid.
Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial
diplegia.

8)

Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan

12)

dan

bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. 2,8) Anak anak
biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari
menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi
tetraplegia .1)
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot.Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan
sensasi getar.8)Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan
disestesia pada extremitas distal.
kelemahan otot yang terjadi.

5)

11)

Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai

terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya

merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat
menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.7,8)
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi,
aritmia bahkan cardiac arrest ,facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan

kelainan dalam berkeringat.

11)

Hipertensi terjadi pada 10 30 %

pasien

sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien. 10)


Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara,

9)

dan yang paling sering ( 50% ) adalah

bilateral facial palsy.4)


Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan
penglihatan kabur (blurred visions). 3)
Subtipe
Beberapa subtipe dari GBS telah dikenali, dan ditentukan dengan
elektrodiagnostik (Edx) dan diagnosis patologis. Subtipe yang paling sering
terjadi adalah Inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP). Sebagai
tambahan, terdapat dua variasi axonal, yang sering secara klinis parah adalah
acute motor axonal neuropathy (AMAN) dan acute motor sensory axonal
neuropathy (AMSAN).Miller Fisher Syndrome (MFS) jarang ditemukan, dan
sering terlihat sebagai ataxia dan areflexia dari anggota gerak tanpa kelemahan
dan ophtamolplegia, dengan paralisis pupil.Variasi MFS terhitung antara 5% dari
semua kasus dan secara kuat berkaitan dengan antibody pada ganglioside GQ1b.

Sumber: Longo, et.al. Harrisons Principle of Internal Medicine 18th Edition.


Philadelphia: Mc Graw Hill

a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)


Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk.Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan
infeksi saluran cerna C jejuni.Patologi yang ditemukan adalah degenerasi

akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir
demyelinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C. jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b).Penderita tipe ini
memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe
demyelinisasi dengan asending dan paralysis simetris.AMAN dibedakan
dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati
motorik.Pada biopsy menunjukkan degenerasi wallerian like tanpa
inflamasi limfositik.Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita
selama lebih kurang 1 tahun.
c. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus
SGB.Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia
terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi
ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena.Perbaikan sempurna terjadi
dalam hitungan minggu atau bulan.
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal
e. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,
anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
(Davids, 2008)
Sumber :
Davids HR. Guillain-Barre Syndrome. Available from :
URL :http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis.

3)

Refleks tendon akan menurun atau bahkan

menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan


pada otot otot intercostal.Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan
kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.9)
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar
protein ( 1 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh
Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. 1,3,5,6.8) Pemeriksaan
cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil
apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau
kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel
yang kurang dari 10 / mm3

4,7,9)

pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus

ataupun bakteri 1)
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. 10)
Pada

pemeriksaan

EMG

minggu

pertama

dapat

dilihat

adanya

keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang


memanjang dan latensi distal yang memanjang

4,7,9,10)

.Bila pemeriksaan dilakukan

pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari
beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.7)
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus GBS. 7)

Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit .


Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.1)
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menyokong diagnosis Sindroma
Guillain Barre adalah adanya disosiasi sito albuminemik yaitu adanya kenaikan
jumlah protein didalam cairan serebrospinal tanpa adanya kenaikan jumlah sel
yang melebihi 10 sel mononuklear per mm3.
Peningkatan jumlah protein dalam cairan serebrospinal bisa melebihi 45
mg/dl (normal < 40 mg/dl) yang puncaknya terjadi pada 4 sampai 5 minggu dan
setelah itu berangsurangsur
kembali normal
Pemeriksaan darah tepi antara lain : hemoglobin, lekosit dan laju endap
darah pada Sindroma Guillain Barre biasanya normal kecuali ada infeksi misalnya
pada paru-paru dan saluran kencing. Pemeriksaan darah tepi pada penelitian ini
sebagian besar penderita menunjukkan hasil normal.
Muid, Masdar (2005). Manifestasi Klinis Dan Laboratoris Penderita Sindroma
Guillain Barre Di Ruang Perawatan Anak Rsu Dr. Saiful Anwar Malang
http://www.jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/download/222/214 - Diakses pada
November 2013

Pada pemeriksaan elektromiografi dapat ditemukan normal, tetapi


kemudian menunjukkan adanya tanda-tanda demielinisasi: penurunan kecepatan
konduksi, kelatenan distal yang memanjang, dan gelombang F abnormal.
Schwartz, M William (2004). Pedoman Klinis Pediatrik. EGC: Jakarta.
Elektrodiagnostik merupakan faktor penting dalam mendiagnosis GBS.
EMGs dapat mendokumentasikan bahwa impuls yang diblokir dari mengaktifkan
otot-otot. Nerve conduction studies (NCSS) dapat menunjukkan bahwa waktu
saraf yang diperlukan untuk merespon sinyal nyata memperlambat. Hal ini

penting bagi dokter untuk melakukan tes ini pada tahap awal dari sindrom ini
dalam rangka untuk membuat diagnosis yang akurat dan mulai terapi.
http://www.aanem.org/Education/Patient-Resources/Disorders/Guillain-BarreSyndrome.aspx
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)4)
Gejala utama
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan
atau tanpa disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
Diagnosis banding

GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat


seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal
cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya
asimetris, dan disertai demam.4, 8, 11, 12 )
GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti
porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan
thallium, arsen, dan plumbum 4, 11 )
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis
juga harus dibedakan dengan GBS.Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot
extraoccular dan terjadi konstipasi.Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi
ophtalmoplegia. 4, 8 12 )
Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun
kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan
peningkatan sedangkan LCS normal 4, 11)
Penatalaksanaan
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda tanda vital.

1)

Ventilator harus disiapkan disamping

pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam
waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti
hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan . 1,4)
Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.1)
Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa
steroid. 1) Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak
memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya
penyakit,

mengurangi

paralisa

yang

terjadi

maupun

mempercepat

penyembuhan.4,12)
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek
lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan.Waktu yang paling
efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.

Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 50 ml / kg BB) dengan saline dan


albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik
berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE 1,4,12)
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin( IVIg ) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian
menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak
terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul
dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari.Pemberian PE dikombinasikan
dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.1,3, 4,7,12)
Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan
fleksibilitas otot setelah paralisa. 4,6,12)
Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya
trombosis .11)
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi. 3)
Prognosis
95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya
sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural
tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. 3,10)
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. 2,3)
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama
kali timbul . 3)

3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan


beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.12)

BAB III
KESIMPULAN
Pasien : wanita dengan keluhan : tiga hari yang lalu kedua tungkainya
terasa kesemutan kemudian terasa lemah yang menjalar dari bawah ke atas. Hasil
pemeriksaan reflek di tungkai dan lengan hasilnya menurun. Setelah 2 hari
perawatan dia berkeringat banyak dan berdebar-debar dan dipindahkan ke ruang
ICU karena ditemukan tanda tanda gagal napas.
Berdasarkan dari data di atas dan diskusi yang telah kami lakukan, pasien
menderita gangguan neuron motorik bagian bawah dalam sistem syaraf perifer.
Munculnya tanda tanda kesemutan, kelemahan pada tungkainya yang menjalar
dari bawah ke atas dan penurunan refleks di tungkai dan lengan disebabkan
adanya kerusakan pada akson motorik. Keringat banyak dan berdebar-debar
diakibatkan adanya aktivasi saraf simpatis. Pada beberapa kasus yang sama,
pasien dapat meninggal akibat kegagalan otot pernapasan, oleh karena itu pasien
dipindahkan ke ruang ICU. Terapi yang dapat diberikan kepada pasien, antara lain
: antiinflamasi, roboransia dan indikasi pemberian gamma globulin dari luar.

BAB IV
SARAN
Setelah melakukan diskusi tutorial untuk skenario III Blok Sistem Syaraf,
kami mengalami beberapa hambatan, antara lain, kurang memahami tujuan
pembelajaran dan menentukan LO, mengalami kendala dalam memahami
artikel/referensi yang didapat sehingga menimbulkan bias, kurang dapat mengatur
waktu dalam diskusi tutorial, dan banyak pendapat yang pada dasarnya sama
namun tetap disampaikan tanpa menyeleksinya terlebih dahulu.
Oleh karena itu, kami memiliki beberapa saran agar dalam diskusi tutorial
selanjutnya

hambatan-hambatan di atas dapat diperbaiki, antara lain, lebih

memahami maksud dan tujuan pembelajaran dari skenario, sehinga lebih mudah
menentukan LO (Learning Objective), membiasakan mencari arti kata-kata dalam
Bahasa Inggris yang belum diketahui artinya dalam kamus, membuat batas-batas
waktu pada setiap tahap dalam pelaksanaan diskusi tutorial., dan menyeleksi
pendapat sebelum disampaikan sehingga data yang didapat tidak ganda atau lebih
simple.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai