Anda di halaman 1dari 16

HUBUNGAN TATA KERJA DAN KEWENANGAN JUDICIAL REVIEW OLEH

MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG DALAM


PERSPEKTIF TEORI DAN NORMATIF

A. ReforReformasi Menuju Negara Demokratis Dan Konstitutif


Indonesia mengalami masa transisi dari kepemimpinan politik otoriter kepada
kepemimpinan politik demokratis. Suksesi transisi rezim tersebut ditandai dengan
rutuhya Orde Baru dan amandemen Undang-Undang Dasar sebanyak empat kali,
dimulai tahun 1999 hingga 2001. Pradigma susunan kelembagaan tata negara Republik
Indonesia pun mengalami perubahan drastis semenjak reformasi konstitusi tersebut.
Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus
dilakukan berdasarkan pandangan berbagai kalangan bahwa UUD 45 tidak lagi cukup
dan mampuuntuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan
rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan
hak-hak asasi manusia.1
Buruknya 'aminan Hak Asasi Manusia dan penyelenggaraan negara pada
beberapa tahunterakhir pemerintahan Presiden Soeharto yang antara lain ditandai
dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi bukti tak terbantahkan
mengenai hal ini.2
Amandemen dilakukan karena berbagai alasan dan kebutuhan, diantaranya
adalah agar tidak terjadi penyelewnegan konstitusi, diantaranya berupa sentralisasi
kekuasaan pada eksekutif (Supra-executive) seperti pengalaman pada zaman rezim
Orde Baru yang otoriter karena

adanya faktor tertentu,3 atau dominasi legislative

terhadap eksekutif karena dinamisnya situasi politik seperti peristiwa pemakzulan

Prof. Dr. Jimly Asshiddique S.H., Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
e-paper, diakses 1 Mei 2015.
2
Ibid.
3
Sebagaimana dikatakan Donald L. Horowitz dalam bukunya; Perubahan Kontistusi dan Demokrasi di
Indonesia, bahwa dominasi eksekutif terhadap legeslatif dalam rezim Orde Baru karena pembangunan ideologi
dwifungsi militer dan sipil bagi angkatan bersenjata. Sistem dwifungsi ini menempatkan angkatan bersenjata
mewarnai struktur-struktur sipil yang menopang rezim otoritarian tersebut.

(Impeachment) terhadap Presiden Soekarno dan Gus Dur karena kuatnya supremasi
Parlemen (Supra-Legeslative)4 terhadap eksekutif.
Ingatan kolektif sejarah tersebut menyadarkan Bangsa ini akan pentingnya
pemisahan kekuasaan yang berimbang terhadap organ-organ negara agar terjadi
adanya checks and balance diantara organ-organ negara tersebut. Salah satu implikasi
dari pengadopsian prinsip tersebut adalah diaplikasikanya teori Trias Politica
Montesqieu, yaitu pemisahan kekuasaan (Seperation of Power). Gagasan tentang
pemisahan kekuasaan ini menjadi acuan ideal dalam organisasi negara demokrasi
modern. Karena itu, kiranya diperlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai kontrol
terhadap jalanannya konstitusi bagi organ-organ negara yang menerima mandat
langsung oleh Undang- Undang Dasar. Sebagaimana diutarakan Hans Kelsen bahwa
penerapan aturan-aturan konstitusi mengenai pembentukan undang-undang dapat
dijamin secara efektif hanya jika suatu organ selain organ legeslatif diberi mandat yang
tegas menguji apakah suatu undang-undang sesuai atau tidak dengan konstitusi. Imbas
dari perubahan fundamental tata kelola kenegaraan tersebut adalah dibentuknya
lembaga-lembaga

negara

baru

sesuai

amanat

Undang-Undang

Dasar

Paska

Amandemen meski ada juga lembaga-lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga
yang lahir adalah Mahkamah Konstitusi (MK) setelah eksistensi konstitusionalnya
mendapat tempat dalam UUD 1945 paska Amandemen. MK secara resmi dibentuk pada
tahun 2003 melalui UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK juncto UU Nomor 8 Tahun
2011.
Keberadaan MK ini diproyeksikan berfungsi sebagai lembaga negative
legislature.5 Artinya, MK sebagai salah satu lembaga yudikatif secara normatif bertugas
menguji konstitusionalitas (Constitutional Review) dari suatu undang-undang
(Formellgesetz) terhadap Undang-Undang Dasar 45 (Staatgrundgesetz) dengan
bentuk

amar

putusan

yang

menyatakan

permohonan

diterima,

menyatakan

permohonan ditolak, dan; atau menyatakan permohonan dikabulkan dan putusan


4

Ibid., hlm 142, Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 409.
Moh. Mahfud MD e gataka ;
sepuluh ra bu pe batas ya g boleh atau tidak boleh dilakuka
hakim MK atau MK dalam menjalankan kewenangannya, terutama dalam pengujian undang-undang salah satunya
ialah dalam melakukan pengujian, MK tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur (positive legislature)
kare a ke e a ga positi e lature adalah ilayah Legislatif . Dikutip dari Dr. Martitah M.Hum, Mahkamah
Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Kon. Pres, 2013, hlm, xiv.
5

tersebut bersifat final dan mengikat. Disamping itu, amar putusan Constitutional Court
harus dianggap benar sesuai asas res judicata provitate habeteur.
B. Organ-Organ Negara yang Menerima Mandat Langsung dari UUD .

Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945


paska Amandemen ke-4, dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat
sekitar 9 (Sembilan) organ negara yang secara langsung menerima kewenangan
langsung dari Undang-Undang Dasar, kesembilan organ tersebut adalah (i) Dewan
Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwkilan Daerah (iii) Majelis Permusyawaratan rakyat,
(iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil P residen, (vii) Mahkamah
Agung, (viii ) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan
lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang diatur
kewenangannya dalam UUD,

yaitu Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Pemerintah Daerah, dan Partai Politik.6


Ada pula lembaga yang tidak disebut namanya , tetapi disebutkan
fungsinya namun kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan undang undang,

yaitu:

(i)

bank

central

yang

tidak

disebut

namanya

Bank

Indonesia, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena
ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang
sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga
independen yang mendapatkan kewenangannya langsung dari Undang-Undang.7
Undang-Undang Dasar 1945 paska amandemen memang tidak jelas mengatur
tentang kedudukan dan tata hubungan kerja antara 3 lembaga yudikatif, yaitu; (i)
Mahkamah Agung, (ii) Mahkamah Konstitusi, dan (iii) Komisi Judisial. Pengaturan
ketiga lembaga tersebut dalam UUD 1945 ditempatkan dalam bab dan judul yang sama,
yaitu: Bab Sembilan (IX) tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengaturan yang demikian ini
memberikan kesan bahwa ketiganya merupakan lembaga yudikatif yang bersifat
otonom dan merdeka (Pasal 24 UUD 45).8

Prof. Jimly Asshiddiqie, Op.cit..,


Ibid,.
8
Antikowati,S.H.,M.H,.http://library.unej.ac.id/client/search/asset/1055;jsessionid=41F0E0F4C5C33A
C940336A2D2E55C074, diakses pada tanggal 29 Maret 2015.
7

Jika melihat ketentuan tentang lembaga yudikatif dalam UUD 1945 Paska
Amandemen dan MA memiliki kesamaan fungsi sebagai lembaga Judicial Review dan
keputusannya bersifat erga omnes (mengikat semua orang), yang membedakan adalah;
jika

MK

memiliki

kompetensi

kewenangan

menguji

Formellgesetz

terhadap

Staatgrundgesetz, maka MA memiliki kewenangan menguji Verordnung/Autonom


Satzung Terhadap Formellgesetz.
Rumusan Masalah
Berdasar pada uraian singkat diatas, maka penulis membatasi ruang lingkup kajian
makalah sebagai berikut;
1. Apa fungsi Judicial Review dalam praktek ketatanegaraan modern?
2.Bisakah secara teori putusan MA mengenai uji materi teranulir oleh amar putusan
MK dengan dibatalkannya sebagian/seluruh norma dalam formellgesetz sesudah
adanya pengujian dan pengabulan norma dalam verordnung/autonom satzung
terhadap formellgesetz oleh MA, padahal dalam ketentuan UUD 1945 kedua
lembaga tersebut bersifat otonom dan merdeka dari lembaga negara lain?
Metode dan Tujuan Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah dengan pendekatan yuridis-normatif
dengan mengolah data-data sekunder dari buku-buku, majalah, koran dan internet yang
kemudian dianalisa dan diinterpretasikan dalam mendapatkan suatu kesimpulan yang
komperhensif. Seadangkan tujuan penulisan makalah ini adalah agar memahami
kedudukann, fungsi, hubungan kerja dan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung. Disamping itu, juga memahami kewenangan judicial review oleh
Mahakamah Konstitusi dan Mahkamah Agung terhadap peraturan-peraturan dibawah
Undang-undang serta mengetahui mengetehaui sifat dan karakter amar putusan
tersebut. Disamping uraian tujuan diatas, tujuan utama dalam makalah ini adalah
penulis mencoba mendekonstruksikan hubungan tata kerja antara kedua lembaga
yudikatif tersebut dengan pendekatan logika hukum dan penjelasan teori.

BAB II
PEMBAHASAN
MK dan MA : Kedudukan Hubungan Tata Kerja Menurut UU 1945
Secara normatif, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang
sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung jika mengacu pada isi
Staatgrundgesetz. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan
pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (Judiciary) yang otonom dari organ-organ
kekuasaan lain, yaitu Pemerintah (Executive), dan Lembaga Permusyawaratan dan
Dewan Perwakilan (Legislative). Kedua Mahkamah ini sama-sama berkedudukan
hukum di Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia. Salah satu kewenangan
kedua lembaga tersebut adalah sebagai pelaku kehakiman adalah memiliki kewenangan
judicial review. yakni menguji peraturan perundang-undangan dengan batu uji
peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi. Bedanya, MA menguji
produk hukum dibawah Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat
(1) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan;
Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh
pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara
tertulis dalam bahasa Indonesia.
Secara umum, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan
yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun
subyek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang
perorang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Sedangkan MK
menguji UU terhadap UUD 1945, kewenangan MK ini sebagaimana diatur dalam UUD
45 Pasal 24C yang menyatakan;
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
5

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan


tentang hasil pemilihan umum.
Secara garis besar, tugas normatif Mahkamah Konstitusi terdapat dalam UUD 45
Pasal 24C Ayat (1) dan (2), yaitu mengadili perkara-perkara yang pada umumnya
menyangkut persoalan- persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang
menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian
terhadap norma-norma hukum yang bersifat dauerhaftig9. Mahkamah Agung
hakikatnya adalah Court of Justice, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah Court of
Law, yang satu mengadiliketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang
kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.10
Disamping itu, MA sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak
mempunyai struktur organisasi sekomplek MA yang merupakan puncak sistem
peradilan yang strukturnya berwennang secara vertikal dan horizontal dimana
mencakup limalingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan tata usahanegara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan
militer.
Hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam hal
materi perkara pengu'ian undang-undang adalah setiap perkara yang telah diregistrasi
oleh MK wajib diberitahukan kepada MA agar pemeriksaan atas perkara pengu'ian
peraturan di ba)ah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung
dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengu'ian undang-undang yang
bersangkutan diba,akan oleh MK. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan
antara pengujian Undang-Undang yang dilakukan oleh MK dengan pengujian peraturan
di bawah undang-undang yang dilakukan oleh MA.11
Selain itu, Pasal 65 UU No. 24 Th 2003 tentang MK menjelaskan bahwa MA
tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang
keenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pada Mahkamah Konstitusi.
9

Maria Faida Indrati Soeprapto, S.H.M.H., Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius,1998, hlm 14.
Jimly Assidique, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
www.jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraanindonesia, diakses tanggal 15 Mei 2015.
11
Ibid,.
10

Secara garis besar, perbedaan-perbedaan MK dengan MA dapat dilihatdalam tabel


berikut:12
Perbedaan

Mahkamah Agung

Mahkamah Konstitusi

Kewenangan Menurut 1. Mengadili pada tingkat 1. Mengadili pada tingkat


UUD 45

kasasi

pertama dan terakhir yang


putusannya bersifat final

2.

Menguji

peraturan untuk

perundang-undangan
bawah

menguji

undang-

di undang terhadap Undang-

undang-undang Undang Dasar.

terhadap undang-undang
2.

Memutus

3. Mempunyai kewenangan kewenangan


lain

yang

diberikan negara

undang-undang

kewenangannya

sengketa
lembaga
yang
diberikan

oleh UUD.
(Pasal 24A (1) UUD 45)
3. memutus pembubaran
partai politik.
4. Memutus tentang hasil
pemilihan umum.
(Pasal 24C (1) UUD 45)
Tugas dan

MA bertugas dan ber)enang MK

Kewenangan menurut

memeriksa

UU yang mengaturnya

berwenang

mengadili

danmemutus pada tingkat pertama dan


(Pasal 28 [1] UU MA):
terakhir dan putusannya
bersifat final untuk (Pasal
Permohonan kasasi

12

10 [1] UU MK):

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt518228f47a2e9/perbedaan-mahkamah-agung-dengan-mahkamahkonstitusi, diakses 15 Mei 2015.

Henry

P.

Panggabean

dalam

bukunya

yang

Menguji terhadap UU

berjudul

Fungsi

(Formellgesetz)

Mahkamah

Agung

terhadap

dalam Praktik Seharihari menjelaskan bahwa

UUD

45

(Staatgrungesetz).

Memutus

sengketa

peradilan kasasi dapat

kewenangan

lembaga

diartikan

memecahkan

negara

atau

membatalkan

kewenangannya

yang

mana

putusan atau penetapan

diamanatkan langsung

pengadilan-pengadilan

UUD 45.

karena

dianggap

mengandung kesalahan
dalam

penerapan

hukum.

Fungsi

dari

Memutus pembubaran
partai politik

Memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan

kasasi itu sendiri adalah


membina

keseragaman

dalam

penerapan

hukum danmenjaga agar


semua hukum dan UU di
seluruh wilayah negara
diterapkan secara tepat
Sengketa

tentang

kewenangan mengadili
MA

memutus

padatingkat
dan

terakhir

pertama
tentang

sengketa mengadili:
a. Antara pengadilan

dilingkungan
peradilan yang satu
dengan

pengadilan

dilingkungan
peradilan yang lain.
b.

Antara

dua

pengadilan yang ada


dalam

daerah

hukum

pengadilan

tingkat

banding

yang

berlainan

dalam

lingkungan

peradilan

yang

sama.
c.

Antara

dua

pengadilan

tingkat

banding
dilingkungan
peradilan yang sama
atau

antar

lingkungan
peradilan

yang

berlaina ( Pasal 33
UU MA).
Permohonan

PK

putusan pengadilan yang


memilki

kekuatan

hukum tetap

Permohonan

PK

merupakan

upaya

hukum

biasa.

luar

Dalam

hal

ini

mengadakan

MA

koreksi

terakhir

terhadap

putusan pengadilan yang


mengandung
ketidakadilan

karena

kesalahan dankekhilafan
hakim (Ibid. hlm.110).
Pengujian

norma

per-UU

dibawah

UU(Verordnung
Autonome

dan
Satzung)

terhadap

Undang-Undang
(Formell Gesetz)
Pencalonan Hakim

Calon

Hakim

Agung MK

memilki

orsng

diusulkan KY kepada DPR anggota Hakim konstitusi


untuk

mendapat yang

persetujuan
selanjutnya

dan Presiden

ditetapkan
yang

oleh
mana

ditetapkan formasinya; 3 diajukan oleh

sebagai hakim agung oleh KY, 3 diajukan oleh DPR,


presiden (Ps. 4 UU No.5 dan 3 oleh Presiden (Ps.
Th 2004).
Jumlah Hakim

Jumlah

Hakim

24C [3] UUD 45)


Agung Susunan MK terdiri atas

maksimal 60 orang (Ps.4 seorang ketua merangkap


UU No.5 Th 2004)

anggota,

seorang

wakil

ketua merangkap anggota,


10

dan 7 orang anggota hakim


MK (Ps. 4 [2] UU No.8
Th 2011).
Cabang

kekuasaan MA

Kehakiman

memiliki

cabang Dalam

menjalankan

kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan kehakiman, MK


badan

peradilan

yang tidak

memiliki

cabang

berada di bawahnya dalam kekuasaan kehakiman. MK


lingkungan
umum,

peradilan hanya

ada

satu

dan

lingkungan berkedudukan di Ibukota

peradilan

agama, Negara Republik Indonesia.

lingkungan
militer,

peradilan (Ps.3 UU MK)


lingkungan

peradilan tata usaha negara


(Ps. 24 [2] UUD 45 dan
Ps. 65 UU No. 14 Th
1985).
Sifat Putusan

Putusan MA bersifat final, Putusan


namun

dapat

MK

langsung

dilakukan memperoleh

upaya hukum berupa PK hukum

kekuatan

tetap

sejak

putusan pengadilan yang diucapkan dan tidak ada


telah memperoleh kekuatan upaya hukum yang dapat
hukum tetap dan grasi.

ditempuh. Sifat final dalam


putusan

Mahkamah

Upaya PK diatur dalam Konstitusid alam UndangPasal 66 s.d 76 UU Undang ini mencakup pula
kekuatan hukum mengikat,

No.14 Th 1985.
Terhadap

putusan final

binding

yang (penjelasan Ps. 10 [1] UU

pengadilan
telahmemperoleh
kekuatan

and

No.8 Th 2011).

hukum
11

tetap, terpidana dapat


mengajukan
permohonan

grasi

kepada Presiden (Ps. 2


[1] UU No. 22 Th 2002
tentang

Grasi).

Kemudian

MA

memberikan

nasehat

hukum

kepada

presiden selaku kepala


negara dalam rangka
pemberian

atau

penolakan grasi (Ps. 35


UU No. 14 Th. 1985).

Judicial Review : Sejarah, Fungsi, dan Teori


Dalam sejarahnya, adalah Hakim Agung Amerika Serikat, John Marshall, hakim
pertama yang melakukan Judicial review, yaitu Judiciary Act pada tahun 1789 karena
subtansi UU (Formellgesetz) bertentangan dengan konstitusi. Alasan-alasan tentang
kenapa judicial review boleh dan penting dilakukan hakim ialah; pertama, Hakim
bersumpah menjunjung konstitusi, sehingga jika ada peraturan yang bertentangan
dengan konstitusi, maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan
tersebut. Kedua, konstitusi adalah The Supreme Law of The Land, sehingga harus ada
peluang pengujian terhadap peraturan dibawahnya agar isi konstitusi tidak dilanggar.
Ketiga, Hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada yang mengajukan uji
materi, permintaan tersebut harus dipenuhi.13
Kedudukan konstitusi merupakan elemen esensial dalam sebuah negara, karena
konstitusi memberikan penegasan atas kedudukan dan relasi yang amat kuat antara
rakyat dan penguasa. Menurut Steenbeek, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri,
13

Dr. Martitah, M.Hum, Op.cit,. hlm. 7.

12

UUD berisi tiga pokok materi muatan, yakni; pertama, adanya jaminan terhadap hakhak asasi manusia dan warga negara. Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan
suatu negara yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya pembagian dan
pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.14 Dalam sistem
judicial review oleh Mahkamah Konstitusi di Jerman malah ditentukan pula adanya
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji putusan Mahkamah Agung. Dengan
demikian, secara akademis dapat dikatakan bahwa obyek yang dapat diuji melalui
mekanisme judicial review oleh hakim konstitusi itu dapat mencakup (i) legislative acts,
(ii) executive acts dan juga (iii) judicial decisions.
Judicial Review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh
ekesekuti, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian
oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang
kekuasaan eksekuti (executive acts) adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip checks
and balances berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power).15
Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi judicial review adalah upaya pengujian oleh Lembaga
Judicial (Judicial Court) terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan
negara16.
Dalam UUD 1945 dijelaskan, bahwasanya ada 2 lembaga yudikatif yang memiliki
kewenangan judicial review , yaitu MK (UUD Pasal 24A Ayat 1 ) dan MA ( Pasal 24C Ayat 1 ).
Perbedaannya adalah; jika MK memiliki kewenangan menguji Fomellgesetz terhadap
Staagrundgesetz, sedangkan MA berwenang untuk menguji Verordnung/AutonomSatzung
terhadap Formellgesetz. Disampig itu, menurut ketentuan Pasal 65 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa MA tidak dapat menjadi pihak dalam
sengketa kewenangan lembaga-lembaga negara di MK.
Menurut Jimly Asshidique, MA dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat
berperkara di MK, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar
lembaga negara. Ketentuan semacam ini sesungguhnya kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah

14

El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Medan, 2005, hlm. 93.
Dian Rositawati, Op.cit,.
16
Prof. Jimly Assidique, S.H., Op.cit.

15

13

terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan MA sebagai potential party dalam perkara
sengketa kewenangan17.
Salah satu alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undangundang menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman
(independen) tidak seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di
Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat
final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi
tidak final lagi18.
Di samping itu, timbul pula kekhwatiran jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang
bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak
ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan MA
dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan
konstitusional di MK. Padahal, dalam kenyataannya dapat saja MA terlibat sengketa dalam
menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di
luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final19.

17

Ibid.
Ibid.
19
Jimly Asshidique, Kedudukan Mahkamah Konstitusi (Bagian I), e-paper. Hlm. 4.
18

14

BAB III
Penutup

A. Kesimpulan
Jika kita pahami seksama, konstitusi merupakan aturan-aturan yang bersifat mengatur,
dimana norma-norma yang dikodifikasi dalam Undang-Undang Dasar/Aturan-aturan Pokok
(Grundgesetz) berwujud norma tunggal, yaitu suatu norma yang berisi suruhan (Das Sollen).
Selain itu, sebagai instrument dasar dalam menjalankan negara, konstitusi harus disusun dengan
jelas agar tercapai sebuah desain konstitusi yang padu dan tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan kelembagaan. Kewenangan uji materi oleh MK dibatasi hanya sampai tingkat
Undangundang, sedangkan peraturan dibawahnya tetap ditentukan sebagai kewenangan
Mahkamah Agung.
Sedangkan alasan tentang sifat amar putusan MA, apakah bersifat final atau tidak, penulis
menyimpulkan bahwasanya secara teori putusan MA tentang kewenangan judicial review tak
bersifat final. Namun, agar kewenangan MA sesuai rumusan konstitusi, yaitu sebagai lembaga
negara yang independen karena menerima wewenang langsung dari Undang-Undang Dasar,
maka UU tentang MK dirumuskan pasal alternatif bahwa MA tak bisa berperkara di MK.
Sedangkan kewenangan MK melakukan judicial review, menurut hemat penulis sudah tepat
karena kewenangan merubah (Amandemen) Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan
MPR.

B. Saran
Indonesia memiliki dua lembaga yudikatif yang kewenanganya saling bersilang dalam
pengujian yudisial, yakni MK dan MA. Ada dua catatan tentang persilangan kewenangan ini;
pertama, idealnya, MK berfungsi untuk menjamin konsistensi semua peraturan perundang undangan sehingga lembaga ini hanya memeriksa konflik peraturan perundang-undangan mulai
dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah derajatnya. Oleh sebab itu kewenangan uji
materi peraturan perundang undangan di bawah perundang-undangan yang lebih tinggi lebih
ideal jika diberikan pada MK ini. Kedua, idealnya MA menangani semua konflik antara person

15

dan/atau antar rechts. Sedangkan MK diberi kewenangan menguji semua Undang-undang


dibawah Undang-Undang Dasar, baik itu Formellgesetz, Verordnung, atau pun Autonomsatzung.

16

Anda mungkin juga menyukai