Hubungan Tata Kerja Dan Kewenangan Judic
Hubungan Tata Kerja Dan Kewenangan Judic
Prof. Dr. Jimly Asshiddique S.H., Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
e-paper, diakses 1 Mei 2015.
2
Ibid.
3
Sebagaimana dikatakan Donald L. Horowitz dalam bukunya; Perubahan Kontistusi dan Demokrasi di
Indonesia, bahwa dominasi eksekutif terhadap legeslatif dalam rezim Orde Baru karena pembangunan ideologi
dwifungsi militer dan sipil bagi angkatan bersenjata. Sistem dwifungsi ini menempatkan angkatan bersenjata
mewarnai struktur-struktur sipil yang menopang rezim otoritarian tersebut.
(Impeachment) terhadap Presiden Soekarno dan Gus Dur karena kuatnya supremasi
Parlemen (Supra-Legeslative)4 terhadap eksekutif.
Ingatan kolektif sejarah tersebut menyadarkan Bangsa ini akan pentingnya
pemisahan kekuasaan yang berimbang terhadap organ-organ negara agar terjadi
adanya checks and balance diantara organ-organ negara tersebut. Salah satu implikasi
dari pengadopsian prinsip tersebut adalah diaplikasikanya teori Trias Politica
Montesqieu, yaitu pemisahan kekuasaan (Seperation of Power). Gagasan tentang
pemisahan kekuasaan ini menjadi acuan ideal dalam organisasi negara demokrasi
modern. Karena itu, kiranya diperlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai kontrol
terhadap jalanannya konstitusi bagi organ-organ negara yang menerima mandat
langsung oleh Undang- Undang Dasar. Sebagaimana diutarakan Hans Kelsen bahwa
penerapan aturan-aturan konstitusi mengenai pembentukan undang-undang dapat
dijamin secara efektif hanya jika suatu organ selain organ legeslatif diberi mandat yang
tegas menguji apakah suatu undang-undang sesuai atau tidak dengan konstitusi. Imbas
dari perubahan fundamental tata kelola kenegaraan tersebut adalah dibentuknya
lembaga-lembaga
negara
baru
sesuai
amanat
Undang-Undang
Dasar
Paska
Amandemen meski ada juga lembaga-lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga
yang lahir adalah Mahkamah Konstitusi (MK) setelah eksistensi konstitusionalnya
mendapat tempat dalam UUD 1945 paska Amandemen. MK secara resmi dibentuk pada
tahun 2003 melalui UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK juncto UU Nomor 8 Tahun
2011.
Keberadaan MK ini diproyeksikan berfungsi sebagai lembaga negative
legislature.5 Artinya, MK sebagai salah satu lembaga yudikatif secara normatif bertugas
menguji konstitusionalitas (Constitutional Review) dari suatu undang-undang
(Formellgesetz) terhadap Undang-Undang Dasar 45 (Staatgrundgesetz) dengan
bentuk
amar
putusan
yang
menyatakan
permohonan
diterima,
menyatakan
Ibid., hlm 142, Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 409.
Moh. Mahfud MD e gataka ;
sepuluh ra bu pe batas ya g boleh atau tidak boleh dilakuka
hakim MK atau MK dalam menjalankan kewenangannya, terutama dalam pengujian undang-undang salah satunya
ialah dalam melakukan pengujian, MK tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur (positive legislature)
kare a ke e a ga positi e lature adalah ilayah Legislatif . Dikutip dari Dr. Martitah M.Hum, Mahkamah
Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Kon. Pres, 2013, hlm, xiv.
5
tersebut bersifat final dan mengikat. Disamping itu, amar putusan Constitutional Court
harus dianggap benar sesuai asas res judicata provitate habeteur.
B. Organ-Organ Negara yang Menerima Mandat Langsung dari UUD .
yaitu:
(i)
bank
central
yang
tidak
disebut
namanya
Bank
Indonesia, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena
ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang
sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga
independen yang mendapatkan kewenangannya langsung dari Undang-Undang.7
Undang-Undang Dasar 1945 paska amandemen memang tidak jelas mengatur
tentang kedudukan dan tata hubungan kerja antara 3 lembaga yudikatif, yaitu; (i)
Mahkamah Agung, (ii) Mahkamah Konstitusi, dan (iii) Komisi Judisial. Pengaturan
ketiga lembaga tersebut dalam UUD 1945 ditempatkan dalam bab dan judul yang sama,
yaitu: Bab Sembilan (IX) tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengaturan yang demikian ini
memberikan kesan bahwa ketiganya merupakan lembaga yudikatif yang bersifat
otonom dan merdeka (Pasal 24 UUD 45).8
Jika melihat ketentuan tentang lembaga yudikatif dalam UUD 1945 Paska
Amandemen dan MA memiliki kesamaan fungsi sebagai lembaga Judicial Review dan
keputusannya bersifat erga omnes (mengikat semua orang), yang membedakan adalah;
jika
MK
memiliki
kompetensi
kewenangan
menguji
Formellgesetz
terhadap
BAB II
PEMBAHASAN
MK dan MA : Kedudukan Hubungan Tata Kerja Menurut UU 1945
Secara normatif, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang
sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung jika mengacu pada isi
Staatgrundgesetz. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan
pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (Judiciary) yang otonom dari organ-organ
kekuasaan lain, yaitu Pemerintah (Executive), dan Lembaga Permusyawaratan dan
Dewan Perwakilan (Legislative). Kedua Mahkamah ini sama-sama berkedudukan
hukum di Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia. Salah satu kewenangan
kedua lembaga tersebut adalah sebagai pelaku kehakiman adalah memiliki kewenangan
judicial review. yakni menguji peraturan perundang-undangan dengan batu uji
peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi. Bedanya, MA menguji
produk hukum dibawah Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat
(1) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan;
Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh
pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara
tertulis dalam bahasa Indonesia.
Secara umum, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan
yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun
subyek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang
perorang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Sedangkan MK
menguji UU terhadap UUD 1945, kewenangan MK ini sebagaimana diatur dalam UUD
45 Pasal 24C yang menyatakan;
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
5
Maria Faida Indrati Soeprapto, S.H.M.H., Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius,1998, hlm 14.
Jimly Assidique, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
www.jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraanindonesia, diakses tanggal 15 Mei 2015.
11
Ibid,.
10
Mahkamah Agung
Mahkamah Konstitusi
kasasi
2.
Menguji
peraturan untuk
perundang-undangan
bawah
menguji
undang-
terhadap undang-undang
2.
Memutus
yang
diberikan negara
undang-undang
kewenangannya
sengketa
lembaga
yang
diberikan
oleh UUD.
(Pasal 24A (1) UUD 45)
3. memutus pembubaran
partai politik.
4. Memutus tentang hasil
pemilihan umum.
(Pasal 24C (1) UUD 45)
Tugas dan
Kewenangan menurut
memeriksa
UU yang mengaturnya
berwenang
mengadili
12
10 [1] UU MK):
Henry
P.
Panggabean
dalam
bukunya
yang
Menguji terhadap UU
berjudul
Fungsi
(Formellgesetz)
Mahkamah
Agung
terhadap
UUD
45
(Staatgrungesetz).
Memutus
sengketa
kewenangan
lembaga
diartikan
memecahkan
negara
atau
membatalkan
kewenangannya
yang
mana
diamanatkan langsung
pengadilan-pengadilan
UUD 45.
karena
dianggap
mengandung kesalahan
dalam
penerapan
hukum.
Fungsi
dari
Memutus pembubaran
partai politik
Memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan
keseragaman
dalam
penerapan
tentang
kewenangan mengadili
MA
memutus
padatingkat
dan
terakhir
pertama
tentang
sengketa mengadili:
a. Antara pengadilan
dilingkungan
peradilan yang satu
dengan
pengadilan
dilingkungan
peradilan yang lain.
b.
Antara
dua
daerah
hukum
pengadilan
tingkat
banding
yang
berlainan
dalam
lingkungan
peradilan
yang
sama.
c.
Antara
dua
pengadilan
tingkat
banding
dilingkungan
peradilan yang sama
atau
antar
lingkungan
peradilan
yang
berlaina ( Pasal 33
UU MA).
Permohonan
PK
kekuatan
hukum tetap
Permohonan
PK
merupakan
upaya
hukum
biasa.
luar
Dalam
hal
ini
mengadakan
MA
koreksi
terakhir
terhadap
karena
kesalahan dankekhilafan
hakim (Ibid. hlm.110).
Pengujian
norma
per-UU
dibawah
UU(Verordnung
Autonome
dan
Satzung)
terhadap
Undang-Undang
(Formell Gesetz)
Pencalonan Hakim
Calon
Hakim
Agung MK
memilki
orsng
mendapat yang
persetujuan
selanjutnya
dan Presiden
ditetapkan
yang
oleh
mana
Jumlah
Hakim
anggota,
seorang
wakil
kekuasaan MA
Kehakiman
memiliki
cabang Dalam
menjalankan
peradilan
yang tidak
memiliki
cabang
peradilan hanya
ada
satu
dan
peradilan
lingkungan
militer,
dapat
MK
langsung
dilakukan memperoleh
kekuatan
tetap
sejak
Mahkamah
Upaya PK diatur dalam Konstitusid alam UndangPasal 66 s.d 76 UU Undang ini mencakup pula
kekuatan hukum mengikat,
No.14 Th 1985.
Terhadap
putusan final
binding
pengadilan
telahmemperoleh
kekuatan
and
No.8 Th 2011).
hukum
11
grasi
Grasi).
Kemudian
MA
memberikan
nasehat
hukum
kepada
atau
12
UUD berisi tiga pokok materi muatan, yakni; pertama, adanya jaminan terhadap hakhak asasi manusia dan warga negara. Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan
suatu negara yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya pembagian dan
pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.14 Dalam sistem
judicial review oleh Mahkamah Konstitusi di Jerman malah ditentukan pula adanya
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji putusan Mahkamah Agung. Dengan
demikian, secara akademis dapat dikatakan bahwa obyek yang dapat diuji melalui
mekanisme judicial review oleh hakim konstitusi itu dapat mencakup (i) legislative acts,
(ii) executive acts dan juga (iii) judicial decisions.
Judicial Review (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh
ekesekuti, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian
oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang
kekuasaan eksekuti (executive acts) adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip checks
and balances berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power).15
Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi judicial review adalah upaya pengujian oleh Lembaga
Judicial (Judicial Court) terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan
negara16.
Dalam UUD 1945 dijelaskan, bahwasanya ada 2 lembaga yudikatif yang memiliki
kewenangan judicial review , yaitu MK (UUD Pasal 24A Ayat 1 ) dan MA ( Pasal 24C Ayat 1 ).
Perbedaannya adalah; jika MK memiliki kewenangan menguji Fomellgesetz terhadap
Staagrundgesetz, sedangkan MA berwenang untuk menguji Verordnung/AutonomSatzung
terhadap Formellgesetz. Disampig itu, menurut ketentuan Pasal 65 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa MA tidak dapat menjadi pihak dalam
sengketa kewenangan lembaga-lembaga negara di MK.
Menurut Jimly Asshidique, MA dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat
berperkara di MK, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar
lembaga negara. Ketentuan semacam ini sesungguhnya kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah
14
El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Medan, 2005, hlm. 93.
Dian Rositawati, Op.cit,.
16
Prof. Jimly Assidique, S.H., Op.cit.
15
13
terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan MA sebagai potential party dalam perkara
sengketa kewenangan17.
Salah satu alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undangundang menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman
(independen) tidak seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di
Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat
final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi
tidak final lagi18.
Di samping itu, timbul pula kekhwatiran jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang
bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak
ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan MA
dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan
konstitusional di MK. Padahal, dalam kenyataannya dapat saja MA terlibat sengketa dalam
menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di
luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final19.
17
Ibid.
Ibid.
19
Jimly Asshidique, Kedudukan Mahkamah Konstitusi (Bagian I), e-paper. Hlm. 4.
18
14
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Jika kita pahami seksama, konstitusi merupakan aturan-aturan yang bersifat mengatur,
dimana norma-norma yang dikodifikasi dalam Undang-Undang Dasar/Aturan-aturan Pokok
(Grundgesetz) berwujud norma tunggal, yaitu suatu norma yang berisi suruhan (Das Sollen).
Selain itu, sebagai instrument dasar dalam menjalankan negara, konstitusi harus disusun dengan
jelas agar tercapai sebuah desain konstitusi yang padu dan tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan kelembagaan. Kewenangan uji materi oleh MK dibatasi hanya sampai tingkat
Undangundang, sedangkan peraturan dibawahnya tetap ditentukan sebagai kewenangan
Mahkamah Agung.
Sedangkan alasan tentang sifat amar putusan MA, apakah bersifat final atau tidak, penulis
menyimpulkan bahwasanya secara teori putusan MA tentang kewenangan judicial review tak
bersifat final. Namun, agar kewenangan MA sesuai rumusan konstitusi, yaitu sebagai lembaga
negara yang independen karena menerima wewenang langsung dari Undang-Undang Dasar,
maka UU tentang MK dirumuskan pasal alternatif bahwa MA tak bisa berperkara di MK.
Sedangkan kewenangan MK melakukan judicial review, menurut hemat penulis sudah tepat
karena kewenangan merubah (Amandemen) Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan
MPR.
B. Saran
Indonesia memiliki dua lembaga yudikatif yang kewenanganya saling bersilang dalam
pengujian yudisial, yakni MK dan MA. Ada dua catatan tentang persilangan kewenangan ini;
pertama, idealnya, MK berfungsi untuk menjamin konsistensi semua peraturan perundang undangan sehingga lembaga ini hanya memeriksa konflik peraturan perundang-undangan mulai
dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah derajatnya. Oleh sebab itu kewenangan uji
materi peraturan perundang undangan di bawah perundang-undangan yang lebih tinggi lebih
ideal jika diberikan pada MK ini. Kedua, idealnya MA menangani semua konflik antara person
15
16