Anda di halaman 1dari 8

Geoforum HAGI Bandung 2002

Aplikasi Metoda Magnetotellurik (MT) dalam Eksplorasi Geotermal


Hendra Grandis 1), Sayogi Sudarman 2), Agus Hendro 3)
1) Program Studi Geofisika, Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, e-mail : grandis@geoph.itb.ac.id
2) Divisi Geotermal Pertamina, Gedung Kwarnas
Jl. Medan Merdeka Timur 6 Jakarta 10011.
3) Divisi Eksplorasi PT. Geoservices (Ltd.) Jl. Bungur 39 Bandung 40153.
Abstrak
Makalah ini membahas beberapa aspek aplikasi metoda MT untuk eksplorasi daerah prospek geotermal.
Distorsi statik yang banyak terdapat pada data MT di daerah volkanik dapat dikoreksi dengan
memanfaatkan data TEM. Untuk meningkatkan kualitas sinyal dan untuk mencakup daerah yang luas
dalam waktu relatif singkat dapat digunakan metoda CSAMT (skalar) sebagai alternatif metoda MT.
Koreksi data CSAMT dimaksudkan agar pemodelan MT yang relatif lebih mudah dapat digunakan pada
data CSAMT terkoreksi. Pemodelan inversi 2-D data AMT dari daerah dengan manifestasi panas
permukaan dan pada data CSAMT dari suatu daerah prospek geotermal disajikan untuk memberikan
gambaran efektifitas metoda tersebut.
Abstract
The paper discusses several aspects of the application of MT method for exploration of a geothermal
prospect. Static distortion of MT data from volcanic areas is corrected by using TEM data. To increase
the signal quality and to cover large area in a short period of time, scalar CSAMT method can be used as
an alternative to MT. Correction of CSAMT data is intended to allow the application of relatively simpler
MT modeling method to be applied to corrected CSAMT data. 2-D inversions of AMT data from an area
with surface thermal manifestation and CSAMT data from a geothermal prospect are presented to
illustrate the versatility of the method.
1. Pendahuluan
Eksplorasi daerah prospek geotermal
merupakan kegiatan terpadu yang melibatkan
bidang geologi, geokimia dan geofisika. Metoda
eksplorasi geofisika seperti gravitasi, magnetik,
geolistrik, self-potential (SP), magnetotellurik
(MT), heat-flow dan mikro-seismik memiliki
peran
masing-masing
dalam
eksplorasi
geotermal. Parameter fisika bawah-permukaan
yang berkaitan erat dengan fenomena geo-termal
adalah konduktivitas listrik.
Metoda MT
merupakan metoda eksplorasi geofisika yang
diandalkan dalam eksplorasi geotermal karena
memiliki jangkauan kedalaman yang cukup
besar.
Makalah ini membahas prinsip dasar metoda
MT dan CSAMT (controlled-source audiofrequency MT) serta beberapa aspek khusus
penerapannya dalam eksplorasi daerah prospek
geotermal. Beberapa aspek tersebut diantaranya
adalah: koreksi efek statik, pemodelan dan
interpretasi.

yang sangat lebar (10-5 Hz - 104 Hz). Medan EM


pada frekuensi rendah (kurang dari 1 Hz)
bersumber dari interaksi partikel-partikel
bermuatan listrik dari matahari (solar wind)
dengan medan magnet permanen bumi. Medan
EM pada frekuensi di atas 1 Hz terutama
disebabkan oleh aktivitas meteorologis berupa
petir yang terjadi di tempat yang sangat jauh.
Petir yang terjadi di dekat tempat pengukuran
MT merupakan noise karena akan terrekam
sebagai variasi dengan amplitudo sangat besar
pada interval waktu sangat singkat (spike).
Akuisisi data MT dilakukan dengan
mengukur variasi temporal medan listrik (E) dan
medan magnet (H). Analisis spektral terhadap
deret waktu tersebut menghasilkan besaran tensor
impedansi sebagai fungsi dari frekuensi yang
menghubungkan medan listrik dengan medan
magnet (E = Z H).
Hubungan antara vektor medan listrik (E) dan
vektor medan magnet (H) dinyatakan oleh dua
persamaan Maxwell berikut (Kauffman & Keller,
1981; Pedersen & Hermance, 1986):

2. Prinsip metoda MT
Metoda MT memanfaatkan medan elektromagnetik (EM) alam dengan spektrum frekuensi

E = i H

(1)

H = E + i E

(2)

Geoforum HAGI Bandung 2002


dimana = konduktivitas, 0 = 410-7 H/m
adalah permeabilitas magnetik ruang hampa, =
permitivitas dielektrik dan = 2 f dengan f
adalah frekuensi.
Dalam geofisika berlaku
pendekatan kuasi-statik dimana arus konduksi
lebih dominan sehingga untuk selanjutnya suku
yang mengandung pada persamaan (2)
diabaikan.
Pada medium 1-D dimana resistivitas
() hanya bervariasi terhadap kedalaman (z)
medan EM konstan dalam arah horisontal x dan
y. Komponen y persamaan (1) dan komponen x
dari hasil operasi curl terhadap persamaan (1)
masing-masing adalah:

frekuensi tertentu menghasilkan informasi


mengenai resistivitas sebagai fungsi kedalaman.
Pada metoda MT respons model dinyatakan
dalam besaran impedansi, yaitu rasio antara
medan listrik dan medan magnet. Impedansi di
permukaan medium homogen (impedansi
intrinsik) dinyatakan oleh:

ZI

Ex
=
Hy

i 0

(8)

= i 0 E x

(3)

Respons model berlapis horisontal (1-D) dihitung


menggunakan
persamaan
rekursif
yang
menyatakan impedansi pada lapisan ke-j sebagai
fungsi resistivitas (j) dan ketebalan (hj) serta
impedansi lapisan berikutnya (Zj+1) sebagai
berikut (Grandis, 1997):

E x
= i 0 H y
z

(4)

Z j = ZI, j

2 Ex
z 2

Untuk pasangan Ey dan Hx berlaku persamaan


yang identik dengan persamaan (3) dan (4).
Solusi elementer persamaan (3) dinyatakan oleh:

E x = A exp( k z ) + B exp(+ k z )

(5)

dimana suku exp(k z) dan exp(+k z) menyatakan


atenuasi medan listrik dalam arah + z dan z
dengan z positif ke bawah dan k = (i 0/)1/2
adalah bilangan gelombang. Konstanta A dan B
ditentukan berdasarkan syarat batas.
Dari
persamaan (4) diperoleh:

Hy

k
=
i 0

( A exp( k z )

B exp(+ k z ) )

(6)

Untuk medium homogen dengan resistivitas


konstan maka B = 0 karena sumber bersifat
eksternal dan medan EM meluruh secara
eksponensial terhadap kedalaman (menuju nol
pada kedalaman tak-hingga).
Skin depth
didefinisikan sebagai kedalaman dimana
amplitudo gelombang EM telah menjadi exp(-1)
dari amplitudonya di permukaan bumi dan
dirumuskan oleh:

2
500
0

T meter

(7)

dimana adalah resistivitas (dalam Ohm.m) dan


T adalah periode (dalam detik). Skin depth
berasosiasi dengan kedalaman penetrasi atau
kedalaman investigasi gelombang EM. Tampak
bahwa semakin besar periode (dan resistivitas
medium) maka kedalaman penetrasi gelombang
EM semakin besar.
Dengan demikian
pengukuran medan EM pada suatu pita (band)

1 R j exp(2 k j h j )
1 + R j exp(2 k j h j )

dengan R j =

Z I , j Z j +1
Z I , j + Z j +1

(9)

Respons model resistivitas bawah-permukaan


yang lebih kompleks (2-D atau 3-D) diperoleh
dengan menyelesaikan persamaan (1) dan (2)
sesuai dengan medium yang ditinjau. Besaran
impedansi sebagai fungsi periode sering
dinyatakan sebagai resistivitas semu (a) dan fasa
() sebagai berirkut:

a =

1
Z
0

Im Z
; = tan 1

Re Z

(10)

3. Koreksi efek statik


Eksplorasi geotermal umumnya dilakukan
pada daerah volkanik sehingga data MT sering
terdistorsi karena adanya heterogenitas lokal
dekat permukaan dan faktor topografi. Distorsi
yang dikenal sebagai efek statik (static shift)
menyebabkan pergeseran vertikal kurva sounding
MT (log resistivitas semu terhadap log perioda),
sedangkan fasa relatif tidak terganggu (deGrootHedlin, 1991).
Pergeseran tersebut tidak
bergantung pada perioda dan dalam skala
logaritmik dapat dinyatakan sebagai perkalian
resistivitas semu sesungguhnya (yang tidak
diketahui) dengan suatu faktor k. Pemodelan
terhadap data MT yang mengalami efek statik
akan menghasilkan parameter model yang salah.
Jika medium dianggap 1-D maka pemodelan
terhadap kurva resistivitas semu yang terdistorsi
oleh faktor pengali k akan menghasilkan lapisanlapisan dengan resistivitas yang masing-masing
dikalikan dengan k dan ketebalannya dikalikan

Geoforum HAGI Bandung 2002


dengan k. Oleh karena itu penentuan konstanta
k tersebut sangat penting untuk mengoreksi kurva
sounding MT sebelum dilakukan pemodelan.
Sternberg dkk. (1988) serta Pellerin &
Hohmann (1990) menunjukkan bahwa data
Time Domain Electromagnetic (TDEM) yang
juga dikenal sebagai Transient Electromagnetic
(TEM) relatif tidak terpengaruh oleh anomali
konduktivitas lokal dekat permukaan. Oleh
karena itu data TEM dapat digunakan untuk
mengoreksi data MT yang mengalamai efek
statik. Pengukuran MT dan TEM pada suatu titik
pengamatan yang sama merupakan prosedur
standar dalam eksplorasi geotermal.
Berdasarkan ekivalensi kedalaman penetrasi
gelombang EM pada kedua metoda maka
diperoleh faktor konversi delay time TEM (t,
dalam milidetik) menjadi periode MT (T, dalam
detik), yaitu T = t/195. Dengan cara sederhana
tersebut data TEM (a vs. t) dapat dikonversi
menjadi seolah-olah data MT (a vs. T). Faktor
pengali k ditentukan sedemikian hingga pada
interval periode dimana kurva sounding MT dan
TEM hasil konversi saling tumpang-tindih kedua
kurva berimpit (Gambar 1).
4. Metoda CSAMT
Medan EM alam sangat bervariasi dengan
tingkat bising (noise) yang cukup besar sehingga
mempengaruhi pengukuran dan perolehan data
MT. Untuk meningkatkan signal to noise ratio
(S/N) maka pada metoda CSAMT digunakan
sumber medan EM buatan pada interval frekuensi
audio (sekitar 0.1 Hz - 10 kHz). Arus listrik
yang cukup kuat (~10 A) diinjeksikan ke dalam
bumi melalui elektroda yang membentuk dipol.
Dengan menggunakan dua sumber dipol yang
saling ortogonal dalam arah x dan y serta
pengukuran komponen medan listrik dan medan
magnet secara lengkap (Ex, Ey, Hx, Hy) maka
dapat dihasilkan tensor impedansi sebagaimana
pada metoda MT.
Meskipun demikian
pengukuran CSAMT umumnya dilakukan untuk
memperoleh besaran skalar Zxy = Ex/Hy. Medan
listrik Ex diukur sekaligus pada 5 7 titik
pengamatan dalam satu lintasan dengan jarak
antar titik 100 m. Medan magnet Hy pada
segmen lintasan tersebut dapat dianggap
homogen sehingga cukup diukur di satu titik (di
tengah-tengah). Survey CSAMT dapat dilakukan
secara lebih cepat untuk mencakup daerah yang
luas meskipun dengan jangkauan kedalaman yang
lebih kecil relatif terhadap MT.
Jarak transmitter-receiver (r) yang berhingga
menyebabkan
asumsi
gelombang
bidang

(sebagaimana pada metoda MT) hanya berlaku


pada kasus tertentu. Oleh karena itu pemodelan
data CSAMT relatif lebih sulit. Data CSAMT
pada satu titik pengamatan dapat dibagi menjadi
respons near field (r << ) dan far field (r >>
). Pemodelan MT hanya dapat diterapkan pada
data CSAMT frekuensi tinggi dimana umumnya
berlaku kondisi far field (Zonge & Hughes,
1988). Dalam hal ini data CSAMT frekuensi
rendah diabaikan sehingga lebih membatasi
jangkauan kedalamannya.
Yamashita (1984) dan Bartel & Jacobson
(1987) merumuskan teknik koreksi data CSAMT
yang didasarkan pada respons medium homogen.
Resistivitas semu dihitung menggunakan
persamaan yang sesuai dengan kondisi near
field dan far field, yaitu:

Ex
,
= Kn r
Hy
n
a

=
f
a

Kf
5f

Ex
Hy

(11)

Di antara keduanya terdapat interval frekuensi


transisi di mana resistivitas semu tidak
menggambarkan resistivitas medium. Untuk itu
perhitungan
resistivitas
semu
dilakukan
menggunakan persamaan (11) dengan koefisien
(Kn dan Kf) yang telah dimodifikasi. Jika teknik
koreksi tersebut dianggap berlaku pada kasus
yang lebih umum maka pemodelan MT
diharapkan dapat diterapkan pada data CSAMT
yang telah dikoreksi.
Grandis (2000) memperkenalkan konsep
normalisasi untuk menentukan koefisien setiap
frekuensi pada data CSAMT secara lebih
konsisten. Meskipun belum diujikan secara
ekstensif terhadap data lapangan, penerapan
koreksi data CSAMT pada data sintetik
menunjukkan hasil yang cukup memuaskan.
Gambar 2 memperlihatkan perbandingan antara
hasil pemodelan data MT dan data CSAMT yang
telah dikoreksi.
5. Pemodelan data MT
Pada daerah prospek geotermal yang
berasosiasi dengan daerah volkanik efek
topografi dan kondisi geologi yang kompleks
menyebabkan pemodelan 1-D sering kurang
memadai. Oleh karena itu minimal diperlukan
pemodelan 2-D, sementara pemodelan 3-D masih
dalam taraf penelitian. Beberapa teknik
pemodelan 2-D yang cukup dikenal diantaranya
adalah: RRI (rapid relaxation inversion) oleh
Smith & Booker (1991), Occam inversion oleh
deGroot-Hedlin & Constable (1990), REBOCC
(reduced base Occam) oleh Siripunvaraporn &

Geoforum HAGI Bandung 2002

Egbert (2000) serta NLCG (non-linear conjugate


gradient) oleh Rodi & Mackie (2001). Metodametoda pemodelan tersebut menerapkan kendala
model smoothness untuk menstabilkan proses
inversi dan mengurangi ambiguitas solusi. Untuk
keperluan tertentu diperlukan inversi yang
menghasilkan model yang bersifat blocky
(Smith dkk., 1999; Mehanee & Zhdanov, 2002).
Uchida (1993) mengemukakan metoda
inversi data MT 2-D yang dapat memperhitungkan efek topografi. Metoda tersebut didasarkan
atas minimisasi fungsi obyektif berikut:

U = W d F (m)

+ 2 C m

(12)

dimana W adalah matriks pembobot, d adalah


vektor data dan F(m) adalah fungsi forward
modelling MT 2-D. Matriks C menyatakan
model roughness sehingga minimisasi U akan
menghasilkan smooth model dengan variasi
spasial resistivitas minimum. F(m) adalah fungsi
non-linier sehingga digunakan pendekatan linier
dan solusi diperoleh melalui perturbasi suatu
model awal secara iteratif. Model pada iterasi ke
k+1 diperoleh dari:

m k +1 = AT W A + 2 CT

AT W

(d F(m k ) + A m k )

(13)

dimana A adalah matriks Jacobi yang


menyatakan turunan parsial respons MT terhadap
setiap parameter model. Faktor smoothing
yang optimum dipilih melalui perhitungan
parameter ABIC (Akaike Bayesian Information
Criterion). Parameter ABIC dihitung untuk
beberapa yang berbeda, kemudian dipilih
yang menghasilkan ABIC minimum dan
digunakan untuk menghitung persamaan (13).
Berikut akan dibahas contoh aplikasi dari metoda
pemodelan inversi 2-D.
Survey MT dalam interval frekuensi audio
(AMT) dilakukan di daerah Cimanggu (Bandung
selatan) dimana terdapat kenampakan panas
permukaan berupa mata-air panas (hot spring) di
lereng G. Patuha yang merupakan salah satu
daerah prospek geotermal.
Survey lebih
dimaksudkan untuk menguji kemampuan
peralatan dan kemampuan metoda MT dalam
mendelineasi daerah konduktif yang berasosiasi
dengan anomali termal. Kenampakan panas
permukaan tersebut diduga berkaitan erat dengan
sisa aktivitas volkanik tua maupun aktivitas yang
relatif lebih muda. Kenampakan geologi lain
yang dapat diamati di sekitar jalur Cimanggu-

Rancabali adalah ditemukannya singkapan


batuan volkanik andesitik yang berongga.
Hasil pemodelan MT 2-D pada data tersebut
di atas ditampilkan pada Gambar 3. Beberapa
hal yang dapat diperoleh dari hasil pemodelan
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Anomali konduktif (< 10 Ohm.m) di bawah
titik 3 sampai 7 pada kedalaman 200 m sampai
600 m diduga berhubungan dengan aliran air
panas (hidrotermal) dari Kawah Putih menuju
ke arah utara melalui produk gunungapi muda
yang belum terpadatkan.
2. Anomali resistivitas tinggi (> 3000 Ohm.m) di
bawah titik 7 sampai 12 pada kedalaman 150
m hingga 1600 m diduga merupakan
terobosan andesit atau dasit.
3. Anomali resistivitas tinggi (> 3000 Ohm) di
bawah titik 18 dan 19 pada kedalaman 50 m
hingga 1000 m. diduga berkaitan dengan
aliran lava sebagai hasil kegiatan volkanik
Kuarter di Pegunungan Selatan Jawa Barat.
4. Lapisan dangkal dengan resistivitas rendah
sampai sedang (30-100 Ohm.m) diperkirakan
merupakan zona penyimpan air bawahpermukaan atau akuifer.
Gambar 4 meperlihatkan hasil pemodelan
inversi 2-D data CSAMT pada suatu daerah
prospek geotermal. Dengan jarak transmitterreceiver sejauh 8 km maka sebagian besar data
CSAMT memenuhi kondisi far field. Oleh
karena itu metoda pemodelan MT 2-D dapat
diterapkan pada data sampai frekuensi terrendah
sekitar 1 2 Hz. Tampak bahwa di dekat
permukaan pada titik 50 sampai 1250 terdapat
anomali resistif (> 500 Ohm.m) yang berasosiasi
dengan produk volkanik. Pada daerah yang sama
terdapat lapisan konduktif (< 10 Ohm.m) di
kedalaman 500-1000 m yang diperkirakan
merupakan lapisan teralterasi. Lapisan tersebut
dapat berfungsi sebagai lapisan penutup (cap
rock) lapisan di bawahnya (kedalaman 10001500 m) yang diduga merupakan reservoir
dengan resistivitas sekitar 10 Ohm.m.
Lapisan konduktif di bawah titik 1850 sampai
3450 yang relatif dangkal dapat dianggap sebagai
outflow pusat erupsi tua yang terletak di timurlaut (NE) lintasan tersebut.
Berdasarkan
distribusi lateral resistivitas pada kedalaman
1000-1500 m, titik 1850 dapat dianggap sebagai
batas daerah prospek. Daerah prospek tersebut
masih membuka ke arah barat-daya (SW).

Geoforum HAGI Bandung 2002

6. Kesimpulan
Metoda MT dan CSAMT merupakan metoda
yang cukup efektif dalam mendelineasi daerah
prospek geotermal. Hal ini didasari oleh eratnya
hubungan parameter fisika yang dapat dipetakan
oleh kedua metoda tersebut dengan fenomena
geo-termal. Efektifitas metoda MT dan CSAMT
mensyaratkan disain survey, metoda koreksi data
serta metoda pemodelan yang juga harus
dilaksanakan secara cermat.
Ketersediaan
peralatan akuisisi data MT, CSAMT serta TEM
di Indonesia serta didukung oleh tenaga ahli lokal
membuka peluang aplikasi metoda tersebut
secara ekstensif dalam rangka mengembangkan
potensi energi geotermal di Indonesia. Penelitian
mengenai aplikasi koreksi efek sumber pada data
lapangan CSAMT, pemodelan inversi data
CSAMT sedang dilakukan di Laboratorium
Geofisika Terapan Departemen Geofisika dan
Meteorologi ITB.

Siripurnvaraporn, W., Egbert, G., 2000, An efficient


data-subspace inversion method for 2-D
magnetotelluric data, Geophysics, 65, 791 - 803.
Smith, J.T., Hoversten, M., Gasperikova, E.,
Morrison, F., 1999, Sharp boundary inversion of
2D
magnetotelluric
data,
Geophysical
Prospecting, 47, 469 - 486.
Smith, J.T., Booker, J.R.., 1991, Rapid inversion of
two and three-dimensional magnetotelluric data,
Journal of Geophysical Research, 96, 3905 3922.
Sternberg, B.K., Washburne, J.C., Pellerin, L., 1988,
Correction for the static shift in magnetotellurics
using transient electromagnetic soundings,
Geophysics, 53, 1459 - 1468.
Uchida, T., 1993, Smooth 2-D inversion of magnetotelluric data based on statistical criterion ABIC,
Journal of Geomagnetism & Geoelectricity, 45,
841 - 858.

Daftar Pustaka

Yamashita, M., 1984, Controlled source audio


magnetotellurics
(CSAMT),
Phoenix
Geophysics Limited Report Nov. 1984.

Bartel, L.C., Jacobson, R.D., 1987, Results of a


controlled source audiofrequency magnetotelluric
survey at the Puhimau thermal area, Kilauea
Volcano Hawaii, Geophysics, 52, 665 - 677.

Zonge, K.L., Hughes, L.J., 1988, Controlled source


audio-frequency magnetotellurics, in Nabighian,
M.N. (ed.) Electromagnetic Methods in Applied
Geophysics, Application, Vol. 2., 713 - 809.

deGroot-Hedlin, C., Constable, S., 1990, Occams


inversion to generate smooth two-dimensional
models from magnetotelluric data, Geophysics, 55,
1613 - 1624.

Zonge, K.L., 1992, Broad band electromagnetic


systems, in van Blaricom, R. (ed.) Practical
Geophysics II for the Exploration Geologists,
Northwest Mining Association.

deGroot-Hedlin, C., 1991, Removal of static shift in


two-dimensions
by
regularized
inversion,
Geophysics, 56, 2102 - 2106.

Mehanee, S., Zhdanov, M., 2002, Two-dimensional


magnetotelluric inversion of blocky geoelectrical
structures, Journal of Geophysical Research, 107,

Grandis, H., 1997, Practical algorithm for onedimensional magnetotelluric forward modelling,
Jurnal Geofisika, 20, 16 - 25.
Grandis, H., 2000, Koreksi efek sumber pada data
controlled
source
audio-magnetotellurics
(CSAMT), Jurnal Teknologi Mineral, VII/1, 43 50.
Kauffman, A.A.,
magnetotelluric
Amsterdam.

Keller, G.V., 1981, The


sounding method, Elsevier,

Pedersen, J., Hermance, J.F., 1986, Least squares


inversion of one-dimensional magnetotelluric
data : An assessment of procedures employed by
Brown University, Surveys in Geophysics, 8, 187 231.
Pellerin, L., Hohmann, G.W., 1990, Transient
electromagnetic inversion : a remedy for
magnetotelluric static shifts, Geophysics, 55, 1242
- 1250.
Rodi, W., Mackie, R.L., 2001, Nonlinear conjugate
gradients algorithm for 2-D magnetotelluric
inversion, Geophysics, 66, 174 - 187.

Geoforum HAGI Bandung 2002

(a)
TEM - MT COMPILATION DATA
test-1 (model - A & B)
1.0E+4

APP. RESISTIVITY (Ohm.m)

TEM measurement range


MT measurement range

1.0E+3

1.0E+2

1.0E+1
TEM

MT
model - A
model - B

1.0E+0
1.0E-5

1.0E-4

1.0E-3

1.0E-2

1.0E-1

1.0E+0

1.0E+1

1.0E+2

1.0E+3

PERIOD (sec.)

(b)
TEM - MT COMPILATION DATA
test-1 (model - C & D)
1.0E+4

APP. RESISTIVITY (Ohm.m)

TEM measurement range


MT measurement range

1.0E+3

1.0E+2

1.0E+1
TEM

MT
model - C
model - D

1.0E+0
1.0E-5

1.0E-4

1.0E-3

1.0E-2

1.0E-1

1.0E+0

1.0E+1

1.0E+2

1.0E+3

PERIOD (sec.)

Gambar 1.
Perbandingan antara data TEM hasil konversi dan data MT untuk 4 model sintetik (a dan b). Data TEM telah
dikonversi menggunakan metode pergeseran waktu (time shift) sehingga diperoleh kurva sounding resistivitas
semu sebagai fungsi periode.

Geoforum HAGI Bandung 2002


1.0E+5

APP. RESISTIVITY (Ohm.m)

(a)
1.0E+4

1.0E+3

1.0E+2

1.0E+1
1.0E-1

1.0E+0

1.0E+1

1.0E+2

1.0E+3

1.0E+4

1.0E+5

FREQUENCY (Hz)

1.0E+4

APP. RESISTIVITY (Ohm.m)

(b)
1.0E+3

1.0E+2

1.0E+1

1.0E+0
1.0E-1

1.0E+0

1.0E+1

1.0E+2

1.0E+3

1.0E+4

1.0E+5

FREQUENCY (Hz)

Gambar 2.
Kurva tahanan-jenis semu far field (- - - -), near field ( ) dan CSAMT terkoreksi () serta kurva
sounding teoritis MT () :
(a) model 1 / tipe H (1 = 1000, 2 = 10, 3 = 100 Ohm.m, h1 = 200 m, h2 = 500 m).
(b) model 2 / tipe K (1 = 10, 2 = 1000, 3 = 100 Ohm.m, h1 = 200 m, h2 = 500 m).

Geoforum HAGI Bandung 2002


NE

SW

19

g _1

g_
cm

17

cm

g_
cm

6
g _1
cm

10

g _1
1
cm
g _1
2
cm
g
c m _13
g_
c m 14
g_
15

cm

g_
cm

g_

g _0
cm

cm

07

05

06
g_

g_
cm

cm

03

02

04

g_

g_

cm

cm

g_
cm

g_
cm

g _0
cm

09

hot spring

hot spring

ELEVATION (x 100 m)

15

10

0
0

10

15

20

DISTANCE (x 100 m)

25

30

35

40
Resisitivity
(Ohm.m)

Gambar 3.
Model resistivitas 2-D daerah Cimanggu (Bandung selatan) hasil inversi menggunakan pendekatan
smoothness-contrain.

SW

NE

Gambar 4.
Model resistivitas 2-D daerah prospek geotermal X hasil inversi menggunakan pendekatan smoothnessconstraint.

Anda mungkin juga menyukai