Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

PENYESUAIAN HEWAN POIKILOTERMIK TERHADAP OKSIGEN TERLARUT

Oleh :
NAMA

: DWINANDA YUNIKASARI

NIM

: 120210103093

KELAS

:C

KELOMPOK: 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

I. JUDUL
Penyesuaian Hewan Poikilotermik Terhadap Oksigen Terlarut
II. TUJUAN
2.1 Untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang terkandung di
dalam air karena pengaruh suhu air
2.2 Untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang terkandung di
dalam air karena pengaruh kadar garam dalam air
III. DASAR TEORI
Oksigen sangat berperan dalam penyediaan energi yang sangat dibutuhkan untuk prosesproses kehidupan. Sel-sel organisme memperoleh energi dari reaksi-reaksi enzimatis yang
sebagian besar memerlukan oksigen yang diperoleh lewat respirasi. Respirasi meliputi dua proses
penting yaitu :
1) Pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara organisme dan lingkungan luar
(respirasi eksternal)
2) Penggunaan oksigen di dalam sel untuk metabolisme molekul organik (respirasi
internal).
Pertukaran gas (gas exchange) adalah pengambilan oksigen molekuler (dari lingkungan dan
pembuangan karbondioksida) ke lingkungan. Hewan memerlukan suplay secara terus-menerus
untuk respirasi seluler sehingga dapat mengubah molekul bahan bakar yang diperoleh dari
makanan menjadi kerja. Hewan juga harus membuang yang merupakan produk buangan
respirasi seluler (Campbell,2005).
Respirasi eksternal sangat dipengaruhi oleh kadar oksigen didalam lingkungan organisme
yang bersangkutan. Untuk lingkungan air, kadar oksigen dipengaruhi oleh kelarutan oksigen
dalam air. Kelarutan oksigen dalam cairan secara umum dipengaruhi oleh:
1. Tekanan parsial oksigen (O2) di atas permukaan cairan. Makin tinggi tekanan O2 di atas
permukaan cairan, makin tinggi pada kelarutan oksigen di dalam cairan.
2. Suhu cairan atau medium. Makin tinggi suhu cairan atau medium, makin rendah
kelarutan oksigen dalam cairan atau medium.
3. Kadar garam di dalam cairan. Makin tinggi kadar garam, makin rendah kelarutan
oksigen di dalam cairan (Tim Dosen Fisiologi Hewan, 2014:12).
Regulasi termal pada poikilotermis akuatis adalah fenomena sederhana. Pertukaran panas
pada hewan akuatis sebagian besar terjadi melalui konduksi dan konveksi. Suhu lingkungan pada
hewan akuatis relatif sabil, kendati variasi-variasi musiman dapat terjadi di permukaan air laut

dan danau. Pada hewan akuatis yang tidak memiliki ketahanan terhadap dingin, kendati suhu
lingkungan di atas titik beku tetap beresiko letal. Sebaliknya, sebagian besar hewan akuatis juga
tidak toleran terhadap suhu tinggi. Pada beberapa spesies, kematian dapat terjadi kendati
temperatur lingkungan masih dilevel dimana protein biasanya terdenaturasi.
Vertebrata akuatis juga memiliki pola termoregulasi yang spesifik. Ikan adalah hewan
akuatis yang bernafas dengan insang dimana suhu tubuhnya dipertahankan untuk tetap sama
dengan suhu lingkungan. Laju metabolismenya sangat rendah sehingga laju pertukaran panas
juga rendah. Seekor ikan yang berenang akan menghasilkan sejumlah panas berhubungan dengan
aktivitas muskular yang dapat meningkatkan temperatur tubuh secara temporer akan tetapi segera
akan kembali sama dengan suhu lingkungannya. Hal ini terjadi karena panas tubuh yang
dihasilkan dari aktivitas muskular akan segera ditransfer ke darah dan mencapai insang yang
kemudian segera berhubungan dengan air. Insang adalah organ respirasi yang efisien dan juga
terlibat dalam stabilitas suhu dalam darah dan lingkungan air di sekitar tubuhnya.
Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh,
sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungan sekelilingnya. Sebagai
hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki oleh hewan darat.
Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi
lingkungan (Fujaya, 2004).
Faktor fisika seperti panas permukaan yang cukup tinggi pada ikan, mekanisme countercurrent dan pembuluh darah berdinding tipis akan memfasilitasi pertukaran panas antara air dan
tubuh ikan sehingga temperatur tubuh akan tetap sama dengan temperatur air. Akantetapi ada
suatu pengecualian terhadap generalisasi tersebut, yaitu pada ikan tuna yang berukuran besar dan
prenang cepat, suhu otot aksialnya lebih tinggi 12C daripada suhu lingkungannya. Panas yang
dihasilkan dari aktivitas muskular tersebut akan diregulasimelalui mekanisme counter-current
pada kisaran yang terbatas dan kehilangan panas akan dikurangi.
Telah diketahui pula bahwa kecocokan antara suhu tubuh dengan suhu air akan lebih
mudah tercipta pada hewan-hewan kecil daripada hewan besar. Pada kondisiaktivitas yang
berkelanjutan, hewan berukuran besar akan memperlihatkan peningkatan signifikan dari suhu
tubuhnya. Ikan biasanya lebih mudah mengalami perubahan ketika suhu lingkungan berubah.
Ikan-ikan yang hidup di perairan dangkal atau di bagian permukaan air laut akan mengalami
fluktuasi temperatur yang drastis pada periode musiman. Sedangkan ikan-ikan yang ada di daerah
tropis atau di air yang dalam pada berbagai daerah lintang tidak menghadapai fluktuasi
temperatur, sehingga sangatsensitif terhadap perubahan suhu lingkungannya. Ikan yang secara
normal mengalami perubahan musiman dari aspek suhu tubuhnya akan melibatkan perubahan-

perubahan biokimiawi untuk menjaga perubahan suhu tubuh agar tetap dalam kondisi normal
(Santoso, 2009:158-162).
Suhu merupakan faktor penting dalam ekosistem perairan. Kenaikan suhu air dapat akan
menimbulkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Air memiliki beberapa sifat
termal yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada udara.
Walaupun suhu kurang mudah berubah di dalam air daripada di udara, namun suhu merupakan
faktor pembatas utama, oleh karena itu mahluk akuatik sering memiliki toleransi yang sempit
(Soetjipta, 1993).
Pengaruh suhu rendah terhadap ikan adalah rendahnya kemampuan mengambil oksigen
(hypoxia). Kemampuan rendah ini disebabkan oleh menurunnya detak jantung. Pengaruh lain
adalah terganggunya proses osmoregulasi (pertukaran air dari dan ke dalam tubuh ikan). Pada
suhu yang turun mendadak akan terjadi degradasi sel darah merah sehingga proses respirasi
(pernafasan atau pengambilan oksigen) terganggu. Sebaliknya, pada suhu yang meningkat tinggi
akan menyebabkan ikan bergerak aktif, tidak mau berhenti makan, dan metabolisme cepat
meningkat sehingga kotoran menjadi lebih banyak. Kotoran yang banyak akan menyebabkan
kualitas air disekitarnya menjadi buruk. Sementara kebutuhan oksigen meningkat, tetapi
ketersediaan oksigen air buruk sehingga ikan akan kekurangan oksigen dalam darah. Akibatnya
ikan menjadi stress, tidak ada keseimbangan, dan menurun sistem sarafnya.
Kenaikan suhu air ini disebabkan masuknya limbah air panas yang berasal dari
Pembangkit listrik. Penurunan suhu air juga merugikan bagi organisme. Bila terjadi penurunan
suhu air maka organisme berusaha melindungi diri dengan cara mensintesa senyawa glikoprotein.
Senyawa ini dapat mencegah pembekuan larutan yang terdapat dalam tubuhnya. Namun
penurunan suhu air laut yang terlalu rendah akan mengakibatkan kematian organisme air
(Hutagalung, 1988).
Secara kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air, beberapa spesies
mampu hidup pada suhu air mencapai 290C, sedangkan jenis lain dapat hidup pada suhu air yang
sangat dingin, akan tetapi kisaran toleransi individual terhadap suhu umumnya terbatas (Sukiya,
2005).
Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami
kenaikan kecepatan respirasi. Hal tersebut dapat diamati dari perubahan gerakan operculum ikan.
Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan lainnya berbeda, misalnya pada ikan
salmonid suhu terendah yang dapat menyebabkan kematian berada tepat diatas titik beku,
sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis ikan (Tunas, 2005).
Setiap kali mulut dibuka, maka air dari luar akan masuk menuju farink kemudian keluar
lagi melalui melewati celah insang, peristiwa ini melibatkan kartilago sebagai penyokong filamen

ikan. Selanjutnya Sukiya menambahkan bahwa lamella insang berupa lempengan tipis yang
diselubungi epitel pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta, sehingga
karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam air (Sukiya, 2005).
Organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus yang berfungsi untuk mengeluarkan
air dari insang yang disebut operculum yang membentuk ruang operkulum di sebelah sisi lateral
insang. Laju gerakan operculum ikan mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan
(Sukiya, 2005).
Kenaikan suhu air akan dapat menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut
a. Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.
b. Kecepatan reaksi kimia meningkat
c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya mungkin akan
mati.
Peningkatan suhu air dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas, tetapi
meningkatkan solubilitas senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak mentah dan pestisida,
serta meningkatkan toksisitas logam berat, sebagai contoh bahwa pada air tawar (salinitas 0%)
peningkatan suhu dari 25 menjadi 300C menyebabkan penurunan kelarutan oksigen dari 8,4
menjadi 7,6 mg/liter (Tunas, 2005).
Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan status
kesehatan untuk jangka panjang. Misalnya stres yang ditandai tubuh lemah, kurus, dan tingkah
laku abnormal, sedangkan suhu rendah mengakibatkan ikan menjadi rentan terhadap infeksi fungi
dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun. Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan
air mengandung oksigen lebih tingi, tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernafasan pada ikan
berupa penurunan laju respirasi dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya
ikan-ikan akibat kekurangan oksigen (Tunas, 2005).
Suhu perairan sangat berpengaruh terhadap laju metabolisme dan proses-proses biologis
ikan. Ditunjukkan bahwa aktivitas enzim pencernaan karbohidrase sangat dipengaruhi oleh suhu,
aktivitas protease tertinggi dijumpai pada musim panas, adapun aktivitas amilase tertinggi
dijumpai pada musim gugur (Tunas, 2005).
Oksigen merupakan gas yang tidak berbau, tidak berasa dan hanya sedikit larut dalam air.
Semua organisme air membutuhkan oksigen dalam hidupnya. Sehingga, tempat yang
mengandung oksigen sellau terdapat organisme di dalamnya dan makin banyak oksigen terlarut
di daerah tersebut, maka makin banyak organisme yang ada di dalmnya. Jadi kadar oksigen
terlarut dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas air (Hutagalung, 1988).

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di
dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemmapuan air untuk
mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Oksigen
terlarut dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air, dimana jumlahnya tidak tetap
tergantung dari jumlah tanamannya, dan dari atmosfer (udara) yang masuk ke dalam air dengan
kecepatan terbatas. Oksigen terlarut dalam laut dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk
respirasi dan penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme. Konsentrasi oksigen terlarut
dlaam keadaan jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer (Hutagalung, 1988).
Menghadapi fluktuasi suhu lingkungan hewan poikilotermik melakukan konformitas suhu
(termokonformitas), suhu tubuhnya terfluktuasi sesuai dengna suhu lingkunganya. Laju
kehilangna panas pada hewan poikilotermik lebih tinggi dari pada laju produksi panas, sehingga
suhu tubuhnya ditentukan oleh suhu lingkungan eksternalnya dari pada suhu metabolisme
internalnya. Dilihat dari ketergantungan terhadap suhu lingkungan. Hewan poikilotermik disebut
juga sebagai hewan ektoterm (Hastuti, 2003).
IV. METODE PRAKTIKUM
1. Alat
a. Bak plastik
b. Termometer
c. Timbangan
d. Kompor
e. Panci
f. Gelas piala
g. Gelas ukur
h. Pengaduk
i. Stopwatch
j. Spidol
2. Bahan
a. Ikan mas
b. Air
c. Es batu

2. Langkah Kerja
a. Pengaruh kenaikan suhu medium
Memanaskan air dalam gelas kimia di atas kompor listrik

Mengisi bak plastic dengan air kran dan menandainya dengan spidol

Memasukkan ikan kedalam bak yang berisi air dan menunggu ikan hingga
tenang
Menghitung gerak operculum selama satu menit dan mengulanginya sampai tiga
kali kemudian mengambil rata- ratanya

Menaikkan suhu air dengan interval 30C dengan cara menuangkan air panas ke
dalam bak sampai tercapai suhu yang dikehendaki

Menjaga volume air agar tidak berubah dengan mengurangi air dalam bak
sebanyak air panas yang ditambahkan
Menghitung gerak operculum per menit dan melakukan ulangan sebanyak tiga
kali
Meneruskan menaikan suhu sampai mencapai suhu kritis tertinggi dan
mengehntikan perlakuan pada saat ikan nampak kolaps

b. Pengaruh penurunan suhu medium


Memanaskan air dalam gelas kimia di atas kompor listrik

Mengisi bak plastic dengan air kran dan menandainya dengan spidol

Memasukkan ikan kedalam bak yang berisi air dan menunggu ikan hingga
tenang

Menghitung gerak operculum selama satu menit dan mengulanginya sampai tiga
kali kemudian mengambil rata- ratanya

Menurunkan suhu air dengan interval 30C dengan cara memasukkan es ke dalam
bak sampai tercapai suhu yang dikehendaki

Meneruskan menurunkan suhu sampai mencapai suhu kritis tertinggi dan


mengehntikan perlakuan pada saat ikan nampak kolaps

VI. HASIL PENGAMATAN

VII.

Berat

Suhu

(g)

(0C)
29
26
23
20
17
14
11
8
5
29
26
23
20
17
14
11
8
29
32
35
38
41
29
32
35
38
41

Kel

Perlakuan

DINGIN

DINGIN

8,4

PANAS

8,2

PANAS

9,7

Gerakan Operculum
Rata-Rata
1
2
3
130
124
121
125
104
101
108
104,3
100
98
105
101
85
75
88
82,7
87
71
70
76
71
80
80
77
70
70
63
67,7
45
50
47
47,3
colapse
110
120
112
114
100
105
110
105
86
95
87
89,3
88
103
86
92,3
80
72
65
72,3
28
20
25
24,3
0
5
14
63
1
colapse
112
128
126
123
137
148
150
145
168
167
158
164,3
184
181
178
181
colapse
184,5
113
123
124
120
136
148
145
143
151
154
166
157
160
188
178
175,3
colapse

PEMBAHASAN
Pada praktikum Penyesuaian Hewan Poikilotermik Terhadap Oksigen Terlarut

bertujuan ingin mengetahui tentang penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang
terkandung di dalam air karena pengaruh kenaikan suhu maupun penurunan suhu. Dalam
praktikum ini praktikan melakukan penghitungan berapa banyak operculum dari ikan mas
(Cyprinus carpio) membuka dan menutup ketika terjadi kenaikan suhu maupun penurunan suhu
dalam medium hidupnya.
Langkah langkah yang dilakukan dalam praktikum ini yaitu menimbang berat ikan yang
digunakan sebagai probandus, mengisi bak dengan air kran sampai volume tertentu, memberi

tanda volume air dalam bak dengan spidol, memasukkan ikan ke dalam bak. Untuk menaikkan
suhu pada medium, praktikan menggunakan air panas yang ditambahkan pada air yang sudah ada
di dalam bak berisi ikan sedangkan untuk menurunkan suhu praktikan menggunakan es batu yang
sudah dipecah-pecah agar mudah mencair di dalam bak berisi air. Dalam menaikkan maupun
menurunkan suhu medium, air yang ada dalam bak plastik harus konstan. Hal ini dilakukan
dengan cara mengambil air sesuai dengan air panas atau air es yang telah dituangkan pada bak
plastik. Volume tetap dipertahankan agar oksigen yang terlarut dalam air tetap. Langkah terakhir
yaitu menghitung berapa banyak operculum ikan membuka dan menutup selama dilakukan
perlakuan di atas. Pengambilan data dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali dan kemudian
diambil reratanya pada masing masing tingkatan suhu (dinaikkan dan diturunkan dengan
interval 3 derajat celcius). Pengamatan dihentikan ketika ikan sudah mengalami colapse
(badannya terlihat miring di permukaan air karena sudah tidak mampu bertahan hidup).
Data pengamatan yang diperoleh yaitu pada kelompok 1 dengan perlakuan menurunkan
suhu medium dihasilkan dari suhu awal 29, 26, 23, 20, 17, 14, 11, 8, 5 (C) dengan rata-rata
gerakan operculum secara berurutan 125, 124, 101, 82, 76, 77, 68, 47, pada suhu 5 C ikan
mengalami colapse. Pada kelompok 2 dengan perlakuan yang sama dihasilkan gerakan
operculum dari suhu awal 29, 26, 23, 20, 17, 14, 11, 8 (C) dengan rata-rata gerakan
operculumnya yaitu 114, 105, 89, 92, 72, 24, 63, pada suhu 8 C ikan mengalami colapse. Pada
kelompok 3 dengan perlakuan menaikkan suhu medium diperoleh data sebagai berikut rata-rata
pergerakan operculum dari suhu

awal 29, 32, 35, 38, 41 (C) dengan rata-rata gerakan

operculumnya yaitu 123, 145, 164, 181, pada suhu 41 C pengulangan ketiga ikan menunjukkan
keadaan colapse. Pada kelompok 4 dengan perlakuan yang sama seperti kelompok 3 yaitu
menaikkan suhu medium diperoleh data sebagai berikut rata-rata pergerakan operculum dari suhu
awal 29, 32, 35, 38, 41 (C) dengan rata-rata gerakan operculumnya yaitu 120, 143, 167, 175,
pada suhu 41 C ikan menunjukkan keadaan colapse.
Dari hasil pengamatan tersebut dapat dianalisis bahwa data yang diperoleh dari kelompok 1
dan 2 saat terjadi penurunan suhu medium tidak stabil dimana mengalami naik turun terhadap
banyaknya operculum membuka dan menutup. Hal tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor
diantaranya volume air es yang dituangkan tidak sama dengan volume air yang diambil yang
menyebabkan volume air tidak konstan dimana volume air yang tidak konstan mempengaruhi
kelarutan oksigen dalam air sehingga rata-rata gerakan operculum juga tidak valid. Selain itu
pada saat menuangkan air es terkena pada ikan, sehingga terjadi stres pada ikan. Menurut
referensi, semakin rendah suhu, maka operculum akan membuka menutup dengan pergerakan
yang lambat. Hal ini disebabkan dengan adanya penurunan temperature, maka terjadi penurunan
metabolisme pada ikan yang mengakibatkan kebutuhan O menurun, sehingga gerakan

operculumya melambat. Metabolisme yang menurun pada suhu rendah disebabkan karena ikan
tidak memerlukan banyak oksigen untuk memecah karbohidrat menjadi bentuk gula yang
sederhana. Sehingga respirasi dan gerakan operkulum juga lambat. Jadi semakin rendah suhu
maka semakin lambat respirasi yang menyebabkan lambatnya pula gerakan operculumnya.
Proses respirasi yang lambat memberi dampak pada semakin tingginya ketersedian oksigen di
dalam air (kelarutan oksigen dalam air semakin tinggi). Pada kondisi suhu lingkungan yang
ekstrim (rendah di bawah batas ambang toleransinya) hewan poikilotermik akan mati. Hal ini
karena enzim tidak aktif sehingga metabolisme berhenti. Sehingga terlihat pada suhu 8 C ikan
mengalami colapse. Dari data yang diperoleh oleh kelompok 3 dan 4 dalam pengamatan
banyaknya operculum ikan mas membuka dan menutup ketika suhu medium dinaikkan
menunjukkan grafik yang naik dan sesuai referensi dimana semakin tinggi suhu maka gerakan
operculum semakin cepat. Hal ini dikarenakan semakin tingginya suhu menyebabkan laju
respirasi ikan mas semakin cepat. Peningkatan suhu mempengaruhi peningkatan metabolisme
ikan. Enzim-enzim yang berperan dalam proses tersebut juga akan semakin aktif untuk memecah
substrat sehingga metabolisme naik. Bila metabolisme naik maka akan menghasilkan semakin
banyak metabolit. Semakin banyak metabolit maka darah akan melakukan transport metabolit
untuk diedarkan ke seluruh tubuh menjadi lebih cepat sehingga frekuensi denyut jantung juga
menjadi meningkat. Untuk mengimbangi proses transport metabolit yang cepat maka organisme
harus menyediakan oksigen yang juga cepat untuk memecah hasil metabolisme menjadi suatu
bentuk energi melalui suatu proses katabolisme. Respirasi harus cepat dilakukan agar pemcahan
karbohidrat menjadi energi juga menjadi cepat. Karena alasan itulah pada semakin tinggi suhu
maka proses respirasi semakin cepat yang menyebabkan gerakan operculum juga semakin cepat.
Kecepatan respirasi pada kenaikan suhu tersebut meyebabkan kadar oksigen yang terlarut dalam
air semakin sedikit karena bayaknya oksigen yang telah digunakan untuk proses respirasi. Jadi
semakin tinggi suhu maka oksigen yang terlarut dalam air semakin sedikit. Proses respirasi pada
kenaikan suhu dipercepat dikarenakan untuk mengimbangi antara energi yang digunakan dengan
energi yang tersedia, dengan mempercepat respirasi proses pemecahan karbohidarat untuk
menghasilkan energi juga akan dipercepat. Kecepatan respirasi dapat terlihat pada kecepatan
gerakan operculumnya. Jadi proses penimbangan ikan pada saat praktikum berfungsi untuk
mengetahui tentang pengaruh berat ikan terhadap kecepatan respirasinya yang berkaitan juga
pengaruh luasnya bidang penyerapan difusi oksigen dengan kecepatan respirasi.
VIII. KESIMPULAN
Ikan termasuk hewan poikilotermik karena ikan menyesuaikan suhu di dalam tubuh
dengan perubahan suhu lingkungan. Hewan poikilotermik memiliki rentang toleransi terhadap

perubahan suhu lingkungan. Ketika terjadi perubahan suhu lingkungan, maka organisme akan
melakukan proses homeostasis agar dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Semakin tinggi suhu dinaikkan dari suhu normal, maka gerakan operculum juga semakin
meningkat karena terjadi jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun, kecepatan reaksi kimia
meningkat. Semakin rendah suhu pada lingkungan maka intensitas gerakan operkulum semakin
lambat. Jika perubahan suhu lingkungan melebihi batas toleransi hewan tersebut (suhu ekstrem),
maka dapat dipastikan hewan tersebut tidak mampu bertahan.
IX.

SARAN
-

Diusahakan pemilihan ikan sebagai probandus memiliki berat yang sama agar data yang
didapat akurat.

Dalam pengamatan, ikan dikatakan telah mengalami colapse jika dalam keadaan benarbenar menunjukkan tidak mampu bertahan.

DAFTAR PUSTAKA
Campbell, 2005. Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta : Erlangga.
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisisologi Ikan. Jakarta : P.T Rineka Cipta.
Hastuti, S. 2003. Respon Glukosa Darah Ikan Gurami (Osphronemus gouramy, LAC.) Terhadap
Stres Perubahan Suhu Lingkungan. http://jamu.journal.ipb.ac.id/ [diakses pada 27
September 2014].
Hutagalung, Horas P. 1988. Pengaruh Suhu Air Terhadap Kehidupan Organisme Laut. Oseana,
Volume XIII, Nomor 4 : 153 164. http://www. oseanograf i.lipi.go.id /sites
/default/files/oseana_xiii(4)153-164.pdf) [diakses pada 27 September 2014].

Santoso, Putra. 2009. Buku Ajar Fisiologi Hewan. Padang. Universitas Andalas
Soetjipta. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Yogjakarta : Penerbit Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Sugiri.
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang: Universitas Negeri Malang.
Tim Dosen Fisiologi Hewan. 2014. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan. Jember: Program Studi
Pendidikan Biologi Universitas Jember.
Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogjakarta: Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai