Anda di halaman 1dari 11

POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR KELAPA SAWIT

DI INDONESIA
1. PENDAHULUAN
Permintaan minyak hayati (nabati dan hewani) dunia terus bertambah
sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Kontribusi
minyak sawit terhadap konsumsi minyak dunia terus meningkat mulai dari 13,6%
pada 1990 menjadi 18,4% pada 1999. Selain itu, meskipun berfluktuasi, premium
minyak sawit secara umum meningkat sekitar $ 9,9/ton/th (Buana 2000). Kedua
hal tersebut menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat dunia terhadap
minyak sawit semakin baik sejalan dengan ditemukannya berbagai keunggulan
nutrisi minyak sawit dan keramahan produk minyak sawit terhadap lingkungan.
Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika yang diintroduksikan ke
Indonesia melalui Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Pada 1911, perkebunan
kelapa sawit komersial yang pertama didirikan di Pulau Raja (Asahan) dan
Sungei Liput (Aceh) (Pamin 1998). Saat ini, luas perkebunan kelapa sawit di
Indonesia 2,9 juta ha (Ditjenbun, 1998). Perkembangan ini menunjukkan bahwa
kondisi pedoagroklimat Indonesia sesuai untuk kelapa sawit dan menjadi salah
satu komponen keunggulan komparatif Indonesia di industri kelapa sawit.
Di sektor industri, pabrik kelapa sawit pertama dibangun di Tanah Itam
Ulu-Sumatera Utara pada 1922. Pada 1977 pabrik oleokimia pertama dibangun
di Tangerang (Pamin 1998).

Dari 5,6 juta ton CPO yang dihasilkan pada 1999,

sekitar 3,5 juta ton di proses di dalam negeri, 2,95 juta ton digunakan oleh
industri minyak makan dan 650 ribu ton oleh industri oleo kimia (PPKS 2000).
Sejalan dengan pertumbuhan produksi dan permintaan, industri hilir minyak
sawit baik untuk minyak makan maupun oleokimia perlu dikembangkan.

2. PERKEMBANGAN INDUSTRI
2.1. PABRIK KELAPA SAWIT (PKS)
Pada 1998,

jumlah PKS di Indonesia adalah 206 unit dengan total

kapasitas 8.114 ton TBS/jam (Tabel 1). Karena adanya distribusi produksi
bulanan, total kapasitas terpasang efektif rata-rata PKS adalah 5.634 ton/jam
atau sekitar 6,09 juta ton CPO/th sehingga dengan produksi 1998 sebesar
5.005.903 ton CPO, kapasitas terpakai telah mencapai 82% dari kapasitas
efektif.
Tabel 1. Distribusi Pabrik Kelapa Sawit di Indonesia 1998
No

Propinsi

Jumlah
(unit)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Aceh
13
Sumatera Utara
82
Sumatera Barat
7
Riau
44
Jambi
9
Sumatera Selatan
13
Bengkulu
6
Lampung
4
Jawa Barat
2
Kalimantan Barat
10
Kalimantan Selatan
3
Kalimantan Timur
3
Kalimantan Tengah
3
Sulawesi Tengah
1
Sulawesi Selatan
4
Irian jaya
2
Jumlah
206
Sumber: Laporan masing-masing perusahaan

Kapasitas
terpasang
(ton/jam)
380
3.131
295
2.017
375
501
230
125
60
430
110
130
90
30
150
60
8.114

Kapasitas
terpakai
(ton/jam)
306
2.604
268
1.484
285
444
183
124
50
206
95
89
90
30
124
60
6.443

2.2. INDUSTRI HILIR KELAPA SAWIT


Industri hilir kelapa sawit kategori produk pangan yang umum diusahakan
di Indonesia berupa minyak goreng, sedangkan produk bukan pangan berupa
oleokimia dasar meliputi fatty acid, fatty alcohol, stearin, glycerin dan metallic
soap.

Untuk keperluan pangan, CPO dipisahkan menjadi fraksi padat (stearin)


dan fraksi cair (olein) yang sudah dapat dikelompokkan sebagai minyak goreng.
Kapasitas terpasang industri fraksinasi 1985 adalah 2,9 juta ton padahal
produksi CPO tahun tersebut adalah 1,2 juta ton.

Pada 1995 kapasitas pabrik

fraksinasi adalah 6 juta ton yang juga melebihi produksi CPO nasional (Tabel 2).
Sejalan dengan industri fraksinasi, produksi margarin meningkat dari 33.205 ton
pada 1988 naik menjadi 59.750 ton pada 1993.
Tabel 2. Kapasitas industri fraksinasi 1995
No.

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Propinsi

Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kalimantan Barat

Kapasitas
Terpasang
(ton/th)
2.052.049
33.000
299.000
45.000
157.000
132.000
1.500.659
609.660
60.000
1.116.100
55.355

Jumlah

6.059.823

Andil
(%)
33,9
0,5
4,9
0,7
2,6
2,2
24,8
10,1
1,0
18,4
0,9
100

Dari segi laju pertumbuhan, industri oleo kimia dasar yaitu fatty acid,
metalic soap, glycerine dan fatty alkohol, maju sangat pesat.

Pada 1988

produksi oleokimia dasar Indonesia baru 79.500 ton, naik menjadi 217.700 ton
pada 1993 dan menjadi 652 ribu ton pada 1998 atau tumbuh dengan laju sekitar
23,5%/tahun (Tabel 3). Namun, kontribusi oleo kimia dasar Indonesia terhadap
produksi dunia baru 10,8%.

Total kapasitas produksi industri oleokimia 1998

adalah 847 ribu ton dengan distribusi seperti pada Tabel 4.


Tabel 3. Produksi oleokimia Indonesia 1988 1998 (000 ton)
Jenis
Fatty Nitrogen
Gycerine

1988

1993

1998

72,3

130,8

Na

7,2

49,1

Na
2

Fatty alcohol
Jumlah

0,0

37,8

79,5

217,7

na
652

Tabel 4. Kapasitas produksi oleokimia di Indonesia


No
Propinsi
Volume ( 000 ton)
1 Sumatera Utara
245,8
2 Riau
252,0
3 SUMATERA BARAT
80,6
4 DKI JAKARTA
193,3
5 JAWA TENGAH
47,6
6 JAWA TIMUR
14,4
8 IRIAN JAYA
13,7
Jumlah
847,4
Sumber : ICBS dan Hexindo Konsultan
NA: tidak tersedia

3. POTENSI PENGEMBANGAN
3.1. PENGEMBANGAN PASAR
Perkembangan konsumsi minyak dunia perlu dikelompokkan ke dalam
konsumsi untuk pangan dan non pangan karena faktor penentu perkembangan
untuk keduanya berbeda. Konsumsi minyak untuk pangan ditentukan oleh
perkembangan penduduk dan pertumbuhan konsumsi per kapita yang berkaitan
dengan pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan konsumsi minyak makan sangat dipengaruhi oleh populasi
dan daya beli.

Populasi dunia tumbuh dengan laju 1.53% per tahun. Laju

pertumbuhan tertinggi terjadi di Afrika dengan 2.77%, Amerika latin (2%), Asia
(1.53%) sedangkan di Eropa, populasi tumbuh dengan 0.24% dan di USA
dengan 0.86%. Pertumbuhan ekonomi tertinggi, sebelum krisis ekonomi juga di
Asia. Pemulihan perkenomian diperkirakan akan memacu kembali pertumbuhan
ekonomi di Asia.

Data ini menunjukkan bahwa

permintaan minyak untuk

keperluan pangan terutama akan datang dari Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Buana & Daswir (1994) menunjukkan bahwa pola konsumsi minyak tiap
etnis spesifik karena pola makannya yang khas. Amerika Serikat, Kanada dan
3

Eropa

mempunyai

konsumsi

perkapita

yang

sangat

tinggi

yaitu

>45

kg/kapita/tahun sementara konsumsi di negara berpenduduk kulit putih lain


seperti New Zealand dan Australia adalah 28,16 dan 33,37 kg/kapita/th dan di
Eks USSR hanya 12,89 kg/kapita/th.

Untuk etnis oriental, konsumsi minyak

perkapita Jepang adalah 21,03 kg/th sementara konsumsi di Cina dan Korea
masing-masing adalah 12,75 kg

dan 17,74 kg. Di Asia Selatan, konsumsi

perkapita minyak Pakistan adalah 16 kg/th sedangkan


hanya 10.2 kh/kapita/th.

India

konsumsinya

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa potensi

konsumsi minyak perkapita untuk New Zealand dan Australia masih akan
meningkat mendekati USA, Canada dan Eropa. Demikian juga dengan negara
Asia Timur seperti Cina dan Korea, konsumsinya masih akan meningkat
mendekati Jepang sedangkan negara Asia Selatan seperti India, konsumsi
masih akan meningkat paling tidak seperti Pakistan.
Perkembangan pasar dalam negeri juga sejalan dengan pertumbuhan
penduduk dan ekonomi. Penduduk Indonesia bertambah dengan laju sekitar
2%/th.

Angka ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dengan mengabaikan

pertumbuhan ekonomi, permintaan minyak dalam negeri naik dengan laju 2%.
Dalam periode 1990-97, konsumsi perkapita naik

dengan laju sekitar 2%

sehingga total pertumbuhan permintaan adalah sekitar 4%/th.


Segmen pasar oleo-kimia berkembang sejalan dengan perkembangan
teknologi oleokimia untuk mensubstitusi produk yang sudah ada terutama produk
petrokimia. Teknologi untuk membuat berbagai produk oleokimia sudah
ditemukan tetapi sebagian secara ekonomi belum laik dikembangkan (Rohayati,
2000). Hal ini disebabkan oleh belum adanya insentif (premium) untuk produkproduk yang biodegradable, atau enerji yang renewable. Insentif ini akan muncul
sejalan dengan kesadaran masyarakat akan lingkungan dan semakin langkanya
petrokimia.

3.2. POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI


Produk-produk yang dapat dihasilkan dari minyak sawit sangat luas
dengan intensitas modal dan teknologi yang bervariasi seperti disajikan pada
4

Gambar 1 dan Tabel 5.

Dari 5,9 juta ton produksi CPO Indonesia, sekitar 4,6

juta ton (78%) telah diolah di dalam negeri.

Namun, sebagian besar masih

dalam bentuk produk antara seperti RBD palm oil, stearin, olein, yang nilai
tambahnya tidak begitu besar dan sebagian kecil telah diolalh menjadi produkproduk oleokimia dengan nilai tambah yang cukup tinggi.

K ayu

Proses

P elepah

Rationing

Limbah cair

Inti

Pulp

Pupuk

PKO

Pakan
ternak

Limbah padat

Ref+Frac

CPO

RBD
olein

Ref

Kegunaan
teknis,
sabun dll

Pulping

RBD
stearin

Ref.

Stearin

RBD
PKO

Olein

Blending

Splitting

Blending

Blending

M.goreng

Sabun

Margarin

M.masak

Splitting

Fatty
acids

Hidrogen.

Margarin

Hyd. PKO

Penyabu
nan

Blending
Confectio
nary

Shortening

Vanaspati

Fatty amida

M.goreng
Shortening

Blending

Ref+Frac

Margarin

Cocoa butter
equivalent

Fatty amines

Krim Biskuit

Margarin Susu isian

Es krim

Confectionary

Serat
Rayon
Serat

Penya
bunan
Sabun

Shortening

Super olein

Blending

Pengu
rai

Fatty acids

Es krim

Proses
Fatty alkohol

Hyd Olein

Pulp

RBD
PO

Margarin

Ref+Frac

Kompos

Biogas

Crushing
Bungkil

Kompos

RANUT

PK S

Pulping

Furnitur

K elapa Sawit

TBS

Proses

...

Ref=Rafinasi
Ref=Rafinasi
Frac=Fraksinasi,
Frac=Fraksinasi,
Hidrog=hidrogenasi
Hidrog=hidrogenasi

Emuls
ifier

Gambar 1 Pohon industri kelapa sawit


Tabel 5. Jenis industri, perkiraan investasi dan pertambahan nilai industri
berbasiskan minyak sawit
No

Produk

Bahan baku

Tingkat
Teknologi

1
2

Olein & Stearin CPO


Fatty acids
CPO, PKO, katalis

Menengah
Tinggi

Ester

Tinggi

Palmitat, Miristat

Perkiraan
investasi
Rp200
700 milyar
Rp100
500 Milyar

Pertam
bahan
nilai
20%
50%
150%

Surfactant/em
ulsifier

Stearat, Oleat,
sorbitol, gliserol

Tinggi

Rp200-700
Milyar

200%

Sabun mandi

Sederhana

Lilin
Kosmetik
(lotion, cream),
bedak,
shampoo

Mulai dari
kurang 1
milyar
1 200
Milyar

300%

6
7

CPO, PKO, NaOh,


pewarna, parfum
Stearat
Surfaktan, ester,
amida

Sederhana

600%

3.2.1. industri minyak makan


Tabel 5 menunjukkan bahwa industri fraksinasi/rafinasi menghasilkan nilai
tambah yang relatif kecil tetapi kapasitas terpasang industri ini sudah terlalu
besar. Disisi lain, tahapan fraksinasi/rafinasi harus dilakukan dalam industri
minyak makan. Nilai tambah yang cukup besar diperoleh justru dari perdagangan
eceran (retail) minyak makan.
Fast food restaurant merupakan salah satu pengguna minyak nabati yang
cukup besar. Selama ini mereka banyak menggunakan hydrogenated oils untuk
mendapatkan karakteristik produk yang diinginkan yaitu hasil gorengan yang
kering dan renyah. Dengan kandungan asam lemak jenuhnya yang tinggi,
minyak sawit dapat mensubstitusi hydrogenated oils sehingga produk minyak
goreng spesial untuk fast food ini mempunyai potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan. Apalagi dalam waktu dekat ini Amerika akan menerapkan food
labeling baru yang mengharuskan produsen untuk mencantumkan kandungan
trans fat pada label makanan yang mengandung minyak sehingga produk dari
mnyak sawit akan lebih kompetitif karena bebas dari trans fat.
Produk-produk khusus seperti minyak makan merah, margarin kaya
vitamin A, minyak goreng kaya omega 3 merupakan produk dengan nilai nutrisi
yang tinggi yang mempunyai peluang untuk dikembangkan untuk segmen pasar
tertentu baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu hal penting yang perlu
dilakukan untuk menaikkan konsumsi minyak makan merah di dalam negeri ialah
melalui pendidikan konsumen tentang kandungan nutrisi dan manfaat produk
tersebut.
6

Aspek mutu produk dan pemasaran merupakan aspek penting dalam


melakukan penetrasi di pasar retail untuk produk pangan. Mutu produk harus
memenuhi standar mutu di negara tujuan. Secara teknis, standar mutu minyak
makan seperti minyak goreng, shortening, margarin dapat dipenuhi oleh industri
yang ada di Indonesia.

Aspek penting yang perlu diperhatikan adalah

pengawasan proses dan mutu sehingga konsistensi mutu produk terjamin.


Dalam hal pemasaran, kerja sama dengan pengusaha di negara tujuan
merupakan cara yang efektif untuk menembus pasar.

3.2.2. Industri oleokimia


Industri oleo kimia dasar masih relatif kecil padahal nilai tambahnya cukup
besar. Penggunaan minyak/lemak dalam industri oleokimia dunia hanya sekitar
6% dari total produksi minyak/lemak dunia. Namun, industri oleo kimia
berkembang dengan sangat pesat terutama di Malaysia. Produksi oleokimia
dasar dalam 1970-1995 meningkat

dari 2,5 juta ton menjadi 5 juta ton dan

diperkirakan menjadi 6 juta ton pada 2000.

Produksi Malaysia 1998 adalah

1792 ribu ton sedangkan Indonesia baru 652 ribu ton/th.


Segmen

pasar

oleo-kimia

akan

berkembang

sejalan

dengan

perkembangan teknologi oleokimia kesadaran masyarakat akan lingkungan dan


semakin langkanya petrokimia. Teknologi untuk membuat berbagai produk
oleokimia sudah ditemukan tetapi belum laik dikembangkan dibeberapa tempat
karena belum adanya insentif untuk produk-produk yang ramah lingkungan.

Di

negara maju, insentif untuk produk-produk yang ramah lingkungan seperti enerji
yang bersumber dari bahan yang dapat diperbaharui seperti biodiesel sudah
diberikan. Oleh sebab itu, industri biodisel dari minyak sawit merupakan salah
satu industri yang potensial untuk dikembangkan.

3.2.3. Industri farmasi


Minyak sawit mengandung komponen minor seperti tokoferol, tokotrienol,
beta karotene, squalene yang merupakan bahan baku untuk industri farmasi.
Tokoferol adalah sumber vitamin E yang dapat diekstrak dari limbah destilat
asam lemak pada proses fraksinasi minyak sawit dengan kandungan sekitar
800-1000 ppm. Potensi vitamin E dari minyak sawit ini cukup besar mengingat
jumlah destilat asam lemak sawit adalah sekitar 5% dari minyak sawit yang
diolah. Vitamin E dari minyak sawit mempunyai keunggulan dibandingkan
dengan produk sejenis dari minyak kedele karena mengandung tokotrienol yang
dapat berfungsi untuk mencegah kanker.
Beta karoten adalah salah satu produk farmasi alami yang mempunyai
pasar cukup besar. Selama ini beta karotene yang ada di pasar sebagian besar
adalah hasil sintetis kimia yang mulai banyak dihindari dengan semakin tingginya
kesadaran konsumen untuk mengkonsumsi bahan alami. Hal ini merupakan
kesempatan bagi produsen minyak sawit untuk mengembangkan industri betakaroten alami dari minyak sawit. Kandungan beta-karoten dalam CPO sekitar
500-700 ppm. Dengan harga beta-karotene sintetik sekitar US$ 600/kg, nilai beta
karotene dalam minyak sawit sebenarnya sama dengan nilai minyaknya sendiri
apabila semuanya dapat diekstrak.

3.2.4. Industri pemanfaatan limbah kelapa sawit


Selain dari produk utamanya, limbah industri kelapa sawit merupakan
sumber bahan baku untuk industri lain. Tandan kosong merupakan bahan baku
yang sangat potensial untuk industri serat, kertas, pulp, rayon, kompos, briket
arang dan lain-lain. Kajian finansial pemanfaatan tandan kosong untuk pulp,
kertas, kompos dan arang menunjukkan bahwa industri ini laik dikembangkan
secara komersial. Untuk industri kompos misalnya, keuntungan yang diperoleh
nilainya sekitar 50% dari keuntungan yang diperoleh dari industri perkebunan
kelapa sawit itu sendiri (Buana et al, 2000).

Pada industri kertas kraft, tandan

kosong dapat mengisi sampai 30% dari total bahan baku yang semakin mahal
dan langka.
Dengan semakin digalakkannya implementasi produksi bersih, industri
kelapa sawit harus dapat menerapkan pola zero waste dalam pengelolaan
limbahnya. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan memanfaatkan
limbah seoptimal mungkin untuk mendapatkan nilai tambah. Walaupun teknologi
pemanfaatan limbah sudah banyak ditemukan dan diintroduksi, namun sampai
saat ini, belum ada investor yang berani menjadi pionir di industri ini.

4. KESIMPULAN
Indonesia mempunyai potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia
dan teknologi untuk terus mengembangkan perkebunan dan industri kelapa
sawit.

Keunggulan komparatif ini perlu dimanfaatkan secara optimal untuk

menghasilkan produk-produk yang kompetitif dan bernilai tambah tinggi.


Industri oleopangan perlu terus meningkatkan mutu produknya sehingga
mampu menembus pasar minyak makan dunia yang masih sangat besar.
Industri oleokimia belum banyak

dieksploitasi. Meningkatnya

kesadaran

masyarakat dunia akan lingkungan dan semakin langkanya sumber petrokimia


akan membuka luas pasar produk oleokimia.
Industri minyak-minyak makan khusus, industri biodisel, industri farmasi,
industri pemanfaatan tandan kosong untuk pulp, kertas dan kompos merupakan
industri-industri yang mempunyai potensi untuk dikembangkan.

Daftar Pustaka
Buana, L. 2000. Dekomposisi Harga Minyak Sawit Dan Implikasinya Terhadap
Kebijakan Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit (inpress)
Buana L., Darnoko, Guritno., P,
Herawan, T., , and Erwinsyah, 2000. Aspek
ekonomi pemanfaatan limbah, Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2000
Medan
Direktorat Jenderal Perkebunan. 1998. Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa
sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan-Departemen Pertanian Republik
Indonesia
Pamin, K. 1998. A hundred and fifty years of oil palm development in Indonesia.
From the Bogor Botanical Garden to the industry. Proceeding 1998
International Oil Palm Conference. Jatmika A., Bangun, D., Asmono, D.,
Sutarta, E.S., Pamin, K., Guritno, P., Prawirosukarto, S., Wahyono, T.,
Herawan, T., Hutomo, T., Darmosarkoro, W., Adiwiganda Y. T. and
Poeloengan Z. editor. 23-25 September Nusa Dua Bali.
PPKS., 2000. Profil Kelapa Sawit Indonesia. PPKS

10

Anda mungkin juga menyukai