Anda di halaman 1dari 38

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF ALGHAZALI

suriadi

August 29, 2013

1 comment

Karya Ilmiah, Publikasi

http://iaisambas.ac.id/blog/2013/08/29/konsep-pendidikan-islamperspektif-al-ghazali/

Oleh, Suriadi
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi
dan perkembangan masyarakat tersebut, oleh karena pendidikan merupakan usaha
melestarikan, dan mengalihkan serta mentranfortasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala
aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus. Demikian pula halnya dengan peranan
pendidikan di kalangan umat Islam, merupakan bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam

untuk melestarikan, mengalihkan dan menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan


nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai culturalreligius yang dicita-citakan tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktukewaktu.
Pendidikan Islam, bila dilihat dari segi kehidupan cultural umat manusia tidak lain adalah
merupakan salah satu alat pembudayaan (enkulturasi) masyarakat itu sendiri. Sebagai suatu
alat, pendidikan dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan
hidup manusia, (sebagai makhluk pribadi dan sosial), kepada titik optimal kemampuannya
untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat. Dalam
hal ini, maka pendidikan sebagai alat pemberdayaan sangat bergantung pada pemegang alat
tersebut yaitu pendidik. Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran tentang pola berfikir
dan berbuat dalam pelaksanaan pendidikan Islam pada khususunya, diperlukan kerangka
berpikir teoritis yang mengandung konsep tentang pendidikan Islam, disamping konsepkonsep operasionalnya dalam masyarakat. Dengan kata lain bahwa untuk memperoleh suatu
keberhasilan dalam proses pendidikan Islam, diperlukan adanya Ilmu Pengetahuan tentang
Pendidikan Islam baik bersifat teoritis maupun praktis.
B. Tinjauan Teoritis Tentang Pendidikan Islam
Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan menurut terminologi bahasa Arab populer dengan istilah tarbiyah yang bermakna
serangkaian proses secara bertahap untuk mendidik, mengasuh, memelihara bakat, dan fitrah
anak didik agar menjadi anak yang baik dan sempurna.[1] Sementara dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pendidikan berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
[2]
Pendidikan merupakan satu usaha manusia di muka bumi untuk meneruskan pengetahuan
yang dimiliki kepada generasi berikutnya. Dengan mentransfer pengetahuan yang
dimilikinya, maka diharapkan kehidupan di masa yang akan datang menjadi lebih baik dari
pada masa lampau. Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha sadar manusia untuk
melestarikan segala pengetahuan dan ketrampilannya agar dapat diambil manfaatnya oleh
generasi berikutnya.
Pendidikan telah menjadi suatu proses pentransferan pengetahuan dalam jangka waktu yang
panjang. Selama proses tersebut, pendidikan telah menempatkan dirinya sebagai subjek yang
bersesuaian dengan zaman. Dengan kata lain, pendidikan akan selalu menjadi sesuatu yang
baru, sesuatu yang tak lekang dan usang oleh masa, selalu mendapat rumusan dan definisi
sesuai dengan masa ketika pendidikan itu berlangsung.
Hasan Langgulung[3] mencatat sekurang-kurangnya ada tiga alasan mengapa manusia
memerlukan pendidikan. Pertama, dalam tatanan kehidupan masyarakat ada upaya pewarisan
nilai kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda dengan tujuan agar nilai hidup
masyarakat tetap berlanjut dan terpelihara. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai intelektual, seni,
politik, ekonomi dan sebagainya. Kedua, dalam kehidupannya sebagai individu, manusia
memiliki kecenderungan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya
seoptimal mungkin. Untuk maksud tersebut manusia memerlukan sarana yang berupa
pendidikan. Ketiga, konvergensi dari dua tuntutan di atas diaplikasikan melalui pendidikan.

Ada banyak definisi pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Azyumardi Azra
pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya
untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.
[4] Sementara itu menurut Mulyarahardjo, pendidikan adalah suatu proses dan suatu usaha
yang dilakukan melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan latihan yang berlangsung di suatu
lembaga atau di luar suatu lembaga, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
memaksimalkan peranan dalam berbagai lingkungan hidupnya secara tepat di masa yang
akan datang.[5] Senada dengan hal tersebut, Hasan Langgulung menyatakan bahwa proses
pendidikan adalah mentransfer nilai nilai, ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Dalam
mentransfer ini digunakan metode dan teknik tertentu. Banyak metode dan teknik yang telah
dikemukakan oleh para pakar pendidikan agar menghasilkan sumber daya manusia yang
lebih berkualitas dan produktif, efisien dan memiliki kepercayaan diri.[6] Banyaknya definisi
yang telah dikemukakan oleh para pakar pendidikan selain yang tersebut di atas,
menunjukkan bahwa pendidikan itu memiliki peran penting bagi kehidupan.
Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi. Hal ini dapat
dilihat dalam Alquran, yaitu pada lima ayat pertama dalam surat al-Alaq[7] yang dimulai
dengan perintah membaca. Al-Maraghi[8] menafsirkan ayat tersebut dalam bentuk berikut
Jadilah engkau orang yang bisa membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah
menciptakanmu. Kerjakanlah apa yang Aku perintahkan yaitu membaca. Perintah ini
diulang-ulang sebab membaca tidak akan meresap ke dalam jiwa, kecuali setelah diulangulang dan dibiasakan. Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan tentang keutamaan
membaca, menulis dan ilmu pengetahuan. Jika kata pendidikan digandengkan dengan kata
Islam, maka akan terumuskan definisi baru. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Azra, yaitu
suatu proses pembentukan individu yang dilandaskan pada ajaran-ajaran Islam yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.[9] Pendidikan Islam paling sedikit memiliki
tiga karakter. Pertama, pendidikan Islam memiliki karakter penekanan pada pencarian ilmu
pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT. Kedua,
pendidikan Islam merupakan sebuah pengakuan terhadap potensi dan kemampuan seseorang
untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Ketiga, pendidikan Islam merupakan sebuah
pengamalan ilmu atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.[10]
Sejak zaman klasik, para ilmuwan muslim seperti Ibn Miskawaih[11] Imam al-Ghazali[12]
maupun Ibn Rusyd telah melakukan kajian mengenai pendidikan Islam. Menjelang abad
kedua puluh, Muhammad Abduh menawarkan konsep pembaruan pendidikan Islam yang
banyak mempengaruhi tokoh pembaruan bidang pendidikan di dunia Islam, termasuk tokoh
pembaruan di Indonesia. Akhir abad ke duapuluh pemikiran tentang pendidikan Islam juga
dikemukakan oleh sejumlah ahli pendidikan muslim, seperti Mohd. Athiyah al-Abrasy,
Muhammad Omar al-Toumy al-Syaibani, Fadhil al-Jamali, Sayyid Hossein Nashr, Hasan
Langgulung.[13]
Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam setelah
mengetengahkan arti tarbiyah, tal_m dan tad_b berpendapat sebagai berikut, pendidikan
Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar berkembang
secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat, pendidikan Islam ialah
bimbingan tehadap seseorang agar menjadi muslim semaksimal mungkin.[14]
Syahminan Zaini, dalam bukunya Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam
menyatakan definisi pendidikan Islam ialah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan
ajaran Islam, agar terwujud (tercapai) kehidupan manusia yang makmur dan bahagia.[15]

Dalam definisi yang cukup singkat ini nampak memberikan penekanan mengenai adanya
usaha mengembangkan fitrah manusia, dengan ajaran agama Islam dan terwujudnya
kehidupan yang makmur dan bahagia.
Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam setelah mengutip pendapat M. Athiyah al
Abrasyi dan Ahmad D. Marimba mengemukakan pengertian pendidikan Islam adalah suatu
proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian. Pengertian
pendidikan seperti disebutkan di atas mengacu kepada suatu sistem yaitu sistem pendidikan
Islam[16]
C. Asas-Asas Pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung bahwa pendidikan itu mempunyai asas-asas tempat ia tegak
dalam materi, interaksi, inovasi dan cita-citanya. Seperti halnya kedokteran, teknik atau
pertanian, masing-masing tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu sarana di
mana dipraktekkan sejumlah ilmu yang erat hubungannya antara satu dan lainnya dan jalin
menjalin.[17]
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat diketahui, bahwa yang dimaksud dengan asas
pendidikan adalah sejumlah ilmu yang secara fungsional sangat dibutuhkan untk membangun
konsep pendidikan, termasuk pula dalam melaksanakannnya. Sebagaimana diketahui bahwa
pendidikan sebagai sebuah ilmu sangat membutuhkan dukungan dari ilmu-ilmu lain, seperti
ilmu sejarah, psikologi manajemen, sosiologi, antropologi, teologi dan sebagainya.[18]
Dalam hal ini, Hasan Langgulung misalnya menyebutkan adanya enam bidang ilmu yang
dibutuhkan oleh pendidikan. Keenam ilmu tersebut adalah ilmu sejarah (historis), ilmu sosial,
ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu psikologi dan filsafat.[19]
Selain menggunakan kata asas-asas, dikalangan para ahli pendidikan Islam juga ada yang
mempergunakan kata prinsip-prinsip yang menjadi dasar pendidikan Islam. Omar
Muhammad al-Toumy al-Syaibani misalnya menyebutkan adanya lima prinsip yang harus
digunakan sebagai asas dalam membangun konsep pendidikan Islam. Lima prinsip atau lima
asas tersebut adalah prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap jagat raya, prinsip
yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap manusia, prinsip yang menjadi dasar
pandangan Islam terhadap masyrakat, prinsip yang menjadi dasar teori pengetahuan pada
pemikiran Islam, dan prinsip-prinsip yang menjadi dasar falsafah akhlak dalam Islam.[20]
Prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap jagat raya mengandung uraian tentang
kepercayaan yang mengatakan bahwa pendidikan adalah proses dan usaha mencari
pengalaman dan perubahan yang diingini oleh tingkah laku, bahwa jagat raya sebagai suatu
selain Allah.[21]
Penggunaan pandangan jagat raya seabagi asas pendidikan sebagaaimana tersebut diatas,
sangat diperlukan, karena dalam pelaksanaannya pendidikan membutuhkan berbagai sarana
yang ada di alam jagat raya ini. Selanjutnya prinsip yang menjadi asas pendidikan berupa
pandangan tentang manusia mengandung arti kepercayaan bahwa manusia adalah sebagai
makhluk yang termulia di alam jagat raya. Ia adalah makhluk yang berpikir, mempunyai tiga
dimensi, yaitu badan, akal dan ruh, sebagai makluk yang dapat menerima warisan yang
bersumber dari alam lingkungan, memiliki motivasi dan kebutuhan, memiliki perbedaan
antara satu dan lainnya, serta mempunyai keluwesan sifat dan dapat berubah.[22]

Dalam hal itu, pandangan tentang asas masyarakat didasarkan pada pandangan bahwa
masyarakat adalah salah satu faktor utama yang memberi pengaruh dalam pendidikan dan
kerangka di mana berlangsung proses pendidikan, dan di situ juga berlakunya penentuan
tujuan-tujuan, kurikulum, metode dan alat-alat pendidikan. Dan oleh karena itu Islam
mempunyai pandangan khusus terhadap masyarakat dan kehidupan, maka haruslah
ditentukan prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan ini ketika berusaha membina
falsafah pendidikan.[23]
Landasan atau dasar pendidikan Islam sudah pasti adalah al-Quran dan hadis, alasannya
adalah firman Allah yang pertama kali turun dan disampaikan kepada Rasulullah ada perintah
membaca, sebagaimana firman Allah.

Bacalah (ya Muhammad) dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah
(QS al-Quran [96]: 1).

menciptakan.

Dari keterangan ayat di atas, jelaslah yang menjadi dasar atau landasan bagi seluruh manusia
yang beriman kepada Allah, termasuk pendidikan Islam, adalah kitabullah dan sunnah rasulNya.
D. Tujuan Pendidikan Islam
Di kalangan para ahli masih terdapat perbedaaan pendapat mengenai pemakaian istilah
tujuan. Hasan Langgulung, misalnya mengatakan bahwa istilah tujuan sendiri banyak
dicampur baurkan penggunaaannya dengan istilah maksud. Kadang-kadang tampak berbeda,
dan kadang-kadang tampak serupa. Namun demikian, pada akhirnya ia menganggap bahwa
kedua istilah itu mempunyai arti yang sama.[24]
Tujuan pendidikan Islam atau tujuan-tujuan pendidikan lainnya, mengandung di dalamnya
suatu nilai-nilai tertentu sesuai pandangan dasar masing-masing yang harus direalisasikan
melaui proses yang terarah dan konsisten dengan menggunakan berbagai sarana fisik dan non
fisik yang sama sebangun dengan nilai-nilainya. Ahmad Tafsir, misalnya mencoba
menjelaskan tujuan pendidikan Islam dengan merujuk berbagai pendapat para pakar-pakar
pendidikan Islam. Dilihat dari Ilmu Pendidikan Teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara
bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara atau antara), yang dijadikan batas
sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu, untuk
mencapai tujuan akhir.[25]
Tujuan incidental merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, akan tetapi dapat
dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tingkat tertentu. Misalnya, peristiwa
meletusnya gunung berapi, dapat dijadikan sasaran pendidikan yang mengandung tujuan
tertentu, yaitu anak didik timbul kemampuannya untuk memahami arti kekuasaan Tuhan yang
harus diyakini kebenarannya. Tahap kemampuan ini menjadi bagian dari tujuan antara untuk
mencapai tujuan akhir pendidikan.
Berbagai tingkat tujuan pendidikan yang dirumuskan secara teoritis itu bertujuan untuk
memudahkan proses pendidikan melalui tahapan yang makin meningkat (progresif) ke arah
tujuan umum atau tujuan akhir.[26]

Dalam sistem operasionalisasi kelembagaan pendidikan, berbagai tujuan tersebut ditetapkan


secara berjenjang dalam struktur program instruksional, sehingga tergambarlah klasifikasi
gradual yang semakin meningkat, bila dilihat dari pendekatan sistem Instruksional tertentu
sebagai berikut:[27]
1. Tujuan Intruksional Khusus, diarahkan pada setiap bidang studi yang harus dikuasai
dan diamalkan oleh anak didik.
2. Tujuan Intruksional Umum, diarahkan pada penguasaan atau pengamalan suatu
bidang secara umum atau garis beasrnya sebagai suatu kebulatan.
3. Tujuan Kurikuler, yang diteatapkan untuk dicapai melalui garis-garis besar program
pengajaran di tiap institusi (lembaga) pendidikan.
4. Tujuan Institusional, adalah tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di
tiap sekolah atau lembagapendidikan tertentu secara bulat atau terminal seperti tujuan
institusional SMTP/SMTA atau STM/SPG (tujuan terminal).
5.

Tujuan Umum, Tujuan Nasional, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai
melalui proses kependidikan denagan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal
(sekolah), sistem non formal (non klasikal dan non kurikuler), maupun sistem
informal (yang tidak terikat oleh formalitas program, waktu, ruang dan materi).

Tujuan Pendidikan Agama di lembaga-lembaga penddidikan formal di Indonesia ini dapat


dibagi menjadi dua macam, yakni:[28]
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
3. Tujuan Umum Pendidikan Agama
Tujuan Umum Pendidikan Agama ialah membimbing anak agar mereka menjadi orang
Muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh dan berakhlak mulia serta berguna bagi
masyarakat, Agama dan Negara.
Tujuan Pendidikan Agama tersebut adalah merupkan tujuan yang hendak dicapai oleh setiap
orang yang melaksanakan pendidikan Agama. Karena dalam mendidik Agama yang perlu
ditanamkan terlebih dahulu adalah keimanan yang teguh, sebab dengan adanya keimanan
yang teguh itu maka akan menghasilkan ketaaatan menjalankan kewajiban Agama.
1. Tujuan Khusus Pendidikan Agama
Tujuan khusus pendidikan Agama pada setiap tahap atau tingkat yang dilalui, seperti
misalnya tujuan pendidikan Agama untuk SD berbeda dengan tujuan pendidikan Agama
untuk Sekolah Menengah, dan berada pula untuk Peguruan Tinggi. Adapun tujuan pendidikan
Agama Islam untuk masing-masing tingkat sekolah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Untuk Tingkat Sekolah Dasar

1) Penanaman rasa agama kepada murid


2) Menanamkan perasaan cinta kepada Allah dan rasul-Nya.
3) Memperkenalkan ajaran islam yang bersifat global, seperti rukun Iman, rukun Islam dan
lain-lain
4) Membiasakan anak-anak berakhlaq mulia, dan melatih anak-anak untuk mempraktekkan
ibadah yang bersifat praktis-praktis, seperti shalat, puasa dan lain-lain.
5) Membiasakan contoh tauladan yang baik.
2. Untuk Tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
1) Memberikan ilmu pengetahuan agama islam
2) Memberikan pengertian tentang agama islam yang sesuai dengan tingkat kecerdasannya.
3) Memupuk jiwa agama
4) Membimbing anak agar mereka beramal shaleh dan berakhlaq mulia
3. Untuk Tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
1) Menyempurnakan pendidikan agama yang sudah diberikan di tingkat SLTP
2) Memberikan pendidikan dan pengetahuan agama islam serta berusaha agar mereka
mengamalkan ajaran islam yang telah diterimanya.
4. Untuk Tingkat Universitas
1) Terbentuknya Sarjana Muslim yang taqwa kepada Allah SWT
2) Tertanamnya aqidah Islmiyah pada setaip mahasiswa
3) Terwujudnya mahasiswa yang taat beribadah dan berakhlaq mulia.
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam
itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir
dan batin, di dunia dan akhirat.
Rumusan-rumusan tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama dan ahli
pendidikan Islam dari semua golongan dan madzhab dalam Islam, misalnya sebagai berikut:
[29]
1) Rumusan yang ditetapkan dalam kongres sedunia tentang pendidikan Islam sebagai
berikut: Education should aim at the balanced growt of total personality of man through the
training of mans spirit, intellect the racional self, feeling and bodily sense. Education should
there fore cater for the growth af man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative,
physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these

aspects toward goodness and attainment of perfection. The ulmate aim of education lies in
the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and
humanity at large.
Rumusan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam mempunyai tujuan yang luas dan
dalam, seluas dan sedalam kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk individual dan seabagi
makhluk sosial yang menghamba kepada Khaliknya yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran
agamanya.[30] Oleh karena itu, pendidikan Islam bertujuan untuk menumbuhkan pola
kepribadian manusia yang bulat melaui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran,
perasaan dan indera. Pendidikan ini harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua
aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imjinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahsanaya
(secara perorangan maupun kelompok). Dalam hal ini, pendidikan mendorong semua aspek
tersebut ke arah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup.[31]
2) Rumusan yang lain adalah hasil keputusan seminar pendidikan Islam se Indoneisa
tanggal 7 s.d 11 Mei 1960 , di cipayung, Bogor.[32] Pada saat itu berkumpullah para ulama
ahli pendidikan Islam dari semua lapisan masyarakat Islam, berdiskusi dengan para ahli
pendidikan umum, dan telah berhasil merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berkut:
Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan
kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut
ajaran Islam. Tujuan tersebut ditetapkan berdasarkan atas pengertian bahwa: Pendidikan
Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam
dengan hikmah menagarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya
semua ajaran Islam.
Jadi jelas bahwa, berdasarkan keputusan seminar tersebut membicarakan masalah tujuan
pendidikan, khususnya Islam, tidak terlepas dari masalah nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri,
oleh karena realisasi nilai-nilai itulah yang pada hakikatnya menjadi dasar dan tujuan
pendidikan Islam.[33]
3) Ada rumusan lain tentang pendidikan Islam oleh Omar Muhammad Al Toumy Al
Syaebani sebagai berikut:[34] Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diingin diusahakan
dalam proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku
individu dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar di
mana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran
sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat.
Mengingat tujuan pendidikan yang begitu luas, tujuan tersebut dibedakan dalam beberapa
bidang menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis sebagai berikut:[35]
1) Tujuan Individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka
mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
2) Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat sebagai keseluruhan,
dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang
diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
3) Tujuan professional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi serta
sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat. Dalam proses kependidikan, ketiga tujuan di atas

dicapai secara integral, tidak tepisah dari satu sama lain, sehingga dapat mewujudkan tipe
manusia paripurna seperti dikehendaki oleh ajaran agama Islam.[36] Oleh karena itu tujuan
pendidikan pada hakikatnya merupakan cita-cita mewujudkan nilai-nilai, maka filsafat
kependidikanlah yang memberi dasar dan corak serta arah tujuan kependidikan itu sendiri.
[37]
Tujuan pendidikan Islam dengan demikian merupakan penggambaran nilai-nilai Islami yang
hendak diwujudkan dalam pribadi peserta didik pada akhir dari proses tersebut. Dengan
istilah lain tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan nilai-nilai Islami dalam pribadi
manusia yang diiktiarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang terminal pada hasil
(produk) yang berkepribadian Islam yang beriman, bertakwa dan berilmu pengetahuan yang
sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.[38]
Hasil rumusan tentang Tujuan Pendidikan Islam menurut kongres Pendidikan Islam se-Dunia
di Islamad tahun 1980, menunjukkan bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita
(idealitas) Islami yang mencakup pengembangan kepribadian muslim bersifat menyeluruh
secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia mengacu
kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkesinambungan sehingga
terbentuklah manusia muslim yang pari purna yang berjiwa tawakal (menyerahkan diri)
secara total kepada Allah SWT.[39]
Dengan demikian tujuan pendidikan Islam mempunyai jangkauan yang sama luasnya dengan
kebutuhan hidup manusia modern masa kini dan masa yang akan datang, dimana manusia
tidak hanya memerlukan iman atau agama melainkan juga ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai alat untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia sebagai sarana untuk mencapai
kehidupan spiritual yang bahagia di akhirat terhindar dari siksaan neraka.[40]
Sejalan dengan tujuan pendidikan yang bersifat paripurna itu, Mohd Fadhil Al-Djamali,
berpendapat bahwa sasaran pendidikan Islam sesuai dengan ajaran Alquran ialah membina
kesadaran atas diri manusia sendiri dan atas system sosial yang Islami, sikap dan rasa
tanggung jawab sosialnya, juga terhadap alam sekitar ciptaan Allah serta kesadarannya untuk
mengembangkan dan mengelola ciptaannya bagi kepentingan kesejahteraan umum manusia
yang paling utama dari semuanya itu ialah membina makrifat kepada Allah Pencipta alam
dan beribadah kepada-Nya dengan cara mentaati perintah-perintah-Nya serta menjauhi segala
larangan-Nya.[41]
Rumusan tujuan pendidikan Islam dapat juga tidak seragam ruang lingkupnya, bergantung
pada mazhab atau aliran paham yang dijadikan orientasi sikap dan pandangan dalam
pengamalan agama. Berikut keaneka ragaman rumusan tujuan pendidikan Islam
menampakkan pengaruh mazhab atau aliran paham para pemikir atau ulama Islam dalam
masalah pendidikan:[42]
1. Ichwanus sofa, karena cenderung berorientasi kepada mazhab filsafat dan kepada
keyakinan politisnya merumuskan tujuan pendidikan untuk menumbuh-kembangkan
kepribadian muslim yang mampu mengamalkan cita-citanya.
2. Abul Hasan Al-Qabisi yang menganut paham ahli sunnah wal jamaah merumuskan
tujuan pendidikan untuk mencapai makrifat dalam agama baik ilmiah maupun
amaliah.

3. Ibnu Maskawaih seorang ahli fiqh dan hadis menitik beratkan rumusannya pada usaha
mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas baik, benar dan indah (atau
merealisasikan kewbaikan, kebenaran dan keindahan).
4. al-Ghazali, merumuskan tujuan pendidikan dengan menitik beratkan pada melatih
anak agar dapat mencapai makrifat kepada Allah melalui jalan tasawwuf yaitu dengan
mujahadah (membiasakan) dan melatih nafsu-nafsu.
Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa pendidikan mutakhir, maka tujuan di atas di sebut
tujuan akhir atau al-ahdaf al-Ulya yang dapat dijabarkan kepada tujuan-tujuan kecil, yakni
tujuan umum dan tujuan khusus. Dengan kata lain bahwa, untuk memebentuk insan kamil
ada pra-syarat-pra-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya mempelajari berbagai ilmu juga
dengan pra-syarat-pra-syarat yang terkandung dalam mempelajarai ilmu-ilmu itu seperti
mempelajari bahasa , syariah dan lain-lain. Jadi tidaklah insan kamil itu tercipta dalam
sekejap mata, ia mengalami proses yang panjang, mempelajari ilmu, beramal, dengan
berbagai cobaan yang bisa terjadi di dalam proses itu. Hanya orang yang lulus dari cobaancobaan itulah yang sanggup sampai ketahap kesempurnaan (kamal).[43]
Perlu juga difahami bahwa pendidikan di sini dimaksudkan dalam pengertiannya yang sangat
luas, yaitu yang formal, non formal, dan informal. Tidak heran kalau al-Ghazali selalu
berbicara dengan ungkapan yang umum, yang masuh perlu dijabarkan secara detil untuk
dapat dilaksanakan di dalam kelas. Dan perlu juga ditegaskan bahwa tujuan pendidikan
menurut al-Ghazali di sini memang harus menempati suatu tempat khusus dalam bidang
filsafat, yaitu filsafat manusia yang memang sangat jarang dikupas dalam dunia kependidikan
dewasa ini.
Mempelajari karya-karya al-Ghazali mengenai pendidikan dan pengajaran, akan ditemukan
dua tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Pertama, Kesempurnaan manusia, yang
puncaknya adalah dekat kepada Allah. Kedua, Kesempatan manusia, yang puncaknya adalah
kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, ia berusaha mengajar manusia agar mampu
mencapai tujuan-tujuan yang dirumuskan tadi.[44]
Sistem pendidikan Islam secara umum mempunyai ciri khas , yakni warna religius dan
kerangka etik yang nampak jelas dalam tujuan dan sasarannya, tanpa mengesampikan
masalah-masalah duniawi. Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan secara umum sesuai
dengan orientasi religius-etis. Dengan tidak melupakan urusan dunia, al-Ghazali
mempersiapkan segala perangkat yang dibutuhkan dalam pendidikan. Namun ia menganggap
pelayanan urusan dunia dan kebahagiaannya hanya faktor suplementer untuk mencapai
kebahagiaan akhirat yang lebih utama dan abadi. Dunia adalah ladang menuju akhirat. Ia
merupakan sarana menuju kepada Allah bagi yang menjadikannya sebagai sarana dan tempat
pengembaraan, bukan tempat menetap dan bertempat tinggal.[45]
Pikiran-pikiran al-Ghazali di samping dibentuk oleh warna religius sebagai cirri khas
pendidikan Islam ia lebih banyak cenderung pada bidang ruhani. Kecenderungan ini memang
sesuai dengan filsafat sufistiknya. Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah
kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat yang bisa dicapai melalui upaya mencari
keutamaan dengan ilmu pengetahuan. Jadi keutamaan bisa membahagiakan di dunia di
samping membuat juga dekat kepada Allah, suatu kebhagiaan di akhirat.

Namun, meski ia sangat religius dan sufi, yang mempengaruhi pandangan dan nilai-nilai
lainnya, serta menjadikan tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk
kebahagiaan akhirat, al-Ghazali tidak lupa, bahwa menuntut ilmu demi ilmu itu sendiri adalah
perlu. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan mempunyai keistimewaan dan kebaikan.
Dikatakan, bahwa ilmu pengetahuan merupakan keutamaan dalam dirinya sendiri juga
keutamaan secara mutlak.[46]
Karena itu ia menganggap mencari ilmu sebagai tujuan pendidikan. Sebab ilmu mempunyai
nilai tinggi dan orang akan menemukan kelezatan dan kenikmatan. Karena itu, ilmu perlu
dituntut demi ilmu itu sendiri. Disamping itu, engkau menemukan ilmu sebagai jalan menuju
akhirat dan kebahagiaan disana. Ilmu juga merupakan sarana satu-satunya untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal manusia, tingkatan yang paling utama adalah
kebahagiaan abadi dan sesuatu yang paling mulia adalah sarana untuk mencapainya, dan
kebahagiaan abadi tidak bisa dicapai kecuali dengan ilmu dan amal. Orang tak bisa beramal
dengan baik tanpa mengetahui tata caranya. Maka pangkal kebahagiaan dunia dan akhirat
adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupkan amal perbuatan yang paling mulia.[47]
Abd. Rahman Nahlawy dalam bukunya: Dasar-dasar Pendidikan Islam dan metode-metode
Pengajarannya penulis mengumpulkan empat tujuan atau maksud am yang asasi bagi
pendidikan Islam, yaitu:[48] Pendidikan akal dan persiapan fikiran: Pendidikan Islam
memandang dengan penuh pemikiran, renungan dan meditasi. Allah menyuruh kita untuk
memikirkan kejadian langit dan bumi dan agar supaya kita bergantung pada akal kita untuk
sampai kepada keimanan kepada Allah. Adapun hal-hal yang dilakukan:
1. Menumbuhkan kekuatan-kekuatan dan kesediaan-kesediaan (bakat-bakat) semula jadi
pada kanak-kanak. Islam adalah agama fitrah. Sebab ajarannya tidak asing dari tabiat
semula jadi manusia, bahkan ia adalah fithrah yang dijadikan manusia atasnya,tidak
ada kerumitan dan perkara luar biasa. Segala sesuatu bersifat logis dan sesuai dengan
kebutuhan manusia dan memenuhi maslahat mereka.
2. Menaruh perhatian pada kekuatan generasi muda dan mendidik mereka sebaikbaiknya, baik laki-laki maupun perempuan.
3. Berusaha untuk meyeimbangkan segala kekuatan-kekuatan dan kesediaan-kesediaan
manusia. Dan tujuan atau prinsip penting yang menjadi dasar pendidikan Islam ini
memberikan kepada kita hasil yang penting, yaitu tidak membatasi kerja pendidik itu
pada pendidikan fikiran saja, keharusan memberi perhatian pada segala aspek
psikologis kanak-kanak dan kesediaan-kesediannya sewaktu timbulnya.
Menurut pandangan Mohd. Said Ramadhan El Bouthy, Pendidikan Islam itu mempunyai
tujuh tujuan atau maksud dasar, yaitu:[49] Mencapai keridhaan Allah, menjauhi murka dan
sisksaan-Nya dan melaksanakan perhambaan yang ikhlas kepada-Nya. Tujuan ini dianggap
induk segala hasil pendidikan Islam dan terbesar.
1. Mengangkat tahap akhlak dalam masyarakat berdasarkan pada agama yang
diturunkan, untuk membimbing masyarakat pada rancangan akhlak yang telah dibuat
oleh Allah baginya.

2. Memungkinkan timbulnya jiwa kebangsaan pada diri manusia berdasar pada agama
dan ajaran-ajaran yang dibawanya begitu juga mengajak manusia kepada nilai-nilai
dan akhlak.
3. Mewujudkan ketentraman didalam jiwa dan akidah yang dalam, perhambaan yang
semata-mata, dan kepatuhan yang ikhlas kepada Allah SWT.
4. Memelihara bahasa dan kesusasteraan Arab sebagai bahasa al-Quran, dan sebagai
wadah kebudayaan dan unsur-unsur kebudayaan Islam yang paling menonjol, dan
sebagai jalan bagi orang yang ingin memahami Alquran dan mempelajari syariah dan
hukum-hukumnya.
5. Menghapuskan khurafat-khurafat yang bercampur baur dengan hakikat agama,
menyebarkan kesadaran Islam yang sebenarnya dan menunjukkan hakikat agama atas
kebersihan dan kecemerlangan.
6. Meneguhkan perpaduan tanah air dan menyatukan barisan melalui usaha
menghilangkan perselisihan, bergabung dan kerjasama dalam rangka prinsip-prinsip
dan kepercayaan-kepercayaan Islam yang dipersetujui yang terkandung dalam Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya, menanamkan roh toleransi terhadap penganut agamaagama Allah, menanamkan kepercayaan agama yang betul, sebab perpaduan tanah
air tidak akan kukuh tanpa kepercayaan agama yang betul.
Ahmad D. Marimba, misalnya meyebutkan tiga fungsi tujuan pendidikan. Pertama, tujuan
berfungsi mengakhiri usaha. Sesuatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah
mempunyai arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan dan mengalamai pula
akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena sesuatu kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi
usaha tersebut belum disebut berakhir. Pada umumnya, suatu usaha berakhir kalau tujuan
akhir telah dicapai. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa ada antisipasi
(pandangan ke depan) kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang
dilakukan tidak akan berjalan secara efisien. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik
untuk mencapai tujuan-tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan lanjutan dari
tujuan pertama.[50]
Meskipun berbeda-beda dalam rumusan dari beberapa pemikir atau ulama Islam tersebut di
atas, namun satu aspek principal yang sama adalah mereka semuanya menghendaki
terwujudnya nilai-nilai Islami dalam pribadi anak-didik, yaitu keislaman, keimanan, dan
ketakwaannya.[51]
Setengah ulama ada yang merumuskan tujuan pendidikan Islam yang didasarkan atas cita-cita
hidup umat Islam yang menginginkan kehidupan duniawi yang bahagia secara harmonis,
maka tujuan penidikan Islam secara teoritis dibedakan menjadi 2 jenis tujuan:[52]
1. Tujuan Keagamaan (Al-Ghardhud Dieny)
Setiap orang Islam pada hakikatnya adalah insan agama yang bercita-cita, beramal untuk
hidup akhiratnya, berdasarkan atas petunjuk dari wahyu Allah melalui Rasulullah.
Kecenderungan hidup keagamaan ini merupakan ruhnya agama yang benar yang
perkembangannya dipimpin oleh ajaran Islam yang murni, bersumber pada kitab suci yang
menjelaskan serta menerangkan tentang perkara benar (haq), tentang tugas kewajiban

manusia untuk mengikuti yang benar itu, menjauhi yang batil dan sesat atau mungkar, yang
kesemuanya telah diwujudkan dalam syariat agama yang berdasrkan nilai-nilai mutlak dan
norma-normanya telah ditetapkan oleh Allah yang tak berubah-ubah menurut selera nafsu
manusia. Oleh karena itu tujuan pendidikan Islam penuh dengan nilai-nilai rohaniah Islami
dan berorientasikan kepada kebahagiaan hidup diakhirat. Tujuan ini difokuskan pada
pembentukan pribadi muslim yang sanggup melaksanakan syariat Islami melalui proses
pendidikan spiritual menuju makrifat kepada Allah.[53]
2.Tujuan Keduniaan (Al-Ghardud Dunyawi)
Tujuan ini lebih mengutamakan pada upaya untuk mewujudkan kehidupan sejahtera di
dunia dan kemanfaatannya. Tujuan Pendidikan jenis ini dapat dibedakan menjadi bermacammacam tujuan, misalnya: Tujuan pendidikan menurut paham pragmatisme, hanya menitik
beratkan pada suatu kemanfaatan hidup manusia di dunia dimana ukuran-ukurannya sangat
relatif, bergantung kepada kebudayaan atau peradaban manusia; Nilai-nilai kehidupan
didasarkan atas kecenderungan-kecenderungan hidup sosial budaya yang berbeda-beda
menurut paham pragmatisme ini selalu berubah-ubah menurut tuntunan waktu dan tempat di
mana manusia berpacu mencapai kepuasan hidupnya.[54]
Tujuan pendidikan menurut tuntunan hidup ilmu dan teknologi modern seperti masa kini dan
yang akan datang, meletakkan nilai-nilainya pada kemapuan menciptakan kemajuan hidup
manusia berdarkan ilmu dan teknologi, tanpa memperhatikan nilai-nilai rohaniah dan
keagamaan yang berada dibalik kemajuan ilmu dan teknologi. Tujuan pendidikan semacam
ini adalah gersang dari nilai-nilai kemanusiaan dan agama, ssehingga terjadilah suatu bentuk
kemajuan hidup manusia yang lebih mementingkan hidup materialistis dan atheistis, karena
faktor nilai iman dan ketakwaan kepada Tuhan tidak mendapatkan tempat dalam pribadi
manusia, hasil proses pendidikan ini.
Tujuan pendidikan Islam jika diarahkan pada upaya memajukan manusia dengan ilmu dan
teknologi modern, tidaklah sama denan tujuan-tujuan pendidikan kaum pragmatis dan
teknologis di atas, melainkan lebih mengutamakan pada upaya meningkatkan iman dan takwa
kepada Allah sebagai pengendalinya.
Untuk merumuskan tujuan umum atau tujuan akhir pendidikan Islam itu perlu
mengintegrasikan nilai-nilai yang terkandung dalam firman-firman Allah dan sabda-sabda
Nabi SAW yang menjadi idealitas ajaran Islam yang diwujudkan sebagi pola kepribadian
muslim yang hakiki sesuai tuntunan cita Islami tersebut.[55]
Rumusan Tujuan Akhir Pendidikan Islam ialah merealisasikan manusia muslim yang beriman
dan bertaqwa serta berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada Khaliknya dengan sikap dan kepribadian bulat yang menunjuk kepada penyerahan diri kepada-Nya
dalam segala aspek hidupnya, duniawiah dan ukhrawiah.[56]
Namun demikian rumusan di atas masih dapat diringkas lagi menjadi: mewujudkan manusia
yang berkepribadian muslim yang bulat lahiriah dan batiniah yang mampu mengabdikan
segala amal perbuatannya untuk mencari keridhoan Allah SWT. [57]
E. Konsep Pendidikan Al-Ghazali
1.Biografi al-Ghazali

Al Ghazali adalah nama yang sebenarnya sangat populer dan tidak asing lagi di kalangan
muslim. Tokoh terkemuka dalam banyak bidang ilmu keislaman tersebut memiliki pengaruh
besar dan pemikirannya telah menyebar ke seluruh dunia Islam bahkan lintas dunia. Riwayat
hidup dan pendapat-pendapat beliau telah banyak diungkap dan dikaji oleh para cendikiawan
baik dalam bahasa Arab, bahasa Inggris, maupun bahasa dunia lainnya, termasuk bahasa
Indonesia. Karena itu, sudah selayaknya bagi para generasi sesudahnya untuk menggali dan
mengkaji hasil pemikiran ulama terdahulu seperti al-Ghazali, sebagai upaya dalam
menemukan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru.[58] Kenyataannya, kedua hal
tersebut tetap sebagai kesatuan yang utuh dan satu sama lain tidak mungkin dipisahkan.
Karena, ketika menyinggung soal intelektualitasnya, maka secara otomatis tentu terkait sekali
dengan pribadi dan kehidupannya, begitupun sebaliknya.
F. Pribadi al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hami>d Muhammad bin Muhammad bin Taus alT{usi al-Shafi>i al-Ghaza>li. Secara singkat dipanggil al-Ghazali atau Abu Hamid alGhazali.[59] Beliau dilahirkan pada tahun 450 H./1058 M. di Khurasan Iran yang kemudian
dikenal dengan sebutan Tus. Beliau bersama saudaranya Ahmad sudah menjadi yatim
dalam usia dini. Beliau dikenal oleh sebagian kalangan dengan sebutan al- Ghazzali (dua z)
yang mengarah pada arti tukang pintal benang yang disandarkan kepada pekerjaan ayah
beliau sebagai tukang pintal benang wol. Namun nama yang populer dan lazim dipakai oleh
kalangan ahli adalah al- Ghazali (satu z) yang diambil dari kata Ghazalah sebuah nama
daerah yang menjadi kampung kelahirannya.[60]
Beliau adalah ahli pikir Islam yang sangat ulung dan populer dengan gelar Hujja>t al-Isla>m
(pembela Islam).[61] Selain itu, ada juga yang memberi gelar Zayn al-di>n (hiasan agama),
al-Bahr al-Muriq (samudera yang menghanyutkan), dan lain-lain.[62] Bahkan, tidak jarang
pula yang menggelarinya filosof muslim (seorang muslim yang ahli filsafat). Hal ini
disebabkan karena beliau betul-betul menguasai bidang filsafat di samping bidang-bidang
lainnya, sehingga beliau mampu memberikan penolakan secara filosofis terhadap pemikiran
filsafat Yunani.[63] Tidak heran dan tidak terlalu berlebihan kalau gelar semacam itu
disandangkan kepada beliau dengan melihat keluasan dan kedalaman ilmunya. Semua itu
beliau capai dengan perjuangan yang tidak main-main selain didukung oleh kejeniusan
otaknya. Ketajaman otak beliau itu mulai tampak setelah beliau berguru kepada imam alHaramain di Nisapur setelah sebelumnya berguru kepada beberapa orang ahli.[64]
Di luar keluasan ilmu dan kecerdasan daya fikirnya itu, al-Ghazali juga memiliki
kecenderungan pada suatu aliran atau madhhab. Dalam bidang fiqih beliau dikenal
bermadzhab Sha>fiiy. Hal itu nampak dari karyanya al- Wasit}, al-Basit} dan al-Wajiz yang
banyak memuat tentang ajaran dan praktek fiqih yang beraliran Sha>fii>yah. Bahkan, kitab
al-Wajiz kemudian menjadi karya yang mendapat perhatian khusus dari para ulama
Sha>fii>yah sehingga dijadikan buku induk dalam madhhab Sha>fiiy. Dalam bidang akidah
pun, beliau terkenal sebagai seorang yang bermadzhab Ashariyah. Beliau banyak membela
Ashariyah dalam membantah kelompok Bat}iniyah, para filosof serta kelompok yang
menyelisihi madhhabnya. Kitabnya yang terkenal dalam bidang akidah adalah al-Iqtis}a>d
Fi aI-Itiqa>d di samping kitab teologi lainnya yaitu al-Risalah al-Qudsiyyah. Tapi karya
beliau tersebut dan cara pengambilan dalilnya hanyalah merupakan ringkasan dari karya
ulama Asyariyah sebelumnya (pendahulunya), sehingga di dalamnya tidak memberikan
sesuatu yang baru dalam madzhab Ashariyah. Namun, beliau tetap populer di kalangan

madzhab tersebut, dan kepopuleran al- Ghazali sebagai tokoh Ashariyah juga ditopang
dengan kesufiannya.[65]
Popularitas beliau itu tidak hanya tampak di kalangan kelompok atau madzhabnya. Begitu
juga penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan tidak hanya diakui oleh kalangan tertentu
saja, bahkan juga oleh kalangan penguasa. Terbukti dalam usia 30 tahun, Niz}am al-Mulk
mempercayai beliau sebagai guru besar di Universitas Niz}amiyah Baghdad pada tahun 484
H./1090 M. hingga beliau mencapai puncak kehormatannya sebagai seorang ulama, Akan
tetapi, kedudukan dan ketinggian jabatan beliau itu tidak membuatnya congkak dan cinta
dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membawanya pada
kesenangan dalam menekuni ilmu-ilmu kezuhudan, hingga akhirnya jabatan yang tinggi itu
dilepas dan beliau kembali kepada ibadah, sikap ikhlas dan perbaikan jiwa.
Pada tahun 488 H, beliau mengisolasi diri ke Makkah lalu ke Damaskus pada tahun 489 H.
untuk beribadah dan menjalani kehidupan sufi.[66] Di sana beliau tinggal beberapa hari,
kemudian pergi ke Bayt al-Maqdis selama beberapa waktu, dan selanjutnya kembali lagi ke
Damaskus. Di menara barat masjid Jami Damaskus, beliau banyak beritikaf. Selain itu,
beliau juga banyak duduk di pojok tempat Shaikh Nasr bin Ibrahim al- Maqdisi di masjid
Jami Umawi (yang sekarang dikenal dengan al- Ghazaliyah), tinggal di sana dan menulis
kitab Ih}ya> Ulu>mu al-Di>n, al- Arbai>n, al-Qist}as dan kitab Mah}akku al-Naz}ar;
selain melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah.[67]
Setelah menjalani semua itu selama bertahun-tahun, akhirnya beliau pulang ke negerinya
dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan sebuah
madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang sufi. Akhir kehidupannya
beliau habiskan dengan kembali mempelajari Hadis dan berkumpul dengan ahlinya, selain
juga mengkhatam al Quran, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan
melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia. Berkata Imam alDhahaby, Pada akhir masa kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu Hadis dan berkumpul
dengan ahlinya dan menelaah s}ah}i>h}ayn (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya
beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat.[68]
Setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan selama berpuluh-puluh tahun dan setelah
memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya, beliau meninggal dunia di T{us
pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M. dan dikuburkan di pekuburan alT{abaran. Beliau meninggalkan tiga orang anak perempuan sedangkan anak laki-lakinya
yang bernama Hamid telah meninggal dunia sewaktu masih kecil. Karena itulah beliau
dikenal juga dengan sebutan Abu Hamid.[69]
Mengenai meninggalnya beliau, Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi menyampaikan kisah dalam kitab
al-Thaba>t Inda al-Mama>t, menukil cerita Ahmad (saudaranya) bahwa Pada waktu subuh
tepatnya hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata: Bawa kemari
kain kafan saya, lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua
matanya seraya berkata, Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut. Kemudian
beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat, dan beliau meninggal pada saat langit
sebelum menguning (menjelang pagi hari).[70]
G. Intelektualitas al-Ghazali
Perjalanan Intelektual al-Ghazali

Al-Ghazali adalah sosok ilmuwan muslim yang dilahirkan dalam keluarga miskin tapi sangat
relijius. Ayahnya adalah seorang pengrajin kain s}uf (wol). Namun, beliau adalah seorang
yang soleh, jujur, dan tidak makan kecuali dari hasil usaha sendiri. Kemauannya sangat tinggi
dalam memahami ilmu agama. Terbukti, beliau gemar mengunjungi rumah para alim
(ulama>), dan menimba ilmu pengetahuan dari mereka, selain juga sering memberi bantuan
kepada mereka semampunya. Ketika beliau mengunjungi ulama ahli fiqih dan mendengar
perkataan mereka, beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Demikian
juga, apabila hadir di suatu majelis ceramah/nasihat, beliau menangis dan memohon kepada
Allah untuk diberikan anak yang ahli dalam nasihat. Akhirnya doa tulus itu dikabulkan Allah
dengan dikaruniainya al-Ghazali sebagai orang yang ahli fiqih bahkan ahli di bidang
keilmuan lainnya, dan Ahmad sebagai seorang yang ahli dalam hal nasehat.[71]
Menjelang wafat, ayahnya mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya itu kepada seorang ahli
tasawuf yang kebetulan juga adalah seorang temannya, maka hiduplah al-Ghazali di bawah
asuhan ahli tasawuf itu.[72] Dia berpesan, Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis
menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya
ini. Karena itu, saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh
dihabiskan untuk keduanya.
Sesuai wasiat itu, temannya tersebut mendidik keduanya dengan ilmu agama dan
mepergunakan harta warisan itu untuk kepentingan keduanya, hingga habislah harta
peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan
wasiat orang tuanya karena dia seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Oleh
karena itu, dia menganjurkan keduanya untuk masuk ke madrasah. Keduanya melaksanakan
anjuran tersebut, dan di sinilah titik permulaan kebahagiaan dan ketinggian mereka.[73]
Perjalanan intelektual al-Ghazali dimulai di daerah kelahirannya dengan belajar Fiqih kepada
Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Radhakani di kota T{us. Setelah itu beliau berangkat ke
Jurjan untuk menimba ilmu dari Imam Abu Nasr al-Ismaily.[74] Kemudian beliau pulang
lagi ke T{us dan sesudah satu periode lebih lanjut di sana, lalu beliau pergi ke Nisapur. Di
sana beliau belajar kepada al-Juwaini (Imam Haramain) dengan penuh kesungguhan (hingga
tahun 478 H./1085 M.) hingga dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa
itu, seperti ilmu mantik (logika), filsafat dan fiqh madhhab Syafii.[75] Setelah imam alHaramain wafat, al-Ghazali lalu berangkat ke Muaskar mengunjungi Menteri Niz}am alMulk dari pemerintah dinasti Saljuk. Beliau disambut dengan kehormatan sebagai seorang
ulama besar. Kemudian, beliau dipertemukan dengan para ulama, dan semuanya mengakui
akan ketinggian dan keahlian al-Ghazali.[76] Seperti sedikit telah disinggung pada bagian
sebelumnya, maka pada tahun 484 H./1091 M. ketika beliau masih berusia 30 tahun, Niz}am
al-Mulk menunjuknya sebagai guru besar di Universitas Niz}amiyah yang didirikan di
Baghdad. Selama 4 tahun beliau memberi kuliah kepada lebih dari 300 mahasiswa.[77] Para
mahasiswa yang belajar kepada al-Ghazali sangat tertarik dengan kuliah yang
disampaikannya. Tidak heran kalau mahasiswa dan sarjana yang tidak kurang jumlahnya dari
300 hingga 500 orang sering kali merasa terpukau. Bahkan, para ulama dan masyarakatpun
selalu mengikuti perkembangan pemikiran dan pandangannya.
Sejak itulah, beliau mencapai kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi salah satu orang
yang terkenal di Baghdad. Dan pada saat yang sama, beliau menekuni kajian filsafat dengan
penuh semangat lewat bacaan pribadi dan berhasil menulis sejumlah buku.[78] Atas
prestasinya yang kian meningkat, maka pada usia 34 tahun, beliau kemudian diangkat
menjadi pimpinan (rektor) Universitas Niz}amiyah. Selama menjadi rektor, beliau menulis

banyak buku yang meliputi beberapa bidang, diantaranya fiqih, ilmu kalam dan kitab-kitab
yang berisi sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah dan filsafat.[79] Bagi alGhazali hal itu tidaklah sulit, karena ketika masih berguru kepada al- Juwaini, beliau telah
mampu menguasai berbagai bidang dan disiplin keilmuan sehingga waktu itu beliau tidak
sekedar berguru, tapi juga dipercaya oleh al-Juwaini untuk mengajar dan membimbing
murid-murid yang lain.[80]
Sebagai bukti nyata dari keahlian dan keluasan ilmunya beliau menulis banyak kitab yang
banyak dijadikan rujukan ulama-ulama sekarang (yang akan dikemukakan secara rinci pada
bagian berikutnya). Kebiasaan menulis itu beliau mulai sejak berusia 20 tahun, ketika beliau
masih berguru kepada imam al-Haramain. Karya-karya tulis yang ditinggalkan beliau
menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif pada seluruh masa
hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Bagdad dan
sewaktu mulai dalam masa skeptis.[81] Bahkan, setelah berada dalam keyakinan yang
mantap, beliau masih tetap aktif mengarang.[82] Oleh karena itu, jika beliau meninggal
dalam usia 55 tahun sesuai dengan kalender hijriah, berarti beliau telah menghabiskan
usianya selama 35 tahun untuk menulis karyakaryanya yang mencapai 380 buah, dari yang
kecil sampai yang besar.[83]
H. Karya-Karya al-Ghazali[84]
Tidak ada yang menyangkal bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama yang sangat populer
dengan keluasan ilmunya hingga mampu menghasilkan karya yang secara kuantitas sangat
banyak, begitu pula secara kualitas hampir tidak ada yang meragukannya. Di sini penulis
tidak akan menyebutkan secara keseluruhan karya-karya beliau tersebut, namun hanya
beberapa di antara karya-karya beliau yang terkenal, yaitu:

DalamBidangAkhlak
Tasawwuf
1) Al-Ada>b FialDi>n;

Dalam Bidang
Akidah

DalamBidang Mantiq
DalamBidang dan Filsafat
Fiqh dan Ushul
Karya Auto
Fiqh
Biografi

1) Al-Iqtis}a>d Fi 1) Al-Mustashfa
al-Itiqa>d;
fi> Ilm alUs}u>l;
2) Ih}ya> Ulu>m al- 2) Ilja>m
Di>n;
al-Awa>m An
Ilmi al-Kala>m;
3) Ayyuha al-Walad;
2) Al-Waji>z fi
3) Al-Risa>lah al- al-Furu>;
Quddusi>yah Fi
4) Bida>yat alQowa>id
Hida>yah Wa
Tahdhi>b alNufus bi al-Aqa>id;
al-Ada>b
alShari>ah;
4) Fad}a>il alBat}i>ni>yah Wa
Fad}ail al5) Jawa>hir
Mustad}h}ari>yah

1) Tah}a>fut alFala>sifah;
2) Mah}akku alNaz}a>r fi al-Mantiq;
3) Maa>rij al-Qudsi fi
Mada>rij Marifati alNafsi;
4) Miya>r al-Ilm fi alMantiq;
5)Maqa>s}id alFala>sifah;

Kary

1. Al-Munqiz} Min 1) T
al-D{ala>l.

a) Ja
Tajr

b) Z

c) M
Ila>

d) M
Sa>

e) N

alQura>n;

6)Al-Risa>lah
alLadunni>yyah;

5) Fis}a>l alTafriqah Bayn alIsla>m Wa


Zin>diqi>yah;

7) Fa>tih}at alUlu>m;

6)Maa>rifalAqli>yah
;
7)Qanu>n al-Tawi>l.

6) Al-Arbai>n Fi
8) Al-Kashfu Wa al- Us}u>l al-Di>n;
Tabyi>n fi Ghuru>r
al-Khalqi Ajmai>n; 7) Qawa>id
al-Aqa>id;
9)Mishka>t alAnwa>r;
8) Hujjat al-Haq
Qawa>sim alBat}i>ni>yah;
10)Minhaju
al-A<bidi>n Ila alJannah;
9) Qist}a>s alMustaqi>m;
11) Mi>>za>n
al-Amal;
10) Fad}a>ih alBat}i>niyyah.
12)Kimya>
alSaa>dah;

Z{uh

f) Al
Gha
Mas
Ukh

1) F

a) A
Furu
al-H

b) G
Dau

c) A
Us}u

d) A
Bi Iq

e) A

2) F
13) Al-Maqs}u>d
alAsna Fi Sharh}i
Asma Allah
alH{usna;
14)Raud}atu alT{a>libi>n Wa
Umdatu alSa>liki>n.

I. Konsep Pendidikan al-Ghazali


Untuk menegetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara
mengetahui dan memahamai pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang
berkaitan denagan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru
dan etika murid berikut ini.[85]
1. Tujuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran
yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan
kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan

a) H
Li A

b) A
al-A
H{ik

pendidikan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya
yang berkaitan denagan pendidikan. Dari hasil studi terhadap pemikiaran al-Ghazali dapat
diketahui denagan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan
ada dua :
Pertama, Tujuan pendidikan jangka pendek yang dimaksud adalah mempersiapkan peserta
didik agar kelak di masa depannya mereka mampu melaksanakan tugas-tugas mulia di dunia
dan dengan itu mereka mampu mengeyam kebahagiaan dalam kehidupannya di dunia. Dalam
tujuan ini juga disinggung-singgung tentang pangkat, kemegahan, penghormatan dan
popularitas.
Pertama, Berkenaan dengan tujuan jangka pendek, al-Ghazali menempatkan sebagai tujuan
sekunder yang harus direalisasikan. Beliau berargumen bahwa apapun yang ada di dunia ini
bersifat sementara. Jadi, kebahagiaan di dunia merupakan tujuan sementara yang harus
dicapai untuk menuju tujuan yang lebih tinggi, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT
dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat.[86] Kedua, kesempurnaan insani yang
bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan
manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud
tujuan pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan
masalah duniawi.
Pendidikan Islam itu secara umum mempunyai corak yang spesifik, yaitu adanya cap
(stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, dengan
tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Dan pendapat al-Ghazali tentang pendidikan
pada umumnya sejalan dengan trend-trend agama dan etika. al-Ghazali juga tidak melupakan
masalah-masalah duniawi, karenanya ia memberi ruang dalam system pendidikannya bagi
perkembangan duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalahmasalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam
akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk kehidupan akhirat,
sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya bagi yang
memandangnya sebagai tempat untuk selamanya.[87]
Akan tetapi pendapat al-Ghazali tersebut, disamping bercorak agamis yang merupakan ciri
spesifik pendidikan Islam, tampak pula cenderung pada sisi kerohanian. Dan kecendrungan
tersebut menurut keadaan yang sebenarnya, sejalan denagan filsafat al-Ghazali yang bercorak
Tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut al-Ghazali, adalah kesempurnaan insani didunia
dan akhirat. Dan manusia akan sampai keada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan
menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia
bahagia di dunia dan mendekatkan dia kepada Allah SWT, sehingga ia menjadi bahagia di
akhirat kelak.[88]
Sungguh al-Ghazali dikenal sebagai seorang yang terkendali oleh jiwa agamis dan sufi yang
mana keduanya telah mempengaruhi pandangannya tentang hidup, tentang nilai-nilai yang
terdapat dalam kehidupan dan kedua-keduanya juga telah membuat dia mencari jalan untuk
mendekatkan diri pada Allah dan mencari kebahagiaan di akhirat namun dia tidak lupa bahwa
ilmu itu sendiri perlu dituntut, mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Ia
melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan ia melebihi segala-galanya. Oleh
karena itu, menguasai ilmu bagi dia, termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang
dikandungnya serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya. Ia
mengemukakan bahwa, apabila anda melihat pada ilmu maka tampak oleh anda bahwa imu

itu sendiri adalah lezat dan oleh karena itu pula maka ilmu itu sendiri selalu dicari. Anda juga
akan mengetahui bahwa ia merupakan jalan yang mengantarkan anda kepada kebahagiaan
dinegeri akhirat, sebagai medium untuk taqarrub kepada Allah, dimana tak satupun sampai
kepadanya tanpa ilmu, tingkat mulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi; di
antara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, tetapi
kebahagiaan itu tak mungkin dicapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin
dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai.
Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu, tak lain adalah ilmu.
Kalau demikian, maka ilmu adalah amal yang terutama.[89] Selain itu rumusan tersebut
mencerminkan sikap zuhud al-Ghazali terhadap dunia, merasa qanaah (merasa cukup
dengan yang ada), dan banayak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
Sikap yang demikian itu siperlihatkannya pula ketika rekan ayahnya mengirim al-Gahzali
beserta saudaranya, Ahmad, ke Madrasah Islamiyah yang menyediakan berbagai sarana,
makanan dan minuman serta fasilitas belajar lainnya. Berkenaan dengan hal ini al-Ghazali
berkata,Aku datang ke tempat ini untuk mencari keridhaan Allah, bukan untuk mencari harta
dan kenikmatan.
Rumusan tujuan pendidikan al-Ghazali yang demikian itu juga karena al-Ghazali memandang
dunia ini bukan merupakan hal yang pokok, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut
dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal.
Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal, dan maut senantiasa mengintai setiap saat.
Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat
menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derajatnya lebih tinggi di
sisi Allah dan lebih luas kebahagiaannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan
pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia hanya
sebagai alat.[90]
2. Kurikulum
Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk
menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi denagan lingkungannya.
Kurikulum tersebut disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah
ditentukan.[91]
Konsep kurikulum yang dikemukakan al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai
ilmu pengetahuan. Dalam pandangan al-Ghazali ilmu terbagi kepada tiga bagian, sebagai
berikut:
Pertama, ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada
manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu
ramalan. al-Ghazali menilai ilmu tertsebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat
menimbulkan mudharat (kesusahan) baik yang memilikinya, maupun bagi oaring lain. Ilmu
sihir dan ilmu guna-guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara
sesama manusia yang bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit hati,
permusuhan menimbulkan kejahatan dan lain sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang
tergolong yang tidak tercela ini menurut al-Ghazali dapat dibagi dua, yaitu ilmu nujum yang
berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum yang berdasarkan istidlaly, yaitu semacam

astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu nujum jenis kedua ini
menurut al-Ghazali tercela menurut syara, sebab dengan ilmu iti dapat menyebabkan
manusia menjadi ragu kepada Alllah, lalu menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang
tukang nujum meramalkan bakal terjadi sesuatu dilangit dengan berpedoman kepada
keyakinan langsung atau bedasarkan studi tentang bintang-bintang, kemudian pada waktu
terjadinya peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat pada waktu yang
ditentukan sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub atas kemampuan tukang nujum itu,
dan seterusnya orang-orang tersebut akan percaya pada ramalan tukang nujum itu.
Kesempatan ini bisa jadi dimanfaatkan oleh tukang nujum untuk menyatakan dirinya sebagai
nabi, orang sakti dan sebagainya. Keadaan tersebut selanjutnya akan digunakan untuk
memperluas pengaruhnya ditengah-tengah masyarakat, memaksa orang lain untuk melayani
keperluannya dan seterusnya. Masih berkenaan dengan ilmu ini al-Ghazali mengatakan,
bahwa dengan menyelami ilmu ini tidak akan membawa manfaat, dan terkadang membawa
manusia menjadi kufur kepada Allah SWT, seperti mempelajari bagian-bagian yang rumit
dari suatu ilmu sebelum memahami bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari
tentang rahasia-rahasia Ilahiyat. Ia sebutkan juga beberapa ilmu lain yang diantaranya adalah
bagaian dari ilmu filsafat seperti metafisika.[92]
Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertama diatas, al-Ghazali mengtakan bahwa
mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena menurut tabiatnya tidak semua
orang dapat mempelajari ilmu tersebut dengan baik. Orang-orang yang mempelajari ilmu
tersebut tak ubahnya seperti anak kecil yang masih menyusu. Anak kecil itu akan jatuh sakit
apabila ia makan daging burung atau makan macam-macam makanan, yang belum dapat
dicerna oleh perut besarnya. Hal ini akan dapat membahayakan. Kedua, ilmu-ilmu yang
terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan
macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa
serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan
melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri
kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, serta dapat membekali hidupnaya di
akhirat.[93]
Terhadap ilmu model kedua al-Ghazali membaginya pada dua bagian. Pertama, wajib aini
dan wajib kifayah. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa diantara para ulama masih
terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan,
bahwa ilmu yang wajib dipelajari itu adalah mengenai zat dan sifat-sifat-Nya. Yang lain lagi
mengatakan bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu fiqih, sebab dengan ilmu ini mengetahui
masalah ibadah, mengenal yang halal dan haram, baik yang menyangkut tingkah laku secara
umum, atau yang menyangkut bidang muamalah. Sementara itu yang lain memandang
bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu al-Quran dan as-Sunnah, karena dengan mengetahui
al-Quran dan as-Sunnah tersebut seseorang dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat
semakin dekat kepada Tuhan.
Sementara al-Ghazali sendiri memandang bahwa ilmu-ilmu yang wajib aini bagi setiap
muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat
yang pokok seperti shalat, puasa, dan zakat dan sebagainya. Bagi al-Ghazali, ilmu yang
wajibaini itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajibnya.[94]
Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah semua ilmu yang mungkin
diabaikan untuk kelancaran semua urusan seperti ilmu kedokteran yang menyangkut
keselamatan tubuh atau hitung yang sangat diperlukan dalam hubungan muamalat

pembagian wasiat dan warisan dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu itu jika tidak ada seorangpun
dari suatu penduduk yang menguasainya, maka berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada
salah seorang yang menguasai dan dapat mempraktekkannya maka ia sudah dianggap cukup
dan tuntunan wajibnya pun lepas dari yang lain. Dengan demikian, ilmu yang wajib kifayah
itu adalah ilmu kedokteran dan ilmu hitung. Menurutnya bahwa masyarakat tanpa ilmu ani
adalah masyarakat yang tidak sehat. al-Ghazali juga menilai tentang adanya bidang
pekerjaan yang termasuk kedalam kelompok wajib kifayah, seperti ilmu pertanian, menenun,
administrasi dan jahit-menjahit.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika
dipelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan
kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran,
seperti ilmu filsafat. Mengenai ilmu filsafat dibagi oleh al-Ghazali menjadi ilmu matematika,
ilmu-ilmu logika, ilmu Ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika.
Sampai disini tampaklah oleh kita bagaimana al-Ghazali membagi ilmu-ilmu yang
bermacam-macam itu serta menetapkan nilainya masing-masing sesuai dengan jenisnya itu,
baik ilmu aqliyah maupun ilmu amaliyah, tidak sama nilainya, karena itu pula
keutamaannaya berbeda. Menurut al-Gahzali perbedaan itu disebabkan oleh salah satu dari
tiga bagian.[95]
1. Melihat kepada daya yang digunakan untuk menguasainya. Karena itu, ia melihat
bahwa ilmu-imu aqliyah lebih tinggi nilainya dibanding dengan ilmu-ilmu bahasa,
karena ia dicapai melalui akal, sedangkan yang kedua dicapai melalui pendengaran,
dan akal lebih mulia dari pada pendengaran.
2. Melihat kepada besar kecilnya manfaat yang didapat manusia dari padanya. Maka
pertanian, bagi dia lebih tinggi nilainya
dibandingkan dengan tukang besi, karena
pertanian sangat penting bagi kehidupan, sedangkan tukang besi hanya untuk hiasan.
3. Melihat kepada tempat mempelajarinya. Maka tukang besi menurut dia, lebih utama
dibandingkan dengan kepandaian menyamak kulit. Pandai besi tempatnya adalah toko
emas, jadi ia setempat dengan emas. Tapi menyamak kulit bertempat di ruang
penyamakan kulit. Jadi orang yang menyamak berada satu tempat dengan kulit
bangkai hewan.
Pada akhirnya al-Ghazali berkesimpulan, bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama
dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan
daya tangkap yang jernih. Akal adalah sifat manusia yang termulia karena dengan akal itulah
amanah Allah diterima manusia, dan dengan akal juga orang dapat berada disisi Allah SWT,
mengenai keluasan jangkauan manfaat akal kiranya tidak perlu diragukan. Manfaatnya adalah
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dilihat pula tempatnya yang sudah jelas. Seorang guru
tugasnya adalah mengurus masalah hati dan jiwa manusia. Diketahui bahwa wujud yang
termulia yang ada di atas bumi ini ialah manusia, dan bagian yang termulia dari materi
manusia adalah hatinya.[96]
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu
agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi
kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, ia mementingkan sisi yang faktual dalam
kehidupan, yaitu sisi yang tak dapat tidak harus tetap ada. Selain itu al-Ghazali juga

menekankan sisi-sisi budaya. Ia jelaskan kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Menurutnya


ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan diluar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya
sendiri. Sebaliknya, Al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau
keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai yaitu tasawuf dan zuhud. Disisi lain,
sekalipun al-Ghazali menenkankan pentingnya pengajaran berbagai keahlain esensial dalam
kehidupan dan masyarakat, tetapi ia tidak menekankan pentingnya keterampilan.
Dari sifat dan corak ilmu-ilmu yang dikemukakan di atas, terlihat dengan jelas, bahwa mata
pelajaran yang seharusnya diajarkan dan masuk kedalam kurikulum menurut al-Ghazali
didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut.[97]
Pertama, kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali
menempatkan ilmu-ilmu agama diatas segalanya, dan memandangnya sebagai alat untuk
mensucikan diri dan memebersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan
kecenderungan ini, maka al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena
menurutnya ilmu bertalian erat dengan pendidikan agama.
Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. alGhazali beberapa kali mengulangi penilaiannya terhadap ilmu berdasarkan manfaaatnya bagi
manusia, baik untuk kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan di akihrat. Ia juga
menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan pemiliknya bagi hal-hal yang bermanfaat
bagi manusia sebagai ilmu yang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari
segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah. Dan setiap amaliah yang disertai ilmu itu
harus pula disertai dengan kesungguhan sebagai niat yang tulus ikhlas.
Melihat sisi manfaatnya dari suatu ilmu ini, tampak al-Ghazali tergolong sebagai penganut
paham pragmatis teologis, yaitu pemanfaatan yang disandarkan atas tujuan iman dan dekat
dengan Allah SWT. Hal ini tidak dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi yang
memiliki trend praktis dan faktual.
Kurikulum yang diajukan al-Gazali ini mendorong kita untuk mengaitkan pada kurikulum
yang disusun oleh Herbert Spenser, seorang filosof berkebangsaan Inggris yang muncul pada
pengujung abad ke XIX. Dalam sejarah pemikiran tercatat, bahwa Spenser termasuk filosof
dan pendidik awal yang berpikir langsung pada prinsif-prinsif tertentu serta sejalan dengan
tujuan pendidikan yang telah digariskan yang sejalan dengan filsafatnya.[98]
3. Metode Pengajaran
Perhatian al-Gazali dalam bidang metode ini lebih ditunjukkan pada metode khusus bagi
pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode
keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat
keutamaan pada diri mereka. Perhatian al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral ini
sejalan dengan kecendrungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsif-prinsif yang
berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam
melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapatkan perhatian khusus dari al-Ghazali, karena
berdasar pada prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang
memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian
faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.

Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru tersebut di atas, juga dikaitkan
dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan
yang paling mulia dan sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Pendapatnya ini, ia
kuatkan dengan beberapa ayat al-Quran dan hadis Rasulullah SAW, serta pengulangan
berkali-kali tentang tingginya status guru yang sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut alGhazali mengatakan bahwa wujud yang termulia dimuka bumi ini adalah manusia, dan
bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan,
menghias, mensucikan dan menggiringnya mendekati Allah SWT. Dengan demikian,
mengajar adalah bentuk lain pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tinggi
perintah-Nya. Menurut Allah telah menghiasi hati seorang alim dengan ilmu yang merupakan
sifat-Nya yang paling khusus. Seorang alim adalah pemegang khas, ia bukan pemilik khas
dalam system perbendaharaan. Ia dibenarkan berbelanja dengan uang untuk siapa saja yang
memerlukannya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi dari pada sebagai
perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya dalam mendekatkannya kepada Allah, dan
menggiringnya kepada surga tempat tinggal tertinggi.[99]
4. Kriteria Guru Yang Baik
Pendidikan adalah proses interaksi yang menuntut adanya komunikasi aktif (subjek-subjek)
antara guru dan muridnya. Mengenai hal guru ini, al-Ghazali mempergunakan istilah
pendidikan dengan berbagai kata seperti: al-Mualimin (guru), al-Mudarris (pengajar) dan
al-Walid (orang tua). Sejalan dengan uraian tersebut diatas, al-Ghazali sampai pada uraian
mengenai criteria guru yang baik. Menurutnya bahwa guru yang dapat diserahi tugas
mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik
akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu
pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan
teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas
mengajarnya, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang
guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut :
Pertama, kalau praktek mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dan seorang
guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai
penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tentram pada diri murid
terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid
untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang yang alim
(berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya
itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW, yang mengajar ilmu hanya karena Allah,
sehingga dengan mengajar itu ia dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Demikian pula
seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia
harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia
berhasil membina mental. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah
SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berbeda dalam satu tempat, ilmu
yang diajarkannya terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat
khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat
yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus dibeli dengan dana yang besar,
serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit

dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang
memadai.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh
yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya
memberi pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia
juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan
pengajaran itu adalah menedekatkan diri pada Allah SWT, dan bukan untuk mengejar
pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Seorang guru juga tidak boleh
tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegitan belajar mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang
simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam
hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspos atau meneyebarluaskan kesalahan
muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid memiliki jiwa
yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi
dapat menimbulkn situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran dengan baik.
Kelima, sorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di
hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau
menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang
bukan keahlian atau spesialisnya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu, fiqih, dan
guru ilmu fiqih mencela guru hadist dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsif mengakui adanya perbedaan
potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat
perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, al-Gazali menasehatkan agar
guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya,
dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal
muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa simpati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut al-Gazali adalah guru yang disamping memahami
perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabiat dan
kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang
kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru juga jangan mengajarkan hal-hal yang rumit
sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat
menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.[100]
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsif yang
diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini
al-Gazali mengingatkan agar guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan prinsif yang dikemukakannya. Sebab jika hal itu dilakukan akan menyebabkan
seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan da ejekan yang
pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur muridmuridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada muridmuridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaiamana dikemukakan di atas, tampak bahwa
sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang
mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum

bagian terdahulu dikuasasi, memahami tingkat perbedaan kejiwaan dan kemampuan


intelektual para siswa, bersiap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta
menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan
masyarakat modern.
5. Sifat Murid Yang Baik
Al-Ghazali terhadap peserta didik (murid) mempergunakan istilah, seperti al-Shoby (kanakkanak), al-Mualimin (pelajar), dan Thalabul al-Ilmu (penuntut ilmu pengetahuan). Sejalan
dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar
termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik, adalah murid
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[101]
Pertama, seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dina dan
sifat-sifat tercela lainnya. Sebagaimana halnya shalat, maka menuntut ilmu pun demikian
pula. Ia harus dilakukan dengan hati yang bersih, terhindar dari hal-hal yang jelek, dan kotor,
termasuk di dalamnya sifat-sifat yang rendah seperti marah, sakit hati, dengki, tinggi hati,
ujub, takabur dan sebagainya.[102]
Kedua, seorang murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan
duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia, karena keterikatan kepada dunia dan
masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu. Hal ini terlihat dari
ucapan Al-Ghazali yang mengatakan: bahwa ilmu itu tidak akan memberikan sebagian
dirinya kepadamu sebelum engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya, maka ilmu pun
pasti akan memberikan sebagain dirinya kepadamu. Pikiran yang dibagi-bagikan untuk halhal yang berbeda-beda sama halnya dengan anak sungai yang dibagi-bagi ke dalam beberapa
cabang. Sebagian airnya diserap oleh tanah dan sebagain lagi menguap ke udara, sehingga
tidak ada lagi yang tinggal untuk digunakan pada pertanian.
Ketiga, seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadlu. Sifat ini
begitu amat ditekankan oleh al-Gazali. al-Gazali menganjurkan agar jangan ada murid yang
merasa lebih besar dari pada gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat daripada ilmu
gurunya, mendengarkan nasehat dan arahannya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan
nasehat dokternya.[103]
Keempat, khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang
saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan. Seorang murid
yang baru hendaknya tidak mempelajari aliran-aliran yang berbeda-beda, atau terlibat dalam
berbagai perdebatan yang membingungkan. Hal ini perlu diingat, karena murid yang
bersangkutan belum siap memahami berbagai pendapat yang berbeda-beda itu, sehingga
tidak terjadi kekacauan. Seharusnya pada tahap-tahap awal, seorang murid menguasai dan
menekuni aliran yang benar dan yang disetujui oleh guru. Setelah itu, mungkin ia dapat
menyertai perdebatan diskusi atau mempelajari aliran-aliran yang bertentangan.[104]
Kelima, seorang murid yang baik hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib.
Pengetahuan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik daripada pengetahuan yang
menyangkut hanya satu segi saja. Mempelajari al-Quranmisalnya harus didahulukan, karena
dengan menguasai al-Quran dapat mendukung pelaksanaan ibadah, serta memahami ajaran
agama Islam secara keseluruhan, mengingat al-Quran adalah sumber utama ajaran Islam. Hal
ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada itu

saling berkaitan dan berhubungan antara satu dengan yang lainnya, di mana biasa terjadi
keawaman terhadap satu diantaranya lebih ringan dibandingkan terhadap ilmu lainnya.[105]
Keenam, seorang murid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap. Seorang
murid dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara sekaligus, tetapi memulai dari ilmuilmu agama dan menguasainya dengan sempurna. Setelah itu, barulah ia melangkah kepada
ilmu-ilmu lainnya, sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jika ia tidak mempunyai waktu
untuk mendalaminya secara sempurna, maka seharusnya ia pelajari saja rangkumannya.
Ketujuh, seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai
disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam uraian tertentu secara alami, di
mana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada sebagian yang lain. Murid yang baik
dalam belajarnya adalah yang tetap memelihara urutan dan pertahapan tersebut.
Kedelapan, seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.
Kelebihan dan masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya
dipelajarinya dengan baik. Dalam hubungan ini al-Ghazali mengatakan bahwa nilai ilmu itu
tergantung pada dua hal, yaitu hasil dan argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda
nilainya dengan ilmu kedokteran. Hasil ilmu agama adalah kehidupan yang abadi, sedangkan
hasil ilmu kedokteran adalah kehidupan yang sementara. Oleh karena itu ilmu agama
kedudukannya lebih mulia daripada ilmu kedokteran. Contoh lain adalah ilmu hitung dan
ilmu nujum. Ilmu hitung lebih mulia daripada ilmu nujum, karena dalilnya lebih kuat dan
teguh daripada dalil ilmu nujum. Selanjutnya jika ilmu kedokteran dibandingkan dengan ilmu
hitung, maka tergantung dari sudut mana melihatnya.[106]
Ciri-ciri murid yang demikian nampak juga masih dilihat dari perspektif tasawuf yang
menempatkan murid sebagaimana murid tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri tersebut untuk
masa sekarang tentu masih perlu ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada
kreativitas dan kegairahan dalam belajar.[107]
6. Evaluasi
Pendapat al-Ghazali mengenai evaluasi agak aneh, memang, terutama bagi orang yang
terbiasa menghadapi evaluasi melalui kertas dan pensil dengan item-item yang sudah
dipersiapkan terlebih dahulu. Evaluasi al-Ghazali adalah evaluasi melalui hidup dengan
segala cobaan, bukanlah pendidikan itu kehidupan, seperti kata John Dewey, bukan sekedar
persiapan untuk hidup. Kalau ia adalah kehidupan, maka orang yang menghadapi evaluasi
dalam pendidikan haruslah betul-betul muncul dari kehidupan itu. Misalnya ujian statistik di
perguruan tinggi tidak boleh direkayasa secara artificial, dengan tujuan menggagalkan sekian
persen peserta yang ikut ujian itu.[108]
Sebaliknya ujian itu harus direkayasa dari situasi sebenarnya, dan untuk menjawabnya juga
bisa bukabuku, malah kalau perlu ujian diadakan di perpustakaan sehingga kalau lupa satu
formula, dalam statistic misalnya, bisa pergi membaca sederatan buku statistic yang ada di
perpustakaan. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita, sebenarnya, tidak pernah
menghafal formula, dan kehidupan juga tidak menuntut kita menghafal formula-formula itu,
yang dituntutnya ialah menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Cara terakhir ini memang kita baca dalam karya-karya al-Ghazali dan pemikir-pemikir Islam
yang semasa mengenai evaluasi. Tidak ada bukti lebih tegas apakah konsepsi evaluasi ini

lebih baik dari peristiwa-peristiwa pemberian ijazah sebagai penutup dari suatu tahap
pendidikan. Ijazah itu sendiri dalam bahasa Arab berarti si murid telah diberi izin untuk
mengajarkan ilmu yang telah diterimanya dari guru-gurunya.Upacara ini tidak disertai
segulung kertas tanda lulus mendapat title Drs. Ir. SH. dan lain-lain. Ia hanya disertai upacra
sederhana, yaitu pemindahan sorban dari kepala seorang syeikh, katakana syeikh tafsir,
kepada kepala seorang muridnya yang dipercayainya bisa menjarkan tafsir itu kepada orang
lain. Suatu evaluasi yang betul-betul timbul dari kehidupan sebenarnya.[109]
J. Analisa Konsep Pendidikan Menurut al-Ghazali
Dari keseluruhan pendekatan uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Al-Ghazali adalah
seorang ulama besar yang menaruh perhatian cukup tinggi terhadap pendidikan. Corak
pendidikan yang dikembangkannya tamapak dipengaruhi oleh pandangannya tentang tasawuf
dan fiqih. Hal ini tidak mengherankan karena dalam kedua bidang tersebut ilmu tersebut
itulah al-Ghazali memperlihatkan kecenderungannya yang besar. Konsep pendidikan yang
dikemukakannya nampak selain sistematik dan komphrensif juga secara konsisten sejalan
dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang sufi.
Konsep pendidikan al-Ghazali tersebut merupakan aplikasi dan response dari jawabannya
terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya saat itu. Konsep tersebut jika
diaplikasikan di masa sekarang nampak sebagiannya masih ada yang sesuai dan sebagaian
lainnya ada yang perlu disempurnakan. Itulah watak hasil pemikiran manusia yang selalu
menuntut penyempurnaan.[110]
Yang harus diperhatikan dalam mempelajari karya-karya al-Ghazali tentang pendidikan
secara umum adalah pola berpikirnya mengenai masalah-masalah pendidikan. al-Ghazali
tidak menulis secara lepas, tetapi mengikuti suatu alam pemikiran tertentu yang sangat jelas
bagi orang yang membaca tulisan-tulisannya itu. Filsafatnya jelas dan definitive. Karena itu
ketika menulis masalah-masalah pendidikan, ia memulai dari penjelasan tentang tujuan yang
dikehendaki dari kegiatan mengajar yang disinari dengan cahaya filsafat cahaya sufistiknya
dan pada saat yang sama sikap realitisnya. Hal ini dilakukan ketika merumuskan materi
pendidikan. Ia tidak membuat materi secara serampangan, tetapi disusun menurut langkah
pendidikan yang telah dirumuskan sehingga sejalan dengan tujuan-tujuan pendidikan yang
dicanangkan. Karena itu ia melakukan sistematisasi, pembagian dan penilaian ilmu
pengetahuan dan meletakkan secara berjenjang sesuai dengan ukuran yang ditetapkan
menurut kegunaannya bagi murid atau bahaya yang mungkin diderita. Ia juga menerangkan
soal cinta kasih yang seyogyanya merupakan perekat hubungan antara guru dan murid.
Disertai banyak contoh, ia menjelaskan bagaiamana guru berhubungan dengan murid nya dan
sebaliknya, murid berhubungan dengan gurunya. Ini berarti al-Ghazali meletakkan suatu asas
yang patut diikuti dalam mengajar.[111] al-Ghazali juga menerangkan metode mengajar
agama dan membina tingkah laku dengan amat jelas berdasarkan pada garis serta corak
filsafat dan tujuan pendidikannya. Karena itu al-Ghazali berada dalam barisan pertama para
filosof pendidik yang telah merumuskan system pendidikan berdasar pola pemikiran dan
aliran filsafat tertentu, seperti Plato, Rousseau, Dewey dan lainnya.
Perlu diperhatikan juga oleh orang yang mempelajari al-Ghazali adalah kecenderungan
pragmatise yang menguasai pikirannya, meskipun ia seorang sufi. Ia selalu berbicara
bagaimana mencapai kebahagiaan akhirat, tetapi pikiran pragmatisnya tidak membuat ia lupa
pada kebahagiaan dunia. Ia berpendapat, bahwa kebahagiaan duniawi bisa dicapai dengan
cara hidup mulia, membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dan interkasi positif denagan

sesama manusia. Pendapatnya tentang cara memperoleh kebahagiaan dunia ini sudah barang
tentu cocok dengan filsafatnya. Kebahagiaan duniawi menurut al-Ghazali jauh dari pola
kehidupan matearilistik dengan melupakan aspek manfaat dalam kehidupan. al-Ghazali telah
menasehatkan agar mengajarkan ilmu-ilmu yang sangat diperlukan untuk kehidupan manusia
yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan kesahteraan sosial, seperti kedokteran, ilmu hitung,
dan beberapa ketrampilan teknis. Di sini tampak sikap realistis al-Ghazali dan perhatiannya
pada aspek manfaat yang dibutuhkan dalam kehidupan duniawi.
Karya-karya al-Ghazali menunjukkan bahwa ia seorang cendikiawan yang melakukan
penelitian lebih dahulu sebelum menulis. Terlihat juga pandangan-pandangannya bersumber
dari proses kehidupan yang dialami, dari bidang ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
pengalaman dan problematika yang pernah dihadapi dalam perkembangan hidupnya. Kita
lihat misalnya, ia menyarankan agar kita mengikuti suatu cara ini adalah cara terbaik untuk
menanamkan dasar-dasar agama pada jiwa seorang dengan mendikte dan menyakinkan,
kemudian dikukuhkan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang diambil dari membaca,
merenungkan pesan-pesan dan makna al-Quran. Jelas al-Ghazali sampai pada keyakinan ini,
setelah ia melakukan penelitian nyata dari perkembangan penghayatan keagamaan yang
dialami.[112]
Pikiran al-Ghazali mengenai nilai pendidikan yang baik, dan sesuatu yang mungkin ditempuh
menuju upaya pendidikan guna memperbaiki individu dan masyarakat, sama dengan pikiran
beberapa filosof, ahli pendidikan dan pembaharu sosial yang mendahuluinya maupun yang
datang kemudian. Seperti Plato, Aristoteles, Roussesau, Pestalozzi, John Dewey, mereka
yakin bahwa pendidikan yang benar dan dirumuskan berdasarkan asas yang benar dan baik
merupakan jalan satu-satunya untuk memperbaiki pembentukan individu yang pada
gilirannya akan membawa perbaikan masyarakat.Tidak perlu komentar, Plato dalam
Republika dan Aristoteles dalam Politik, menyatakan, bahwa pembangunan masyarakat
hanya bisa ditempuh denagan memperbaiki sistim pendidikan. Hal yang sama dikemukakan
Rouseau dalam Emile, yang dikutip oleh Pestalozzi dalam Leonardogartrud dan dalam karyakarya John Dewey, seperti Democracy and Education, Shool and Society, dan sebagainya.
Ungkapan al-Ghazali kurang lebih sama dengan ungkapan Rousseau yang mengatakan,
bahwa pendidikan bisa menyempurnakan kekurangan manusia dalam proses pembentukan
nya. Ia mengatakan ada beberapa makhluk yang sejak adanya telah memiiliki bentuk yang
sempurna tidak bisa ditambah dan dirubah, seperti bumi dan bintang-bintang. Sementara
makhluk lain memiliki bentuk yang belum sempurna waktu lahir, seperti manusia.
Pendidikan yang baik merupakan sarana untuk menyempurnakan kekurangan tersebut.[113]
Rousseau mengatakan dalam buku pertama Emile, : Kita terlahir dalam keadaan
lunglai dan memerlukan penguat. Kita membutuhkan pertolongan. Kita pun memerlukan
kekuatan untuk memahami sesuatu. Segala kebutuhan untuk melengkapi kekurangan ketika
lahir hanya kita peroleh melalui pendidikan.
Dengan demikian jelas ketegaran pendirian al-Ghazali dan Rosseau tentang kemungkinan
mendidik manusia untuk menyempurnakan kekurangan serta melengkapi apa yang tidak
terdapat dalam proses penciptaan.[114]
al-Ghazali sama sekali tidak bicara mengenai pendidikan wanita. Dia mencurahkan seluruh
perhatiannya pada pendidikan anak laki-laki. Ini tidak mengherankan, sebab menurut
mayoritas umat Islam, pendidikan itu hanya untuk anak laki-laki saja. Misalnya al-Ghazali

mengatakan, menuntut ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim. Dia tidak mengatakan bahwa
menuntut ilmu -ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat. Begitu juga al-Ghazali lupa
dan kurang memperhatikan pendidikan kesenian dan estetika. Hal ini memang sesuai dengan
pandangan tasawufnya, sebab mengajarkan kesenian dan estetika pada anak tidak sesuai
dengan pendidikan hidup sederhana yang jauh diri keindahan dan kemewahan seperti yang ia
sarankan.
Tidak jelas pandangan al-Ghazali tentang pendidikan profesi. Ia sering berbicara tentang
perlunya pengajaran pengetahuan-pengetahuan yang mengarah ke profesionalisme, seperti
kedokteran, astronomi, ilmu hitung dan teknologi, tapi dalam waktu yang sama tidak nampak
kesungguhannya pada pendidikan jenis ini. Bahkan sebaliknya, ia termasuk oaring-orang
yang menyerukan agar oaring tidak mencari upah ketika melakukan pengabdian sosial.
Terutama di bidang pendidikan ia banyak mengutip pendapat yang tidak membenarkan
profesionalisme atau bayaran mengajar. Sebab ilmu harus dicari demi ilmu itu sendiri dan
demi tolong menolong untuk mendekatkan kepada Allah, bukan untuk mencari rizki dan
harta.[115]
Meskipun ia memuji profesi mengajar dengan mengatakan sebagai profesi dan tugas paling
penting dan mulia , tetapi dalam waktu yang sama ia mengecam guru yang meminta bayaran
dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai tidak tepuji dan tidak layak dihormati.[116]
Secara umum al-Ghazali adalah termasuk filosof yang meletakkan sistim pendidikan yang
universal, mempunyai tujuan yang jelas dan tepat sasaran. Ia termasuk orang yang berbicara
mengenai berbagai bidang yang berhubungan dengan pendidikan anak. Sistem pendidikannya
mengikuti suatu ilmu pemikiran tertentu yang tidak sulit difahami dan mudah didefinisikan.
Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh pendidikan Barat, ia sebanding denagan tokoh-tokoh
yang paling masyhur dan paling besar, seperti Plato dan Rousseau. Bahkan al-Ghazali punya
kelebihan dari mereka, karena ia mendasarkan pandangan dan pikirannya pada kenyataan
hidup yang dialaminya. Sedang mereka menulis masalah pendidikan secara teoritis, tidak
bersandar pada realitas.[117]
Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa sikap religius, sufistik dan usaha al-Ghazali
untuk membersihkan hati individu-individu untuk mewujudkan keutamaan dalam masyarakat
merupakan sebab pokok perhatiannya terhadap pendidikan agama dan pendidikan akhlak.
Kesimpulan lain, bahwa al-Ghazali sangat yakin bahwa pendidikan yang benar bisa berperan
banyak dalam memperbaiki budi pekerti dan membina perilaku seseorang. Ia mengatakan
bahwa tingkah laku seseorang, secara umum, adalah hasil simbolis antara tabiat fitrahnya
dengan faktor-faktor lingkungan yang mengitarinya. Dalam hal ini al-Ghazali sama dengan
ahli-ahli pendidik modern yang mengatakan, bahwa kepribadian merupakan hasil interaksi
antara kecendrungan fitrah dengan pengaruh lingkungannya.
Dengan cara ini al-Ghazali telah menemukan betapa pentingnya perhatian terhadap
kecendrungan fitrah manusia yag perlu diatur semampu mungkin dengan seimbang diantara
dua sisi ekstrim. al-Ghazali mengemukakan, bahwa sebaik-baik sesuatu adalah yang
ditengah-tengah. Ini mengingatkan kita pada seorang filosof Yunani kuno. Aristoteles yang
berpendapat bahwa sebaik-baik segala sesuatu adalah yang ditengah-tengah. Seperti telah
dijelaskan bahwa filsafat kuno yang dipelajari al-Ghazali adalah filsafat Aristoteles. Ia
membaca dan mengkritik karya-karyanya.

al- Ghazali sebagai seorang yang mempelajari tabiat manusia secara cermat dan parpurina
banyak berbicara mengenai kecendrungan fitrah manusia, atau yang menurutnya disebut
ghazirah. Ia menjelaskan bahwa watak manusia itu diciptakan untuk mengabdi kepada
tujuan-tujuan hidup. Hilangnya watak ini akan merugikan manusia dan menjerumuskan dia
dan keturunannya dalam bahaya, bahkan dalam kehancuran. Ia juga menerangkan bahwa ada
beberapa watak yang lebih kuat dari yang lain dan ada yang lebih mudah diatur. Dalam hal
ini al-Ghazali sama dengan ahli jiwa modern yang membedakan kecendrungan fitrah manusia
dari segi kekuatan dan penerimannya pada perubahan. Ia juga menekankan arti penting
kecendrungan fitrah manusia untuk kehidupan dan kelangsungannya.
Dalam membicarakan watak manusia al-Gazali lebih jauh menerangkan bahwa ada beberapa
watak manusia yang telah ada sejak lahir, ada juga yang tercipta dalam dirinya mengikuti
perkembangan usia. Pendapat ini juga ada unsur kesamaan dengan teori-teori kejiwaan
modern yang akan mencapai tahap kuat dan matang dalam periode terutama dari
perkembangan pertumbuhan individu. Ketika al-Ghazali berbicara tentang upaya membentuk
dan membuat keseimbangan watak anak dalam pendidikan, seakan-akan ia termasuk ahli
pendidikan modern. Dalam hal ini, usaha pendidikan haruslah meliputi usaha merubah watak
dengan mengangkat atau menariknya, agar kemarahan menjadi keperwiraan, kepatuhan
kepada penguasa dan kesungguhan dalam mengabdi kepada Negara dan sebagainya. Ia
mengatakan juga, bahwa pendidikan yang baik bukan dengan cara mencabut kecendrungan
fitrah manusia dari akalnya, atau menghapusnya secara total. Sebab yang demikian itu tidak
mungkin, bahkan bertentangan dengan tabiat manusia.
al-Ghazali juga telah menerangkan pentingnya seorang guru mengetahui watak murid dalam
segi kejiwaan. Ia mengatakan pengetahuan terhadap kejiwaan murid adalah sangat perlu dan
tidak bisa diabaikan. Pengamatan guru pada kejiwaan anak sangat membantu dirinya dalam
memilih metode yang sepatutnya dipraktekkan pada murid, dalam mengajar, mendidik, atau
membimbing, baik ketika masih kecil atau ketika sudah beranjak dewasa. Bila guru tidak
mempelajari kejiwaan, bisa menyebabkan bahaya besar. Pendapat al-Ghazali ini sejalan betul
dengan pendapat yang kini berlaku yang mengatakan bahwa pelajaran ilmu jiwa merupakan
salah satu tuntutan utama bagi calon guru yang baik. Tidak mungkin seorang guru memenuhi
tugasnya dengan baik, bila ia tidak benar-benar memahami teori-teori ilmu jiwa yang
menjelaskan perilaku, kecendrungan-kecendrungan warisan, kecendrungan fitrah dan
perkembangan berfikir anak selama masa pertumbuhannya serta pengetahuan-pengetahuan
lain yang membantu guru dalam mengajar.
Ketika al-Ghazali berbicara tentang nilai permaian bagi anak, ia telah mengmukakan
pendapat yang sangat matang, baik untuk saat itu maupun masa-masa sesudahnya. al-Gazali
tidak menganggap permainan semata-mata sebagai kegiatan bersama yang dilakukan oleh
anak. Permainan mempunyai tiga tugas pokok, yang sangat dibutuhkan baik untuk
pertumbuhan jasmani maupun intelektual. Pertama-tama permainan membantu untuk
menggerakkan tubuh anak serta menguatan otot-ototnya yang akan membawa pertumbuhan
jasmaninya tumbuh dengan sehat. Selain itu permainan juga membuat hati anak senang dan
segar yang merupakan pendorong kebahagiaan yang sangat dibutuhkan. Dan terakhir,
permainan sebagai usaha menghilangkan keletihan belajar yang dilakukan anak dengan riang
merupakan salah satu hal yang mempermudah pendidikan. Selanjutnya ia menerangkan,
bahwa anak yang dilarang bermain bisa membuat ia jenuh dan tidak suka belajar. Tidak ragu
lagi, ahli pendidikan modern mengemukakan pendapat yang sama dengan al-Ghazali tentang
manfaat bermain dan tugas-tugas yang harus dipenuhi untuk pendidikan secara umum.
Mereka mengatakan, kebanyakan penelitian dan seminar pendidikan berkesimpulan bahwa

beberapa anak tidak mau lagi belajar akibat mereka tidak mempunyai kesempatan yang
cukup untuk bermain dan bergembira.
Tidak ketinggalan al-Ghazali berbicara tentang penghargaan dan hukuman dan bagaimana
menggunakannya untuk tujuan pendidikan.Pendapat al-Ghazali mengenai hal ini sangat
seimbang, terutama hukum anak, dan jangan sering mencela atau mengungkapkan kejelekan
sebagai hukuman atas perbuatan jeleknya. pikiran-pikiran ini dibenarkan oleh ahli-ahli ilmu
jiwa pada masa kini. Banyak penelitian menunjukkan bahwa mayoritas kesulitan dan
problema kejiwaan serta kegagalan hidup yang diderita manusia merupakan akibat sikap para
pendidik yang banyak memarahi mereka dan sering menghalang-halangi kemauan anak yang
terbelakang dalam pelajaran. Umumnya, mereka menyerah dengan akhlak anak yang tidak
baik atau tidak terpuji itu

[1] M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan Al-Quran, (Yogyakarta: Apeiron Philotes, 2006),
hlm. 52-53.
[2] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,702.
[3] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1988), hlm.
3-4.
[4] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi
(Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2006), ix.
[5] Redja Mulyarahardjo, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Dasar-Dasar
Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2001), hlm. 11.
[6] Hasan Langgulung, Asas-Asas,hlm.135-136.
[7] Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan (1) Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3) Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya (5)
[8] Ahmad Mustofa Al Maraghi, Tafsir al Maraghi (Semarang: CV.Toha Putra, 1971), hlm.
327-9.
[9] Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, ix.
[10] Azumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Ciputat: Logos, 2000), hlm.10.
[11] Abu Ali Ibn Muhammad Maskawayh dilahirkan di Ray tahun 330 H/940 M. Salah satu
karya Ibn Miskawayh yang memuat pemikiran pendidikannya adalah termuat dalam bukunya
Tahzib al Akhlak (Pendidikan Akhlak). Ibn Miskawayh dikenal sebagai ahli pendidikan dan
pemikir pendidikan muslim yang menghubungkan masa antara Ibn Sahnun dan Ibn Sina. Ia

meninggal pada tahun 1030 M. Lihat dalam Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan
Islam (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996)134-5.
[12] Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al Ghazali dilahirkan di Thusia di daerah
Khurasan (Persia), tahun 450 H/ 1059 M. Pemikiran pendidikan al Ghazali termuat dalam
tiga buku karangannya yaitu Fatihat al Kitab, Ayyuha al Walad dan Ihya Ulumuddin.
Menurut pendapat al Ghazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Lihat dalam Jalaluddin
dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
139.
[13] Hasan Langgulung lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Oktober 1934.
Pendidikan dasar dan menengah Islam dijalani di Ujung Pandang. Setamat pendidikan di B-1
Inggris, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Dar al Ulum Universitas Kairo, 1962. Meraih
ijazah Diploma dalam sastra Arab modern dari Institute of Higher Arab Studies, Arab
League-Cairo 1964, Diploma of Education dari Ein el Syam University pada 1964, dan
Master dalam Psikologi dan Kesehatan Mental pada 1967 dengan tesis al Murahiq Indonesia:
Ittijahatuh wa Darajat Tawafuq Indah. Gelar Ph.D dalam psikologi diraih dari University of
Georgia, Amerika Serikat, dengan disertasi berjudul A Cross- Cultural Study of Child
Conception of Situational Causality in India, Western Samoa, Mexico and the United States
di bawah bimbingan E. Paul Torrence pada 1971. Lihat dalam halaman belakang beberapa
bukunya sendiri, seperti pada Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka al Husna,
1985) 248-50; Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al Husna, 1992), hlm. 400.
[14] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), hlm. 32.
[15] Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islami (Jakarta: Kalam
Mulia, 1986), hlm.4.
[16] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam ( Jakarta: Kalam Mulia, 1994), 4.
[17] Hasan Langgulung, Ibid, hlm. 6.
[18] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persadsa,
(Jakarta, 2005), hlm. 64.
[19] Abuddin Nata, Ibid, hlm.64.
[20] Abuddin Nata, Ibid, hlm. 66.
[21] Abuddin Nata, Ibid, hlm. 67.
[22] Abuddin Nata, Ibid, hlm. 67.
[23] Abuddin Nata,Ibid, hlm. 69.
[24] Abuddin Nata, Ibid, hlm. 99.
[25] Arifin, Ibid, hlm. 38.

[26] Arifin, Ibid, hlm. 39.


[27] Arifin, Ibid, hlm. 39.
[28] Zuhairini, Abdul Ghofir, Slamet As. Yusuf, Ibid, 45.
[29] Arifin, Ibdi,.hlm. 40.
[30] Arifin, Ibid, hlm.40.
[31] Arifin, Ibid, hlm.41.
[32] Arifin, Ibid, hlm.41.
[33] Arifin, Ibid, hlm.41-42.
[34] Arifin, Ibid, hlm.42.
[35] Arifin, Ibid, hlm. 42.
[36] Arifin, Ibid, hlm. 42.
[37] Arifin, Ibid, hlm. 42.
[38] Arifin, Ibid, hlm. 224.
[39] Arifin, Ibid, hlm. 224.
[40] Arifin, Ibid, hlm. 225.
[41] Arifin, Ibdi, hlm. 226.
[42] Arifin, Ibid, hlm. 226.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid [43]
[44] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid, hlm.19.
[45] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid, hlm.20.
[46] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid, hlm.21.
[47] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid,. 21.
[48] Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, Ibid,. 418.
[49] Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), hlm. 420.
[50] Abuddin Nata, Ibid,.97.

[51] Arifin, Ibid,. 226.


[52] Arifin, Ibid,. 227.
[53] Arifin, Ibid,. 227.
[54] Arifin, Ibid,.228
[55] Arifin, Ibid,. 235
[56] Arifin, Ibid,. 236-237.
[57] Arifin, Ibid,.237.
[58] M. Solihin, Epistimologi Ilmu dalam Sudut Pandang al-Ghazali, (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), hlm. 20.
[59] Ibid.
[60] Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 9.
Para ulama berbeda pendapat mengenai penyandaran nama Imam al-Ghazali tersebut.
Sebagian Walaupun begitu, ada yang menganggap bahwa pengaruh filsafat dalam diri beliau
cukup besar, sehingga sekalipun beliau menyusun kitab yang berisi kritik terhadap filsafat,
seperti kitab Tah}a>fut, tapi, tanpa disadari dalam beberapa hal beliau menyetujui mereka.
Itu terjadi karena keahlian beliau ini tidak didasari dengan ilmu athar dan penguasaan
terhadap Hadis Nabi. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwa>n al-S}afa dan kitab-kitab Ibnu
Sina. Oleh karena itu, Ibn Taimiyah berkata: al-Ghazali dalam perkataannya sangat
dipengaruhi filsafat dari karya-karya mengatakan bahwa nama beliau memang disandarkan
pada daerah Ghazalah di T}us, tempat beliau dilahiran. Pendapat ini dikuatkan oleh alFayumi dalam Mis}ba>h al-Muni>r. hal ini didasarkan pula pada pendapat salah seorang
cucu al-Ghazali, yaitu Majduddin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin
Abi T{ahir Sharwan Shah bin Abul Fad}l bin Ubaidillah anak dari Situ al-Mana bintu Abu
Hamid al-Ghazali yang mengatakan bahwa orang yang menyebutkan nama kakek kami
dengan sebutan al-Ghazzali (dengan dubel z) adalah salah. Sebagian lainnya mengatakan
bahwa penyandaran nama beliau adalah kepada pencaharian dan Demikian pendapat Ibn alAthir yang diperkuat oleh pendapat Imam Nawawi yang menyatakan bahwa Tashdid dalam
Al Ghazali adalah yang benar. Bahkan, Ibn al-Samani mengingkari penyandaran nama yang
pertama dan berkata: Saya telah bertanya kepada penduduk Tus tentang daerah Ghazalah,
dan mereka mengingkari keberadaan daerah itu. Pendapat lain lagi adalah pendapat alKhafaji yang mengatakan bahwa al-Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah
tapi bukan nama tempat, melainkan anak perempuan Kaab al-Akhbar. Pendapat ini tentu saja
berbeda dengan dua pendapat sebelumnya. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwa>n alS}afa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Ibn Taimiyah berkata: al-Ghazali dalam
perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab al-Shifa>,
risalah Ikhwa>n al-S}afa dan karya Abu Hayan al-Tauhidi. Hal ini nampak jelas dalam
kitabnya Ih}ya> Ulu>m al-Di>n sehingga Ibn Taimiyah Namun, yang dijadikan sandaran
para ahli nasab mutaakhkhiri>n adalah pendapat Ibn al-Athir dengan sebutan al-Ghazzali
(dubel z/ditashdi>d). lihat: Wirajiwa, Biodata Imam al-Ghazali, dalam Hal ini nampak

jelas dalam kitabnya Ih}ya> Ulu>m al-Di>n sehingga Ibn Taimiyah menambahkan
Peemikirannya dalam Ih}ya> Ulu>m al-Di>n pada umumnya baik, namun terdapat di
dalamnya juga isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong su>fiyah dan
berisi Hadis-Hadis palsu (D{a>if). Lihat: Kholid Syamhudi, Sejarah Hidup Imam alGhazali
dalam
http://muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al
ghazali2.htmlhttp://wirajiwa.bumicyber.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=81:biodataimam-al-ghazali-&catid=8:tokoh-tokohislam&Itemid=20(15 September 2012).
[61] Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 7.
[62] Imam al-Ghaza>li, lh}ya> Ulu>m al-Di>n, Juz I, (Beirut: Da>r aI-fikri, t.th.), 7.
[63] bid, 18.
[64] Ibid.
[65] Wirajiwa, Biodata Imam al-Ghazali, dalam http://wirajiwa.bumicyber.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=81:biodataimam- al-ghazali-&catid=8:tokoh-tokohislam&Itemid=20 (15, september 2012).
[66] Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 34.
[67] Semua itu didasarkan pada penjelasan Ibn Asakir yang berkata, Abu Hamid
rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah
dan tinggal di menara barat masjid Jami al-Umawi serta mengaji kitab S}ah}i>h Bukha>ri
kepada Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah al-Hafsi. Dijelaskan juga oleh Ibnu Khallakan
dengan perkataannya, Nizam al-Mulk mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya
di Baghdad tahun 484 H., dan kemudian beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. lalu
menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus untuk beberapa lama,
dan kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di
Iskandariyah hingga akhirnya kembali ke Tus. Lihat: Syamhudi, Sejarah Hidup Imam alGhazali dalam http://muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al-ghazali-2.html.
[68] bid.
[69] Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan,7.
[70] yamhudi, Sejarah Hidup Imam al-Ghazali dalam http://muslim.or.id/biografi/sejarah
hidupimam- al-ghazali-2.html.
[71] Wirajiwa, Biodata Imam al-Ghazali, dalam
http://wirajiwa.bumicyber.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=81:biodataimam- al-ghazali-&catid=8:tokoh-tokohislam&Itemid=20 (15 September 2012).
[72] Al-Ghaza>li, lh}ya> Ulu>m al-Di>n,18.
[73] Wirajiwa, Biodata Imam al-Ghazali, dalam

http://wirajiwa.bumicyber.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=81:biodataimam- al-ghazali-&catid=8:tokoh-tokohislam&Itemid=20 (15 September 2012).
[74] bid.
[75] Al-Ghaza>li, lh}}ya> Ulu>m al-Di>n, 18.
[76] Ibid.
[77]Asnawi,Biografial-Ghazali,dalam http://id.shvoong.com/humanities/history/2095590biografi-al-ghazali/, (16 September 2012).
[78] M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant Filsafat Etika Islam, Terj. Hamzah,
(Bandung: Mizan, 2002), hlm. 29.
[79] Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang, 9.
[80] Nur Iskandar al-Barsyani, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlus Sunnah
Wal Jamaah, (Jakarta: Sri Gunting, 2001), hlm. 48.
[81] Sikap skeptisnya itulah yang mendorongnya untuk mencari ilmu serta dengan ilmu
beliau melakukan petualangan dari keraguan menuju keyakinan. Lihat: Abdul Ghani Abud,
al-Fikr al- Tarbawy Inda l-Ghaza>ly Kama> Yabdau min Risa>latihi Ayyuha al-Walad,
Terj. Gazi Saloom, (Jakarta: Iiman, 2003), 43.
[82] Al-Barsyani, Biografi dan Garis Besar, 48.
[83] Abud, al-Fikr al-Tarbawy Inda, 43.
[85] Abuddin Nata, Ibid, 86
[86] Zainuddin, Ibid, hlm,48.
[87] Abuddin Nata, Ibid, 86.
[88] Abuddin Nata, Ibid, 87.
[89] Abuddin Nata, Ibid, 88.
[90] Abuddin Nata, Ibid, 213
[91] Abuddin Nata, Ibid, 216
[92]Abuddin Nata, Ibid,89
[93] Abuddin Nata, Ibid,. 89.
[94] Abuddin Nata, Ibid,. 90.

[95] Abuddin Nata, Ibid, 91.


[96] Abuddin Nata, Ibid,. 92.
[97] Abuddin Nata, Ibid, 93.
[98] Abuddin Nata, Ibid, 94.
[99] AbuddinNata, Ibid,. 95.
[100] Abuddin Nata, Ibid, 98.
[101] Abuddin Nata, Ibid,. 99.
[102] Abuddin Nata,Ibid,. 99.
[103] Abuddin Nata, Ibid,. 99.
[104] Abuddin Nata, Ibid,. 100.
[105] Abuddin Nata, Ibid,. 100.
[106] Abuddin Nata, Ibid,. 101.
[107] Abuddin Nata, Ibid,. 212.
[108] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid,.18.
[109] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid,.19.
[110] Abuddin Nata, Ibid,. 218.
[111] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid,.92.
[112] Fathiyah Hasan Silaiman , Ibid, hlm. 94
[113] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid,.95.
[114] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid,. 96.
[115] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid,. 96.
[116] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid,. 97.
[117] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid,. 97.

Anda mungkin juga menyukai