Anda di halaman 1dari 37

Pengaruh Dewan Komisaris, Komite Audit, Audit Internal, dan

Audit Eksternal Terhadap Manajemen Laba


(Studi Empiris Perusahaan Jasa Sub Sektor Transportasi yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015)

Proposal
Reninta Destiana
Akuntansi
01031481518087

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Laporan keuangan merupakan dasar untuk menentukan atau melihat posisi
keuangan perusahaan. Informasi mengenai posisi keuangan berguna bagi pihakpihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan. Menurut Munawir
(2004:2), laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang
dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu
perusahaan dengan pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas dari
perusahaan

tersebut.

Laporan

keuangan

juga

merupakan

sarana

untuk

mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh manajer atas sumber daya


pemilik. Informasi laba menjadi bagian dari laporan keuangan yang dianggap paling
penting, karena informasi tersebut secara umum dipandang sebagai representasi
kinerja manajemen pada periode tertentu.
Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No. 1,
informasi laba merupakan perhatian utama untuk menaksir kinerja atau
pertanggungjawaban manajemen. Selain itu informasi laba juga membantu pemilik
atau pihak lain dalam menaksir earing power perusahaan di masa yang akan datang.
Ada kecenderungan lebih memperhatikan laba ini disadari oleh manajemen,
khususnya manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi laba tersebut,
sehingga mendorong timbulnya perilaku penyimpang, yang salah satu bentuknya
adalah manajemen laba. Manajer mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan
kesejahteraan para stakeholders, namun di sisi lain manajer juga mempunyai
kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan diri sendiri.

Untuk mencegah manajemen laba yang berlebihan, penerapan good


corporate governance dapat membantu para pengguna informasi keuangan untuk
lebih yakin bahwa laporan keuangan yang dihasilkan bebas dari pelanggaran. Good
corporate governance menciptakan berbagai mekanisme yang bertujuan untuk
meyakinkan tindakan yang dilakukan manajemen sudah sejalan dengan kepentingan
dari para pemegang saham. Struktur corporate governance yang baik dapat
mengurangi manajemen laba. Corporate governance atau disebut juga sistem
pengeloalaan dan pengendalian perusahaan muncul karena adanya kepentingan di
dalam perusahaan. Untuk mengatasi masalah agensi atau perbedaan kepentingan
adalah dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.
Menurut Alzoubi & Selamat (2012), pemegang saham bergantung pada
kemampuan dewan komisaris dan komite audit untuk memantau kinerja manajemen.
Oleh karena itu, tanggung jawab kualitas pelaporan keuangan terletak pada
efektivitas peran dewan dan komite auditnya. Namun, mengingat bahwa dewan
bertanggung jawab untuk mengangkat dan memberhentikan anggota komite audit,
auditor internal dan auditor eksternal, peran mereka sama-sama penting dalam
meningkatkan kualitas pelaporan keuangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2010) menemukan bahwa ukuran
dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba perusahaan.
Berapapun jumlah dewan komisaris yang ada dalam perusahaan tidak akan
mempengaruhi praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Dewan
komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik
terhadap manajemen, sehingga mempengaruhi kemungkinan kecurangan dalam
menyajikan laporan keuangan yang dilakukan oleh manajer, artinya semakin

kompeten dewan komisaris maka semakin mengurangi kemungkinan kecurangan


dalam pelaporan keuangan.
Peran komite audit seringkali dihubungkan dengan kualitas pelaporan
keuangan karena dapat membantu dewan komisaris dalam mengawasi proses
pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kreditabilitas laporan
keuangan. Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) menegaskan keberadaan komite
audit diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan internal perusahaan,
serta mampu mengoptimalkan mekanisme check and balances, yang pada akhirnya
ditujukan untuk memberikan perlindungan yang optimum kepada para pemegang
saham dan skateholder lainnya.
Penyerahan peran pengawasan dari dewan komisaris kepada komite audit
telah memperluas fungsi komite audit untuk mencakup area yang lebih luas termasuk
mengawasi manajemen dan sistem pengendalian, dan menyetujui strategi perusahaan
(De Zoort et al., 2001). Komite audit memberikan kontribusi bagi pengembangan
rencana strategis perusahaan dengan memberikan masukan dan rekomendasi kepada
dewan berkaitan dengan masalah keuangan atau operasional. Oleh karena itu, komite
audit yang efektif akan fokus pada peningkatan kinerja dan daya saing perusahaan,
terutama pada lingkungan bisnis yang berubah diluar kontrol perusahaan dan fokus
pada

optimalisasi

kekayaan

pemegang

saham

sehingga

dapat

mencegah

maksimalisasi kepentingan pribadi manajemen.


Internal auditing merupakan suatu penilaian atas keyakinan, independen,
obyektif dan aktivitas konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan
meningkatkan operasi perusahaan. Gay dan Simnett menyatakan fungsi internal
audit yang dirancang untuk melindungi aset perusahaan dan membantu

menghasilkan informasi akuntansi yang handal untuk membuat keputusan. Sawyer


et al. (2003) menyatakan bahwa antara fungsi internal audit dan auditor eksternal
harus memiliki koordinasi yang baik untuk meningkatkan nilai ekonomi, efisiensi,
dan efektivitas dari keseluruhan aktivitas audit bagi perusahaan. Dalam struktur
organisasi perusahaan kedudukan fungsi internal audit mempengaruhi luasnya
aktivitas fungsi yang dapat dijalankan serta dipengaruhi independensinya dalam
melaksanakan fungsi tersebut.
Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian
dengan judul Pengaruh Dewan Komisaris, Komite Audit, Audit Internal dan
Audit Eksternal Terhadap Manajemen Laba (Studi Emipiris Perusahaan Jasa
Sub Sektor Transportasi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 20112015).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian ini terfokus pada:
1.
2.
3.
4.

Apakah dewan komisaris dapat mempengaruhi manajemen laba?


Apakah komite audit dapat mempengaruhi manajemen laba?
Bagaimana pengaruh audit internal terhadap manajemn laba?
Bagaimana pengaruh pertemuan antara audit internal dengan komite audit

terhadap manajemen laba?


5. Bagaimana pengaruh ukuran KAP terhadap manajemen laba?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis pengaruh dewan komisaris terhadap manajemen laba.
2. Untuk menganalisis pengaruh komite audit terhadap manajemen laba.
3. Untuk menganalisis pengaruh audit internal terhadap manajemen laba.

4. Untuk menganalisis pengaruh pertemuan antara audit internal dan komite audit
terhadap manajemen laba.
5. Untuk menganalisis pengaruh ukuran KAP terhadap manajemen laba.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan
kontribusi sebagai berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Memberikan kontribusi atau tambahan referensi pada pengembangan teori,
terutama kajian akuntansi keuangan mengenai agency theory dan mengenai
tata kelola perusahaan yang baik dengan menilai efektivitas dari ukuran dan
frekuensi pertemuan dewan komisaris dalam sebuah perusahaan sehingga
dapat menghambat manajemen laba.
2. Memberikan pemahaman mengenai pengaruh karakteristik dari ukuran dan
frekuensi pertemuan yang terdapat pada komite audit yang dapat
mempengaruhi manajemen laba.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Memberikan gambaran mengenai pengaruh penerapana mekanisme corporate
governance terhadap praktek manajemen laba, yang diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
investasi, kredit maupun keputusan lainnya.
2. Memberikan wacana tentang pentingnya peran komite audit untuk
menghindari terjadinya financial distressed.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)
6

Teori keagenan merupakan konsep yang menjealaskan hubungan kontraktual


antara principals dan agents. Pihak principals adalah pihak yang memberikan
mandat kepada pihak lain, yaitu agent, untuk melakukan semua kegiatan atas nama
principals dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan (Jensen, 1984).
Teori

keagenan

(Agency

Theory)

Jensen

dan

Meckling

(1976)

mendefinisikan teori keagenan sebagai hubungan antara agen (manajemen suatu


usaha) dan principal (pemilik usaha). Di dalam hubungan keagenan terdapat suatu
kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) memerintah orang lain (agen) untuk
melakukan suatu jasa atas nama principal dan memberi wewenang kepada agen
untuk membuat keputusan yang terbaik bagi principal.
Informasi laporan keuangan yang disampaikan secara tepat waktu akan
mengurangi asimetri informasi yang erat kaitannya dengan theory agency (Kim dan
Verrechia, 1994). Sehingga dalam hubungan keagenan, manajemen diharapkan
dalam mengambil kebijakan perusahaan harus menguntungkan pemilik perusahaan.
Bila keputusan manajemen merugikan bagi pemilik perusahaan maka akan timbul
masalah keagenan (Ismiyanti dan Hanafi, 2004:176).
Kondisi perusahaan yang dilaporkan oleh manajer tidak sesuai atau tidak
mencerminkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan
perbedaan informasi yang dimiliki antara manajer dengan pemegang saham. Sebagai
pengelola, manajer lebih mengetahui keadaan yang ada dalam perusahaan daripada
pemegang saham. Keadaan tersebut dikenal sebagai asimetri informasi. Asimetri
informasi antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan
kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (Richard, 1998).

Eisenhart (1989), menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi


sifar manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self
interest), (2) manusia memiliki daya terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Dari
asumsi sifat dasar manusia tersebut dapat dilihat bahwa konflik agensi yang sering
terjadi antara manajer dengan pemegang saham dipicu adanya sifat dasar tersebut.
Manajer dalam mengelola perusahaan cenderung mementingkan kepentingan pribadi
dariapda kepentingan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Dengan perilaku
opportunicties dari manajer, manajer bertindak untuk mencapai kepentingan mereka
sendiri, padahal manajer seharusnya memihak kepada kepentingan pemegang saham
karena mereka merupakan pihak yang memberi kuasa manajer untuk menjalankan
perusahaan. Masalah perbedaan kepentingan ini merupakan satu bentuk umum dari
masalah keagenan.
Dalam artikelnya, Jensen (1986) mengemukakan masalah keagenan dapat
terjadi karena free cash flow, yaitu kelebihan kas atas jumlah yang dibutuhkan untuk
mendanai investasi yang positif. Dengan adanya free cash flow yang terlalu banyak
akan mempengaruhi perilaku manajer yang kemudian bisa memicu munculnya
keputusan-keputusan yang tidak mencerminkan kepentingan pemegang saham.
Menurut Jensen, untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu kontrol kinerja manajer,
yaitu dengan utang, karena dapat memicu kinerja manajer supaya lebih lebih efisien.
Dijelaskan dalam Brigham et al.(1999) bahwa terdapat sejumlah mekanisme
yang cenderung mendorong manajer melakukan hal terbaik untuk pemegang saham,
yaitu:
1. Ancamana pemecatan.
2. Ancamana pengambilalihan.
8

3. Pembenahan struktur dan insentif manajer.


Dengan adanya ancaman-ancaman diatas, maka diharapkan manajer akan
bekerja secara maksimal dengan meningkatkan laba secara wajar dan menjaga agar
laba tidak turun. Hal ini akan saling menguntungkan principal dan agent. Principal
akan memperoleh pengembalian deviden yang tinggi dan agen akan mendapat
insentif yang tinggi pula.
2.1.2 Good Corporate Governance
Organization for Economic Co-operation

and Development (OECD)

mendefinisikan Corporate Governance sebagai sekumpulan hubungan antara pihak


manajemen, board dan pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai
kepentingan dengan perusahaan. Corporate Governance juga mensyaratkan adanya
struktur, perangkat untuk mencapai tujuan, dan pengawasan atas kinerja.
Sedangkan menurut The Indonesian Institute for Corporate Governance
(IICG), corporate governance adalah proses dan struktur yang diterapkan dalam
menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama untuk meningkatkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan skateholders
lainnya.
Turnbull Report mendefinisikan corporate governance sebagai suatu sistem
pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang
signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengaman aset perusahaan dan
meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang.
Pelaksanaan good corporate governance dilakukan dengan menggunakan
prinsip-prinsip yang berlaku secara internasional. Prinsip-prinsip dasar ini
diharapkan menjadi rujukkan bagi para regulator (pemerintah) dalam membangun
9

framework bagi penerapan good corporate governance. Prinsip-prinsip dasar


penerapan good corporate governance yang dikemukakan oleh Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI) adalah sebagai berikut:
1. Fairness (Keadilan)
Perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada
pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan
informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan
perdagangan saham oleh orang dalam.
2. Transparency (Transparansi)
Hak-hak para pemegang saham yang harus diberi informasi dengan benar dan
tepat waktu mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam
pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas
perusahaan dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan.
3. Accountability (Akuntabilitas)
Tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif berdasarkan
balance of power antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris dan
auditor.

4. Responsibility (Tanggung jawab)


Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum
dan kerja sama yang aktif antara perusahaan serta pemegang kepentingan
dalam menciptakan kesejahteraan.
Manfaat dari pelaksanaan good corporate governance menurut FCGI:
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan
keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan
serta lebih meningkatkan pelayanan kepada skateholders.
2. Mempermudah diperolehna dana pembiayaan yang lebih murah sehingga
dapat lebih meningkatkan corporate value.
3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.
10

4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus


akan meningkatkan skateholders value dan deviden.
2.1.3. Dewan Komisaris
Dewan komisaris adalah sebuah dewan yang bertugas melakukan
pengawasan dan memberikan nasihat kepada direktur Perseroan Terbatas (PT). Di
Indonesia dewan komisaris ditunjuk oleh RUPS dan di dalam UU No. 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas dijabarkan fungsi dan wewenang, dan tanggung
jawab dari dewan komisaris (Wikipedia).
Anggota dewan komisaris diangkat dan diberhentikan dengan persetujuan
dari anggota Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang kemudian dilaporkan
kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dicatatkan dalam daftar wajib perusahaan
atas pergantian dewan komisaris. Dalam pengangkatan dewan komisaris diusulkan
oleh anggota RUPS yang memiliki wewenang untuk mengusulkan dewan komisaris.
Dalam hukum Indonesia, selain dewan komisaris dikenal dewan pengawasn
syariah yang merupakan pengawas yang harus dibentuk dalam sebuah PT yang
menjalankan usaha dengan prinsip syariah yang ditunjuk oleh RUPS dan
rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tugas dan Kewenangan dewan komisaris antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan pengawasan atas jalannya usaha PT dan memberikan nasihat
kepada direktur.
2. Dalam melakukan tugas, dewan direksi berdasarkan kepada kepentingan PT
dan sesuai dengan maksud dan tujuan PT.
3. Kewenangan khusus dewan komisaris, bahwa dewan komisaris dapat
diamanatkan dalam anggaran dasar untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu
direktur, apabila direktur berhalangan atau dalam keadaan tertentu.
11

2.1.4. Komite Audit


Sejak dikeluarkannya Keputusan Direksi BEJ No: Ke-315/BEJ/06/2000
perihal : Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum
Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa, keberadaan komite audit di perusahaan
publik resmi dimulai.
Pengertian komite audit itu sendiri adalah komite yang dibentuk oleh dewan
komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya. Peraturan
mewajibkan perusahaan tercatat memiliki komite audit. Komite audit merupakan
salah satu unsur kelembagaan dalam konsep Good Corporate Governance yang
diharapkan mampu memberikan kontribusi tinggi dalam level penerapannya.
Komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memonitor proses
pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan
keuangan. Tugas komite audit meliputi menelaah kebijakan akuntansi yang
diterapkan oleh perusahaan, menilai pengendalian internal, menelaah sistem
pelaporan

eksternal

dan

kepatuhan

terhadap

peraturan.

Bapepam

(2012)

mensyaratkan bahwa komite audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai oleh
komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta
menguasai dan memiliki keahlian di bidang akuntansi dan keuangan, selain itu
Bapepam juga menghimbau bahwa setidak-tidaknya komite audit melakukan rapat
minimal 4 (empat) kali dalam setahun.
2.1.5. Audit Internal
Pengertian audit internal menurut IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) dalam
SPAP (Standar Pelaporan Akuntan Publik) adalah suatu aktivitas penilaian yang
independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi aktivitas-

12

aktivitas organisasi sebagai pemberi bantuan bagi manajemen (1998;322).


Sedangkan menurut Brink Z. Victor dan Witt Herbert dalam bukunya Modern
Internal Auditing mengemukakan bahwa Audit Internal adalah fungsi penilai
independen yang dibentuk dalam organisasi untuk menguji dan mengevaluasi
kegiatan sebagai layanan untuk organisasi (199;1-1).
Dalam melaksanakan fungsinya, auditor internal melakukan penyelidikan dan
meneliti keefektifan aktivitas perusahaan. Dengan pelaksanaan tersebut maka akan
dapat diketahui apakah berbagai departemen yang ada melaksanakan fungsinya
dengan baik atau tidak. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa audit internal
menjadi suatu alat pengawasan yang penting dalam mengukur dan menilai
keefektifan aktivitas yang ada dalam perusahaan.
Pada dasarnya tujuan audit internal adalah untuk membantu semua anggota
direksi dan manajemen dalam pelaksanaan tugasnya secara efektif dengan
menyediakan data yang objektif dan memberikan penilaian, rekomendasi atas
aktivitas yang diperiksa.
2.1.6. Audit Eksternal
Audit eksternal adalah pemeriksaan eksternal dari laporan keuangan
perusahaan yang dipersiapkan oleh suatu organisasi tertentu. Tujuan dari audit
eskternal adalah untuk memastikan laporan keuangan sesuai dengan kondisi
sebenarnya tanpa adanya tindak kecurangan di dalamnya. Kegiatan audit eksternal
dimaksudkan sebagai persyaratan pada perusahaan yang go public untuk
memberikan bukti akan kebenaran laporan keuangan kepada investor. Selain itu juga
bisa dimaksudkan untuk melakukan tugas khusus seperti penyelidikan.

13

Auditor hanya memiliki waktu yang sangat terbatas dalam melakukan


pekerjaannya, oleh karena itu mereka hanya berkonsentrasi pada pengujian validitas
dari beberapa sampel dari pada mengecekkan semuanya. Walaupun auditor adalah
independen dalam mengerjakan pekerjaannya, mereka tetap menerima gaji dari
kliennya, bukan dari pihak ketiga. Hal inilah yang memicu adanya tindak
kecurangan seperti pada kasus Enron dan KAP Arthur Andersen.
2.1.7. Manajemen Laba
Copeland (1968:10) dalam Utami (2005) mendefinisikan manajemen laba
sebagai some ability to increase or decrease reported net income at will. Ini berarti
bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau
meminimumkan laba termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajer.
Menurut Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk (2006) yang menyatakan bahwa
manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses
pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat
(sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut).
Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan
eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba adalah
salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen
laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai
laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai
angka laba tanpa rekyasa.
Dalam Positive Accounting Theory terdapat tiga faktor pendorong yang
melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu:
1. Bonus Plan Hypothesis
14

Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya


yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar
berdasarkan laba lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang
meningkatkan laba yang dilaporkan.
2. Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit
cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan
laba (Sweeney, 1994) dalam Rahmawati dkk (2006). Hal ini untuk menjada
reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
3. Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan
tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut
dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil
tindakan, misalnya mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak
pendapatan perusahaan, dan lain-lain.
2.2. Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah ringkasan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan
untuk menguji hubungan karakteristik dewan komisaris, komite audit, audit internal
dan audit eksternal terhadap terjadinya manajemen laba.
Siregar dan Utama (2005) telah melakukan penelitian mengenai analisis
struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, dan praktek corporate governance
terhadap pengelolaan laba. Kepemilikan keluarga dan ukuran perusahaan
berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Kepemilikan institusional dan tiga
variabel praktek GCG tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
Mestuti (2012) telah melakukan penelitian mengenai analisis pengaruh
manajemen laba terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan corporate
governance sebagai variabel moderating. Sampel yang digunakan yaitu dengan
teknik purposive sampling dengan kriteria tertentu dengan laporan tahunan 2009-

15

2010. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa manajemen laba tidak


berpengaruh secara signifikan terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan; ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
pengaruh manajemen laba terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan; jumlah pertemuan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan;
profitabilitas berpengaruh secara signifikan terhadap pengaruh manajemen laba
terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Murwaningsari (2008) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh
corporate governance terhadap nilai perusahaan dengan manajemen laba sebagai
variabel intervening. Sampel yang diperoleh sebanyak 37 perusahaan yang secara
konsisten melaporkan komposisi kepemilikan manajerial selama 3 tahun berturutturut di Bursa Efek Indonesia Jakarta periode 2002-2004. Hasil penelitian yang
diperoleh dari pengujian 3 hipotesa menunjukkan bahwa pertama, dewa direksi
berpengaruh positif terhadap manajemen laba; kepemilikan manajerial berpengaruh
positif terhadap manajemen laba; dewan komisaris independen berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba; komite audit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
manajemen laba. Pada hipotesa dua menunjukkan bahwa, dewan direksi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan; kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif terhadap nilai perusahaan; dewan komisaris berpengaruh positif dan
signifikan terhadap nilai perusahaan. Kemudian pada hasil hipotesa ketiga
menunjukkan bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap
nilai perushaan.
Suryani (2010) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh mekanisme
Corporate Governance dan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Kepemilikan institusional,
16

kepemilikan manajerial, dan ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan


terhadap manajemen laba. Ukuran dewan komisaris dan komite audit tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba.
Xie et al. (2003) telah melakukan penelitian mengenai earnings management
and corporate governance: the role of the board and the audit committee. Komisaris
independen dan komite audit yang aktif dan memiliki pengetahuan tentang keuangan
menjadi faktor penting dalam pencegahan kecenderungan manajer untuk melakukan
manajemen laba. Presentase dewan komisaris dari luar perusahaan yang independen
berpengaruh negatif secara signifikan terhadap akrual kelolaan.
Nasution dan Setiawan (2007) telah melakukan penelitian mengenai
pengaruh corporate governance terhadap manajemen laba di industri perbankan
Indonesia. Komposisi dewan komisaris dan komite audit berpengaruh negatif
signifikan terhadap manajemen laba. Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif
signifikan terhadap manajemen laba. Ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Berdasarkan penelitian terdahulu diatas, terdapat perbedaan dengan
penelitian yang sekarang dilakukan yaitu pada periode penelitian, sampel penelitian
dan variabel penelitian. Misalnya, pada periode penelitian Mestuti (2012)
menggunakan periode penelitian 2009 sampai dengan 2010, sedangkan penelitian ini
menggunakan periode waktu 2011 sampai dengan 2015 dengan alasan agar diperoleh
data yang lebih baru dan menggambarkan kondisi yang terbaru. Pada sampel
penelitian yang digunakan dalam penelitian Suryani (2010) adalah perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI sedangkan dalam penelitian ini menggunakan
sampel pada perusahaan jasa sub sektor transportasi yang terdaftar di BEI. Pada

17

variabel penelitian yang dilakukan oleh Nasution dan Setiawan (2007) menggunakan
corporate governance sebagai variabel independen dan manajemen laba sebagai
variabel dependen. Sedangkan di dalam penelitian ini menggunakan dewan
komisaris, komite audit, audit internal dan audit eksternal sebagai variabel
independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen.
2.3. Pengembangan Hipotesis
2.3.1. Ukuran Dewan Komisaris
Berdasarkan teori keagenan, dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme
pengendalian intern tertinggi, yang tertanggung jawab untuk memonitor tindakan
manajemen puncak. Ukuran dewan diyakini sebagai aspek dasar dari pengambilan
keputusan yang efektif. Lipton dan Lorsch (1992) merekomendasikan bahwa ukuran
dewan yang ideal tidak boleh melebihi delapan atau sembilan orang. Jensen (1993)
menyatakan bahwa ketika dewan lebih dari tujuh atau delapan anggota, itu kurang
efektif karena masalah koordinasi dan proses yang pada gilirannya memperlemah
pengawasan.
Namun karena dewan komisaris bertugas untuk memonitor atas pelaporan
keuangan perusahaan, maka perannya diharapkan dapat mempengaruhi pihak
manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu
laporan laba yang berkualitas. Oleh karena itu hipotesis yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah:
H1: Terdapat hubungan negatif antara ukuran dewan komisaris dengan manajemen
laba.
2.3.2. Frekuensi Pertemuan Dewan Komisaris

18

Rapat dewan komisaris merupakan hal penting dalam menentukan efektivitas


dewan komisaris dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian. Rapat dewan
komisaris merupakan media komunikasi dan koordinasi antara anggota-anggota
dewan komisaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas manajemen.
Dalam rapat tersebut akan membahas mengenai arah dan strategi perusahaan,
evaluasi kebijakan yang telah diambil oleh manajemen, serta mengatasi masalah
benturan kepentingan (FCGI, 2002).
Chen et al. (2006) menyatakan bahwa dewan yang lebih sering mengadakan
pertemuan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan, karena pertemuan
yang rutin memungkinkan dewan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah potensial, terutama yang terkait dengan kualitas pelaporan keuangan. Maka
dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2: Terdapat hubungan negatif antara frekuensi pertemuan dewan komisaris dengan
manajemen laba.
2.3.3. Ukuran Komite Audit
Sebuah komite audit merupakan solusi tepat untuk mengurangi biaya
keagenan sesuai dengan pernytaan Alchain dan Demsetz; Fama dan Jensen
menyatakan bahwa teori keagenan mengemukakan moral hazard yang melekat
dalam prinsipal dan agen dapat menimbulkan biaya keagenan (agent cost). Sehingga
dengan adanya komite audit yang efetif, mampu meningkatkan kualitas dan
kredibilitas laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan membantu dewan
direksi dalam memajukan kepentingan pemegang saham. Dengan demikian hipotesis
berikut diajukan:
H3: Terdapat hubungan negatif antara komite audit dengan manajemen laba.
19

2.3.4. Frekuensi Pertemuan Komite Audit


Semakin tinggi frekuensi pertemuan yang diadakan akan meningkatkan
efektivitas komite audit dalam mengawasi manajemen agar tidak berusaha
mengoptimalkan kepentingannya sendiri. Teori keagenan berpendapat bahwa dewan
yang independen memberikan pengawasan yang efektif terhadap manajemen.
Bapepam (2012) menghimbau bahwa setidak-tidaknya komite audit
melakukan rapat minimal 4 (empat) kali dalam setahun. Pertemuan dalam komite
audit minimal dilakukan empat bulan sekali dan berdiskusi tentang laporan keuangan
dengan auditor eksternal. Bapepam mensyaratkan bahwa komite audit mengadakan
rapat sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat dewan komisaris
yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Ketika komite audit lebih banyak melakukan
pertemuan dan lebih independen, manajer kemungkinan tidak akan dapat
memanipulasi laba. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa melalui pertemuan
dan pengamatan secara langsung, komite audit diharapkan dapat mengurangi tingkat
manajemen laba. Untuk pengujian lebih lanjut, hipotesis yang dirumuskan sebagai
berikut:
H4: Terdapat hubungan negatif antara frekuensi pertemuan komite audit dengan
manajemen laba.
2.3.5. Pengaruh Audit Internal terhadap Manajemen Laba
Dalam melaksanakan fungsinya, auditor internal melakukan penyelidikan dan
meneliti keefektifian aktivitas perusahaan. Dengan pelaksanaan tersebut maka akan
dapat diketahui apakah berbagai departemen yang ada melaksanakan fungsinya
dengan baik atau tidak. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa audit internal
menjadi suatu alat pengawasan yang penting dalam mengukur dan menilai

20

keefekifan aktivitas yang dalam perusahaan. Hal ini mengarah ke hipotesis sebagai
berikut:
H5: Keberadaan audit internal berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
H6: Pertemuan antara audit internal dengan komite audit berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba.
2.3.6. Pengaruh Audit Eksternal terhadap Manajemen Laba
Dalam PMK No. 17/PMK.01/2008 dijelaskan, Kantor Akuntan Publik (KAP)
adalah badan usaha yang telah mendapatkan izin dari Menteri sebagai wadah bagi
Akuntan Publik dalam memberikan jasanya. Menurut Undang-undang Republik
Indonesia No. 5 Tahun 2011, Kantor Akuntan Publik, yang selanjutnya disingkat
KAP adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan mendapatkan izin usaha berdasarkan Undang-undang ini. Pemerintah
Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008
memgakui Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sebagai organisasi profesi
akuntan publik yang berwenang melaksanakan ujian sertifiksai akuntan publik,
penyusunan dan penerbitan standar profesional dan etika akuntan publik, serta
menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan publik di
Indonesia. Hipotesisnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
H7: Ukuran KAP berpengaruh negatif terhadap Manajemen Laba.
2.4. Model Penelitian
Efek konflik kepentingan dalam Teori Keagenan mengakibatkan munculnya
kemungkinan tinggi akan adanya manajemen laba. Pihak manajemen lebih
mengetahui kondisi perusahaan yang sebenarnya daripada pemilik saham. Hal ini
akan memicu tindak kecurangan oleh manajemen dalam bentuk memaparkan laba
21

yang terkesan selalu stabil atau bahkan meningkat padahal laba sebenarnya menurun
atau bahkan rugi.
Manajemen laba ini dilakukan oleh manajemen dengan tujuan agar tetap
diberikan gaji seperti biasa atau bahkan diberikan bonus lebih oleh perusahaan.
Sehingga mereka terhindar dari pemecatan karena laba sesungguhnya turun atau
bahkan rugi.
Untuk mencegah terjadinya hal seperti ini, maka diperlukan adanya Komite
Audit yang efektif dan audit internal. Komite ini membantu dewan komisaris untuk
mengawasi aktivitas manajemen agar sesuai dengan standar yang ada. Pekerjaan ini
dibantu oleh Audit Internal dalam pemeriksaan dan penilaian tentang kecukupan dan
efektivitas sistem pengawasan internal. Ketika internal audit menemukan masalah
dalam pengendalian internal, temuan audit tersebut akan dilaporkan ke Presiden
Direktur, CEO, dan Dewan komisaris melalui Komite Audit dengan tembusan ke
Direktur dan pimpinan terkait. Komite Audit dan Audit Internal merupakan pihak
internal perusahaan. Oleh karena itu masih ada kemungkinan adanya tindakan
manajemen laba. Hal ini akan diminimaslir oleh adanya fungsin Audit Eksternal oleh
KAP.
Dari penjelasan di atas, penelitian ini menguji pada pengaruh dewan
komisaris, komite audit, audit internal dan audit eksternal terhadap manajemen laba.
Variabel yang digunakan adalah Dewan Komisaris, Komite Audit, Audit Internal,
Audit Eksternal dan Manajemen Laba, serta beberapa faktor lain yang
mempengaruhi manajemen laba seperti Leverage. Model dalam penelitian ini dapat
digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut:

22

Gambar 2.1. Model Penelitian


Variabel Independen
Keterangan:

Dewan Komisaris

: Variabel Independen

1. Ukuran dewan
komisaris
2. Frekuensi pertemuan
dewan komisaris
Komite Audit

1.

Ukuran komite audit

2.

Frekuensi pertemuan
komite
Audit audit
Internal

: Variabel Dependen

Variabel Dependen

Manajemen Laba

1. Audit Internal
2. Pertemuan Audit
Internal dan komite
audit
Audit Eksternal
3. Ukuran KAP
Variabel Kontrol
23

1. Leverege

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan jenis data kuantitatif yang berasal dari data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan mengakses website
www.idx.co.id dan www.sahamok.com. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
variabel independen, yaitu dewan komisaris, komite audit, audit internal dan
eksternal audit terhadap variabel dependen, yaitu manajeman laba.
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini populasi yang diteliti adalah perusahaan jasa sub sektor
transportasi dari sektor infrastruktur, utilitas & transportasi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia tahun 2011-2015.

24

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik


purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada kriteria
tertentu. Berdasarkan hasil sampel maka penelitian menggunakan 33 perusahaan.
Sampel laporan tahunan yang akan digunakan dalam penelitian ini sebanyak 165
laporan tahunan, dengan rincian 33 perusahaan jasa sub sektor transportasi dengan
lima tahun pengamatan. Berikut kriteria yang ditetapkan untuk memperoleh sampel
antara lain :
1. Sampel merupakan perusahaan XXXX yang terdaftar di Bursa Efek
indonesia dan sahamnya diperdagangkan selama periode 2011-2015.
2. Perusahaan tersebut mempublikasikan annual report dan laporan keuangan
yang berakhir pada tanggal 31 Desember selama periode pengamatan.
3. Perusahaan memiliki informasi lengkap mengenai struktur dewan komisaris
maupun komite audit atau tata kelola perusahaan, serta data yang diperlukan
untuk mendeteksi manajemen laba.
4. Perusahaan menyajikan laporan keuangan dalam rupiah.
Tabel 3.1 Kriteria Pemilihan Sampel Penelitian
No.
1.

2.
3.
4.

Karakteristik
Perusahaan jasa sub sektor
transportasi yang terdaftar di BEI
selama 2011-2015
Tidak menerbitkan annual report
selama 5 tahun pengamatan secara
berturut-turut
Tidak menggunakan mata uang rupiah
dalam pelaporannya
Tidak menyajikan informasi keuangan
yang dibutuhkan selama periode
2011-2015
Jumlah perusahaan yang masuk
sebagai sampel

25

Jumlah
33

(16)
0
0
17

Berdasarkan kriteria tersebut maka jumlah sampel yang digunakan dalam


penelitian ini adalah 17 perusahaan jasa sub sektor transportasi. Sampel dalam
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.2
Daftar Sampel Nama Perusahaan Jasa Sub Sektor Transportasi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Kode Saham
APOL
ASSA
BBRM
BIRD
BLTA
BULL
CANI
CASS
CPGT
GIAA
HITS
IATA

13.

INDX

14.

KARW

15.
16.
17.
18.

LEAD
LRNA
MBSS
MIRA

19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.

NELY
PTIS
RIGS
SAFE
SDMU
SHIP
SMDR
SOCI
TAXI
TMAS
TPMA
TRAM
WEHA

Nama Perusahaan
Arpeni Pratama Ocean Line Tbk
Adi Sarana Armada Tbk
Pelayaran Nasional Bina Buana Raya Tbk
Blue Bird Tbk
Berlian Laju Tanker Tbk
Buana Listya Tama Tbk
Capitol Nusantara Indonesia Tbk
Cardig Aero Services Tbk
Citra Maharlika Nusantara Corpora Tbk
Garuda Indonesia (Persero) Tbk
Humpuss Intermoda Transportasi Tbk
Indonesia Air Transport & Infrastruktur Tbk
d.h Indonesia Air Transport Tbk
Tanah Laut Tbk
d.h Indoexchange Tbk
ICTSI Jasa Prima Tbk
d.h Maharlika Indonesia Tbk
d.h Karwell Indonesia Tbk
Logindo Samuderamakmur Tbk
Ekasari Lorena Transport Tbk
Mitra Bantera Segara Sejati Tbk
Mitra Internasional Resources Tbk
d.h Mitra Rajasa Tbk
Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk
Indo Straits bk
Rig Tenders Indonesia Tbk
Steady Safe Tbk
Sidomulyo Selaras Tbk
Sillo Maritime Perdana Tbk
Samudera Indonesia Tbk
Soechi Lines Tbk
Express Transindo Utama Tbk
Pelayaran Tempuran Emas Tbk
Trans Power Marine Tbk
Trada Maritime Tbk
Weha Transportasi Indonesia Tbk
d.h Panorama Transportasi Tbk
26

32.
33.

WINS
ZBRA

Wintermar Offshore Marine Tbk


Zebra Nusantara Tbk

Sumber: Bursa Efek Indonesia ( www.idx.co.id )

3.3. Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi. Data yang digunakan
misalnya laporan keuangan perusahaan dan tahunan, peraturan-peraturan, dan
standar-standar yang berlaku.
3.4. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Dalam penelitian ini variabel yang digunakan terdiri dari variabel terikat
(dependent variable), yaitu Manajemen Laba, variabel bebas (independent variable),
yaitu ukuran dan frekuensi pertemuan dewan komisaris, ukuran dan frekuensi
pertemuan komite audit, audit internal, pertemuan audit internal dan komite audit,
ukuran KAP dan variabel kontrol (control variable), yaitu Leverage.
3.4.1. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Dalam
mengukur manajemen laba menggunakan discretionaru accrual. Dalam penelitian
ini discretionary accrual digunakan sebagai proksi karena merupakan komponen
yang dapat dimanipulasi oleh manajer. Discretionary accrual menggunakan
komponen akrual dalam mengatur laba karena komponen akrual tidak memerlukan
bukti kas secara fisik sehingga dalam mempermainkan komponen akrual tidak
disertai kas yang diterima/dikeluarkan. Untuk mengukur DAC, terlebih dahulu akan
mengukur total akrual. Untuk mendapatkan nilai dicretionary accrual dilakukan
dengan menghitung langkah-langkah berikut ini:
a. Menghitung total accrual dengan persamaan:
TAC it = Niit CFOit
Dimana, TAC it = Total akrual

Niit = Laba Bersih


27

CFOit = Arus kas Operasi


b. Menghitung nilai accruals dengan persamaan regresi linear sederhana atau
Ordinary Least Square (OLS) dengan persamaan:
TACit/Ait-1 = 1 (1/Ait-1) + 2 (_Revt - _Rect)/Ait-1 + 3 (PPEt/Ait-1) + e
c. Dengan menggunakan koefisien regresi diatas, nilai non discretionary
accrual (NDA) dapat dihitung dengan rumus :
NDAit = 1 (1/Ait-1) + 2 (_Revt - _Rect)/Ait-1 + 3 (PPEt / Ait-1) + e
d. Selanjutnya discretionary accrual (DA) dapat dihitung sebagai berikut:
DAit = TACit/Ait-1 NDAit
Dimana,
DAit = Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t
NDAit = Non Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t
TACit = Total akrual perusahaan i pada periode ke t
Niit = Laba bersih perusahaan i pada periode ke t
CFOit = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke t
Ait-1 = Total aktiva perusahaan i pada periode ke t-1
_Revt = Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode ke t
PPEt = Aktiva tetap perusahaan pada periode ke t
_Rect = Perubahan piutang perusahaan i pada periode ke t
e = error
3.4.2. Variabel Independen
3.4.2.1. Ukuran Dewan Komisaris
Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah anggota dewan komisaris
perusahaan (Beiner et al, 2003). Dewan komisaris bertanggung jawab dan
berwenang mengawasi tindakan manajemen, dan memberikan nasehat kepada
manajemen jika dipandang perlu oleh dewan komisaris (KNKG, 2004; dalam

28

Ujiyantho, 2007). Ukuran dewan komisaris diukur dengan melihat jumlah anggota
dewan komisaris suatu perusahaan.
3.4.2.2. Frekuensi Dewan Komisaris
Sesuai dengan aturan yang berlaku, frekuensi rapat dewan komisaris adalah
minimal 2 (dua) kali dalam setahun. Variabel ini diukur secara numeral, yaitu dilihat
dari jumlah nominal pertemuan yang dilakukan oleh dewan komisaris selama tahun
berjalan.
3.4.2.3. Ukuran Komite Audit
Berdasarkan Surat Edaran dari Direksi PT. Bursa Efek Jakarta No. SE008/BEJ/12-2001 tanggal 7 Desember 2001 serta Pedoman Pembentukan Komite
Audit menurut Bapepam perihal keanggotaan komite audit, disebutkan bahwa
jumlah anggota komite audit sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, termasuk ketua
komite audit. Variabel ini diukur secara numeral, yaitu dilihat jumlah nominal dari
anggota audit.
3.4.2.4. Frekuensi Pertemuan Komite Audit
Komite audit memiliki pedoman kerja yang dituangkan dalam Pedoman
Komite Audit oleh Bapepam menyebutkan bahwa komite audit wajib mengadakan
pertemuan minimal sebanyak 4 (empat) kali dalam setahun. Variabel ini diukur
secara numeral, yaitu dilihat dari jumlah nominal pertemuan yang dilakukan oleh
komite audit dalam tahun berjalan.
3.4.2.5. Audit Internal
Dalam melaksanakan fungsinya, Aditor Internal melakukan penyelidikan dan
meneliti keefektifan aktivitas perusahaan. Dengan pelaksanaan tersebut maka akan
dapat diketahui apakah berbagai departemen yang ada melaksanakan fungsinya
dengan baik atau tidak. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Audit Internal

29

menjadi suatu alat pengawasan yang penting dalam mengukur dan menilai
keefektifan aktivitas yang ada dalam perusahaan.
3.4.2.6. Pertemuan Audit Internal dan Komite Audit
Dalam surveinya, Kalbers (1992) menyimpulkan bahwa 31% dari responden
menyatakan bahwa auditor internal tidak memiliki pertemuan secara pribadi dengan
Komite Audit. Selain itu, Scarbrough et al. (1998) menemukan bahwa 24% dari
perusahaan yang diwawancarai, audit internal tidak mempunyai akses ke komite
audit. Namun, McHugh dan Raghunandan (1994) menghasilkan bahwa 65% dari
perusahaan yang diwawancarai mengadakan pertemuan dengan Komite Audit.
Pertemuan ini diukur melalui variabel dummy dimana apabila terdapat pertemuan
antara audit internal dengan komite audit maka dinilai 1 dan 0 untuk sebaliknya.
3.4.2.7. Ukuran KAP
Ukuran KAP dilihat dari besar kecilnya perusahaan audit. Sedangkan besar
kecilnya KAP dilihat dari tergabungnya di The Big Four atau Non Big Four . Kantor
akuntan publik besar ini sering disebut dengan the big four. BIG 4 untuk KAP besar
dan Non BIG 4 untuk KAP kecil. Auditor yang termasuk BIG 4 memiliki kualitas
audit yang lebih tinggi karena fokus pada perlindungan reputasi nama. Selain itu,
perusahaan 67 yang menggunakan jasa KAP BIG 4 cenderung lebih dipercaya bila
dibandingkan dengan perusahaan yang menggunakan jasa KAP Non BIG 4.

3.4.3. Variabel Kontrol


3.4.3.2. Leverage
Menurut

Syafrudin

Alwi

(2001:301)Financial

Leverage

merupakan

perbandingan total hutang dengan seluruh dana atau aktiva dalam perusahaan yang

30

disebut leverage factor. Untuk mengukur laverage yaitu dengan membagi total
hutang dengan total aset.
Hasil pengukuran menunjukkan desimal yang terlalu banyak. Diperlukan
transform ln untuk mempersingkat desimal. Hasil yang diperoleh adalah negatif.
Oleh karena itu digunakan transform absolut untuk merubah ke positif.
3.5. Metode Analisis Data
3.5.1. Analisis Deskriptif
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui nilai statistik
variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian. Dengan statistik deskriptif dapat
diketahui nilai rata-rata, minimun, maksimum, dan standar deviasi dari variabelvariabel yang diteliti.
3.5.2. Uji Asumsi Klasik
Pendugaan nilai koefisien regresi dengan metode kuadrat terkecil (OLS) bertujuan
untuk mencapai kondisi yang baik. Untuk mencapai kondisi yang baik, maka
persamaan regresi harus memenuhi asumsi klasik. Sebelum pengujian hipotesis
terlebih dahulu data diuji apakah terdapat kondisi normalitas, multikolonieritas,
autokorelasi dan heteroskedastisitas.
3.5.3. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi,
variabel-variabel independen dan variabel dependen mempunyai distribusi normal
atau mendekati normal (Ghozali, 2006). Salah satu cara untuk melihat normalitas
adalah melihat histogram yang membandingakan antara data observasi dengan
distribusi yang mendekati distribusi normal serta melihat normal probability plot
yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal yang membentuk
garis diagonal.

31

Uji normalitas lainnya yang digunakan adalah uji kolmogorov-smirnov.


Menurut Imam Ghozali (2005), bahwa distribusi data dapat dilihat dengan
membandingkan Z hitung dengan tabel Z tabel dengan kriteria sebagai berikut:
a. Jika nilai probabilitas (kolmogorov Smirnov) > taraf signifikansi 5 % (0,05),
maka distribusi data dikatakan normal .
b. Jika nilai probabilitas (kolmogorov Smirnov) < taraf signifikansi 5 % (0,05),
maka distribusi data dikatakan tidak normal.

3.5.4. Uji Multikolinearitas


Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (Ghozali, 2006). Hal ini dapat
dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan nilai variance inflation factor (VIF)
dengan kriteria sebagai berikut:
1. Jika nilai tolerance > 0,10 atau nilai VIF < 10, berarti tidak terjadi
multikolinearitas.
2. Jika nilai tolerance < 0,10 atau nilai VIF > 10, berarti terjadi
multikolinearitas.
3.5.5. Uji Autokorelasi
Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi linear
ditemukan adanya korelasi antara kesalahan penggangu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Uji autokorelasi dapat dilakukan dengan
uji Durbin-Watson (Ghozali, 2006), dengan kriteria sebagai berikut:
1. Bila nilai DW terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du),
maka koefisien aoutokorelasi = 0, sehingga tidak ada autokorelasi.

32

2. Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl),
maka koefisien autokorelasi > 0, sehingga ada autokorelasi positif.
3. Bila nilai DW lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi < 0,
sehingga ada autokorelasi negatif.
4. Bila nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW
terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
3.5.6. Uji Heteroskedastistas
Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji
heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan uji grafik maupun uji
statistik. Uji grafik dilakukan dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi
variabel terikat (ZPRED) dengan residualnya (SRESID).
3.5.2. Uji Hipotesis
3.5.2.1. Uji Signifikasi (Uji Statistik F)
Uji statistik F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel
independen yang dimasukkan dalam model regresi mempunyai pengaruh secara
bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependen (Ghozali, 2006). Apabila nilai
probabilitas signifikansi < 0.05, maka variabel independen secara bersama-sama
mempengaruhi variabel dependen.
3.5.2.2. Koefisien Determinasi ( R

2
Koefisien determinasi ( R ) digunakan untuk mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien

determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai

yang kecil berarti kemampuan

variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen sangat


33

terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan


hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen.
Nilai

R2

digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan model dalam

menerangkan variabel dependen. Tetapi karena

R2

mengandung kelemahan

mendasar, yaitu adanya bias terhadap jumlah variabel independen yang dimasukkan

ke dalam model, maka penelitian ini menggunakan adjusted

nol dan satu. Jika nilai adjusted

R2

R2

berkisar antara

semakin mendekati satu maka makin baik

kemampuan model tersebut dalam menjelaskan variabel dependen.

3.5.2.3. Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t)


Uji Parsial yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen. Uji t-test ini pada dasarnya untuk menunjukan seberapa
jauh pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam
menerangkan variasi variabel dependen. H0 yang ingin diuji adalah apakah suatu
parameter dalam model sama dengan dengan nol.
> 0,05 : tidak mampu menolak H0 < 0,05 : menolak H0

34

Daftar Pustaka
Alzoubi, E. S. S., & Selamat, M. H. (2012). The Effectiveness of Corporate
Governance
Bapepam. Peraturan Nomor IX.I.5 Tentang Pembentukan dan Pedoman
Pelaksanaan Kerja Komite Audit.
Fama. E.F. & Jensen, M.C. (1983). Separation of Ownership and Control. Journal of
Law and Economics, 26:30-325.
Gay, G. dan R. Simnett. Auditing and Assurance in Australia. Australia:
McGrawHill.
Indriani, Epi. (2011). Akuntansi Untuk Orang Awan & Pemula. Jakarta: Laskar
Aksara.
Jensen, M. C dan Meckling, W.H. (1976). Theory of the Firm : Managerial
Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial
35

Economics. Vol. 3, No. 4, pp. 305-360.


Kuncoro, Mudrajad. (2009). Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi: Bagaimana
Meneliti & Menulis Tesis?. Jakarta: Erlangga.
Mechanisms on Constraining Earning Management: Literature Review and
Proposed Framework. International Journal of Global Business, 5 (1), 17-35.
Putri, Chintya, P.S. 2014. Pengaruh Independensi Dewan Komisaris, Fungsi
Internal Audit, dan Praktik Manajemen Laba Terhadap Fee Audit Pada
Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia. E-Jurnal Akuntansi.
453-467.
Restuningdiah, Nurika. 2011. Komisaris Independen, Komite Audit, Internal Audit
dan Risk Management Committee Terhadap Manajemen Laba. Jurnal
Keuangan dan Perbankan. Vol.15 No. 3: 351-262.
Suaryana, Agung. 2005. Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba.
Simposium Nasional Akuntansi VIII, hal. 147-158.
Sugiyono. 2013. Metodelogi Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Suryana Utama, Made. 2009. Aplikasi Analisis Kuantitatif. Edisi Ketiga. Diklat
Kuliah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
Susiana dan Herawaty. 2007. Analisis Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, serta
Mekanisme Corporate Governance Terhadap Integritas Laporan Keuangan.
Simposium Nasional AkuntansiX. 26-28 Juli.
Sawyer, B Lawrence.et al. 2003. Internal Auditing. The IIA: Salemba Empat.
Bapepam. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50d05fc921304/bapepam-lk
terbitkan-aturan-soal-komite-audit (Diakses Tanggal 05 Oktober 2016).
Jelajah Internet. http://www.jelajahinternet.com/2015/10/4-laporan-keuangan
menurut-para-ahli.html (Diakses Tanggal 02 Oktober 2016).
Wikipedia. Audit Internal . https://id.wikipedia.org/wiki/Audit_internal
(Diakses Tanggal 03 Oktober 2016).
Wikipedia. Dewan Komisaris. https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Komisaris
(Diakses Tanggal 05 Oktober 2016).
36

37

Anda mungkin juga menyukai