Anda di halaman 1dari 26

MANIFESTASI ORAL PASIEN DENGAN HIPERTENSI DAN

DIABETES MELITUS
1. Diabetes Mellitus
1.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit
metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai
organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2010).
Diabetes

Mellitus

adalah

sindrom

klinis

yang

ditandai

dengan

hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya


hormon insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel B pankreas mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan.
Kadar glukosa darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara
metabolisme. Hati sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan
glukosa sebagai glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika
dibutuhkan (Biswas, 2006)
1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Klasifikasi diabetes mellitus menurut American
Diabetes Association 2010 (ADA 2010) antara lain :
1. Diabetes Mellitus tipe 1
DM tipe 1 adalah kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme glukosa
yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini diakibatkan oleh
kerusakan sel- pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik
sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.
2. Diabetes Mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai


oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel pancreas
dan gangguan fungsi insulin (resistensi insulin).
3. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional adalah hanya terjadi selama kehamilan dan
dapat pulih setelah melahirkan. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari
intoleransi glukosa yang terjadi pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. Diabetes mellitus gestasional dapat merusak
kesehatan janin dan ibu. Resiko yang dialami ibu adalah pre eklamsia dan
peningkatan resiko kelahiran secara sactio cesaria. Resiko yang dapat dialami
bayi meliputi makrosomia (berat bayi diatas normal), penyakit jantung
bawaan, kelainan sistem saraf, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon
insulin pada janin dapat menghambat produksi surfaktan dan mengakibatkan
sindrom gangguan pernapasan. Pada keadaan yang parah, dapat terjadi
4.

kematian sebelum kelahiran.


Diabetes Mellitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetic fungsi
sel beta, defek genetic kerja insulin, penyakit eksokrin pancreas, penyakit
metabolik endokrin lain, disfungsi pancreas oleh karena obat-obatan, dan
lain-lain.

1.2 Penegakan Diagnosa Diabetes Melitus


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut
di bawah ini.
Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Gejala kalsik DM + Glukosa plasma puasa 126 mg/dL
Puasa di artikan pasien ak mendapat kalori tambahan seikitnya 8 jam
3. Jika keluhan klasik tidak ditemukan, maka dilakukan tes TTGO. Kadar
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL. Kadar glukosa plasma
puasa 126 mg/dL, maka tergolong diabetes militus.
Cara Pelakanaan TTGO (WHO, 1994)
a. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiaaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pmeriksaaan, minu air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
c. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu
5 menit
d. Berpuasa

kembali

sampai

pengambilan

sampel

darah

untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai


e. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
f. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil
yang diperoleh.
TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199
mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).
GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5.6 6.9
mmol/L)

Gambar 1. Gambaran Langkah Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan


Toleransi Glukosa (Perkeni, 2011)
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
DM namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT maupun GDPT, sehingga
dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga
disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM.
Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan

penyaring ditemukan hasil positif, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan


pemeriksaan glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)
standar (Perkeni, 2011).
1.3 Patogenesis Diabetes Mellitus
1.3.1. Diabetes Mellitus Tipe 1
DM tipe 1 berhubungan dengan kerusakan autoimun dari sel pankreas.
Didalam kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel Langerhans, yaitu sel , sel
dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi glukagon,
sedangkan sel-sel memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, reaksi
autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel . Kerusakan dari sel-sel
pancreas

mengakibatkan

defisiensi

sekresi

insulin.

Defisiensi

insulin

menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari
lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam
darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti
misalnya di jaringan otot rangka, dan menurunkan penggunaan glukosa oleh
tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan sekresi dari beberapa gen yang
diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen
glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor
glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adipose (Ozougwu et al,
2013; Shahab, 2006).
Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita
DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan
sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel . Secara normal, kondisi
hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM
Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan
hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi
dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis
diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi
somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan
terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang
pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi

glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan


timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1
yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi sekresi insulin
merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak
dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk
merespons terapi insulin yang diberikan (Ozougwu et al, 2013; Shahab, 2006).
1.3.2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai
90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anakanak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang
belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh
lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain
obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang aktifitas (Shahab, 2006).
Secara patofisiologi, DM tipe 2 disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan
respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi
insulin, dan (2) Penurunan kemampuan sel pankreas untuk mensekresi insulin
sebagai respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar DM tipe 2 diawali dengan
kegemukan karena kelebihan makan. Sebagai kompensasi, sel pankreas
merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin
meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan
reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan
menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hal ini membawa dampak
pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya
resistensi

insulin.

Kondisi

hiperinsulinemia

juga

dapat

mengakibatkan

desensitisasi reseptor insulin pada tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasi


kinase reseptor, translokasi glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase.
Kejadian ini juga dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin (Unger dan
Foster, 1992; Lawrence, 1994; Kahn, 1995).

Pada tahap awal terjadinya DM tipe 2, terjadi peningkatan kadar glukosa


plasma dibanding normal dan diiringi dengan sekresi insulin yang berlebihan
(hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi defek pada reseptor
maupun postreseptor insulin. Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi
glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan
kadar gula darah (hiperglikemik). Seiring dengan kejadian tersebut, sel pankreas
mengalami adaptasi diri sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi
kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin. Pada
DM tipe 2 akhir, telah terjadi penurunan kadar insulin plasma akibat penurunan
kemampuan sel pankreas untuk mensekresi insulin, dan diiringi dengan
peningkatan kadar glukosa plasma dibandingkan normal. Pada penderita DM tipe
2, pemberian obat-obat oral antidiabetes sulfonilurea masih dapat merangsang
kemampuan sel Langerhans pankreas untuk mensekresi insulin (Unger dan
Foster, 1992; Lawrence, 1994; Kahn, 1995).
Berikut ini perbedaan antara DM Tipe 1 dan DM Tipe 2:
DM Tipe 1
Mula muncul

DM Tipe 2

Umumnya masa kanak- Pada usia tua, umumnya >


kanak

dan

remaja, 40 tahun

walaupun ada juga pada


masa dewasa < 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat

Ringan

diagnosis
Kadar insulin darah

Rendah, tak ada

Cukup tinggi, normal

Berat badan

Biasanya kurus

Gemuk atau normal

Pengelolaan

yang Terapi

disarankan
2. Hipertensi
2.1. Definisi Hipertensi

olahraga

insulin,

diet, Diet,

olahraga,

glikemik oral

hipo-

Hipertensi atau sering disebut dengan tekanan darah tinggi termasuk salah
satu penyakit pembuluh darah (vascular disease). Definisi hipertensi menurut
Ganong (2010), Guyton (2014), WHO (2013) and JNC VIII adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan tekanan darah didalam arteri diatas 140/90 mmHg
pada orang dewasa dengan sedikitnya tiga kali pengukuran secara berurutan.
Pengukuran tekanan darah dilakukan sesuai dengan standar BSH (British
Society of Hypertension) secara manual dengan menggunakan alat yang disebut
sphygmomanometer air raksa. Selain itu, pengukuran tekanan darah juga bisa
dilakukan dengan menggunakan tensimeter digital yang telah dikalibrasi. Kedua
alat tersebut mengukur tekanan darah yang dinyatakan dalam satuan mmHg.
Tekanan darah dapat diukur setelah pasien duduk tenang selama 5 menit. Pada
saat pemeriksaan lengan disangga dan tensimeter diletakkan setinggi jantung.
Manset yang dipakai harus disesuaikan sedikitnya melingkari 80% lengan atas
(Dharmeizar, 2012).
Pada pemeriksaan tekanan darah yang diukur adalah tekanan darah sistolik
dan diastolik. Tekanan Darah Sistolik (TDS) yaitu tekanan ketika jantung
berkontraksi dan memompa darah. Sedangkan tekanan diastolik yaitu tekanan
ketika jantung relaksasi dan darah masuk kedalam jantung (Dharmeizar, 2012).
2.2 Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi
hipertensi primer (hipertensi esensial) dan hipertensi sekunder. Hampir lebih dari
90-95% kasus hipertensi merupakan hipertensi primer. Hipertensi primer adalah
hipertensi dengan penyebab yang tidak diketahui (Guyton & Hall, 2014). Belum
ada teori yang jelas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Namun,
faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer.
Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang
monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi
essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi
keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi genetik yang

merubah ekskresi kalikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron,


steroid adrenal, dan angiotensinogen.
Selanjutnya, dikatakan hipertensi sekunder jika terjadinya hipertensi
disebabkan oleh penyakit lain. Hanya sekitar 5-10% kasus hipertensi merupakan
sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Banyak penyebab hipertensi sekunder baik endogen maupun
eksogen. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obatobat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi
atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab
sekunder

dapat

diidentifikasi,

maka

dengan

menghentikan

obat

yang

bersangkutanatau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya


sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.
Disamping itu, terdapat klasifikasi hipertensi menurut JNC VIII (The
Eighth Joint National Committee) yang didasarkan pada rata-rata pengukuran dua
tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis untuk pasien
dewasa (umur 18 tahun). Klasifikasi tekanan darah tersebut mencakup empat
kategori dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan
tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai
kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien yang tekanan darahnya
cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang.
Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC
VIII Klasifikasi

Tekanan

Sistolik Tekanan Diastolik (mmHg)

(mmHg)
Normal
< 120
< 80
Pre Hipertensi
120 - 139
80 89
Stadium I
140 - 159
90 99
Stadium II
160
100
Sumber : National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI), 2013
Gambaran Klinis

Sebagian besar hipertensi terjadi tanpa disertai tanda dan gejala yang pasti.
Kadang-kadang nyeri kepala, pusing, rasa lelah dianggap sebagai gejala non
spesifik dari hipertensi. Namun demikian, gejala-gejala tersebut tidak jarang juga
terjadi pada orang dengan tekanan darah normal (normotensi) (Ganong, 2010).
Ketidakpastian tanda dan gejala menyebabkan hipertensi diketahui saat
pemeriksaan screening rutin atau ketika penderita memeriksakan komplikasinya.
Komplikasi hipertensi berpotensi mematikan, meliputi infark miokard, gagal
jantung kongestif, stroke trombotik dan hemoragik, gagal ginjal dan ensefalopati
hipertensif. Oleh sebab itu, hipertensi mendapat sebutan The Silent Killer
(Ganong, 2010).
2.3 Patogenesis Hipertensi
Patogenesis hipertensi sangat kompleks dan multifaktorial. Faktor-faktor tersebut
meliputi peningkatan resistensi vaskular perifer, peningkatan curah jantung,
peningkatan volume darah, peningkatan kekentalan/viskositas darah stimulasi hormon
dan neural serta elastisitas pembuluh darah (Ganong, 2010)
Mekanisme dasar hipertensi ditentukan oleh curah jantung (cardiac output) dan
tahanan vaskular perifer (peripheral vascular resistance). Hipertensi terjadi jika curah
jantung dan tahanan vaskuler perifer meningkat. Curah jantung ditentukan oleh dua
faktor yaitu arus balik vena (venous return) dan kontraksi otot jantung. Sedangkan
tahanan vaskuler perifer ditentukan oleh aktivitas vasokonstriktor dan vasodilator.
Pada hipertensi kronis dapat terjadi hipertrofi vaskuler yang akan mempengaruhi
tahanan vaskuler (Purnomo, 2007).

2.4 Klasifikasi Obat Anti hipertensi


Obat-obat anti hipertensi yang biasa digunakan dapat diklasifikasikan
dalam beberapa golongan, antara lain:
2.4.1

Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga


menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik
juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek
ini diduga akibat penurunan natrium diruang interstisial dan didalam sel otot polos
pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium (Gunawan, 2007).
2.4.2

Golongan Tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain

hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki


gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon). Obat golongan ini bekerja
dengan menghambat transport bersama Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga
ekskresi Na+ dan Cl- meningkat. (Gunawan, 2007).
Yang termasuk kedalam golongan Tiazid adalah:
1. Hidroklorotiazid (HCT), merupakan prototype golongan tiazid dan dianjurkan
untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang dan dalam kombinasi
dengan berbagai hipertensi lain.
2. Indapamid, memiliki kelebihan karena masih efektif pada pasien gangguan
fungsi ginjal, bersifat netral pada metabolisme lemak dan efektif meregresi
hipertrofi ventrikel.
Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi hipertensi.
Berbagai penelitian besar membuktikan bahwa diuretik terbukti paling efektif
dalam menurunkan risiko kardiovaskular (Gunawan, 2007).
2.4.3

Diuretik Kuat ( Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)


Diuretik kuat bekerja dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-

dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Termasuk dalam golongan diuretik

kuat antara lain furosemid, bumetanid, dan asam etakrinat. (Gunawan, 2007).
Diuretik, terutama golongan thiazid, adalah obat lini pertama untuk
kebanyakan pasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan
untuk mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan.
Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: thiazid, loop,
agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron (Saseen dan Maclaughlin, 2008).
Diuretik bekerja meningkatakan eskresi natrium, air dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Selain mekanisme tersebut,
beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek
hipotensi. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstitial dan di
dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks
kalsium (Nafrialdi, 2007).
2.4.4

Diuretik Hemat Kalium


Amilorid, triamteren, dan spironolakton merupakan diuretik lemah.

Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah


hipokalemia (Gunawan, 2007).
Efek samping yang sering dijumpai akibat penggunaan obat golongan
diuretik ini seperti demam, sakit tenggorokan, rasa lelah, keram otot, dan pusing.
Beberapa individu juga mengeluhkan adanya ruam pada kulit, dan detak jantung
yang abnormal. Efek samping obat golongan diuretik terhadap rongga mulut
sendiri yaitu dapat menyebabkan xerostomia, reaksi likenoid, hilangnya
pengecapan (dysgeusia), angioedema dan eritema multiforme (Abdollahi et al,
2003).
2.4.5

Penghambat Adrenoreseptor Beta (-blocker)


-blocker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan

sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (khususnya

sesudah infark miokard akut). -blocker lebih efektif pada pasien muda dan
kurang efektif pada pasien usia lanjut.
Beberapa jenis -blocker
1. Kardioselektif
Yang termasuk jenis kardioselektif seperti acetabutol, atenolol, betaxolol,
bisoprolol, metaprolol biasa, dan metaprolol lepas hambat.
2. Nonselektif
Yang termasuk jenis non selektif yaitu nadolol, cartelol, labetalol,
penbutolol, timolol, propanolol, dan pindolol.
Obat golongan -blocker dapat menyebabkan efek samping berupa
hipotensi ortostatik, retensi cairan pada tubuh, bradikardia, blokade AV, hambatan
nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Oleh karena itu obat
golongan ini dikontraindikasikan pada keadaan bradikardia. Efek sentral berupa
depresi dan halusinasi dapat terjadi pada pemakaian obat jenis labetalol dan
karvedilol. Efek samping obat golongan -blocker terhadap rongga mulut yaitu
angioedema.
2.4.6

Calcium Channel Blockers (Antagonis Kalsium)


Calcium Channel Blockers menghambat influks kalsium pada otot polos

pembuluh darah dan miokard. Calcium channel blockers dibagi kedalam dua
golongan:
1. Hidropiridin
Nifedipine, nikardipin, isradipine, felodipine dan amlodipine termasuk
dalam golongan ini. Bekerja dengan cara menurunkan resistensi perifer tanpa

penurunan fungsi jantung yang berarti dan relatif aman dalam kombinasi dengan
-blocker.
2. Non-Hidropiridin
Verapamil dan diltiazem termasuk dalam golongan ini. Efek samping
akibat penggunaan obat golongan antagonis kalsium adalah hipotensi, iskemia
miokard, sakit kepala, muka merah yang terjadi karena vasodilatasi arteri
meningeal, edema perifer dan gagal ginjal kongestif. Sementara efek sampingnya
pada rongga mulut yaitu terjadinya pembesaran gingiva (gingival enlargement),
xerostomia ,dysgeusia, ulser, angioedema, dan reaksi likenoid.
2.4.7

Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE- Inhibitor)


Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama ditemukan dan banyak

digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Secara umum
ACE-inhibitor dibedakan atas dua kelompok:
a. Yang bekerja langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril.
b. Prodrug, contohnya enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril,
benazapril, dan fosinopril.
ACEI merupakan obat lini pertama untuk hipertensi. ACEI bekerja dengan
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin
II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron. ACEI
juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang
menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin.
Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACEI,
tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek samping batuk kering yang sering
dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara efektif mencegah dan meregresi
hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi perangsangan langsung oleh
angiotensin II pada sel miokardial (Saseen dan Maclaughlin, 2008).

ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun berat.


Bahkan beberapa diantaranya dapat digunakan pada krisis hipertensi seperti
kaptopril dan enalaprilat. Obat ini efektif pada sekitar 70% pasien. Kombinasi
dengan diuretik memberikan efek sinergetik (sekitar 85% pasien tekanan darahnya
terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek hipokalemia dapat dicegah.
Efek samping pada tubuh yang dapat akibat penggunaan obat golongan ini
adalah hipotensi, batuk kering, dan hiperkalemia. Hipotensi dapat terjadi pada
awal pemberian ACE-inhibitor, terutama pada hipertensi dengan aktivitas rennin
yang tinggi. Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi
dengan insidens 5-20%, lebih sering pada wanita dan lebih sering terjadi pada
malam hari. Sedangkan hiperkalemia terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal atau pada pasien yang juga mendapat diuretic hemat kalium, atau -blocker.
Sedangkan efek sampingnya pada rongga mulut berupa angioedema, ulser,
hilangnya pengecapan, xerostomia, dan reaksi likenoid.
2.4.8

Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin receptor blocker,


ARBs)
Golongan ini merupakan alternatif bagi pasien yang tidak toleran terhadap

ACE-inhibitor. Walaupun ARBs menimbulkan efek yang mirip dengan pemberian


ACE-inhibitor, tetapi karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka
obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk kering dan angioedema
seperti yang sering terjadi dengan ACE-inhibitor.
Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS
(Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE, dan jalan
alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACEI hanya
menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui RAAS, ARB
menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena perbedaam ini,
ACEI hanya menghambat sebagian dari efek angiotensinogen II (Saseen dan

Maclaughlin, 2008) Yang termasuk golongan ARBs, contohnya candesartan,


losartan, valsartan, irbesartan, dan telmisartan.
Hipotensi dan Hiperkalemia ada dilaporka sebagai efek samping akibat
pemakaian obat golongan ini. Sementara itu, manifestasinya di rongga mulut
berupa xerostomia dan angioedema.
3

Manifestasi Oral Akibat Penggunaan Obat Antihipertensi

1. Manifestasi Oral Akibat Diabetes Mellitus dan Penggunaan Obat


Antihipertensi
a. Diabetes Mellitus
i. Xerostomia (Mulut Kering)
Diabetes yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva (air
liur), sehingga mulut terasa kering. Saliva memiliki efek self-cleansing, di mana
alirannya dapat berfungsi sebagai pembilas sisa-sisa makanan dan kotoran dari
dalam mulut. Jadi bila aliran saliva menurun maka akan menyebabkan timbulnya
rasa tak nyaman, lebih rentan untuk terjadinya ulserasi (luka), lubang gigi, dan
bisa menjadi ladang subur bagi bakteri untuk tumbuh dan
berkembang. Berdasarkan literatur yang saya dapatkan bahwa pada penderita
diabetes salah satu tandanya adalah Poliuria, dimana penderita banyak buang air
kecil sehingga cairan di dalam tubuh berkurang yang dapat mengakibatkan jumlah
saliva berkurang dan mulut terasa kering, sehingga disarankan pada penderita
untuk mengkonsumsi buah yang asam sehingga dapat merangsang kelenjar air liur
untuk mengeluarkan air liur.
ii. Gingivitis dan Periodontitis
Periodontitis ialah radang pada jaringan pendukung gigi (gusi dan tulang).
Selain merusak sel darah putih, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya
pembuluh darah sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh.
Lambatnya aliran darah ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi

infeksi, Sedangkan periodontitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


bakteri. Dan hal ini menjadi lebih berat dikarenakan infeksi bakteri pada penderita
Diabetes lebih berat. Ada banyak faktor yang menjadi pencetus atau yang
memperberat periodontitis, di antaranya akumulasi plak, kalkulus (karang gigi),
dan faktor sistemik atau kondisi tubuh secara umum. Rusaknya jaringan
Periodontal membuat gusi tidak lagi melekat ke gigi, tulang menjadi rusak, dan
lama kelamaan gigi menjadi goyang. Angka kasus penyakit periodontal di
masyarakat cukup tinggi meski banyak yang tidak menyadarinya, dan penyakit ini
merupakan penyebab utama hilangnya gigi pada orang dewasa. Dari seluruh
komplikasi Diabetes Melitus, Periodontitis merupakan komplikasi nomor enam
terbesar di antara berbagai macam penyakit dan Diabetes Melitus adalah
komplikasi nomor satu terbesar khusus di rongga mulut. Hampir sekitar 80%
pasien Diabetes Melitus gusinya bermasalah. Tanda-tanda periodontitis antara lain
pasien mengeluh gusinya mudah berdarah, warna gusi menjadi mengkilat, tekstur
kulit jeruknya (stippling) hilang, kantong gusi menjadi dalam, dan ada kerusakan
tulang di sekitar gigi, pasien mengeluh giginya goyah sehingga mudah lepas.
Menurut teori yang saya dapatkan hal tersebut diakibatkan berkurangnya jumlah
air liur, sehingga terjadi penumpukan sisa makanan

yang melekat pada

permukaan gigi dan mengakibatkan gusi menjadi infeksi dan mudah berdarah.
iii. Stomatitis Apthosa (Sariawan)
Meski sariawan biasa dialami oleh banyak orang, namun penyakit ini bisa
menyebabkan komplikasi parah jika dialami oleh penderita diabetes. Penderita
Diabetes sangat rentan terkena infeksi jamur dalam mulut dan lidah yang
kemudian menimbulkan penyakit sejenis sariawan. Sariawan ini disebabkan oleh
jamur yang berkembang seiring naiknya tingkat gula dalam darah dan air liur
penderita diabetes.
iv. Rasa mulut terbakar

Penderita diabetes biasanya mengeluh tentang terasa terbakar atau mati


rasa pada mulutnya. Biasanya, penderita diabetes juga dapat mengalami mati rasa
pada bagian wajah.
v. Candidiasis
Penderita diabetes yang sering mengkonsumsi antibiotik untuk memerangi
infeksi sangat rentan mengalami infeksi jamur pada mulut dan lidah. Apalagi
penderita diabetes yang merokok, risiko terjadinya infeksi jamur jauh lebih besar.
Oral thrush atau oral candida adalah infeksi di dalam mulut yang disebabkan oleh
jamur, sejumlah kecil jamur candida ada di dalam mulut. Pada penderita Diabetes
Melites

kronis dimana tubuh rentan terhadap infeksi sehingga sering

menggunakan antibiotik dapat mengganggu keseimbangan kuman di dalam mulut


yang mengakibatkan jamur candida berkembang tidak terkontrol sehingga
menyebabkan thrush.
vi. Dental Caries (Karies Gigi)
Diabetes

Mellitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi kenaikan

terjadinya dan jumlah dari karies. Keadaan tersebut diperkirakan karena pada
diabetes aliran cairan darah mengandung banyak glukosa yang berperan sebagai
substrat kariogenik. Karies gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4 faktor yaitu
gigi, substrat , kuman dan waktu. Pada penderita Diabetes Melitus telah diketahui
bahwa jumlah air liur berkurang sehingga makanan melekat pada permukaan gigi,
dan bila yang melekat adalah makanan dari golongan karbohidrat bercampur
dengan kuman yang ada pada permukaan gigi dan tidak langsung dibersihkan
dapat mengakibatkan keasaman didalam mulut menurun, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya lubang atau caries gigi.
b.

Pengaruh Obat Hipertensi

Xerostomia

Xerostomia atau mulut kering merupakan keadaan rongga mulut yang


paling banyak dikeluhkan. Keadaan ini umumnya berhubungan dengan
berkurangnya aliran saliva, namun adakalanya jumlah atau aliran saliva normal
tetapi seseorang tetap mengeluh mulutnya kering.
Xerostomia bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari
berbagai kondisi medis. Banyak faktor yang dapat menyebabkan mulut kering,
seperti radiasi pada daerah leher dan kepala, kemoterapi, Sjogren sindrom,
penyakit-penyakit sistemik, dehidrasi, efek samping obat-obatan, stress dan juga
usia.
Obat-obatan adalah penyebab paling umum berkurangnya saliva, dan obat
antihipertensi termasuk kedalam golongan obat yang dapat menyebabkan efek
samping berupa xerostomia.
Obat-obatan tersebut mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi
sistem syaraf autonom atau dengan secara langsung beraksi pada proses seluler
yang diperlukan untuk saliva. Obat-obatan juga dapat secara tidak langsung
mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau
dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar.
Ulser
Ulser pada mukosa mulut, terasa sakit, tanpa ada tanda-tanda sistemik dan
tidak diketahui dengan pasti penyebabnya.Tidak ada teori yang seragam tentang
adanya immunopatogenesis dari ulser . Salah satu penelitian mengungkapkan
bahwa adanya respon imun yang diperantarai sel secara berlebihan pada pasien
sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi
sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak
diketahui.

Gambar 1. Ulser
Reaksi Likenoid
Pemakaian obat-obatan dapat menjadi penyebab terjadinya reaksi likenoid.
Secara klinis, sering terdapat sedikit sekali tanda-tanda untuk membedakan reaksi
likenoid yang ditimbulkan akibat obat-obatan dengan liken planus. Etiologi
likenoid diyakini berasal dari respon immune abnormal yang diperantarai sel-T
dalam sel-sel epitel basal yang dikenali sebagai benda-benda asing karena adanya
antigenitas permukaan selnya. Penyebab rusaknya sel basal yang diperantarai
immun ini tidak diketahui. Karena itu, tidak diketahui apakah reaksi likenoid
mewakili suatu proses penyakit tunggal atau berkaitan dengan penyakit yang
memiliki penampilan klinis yang sama.
Pada lesi likenoid terdapat white striae atau papula seperti liken planus,
lesi dapat terlihat ulseratif dengan adanya rasa peka terhadap rasa sakit serta
lokasi yang paling sering adalah mukosa bukal dan gingival cekat, namun daerah
lain dapat dikenai.Reaksi likenoid dapat bersifat unilateral.

Gambar 2. Reaksi Likenoid pada mukosa bukal


Gingival Enlargement ( Pembesaran Gingiva)
Salah satu efek samping obat-obatan pada jaringan periodonsium yang
paling sering adalah pembesaran gingiva atau juga dikenal dengan hiperplasia
gingiva.Beberapa penyebab dari hiperplasia gingiva tidak diketahui, namun yang
paling banyak diketahui bahwa hal ini disebabkan karena penggunaan obat-obatan
termasuk obat antihipertensi. Pembesaran ukuran dari gingiva diperparah dengan
buruknya oral hygiene seseorang. Patogenesis terjadinya pembesaran gingiva
yang disebabkan oleh obat-obatan ini sebagai akibat dari terjadinya peningkatan
sintesa/produksi kolagen oleh fibroblast gingiva, pengurangan degradasi kolagen
akibat diproduksinya enzim kolagenase yang inaktif dan pertambahan matriks
non-kolagen, sebagai contoh glikosaminoglikans dan proteoglikans, dalam jumlah
yang lebih banyak dari matriks kolagen.

Gambar 3. Gingival Enlargement6

Eritema Multiform (EM)


Merupakan penyakit kulit dan membrana mukosa dengan tanda-tanda
klinis yang luas, gangguan inflamasi akut, sering berulang dan merupakan reaksi
hipersensitifitas yang berdampak pada jaringan mukokutaneus yang dapat
menyebabkan beberapa jenis lesi kulit, maka dinamakan multiforme.Pada mulut
terlihat peradangan yang luas, dengan pembentukan vesikel kecil serta erosi yang
luas dengan dasar yang berwarna merah. Dapat terjadi pada bibir dan terbentuk
ulser yang luas.Berdasarkan banyaknya mukosa yang terlibat EM terbagi atas 2
tipe yaitu tipe minor dan tipe mayor.1. Eritema multiform minor Terjadi hanya
pada satu daerah saja. Dapat mengenai mulut saja, kulit atau mukosa lainnya. 2.
Eritema multiform mayor Tipe ini juga dikenal dengan istilah Steven-Johnson
syndrome. Dimana hampir seluruh mukosa mulut terlibat dan juga dapat mengenai
mata, laring, esophagus, kulit, dan genital. Eritema multiform yang dipicu oleh
obat-obat antihipertensi terjadi sebagai reaksi hipersensitifitas imunitas dari tubuh
ditandai dengan hadirnya sel-sel efektor sitotoksik dan CD8limfosit T pada epitel
yang menyebabkan apoptosis dari keratinosit sehingga sel menjadi nekrosis.

Gambar 4. Eritema Multiforme


Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan pada lapisan dermis, jaringan
subkutaneus atau submukosa yang mempengaruhi setiap bagian tubuh terutama
kelopak mata, bibir, lidah, dan bahkan jaringan dari dasar mulut yang dapat

menyebabkan terbentuknya edema laryngeal.Terdapat perbedaan warna antara


jaringan yang terlibat dengan jaringan sekitarnya atau seperti eritematus.Karena
sering terjadi pada leher dan kepala, maka pasien sering terlihat dengan wajah,
bibir, dan kelopak mata yang bengkak. Angioedema sebagai manifestasi dari
pemakaian obat-obatan digolongkan sebagai angioedema yang bukan disebabkan
karena reaksi alergi karena tidak ada keterlibatan IgE dan histamine dalam hal ini.
Melainkan terjadi karena meningkatnya kadar dari bradikinin atau berubahnya
fungsi dari C1 inhibitor.
Angioedema sebagai manifestasi dari pemakaian obat-obatan digolongkan
sebagai angioedema yang bukan disebabkan karena reaksi alergi karena tidak ada
keterlibatan IgE dan histamine dalam hal ini. Melainkan terjadi karena
meningkatnya kadar dari bradikinin atau berubahnya fungsi dari C1 inhibitor.

Gambar 5. Angioedema
Sindroma Mulut Terbakar (SMT)
SMT didefenisikan sebagai gejala dan karakteristik rasa sakit dan rasa
terbakar pada salah satu atau beberapa struktur rongga mulut dengan atau tanpa
adanya perubahan klinis di rongga mulut. Beberapa penyakit pada mukosa oral
yang mempunyai gejala seperti rasa sakit atau rasa terbakar adalah virus herpes
simplex, liken planus, stomatitis, kandidiasis, dan xerostomia.
Gangguan ini ditandai dengan adanya rasa terbakar atau rasa gatal pada
ujung dan lateral lidah, bibir, dan palatum anterior, dan terkadang dikaitkan

dengan perubahan pengecapan dan mulut kering. Manifestasi SMT biasanya


bilateral namun pada beberapa kasus ada yang unilateral. Sindroma ini pada
umumnya terjadi pada wanita dimana prevalensi yang tinggi terjadi pada wanita
yang sudah menopause.
Klasifikasi dari SMT berdasarkan gejalanya dapat dibagi menjadi 3 tipe
sebagai berikut
1. SMT tipe 1 : Rasa terbakar tidak terjadi pada waktu bangun pagi hari
tetapi akan terasa bila hari telah siang.
2. SMT tipe 2 : Rasa terbakar dirasakan pada pagi hari segera setelah bangun
tidur dan menetap sampai penderita tidur lagi.
3. SMT tipe 3 : Rasa terbakar hilang timbul dan menyerang tempat-tempat yang
tidak umum, seperti dasar mulut dan tenggorokan.
3.8 Dysgeusia (Gangguan Pengecapan)
Dysgeusia adalah suatu keadaan dimana terjadinya gangguan dalam hal
pengecapan dan terkadang disertai gangguan dalam hal penciuman. Dysgeusia
juga dihubungkan dengan ageusia, yaitu hilanganya kemampuan dalam
pengecapan, dan hypogeusia, yaitu menurunnya kemampuan dalam pengecapan.
Dysgeusia dapat disebabkan oleh beberapa hal. Sebagai contoh flu, infeksi sinus,
sakit tenggorokan dapat menyebabkan dysgeusia. Faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan dysgeusia seperti rokok, xerostomia, defisiensi vitamin dan
mineral, depresi, radiasi di daerah leher dan kepala, obat-obatan seperti ACEinhibitor, antibiotik, dan obat-obat kemoterapi. Dysgeusia juga dihubungkan
dengan sindroma mulut terbakar atau glossitis dan kondisi oral lainnya.
Perawatan

dari

dysgeusia

adalah

dengan

menghilangkan

faktor

penyebabnya. Jika dysgeusia terjadi karena kerusakan saraf yang permanen maka
dysgeusia tidak bisa diobati.

DAFTAR PUSTAKA

Aparecida P, AndressaV.B.N, Francisco Guedes Pereira de Alencar Junior, Maria


S.Burning mouth syndrome : a discussion about possible etiological
factors and treatment modalities. Braz J Oral Sci. 2009 ; 8(2) : 62-6
Bakris G.L.High blood pressure. The merk manuals online medical library.2007
Bartels

C.L.,
D.Pharm.Helping
patients
with
dry
mouth.
<http://drymouthpump.com/blog/?p=28> (23 Agustus 2010) Lynch MA,
Brightman VJ, Greenberg MS. 9th ed. Philadelphia: JB Lippincott
Publishing Co. Ltd; 1994. Burket's oral medicine: Diagnosis and
treatment

Daliemunthe, SH. Periodonsia. Departemen Periodonsia Fakultas Kedokteran


Gigi Universitas Sumatera Utara. Medan, 2008 :161
Darby I. Drugs and gingival bleeding. Aust Prescr 2006 ;29 : 154-5
Desjardins
Dough.Normal
Human
Blodd
Pressure
Range.2009.<
http://www.ehow.com/about_5380600_normal-human-bloodpressurerange.html> ( 21 Agustus 2010).
Gan

Sulistia Gunawan.
Baru,2007:341-60

Farmakologi

dan

terapi.Edisi

5.Jakarta:Gaya

Gayford J.J.Penyakit mulut (clinical oral medicine). 2nd ed.Jakarta : Penerbit


buku kedokteran EGC, 1993 :1-8
Hasibuan S. Keluhan mulut kering ditnijau dari faktor penyebab manifestasi dan
penanggulangannya. USU digital library.2002
Ozougwu, JC., Obimba, KC., Belonwu, CD., and Unakalamba, CB. 2013. The
pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus.
Journal of Physiology and Pathophysiology. Vol . 4 ( 4).
Salort C, Maria P.M, Francisco J. Drug-induced burning mouth syndrome : a new
etiological diagnosis. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2008 ; 13(3) : E16770
Scully.Oral and maxillofacial medicine the basis of diagnosis and treatment.
London : Wright, 2004:96-339

Spencer Charles, MBSS,MRCP., Lip Gregory, MD, FRCPE. Hypertension.The


Pharmaceutical Journal 1999;263:351-4
Sugerman P. Oral lichen planus.<www.emedicine.medscape.com/article/
1078327-overview> (24 Agustus 2010).

Torpet LA, Kragelund C, Reibel J, Nauntofte B. Oral adverse drug reactions to


cardiovascular drugs. CRBOM 2004;15 : 28-46
American Diabetes Association. 2010. Diagnosis And Classification Of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care 2011;34:s62-9

Anda mungkin juga menyukai