KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak
dan otak.
(Smeltzer, 2001:2010)
Cedera kepala adalah cedera kepala ( terbuka dan tertutup) yang terjadi
B. ANATOMI FISIOLOGI
TENGKORAK
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang
kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar,
diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat
sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam
membentuk rongga/ fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat lobus frontalis), fosa
tengah (berisi lobus temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa posterior (berisi otak
tengah dan sereblum).
MENINGEN
Adalah selaput yang menutupi otak dan medula spinalis yang berfungsi
sebagai pelindung, meningen terdiri dari:
1. Durameter (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat.
Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah
vena dari otak.
2.
(Ganong, 2002)
OTAK
Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:
a. Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri 3 bagian:
Serebrum atau otak besar terdiri dari 2 bagian hemispherium serebri kanan
dan kiri. Setiap hemispher di bagi dalam 4 lobus yang terdiri dari: lobus
frontal, oksipital, temporal dan parietal, yang masing- masing lobus memiliki
fungsi yang berbeda, yaitu:
Lobus frontalis : Kontrol motorik gerakan volunter, terutama fungsi bicara,
kontrol berbagai emosi, moral, tingkah laku dan etika.
Lobus temporal
mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati
rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan
untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk
menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi
kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya
atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal
dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan
pekerjaan sehari-hari.
2. Kerusakan lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan
pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat
penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis
sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti
tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan
kehilangan gairah seksual.
( Mediastone. Com)
b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menempati fosa serebri posterior
dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aksi yaitu merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggung jawab yang luas terhadap koordinasi dan
gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi
dan mengintegrasikan input sensori.
c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Otak
tengah (midbrain/ ensefalon) menghubungkan pons dan sereblum dengan
hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik sebagai pusat
reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak
tengah dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga
antara medula dengan serebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik. medula
oblongata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat- pusat
otonom yang mengatur fungsi- fungsi vital seperti pernapasan, frekuensi jantung,
pusat muntah, tonus vasomotor, reflek gag, batuk dan bersin.
(Ganong, 2002; Price, 2005)
SARAF- SARAF OTAK:
a. Nervus I (Olfaktorius)
Sifatnya sensorik menyerupai hidung membawa rangsangan aroma (baubauan) dari rongga hidung ke otak. Fungsinya: saraf pembau.
b. Nervus II (Optikus)
Sifatnya sensorik, mensarafi bola mata membawa rangsangan penglihatan ke
otak.
Fungsinya: saraf mata yang serabut-serabut sarafnya keluar dari bukit IV.
c. Nervus III (Okulomotorius)
Sifatnya motorik, mensarafi otot- otot orbital (otot penggerak bola mata).
Fungsinya: sebagai saraf penggerak bola mata.
d. Nervus IV (Troklearis)
Sifatnya motorik, , fungsinya: saraf memutar mata/ sebagai penggerak mata.
e. Nervus V (Trigerminal)
Sifatnya majemuk, fungsinya: sebagai saraf kembar
f. Nervus VI (Abdusen)
Sifatnya motorik, mensarafi otot- otot orbital, fungsinya: sebagai saraf
penggoyang bola mata
g. Nervus VII (Fasialis)
Sifatnya majemuk, serabut- serabut motorisnya mensarafi otot- otot lidah dan
selaput lendir rongga mulut. Fungsinya: sebagai mimik wajah dan
menghantarkan rasa pengecap.
h. Nervus VIII (Auditorius)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari
pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: sebagai saraf pendengar.
i. Nervus IX (Glosofaringeus)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah.
j. Nervus X (Vagus)
Sifatnya majemuk, fungsinya: sebagai saraf perasa.
k. Nervus XI (Assesoris)
Sifatnya motorik, fungsinya: sebagai saraf tambahan.
l. Nervus XII (Hipoglosus)
Sifatnya motoris, mensarafi otot- otot lidah.
(Syaifuddin, 1997)
FISIOLOGI
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan
darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma
intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural)
atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma
epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT Scan atau
MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala
dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia
lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa
jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang
luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami
herniasi.
10
Hematoma subdural
Berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa
terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian
setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang
besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah :
-sakit kepala yang menetap
11
(Mediascom)
C. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI
1. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak,
misalnya tertembak peluru/ benda tajam.
2. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
12
3. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjaan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan
maupun bukan dari pukulan.
4. Kontak benturan ( Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Jatuh
7. Kecelakaan industri
8. Serangan yang disebabkan karena olah raga
9. Perkelahian
(Smeltzer, 2001: 2210; Long, 1996: 203)
D. PATOFISIOLOGI
Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi cedera robekan/ hemoragi, akibatnya akan terjadi
kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area cedera
dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan/ kenaikan salah satu otak
akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada aliran
cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi menggeser dan
mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus meningkat akibatnya
tekanan pada ruang kranium terus menerus meningkat. Maka aliran darah dalam
otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah
perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan
tingkatan yang gawat, yang berdampak adanya vasodilatasi dan edema otak.
13
(Price, 1996)
2. Mobilitas Fisik
Akibat trauma dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan
tubuh, sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu juga dapat
menyebabkan kontrol volunter terhadap gerakan terganggu dalam memenuhi
perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari dan terjadi gangguan tonus otot dan
penampilan postur abnormal, sehingga menyebabkan masalah kerusakan
mobilitas fisik.
14
3. Keseimbangan Cairan
Trauma
kepala
yang
berat
akan
mempunyai
masalah
untuk
(Price,1996)
4. Akivitas menelan
Adanya trauma menyebabkan gangguan area motorik dan sensorik dari
hemisfer cerebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan
pada sisi mulut yang di pengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan geakan
pipi dan.Selain reflek menelan dan batang otak mungkin hiperaktif/menurun
sampai hilang sama sekali.
(Smeltzer, 2001;Price,1996)
5. kemampuan komunikasi
Pada pasien dengan trauma cerebral disertai gangguan komunikasi,
disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada penderita cedera kepala,
kerusakan ini diakibatkan dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan kekacauan
proses bahasa dan gangguan. Bila ada pasien yang telah mengalami trauma pada
area hemisfer cerebral dominan dapat menunjukan kehilangan kemampuan untuk
menggunakan bahasa dalam beberaa hal bahkan mungkin semua bentuk bahasa
sehingga dapat menyebabkan gangguan komunikasi verbal.
(Price,1996)
15
6. Gastrointestinal
Setelah trauma kepala perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang di
temukan, tapi setelah 3 hari pasca trauma terdapat respon yang berbeda dan
merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulasi vagus yang dapat menyebabkan
hiperkardium. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan
kartikosteroid
peningkatan
dalam
menangani
pengeluaran
cedera
katekolamin
cerebral.
dalam
Hiperkardium
menangani
stress
terjadi
yang
(Price,1996)
E. MANIFESTASI KLINIK
1. Cedera kepala ringan
a) Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian
besar pasien mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
b) Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya
berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.
(www. Mediastore)
2. Cedera kepala sedang
a) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau
bahkan koma.
b) Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan
gangguan pergerakan.
(Smetzer, 2001; www. Mediastore)
16
F. KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari cedera
kepala adalah:
1. Peningkatan TIK
2. Iskemia
3. Infark
4. Kerusakan otak irreversibel
5. Kematian
6. Paralisis saraf fokal sepertio anomsia (tidak dapat mencium bau- bauan)
7. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, septikemia)
8. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses
otak)
9. Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi- sendi)
(Smeltzer, 2001; Tucker, 1998)
17
G. PENATALAKSANAAN
1. Dexamethason/kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,dosis sesai
dengan berat ringanya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian anal getik.
4. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% glukosa
40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama
dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
7. Pembedahan
(Smeltzer, 2001; Long, 1996)
18
3. Integritas Ego
Gejala: perubahan tingkah laku / kepribadian (demam),.
Tanda: cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impuksif.
4. Eliminasi
Gejala: inkontinensia kandung kemih
5. Makanan / Cairan
Gejala: mual, muntah dan mengalami penurunan selera makan
Tanda: muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
dan disfagia)
6. Neurosensorik
Gejala: kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, rasa baal pada ekstremitas.
Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotofotobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
Tanda: perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi,
kewaspadaan,
perhatian,
konsentrasi,
pemecahan
masalah,
pengaruh emosi/ tingkah laku dan emosi). Perubahan pupil (respon terhadap
cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti cahaya,
kehilangan pengindraan seperti: pengecapan, penciuman dan pendengaran,
wajah tidak simetris, lemah dan tidak seimbang. Reflek tendon dalam tidak
ada/ lemah, apiaksia, hemiparesis, quadreplagia, postur (dekortikasi
19
20
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT Scan (tanpa/ dengan kontras): mengidentifikasi adanya sol, hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI: sama dengan CT Scan dengan/ tanpa kontras
3. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma.
4. EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
5. Sinar X: mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya frakmen tulang.
6. BAEK (Brain Auditon Euoked Respon): menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
7. PET (Positron
21
12. Kadar anti konvulsan darah: dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
(Doenges,2000; Tucker,1998)
22
Trauma kepala
Trauma pada
jaringan lunak
Trauma kepala
Cidera jaringan otak
Robekan (distorsi)
Hematoma
Rusaknya jaringan /
pembuluh darah
Luka terbuka
Perdarahan
Gangguan
suplai darah
Resiko
infeksi
Jaringan sekitar
tertekan
Peningkatan permeabilitas
kapiler
pe TIK
Vasodilatasi arterial
Iskemik
Edema otak
Perubahan perfusi
jaringan serebral
Hipoksia
Penekanan vaskuler
Nekrosis
Gangguan rasa
nyaman nyeri
Kematian
Rangsangan aktivitas
ke hipotalamus
Merangsang
anferior hipofisis
Gangguan hemisfer
motorik
Hipoksia
jaringan
Hipotalamus terfiksasi
Mengeluarkan
kortukusteroid
Penurunan kesadaran
dan tonus otot
Kesadaran
menurun
pe produksi ADH
& aldesteron
Retensi Na + H2O
Gangguan
keseimbangan
cairan dan
elektrolit
pe asam lambung
Mual, muntah,
anoreksia
Nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh
Gangguan
mobilitas
fisik
Penurunan
kesadaran
Gangguan
persepsi
sensori
Hipoventilasi
- pernafasan
dangkal
- Perubahan
tekanan darah
Kekacauan
pola bahasa
Tidak mampu
menyampaikan kata-kata
Gangguan
komunikasi
verbal
Kerusakan
pertukaran gas
Pola nafas
tidak efektif
Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral
(Doenges, 1999).
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan
neurovaskuler
(Doenges, 1999).
(Carpenito, 2000)
(Engram, 1998)
(Doenges, 1999)
28
J. FOKUS INTERVENSI
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral
(Doenges, 1999)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat kesadaran membaik
KH: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, tanda- tanda vital
(TTV) kembali normal dan tak ada tanda- tanda peningkatan tekanan intra
kranial (TIK)
Intervensi:
a) Tentukan faktor- faktor yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan
otak dan potensial peningkatan TIK.
R: Untuk mengetahui penyebab cedera
b) Pantau status neurologik secara teratur
R: Untuk mengetahui perubahan nilai GCS
c) Pantau TTV
R: Ketidakstabilan TTV mempengaruhi tingkat kesadaran.
d) Pertahankan kepala pada posisi tengah
R: Mengurangi resiko injuri/ nyeri
e) Perhatikan adanya gelisah yang meningkat
R: Adanya gelisah mengidentifikasikan adanya peningkatan TIK
f) Kolab batasi pemberian cairan sesuai indikasi
R: Pembatasan cairan dapat menurunkan edema serebral.
g) Berikan obat sesuai indikasi
R: Dapat menurunkan komplikasi
29
30
Intervensi:
a) Pantau berat badan (BB)
R: Satu liter retensi sama dengan penambahan satu kg berat badan
b) Pantau kecepatan infus
R: Pemberian berlebihan menimbulkan kelebihan cairan
c) Pantau input dan output cairan
R: Kelebihan cairan dapat menimbulkan edema
d) Berikan cairan oral dengan hati- hati
R: Untuk mengatasi edema serebral
e) Kolaborasi pemberian diuresis
R: Untuk menstabilkan cairan
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Berhubungan dengan peningkatan
asam lambung, mual, muntah dan anoreksia (Carpenito, 2000)
Tujuan: Kebutuhan akan nutrisi tidak terganggu
KH: BB meningkat, tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi, nilai
laboratorium
31
d) Tingkatkan kenyamanan
R: Lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan nafsu makan
e) Kolaborasi pemberian makan lewat NGT
R: Makan lewat NGT diperlukan pada awal pemberian
5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan penekanan vaskuler serebral dan edema
otak (Engram, 1998)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang atau hilang
KH: Nyeri berkurang atau hilang, TTV dalam batas normal
Intervensi:
a) Kaji karakteristik nyeri (p,q, r, s, t)
R: Untuk mengetahui letak nyeri dan cara mengatasinya
b) Buat posisi senyaman mungkin
R: Menurunkan tingkat nyeri
c) Pertahankan tirah baring
R: Tirah baring dapat mengurangi pemakaian oksigen jaringan dan menurunkan
resiko meningkatnya TIK
d) Kurangi stimulus yang dapat merangsang nyeri
R: Strees dapat menyebabkan sakit kepala dan menyebabkan kejang
e) Kolaborasi pemberian obat- analgetik
R: Menurunkan rasa nyeri
6. Resiko tinggi infeksi Berhubungan dengan perdarahan serebral (Doenges, 1999)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak ada tanda- tanda infeksi
KH: Tidak terdapat tanda- tanda infeksi dan mencapai penyembuhan luka tepat waktu
32
Intervensi:
a) Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
R: Untuk menurunkan terjadinya infeksi
b) Observasi daerah yang mengalami luka/ kerusakan
R: Deteksi dini terjadinya perkembangan infeksi
c) Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran
R: Suhu yang tinggi dapat mengidentifikasi terjadinya infeksi
d) Kolaborasi pemberian obat anti biotic
R: Menurunkan terjadinya infeksi
e) Kolaborasi pemeriksaan laboritorium
R: Untuk mengetahui adanya resiko infeksi melalui hasil laboratorium darah
7. Gg mobilitas fisik Berhubungan dengan nyeri kepala, pusing dan vertigo (Doenges,
1998).
Tujuan: Mempertahankan posisi yang optimal
KH: Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
Intervensi:
a) Kaji derajat imobilisasi pasien
R: Untuk mengetahui tingkat imobilisasi pasien
b) Ubah posisi pasien secara teratur
R: Perubahan posisi dapat meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh.
c) Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak
R: Mempertahankan mobilisasi
d) Sokong kepala dan badan
33
R: Mempertahankan kenyamanan
8. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan kesadaran (Doenges,
1999).
Tujuan: Kesadaran mulai membaik
KH: Kesadaran mulai membaik dan nilai GCS meningkat.
Intervensi:
a) Kaji kesadaran pasien
R: Untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien
b) Pantau perubahan orientasi klien
R: Fungsi serebral bagian atas biasanya berpengaruh adanya gangguan sirkulasi
c) Catat adanya perubahan spesifik yang terjadi pada pasien
R: Membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami gangguan
d) Berikan stimulasi yang bermanfaat bagi klien
R: Untuk menstimulasi pasien.
9. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan edema otak
(Carpenito, 2000)
Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi
KH: Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan pasien dapat
menunjukkan komunikasi dengan baik
Intervensi:
a) Kaji derajat disfungsi
R: Membantu menentukan daerah/ derajat kerusakan serebral
b) Bedakan antara afasia dengan disastria
34
35