Arteri vertebralis adalah cabang dari arteri subklavia yang masuk rongga
tengkorak melalui foremen magnum. Kedua arteri vertebralis kanan dan kiri nantinya
akan bersatu membentuk arteri basilaris yang terus berjalan sampai setinggi otak tengah
dan bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabangcabang sistem vertebrobasiliaris ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum,
midbrain, dan sebagian diensefalon. Arteri serebri posterior dan cabang-cabangnya
mendarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis, apparatus
koklearis, dan organ-organ vestibular. Arteri karotis interna setelah masuk rongga
tengkorak akan memberi cabang yaitu arteri serebri anterior, arteri serebri media, arteri
komunikans posterior, arteri khoroidea, arteri hipofise superior dan arteri hipofise
inferior. Kedua arteri vertebralis bergabung membentuk arteri basilaris otak belakang
dan arteri ini berhubungan dengan kedua arteri karotis interna yang juga berhubungan
satu dengan lainnya membentuk suatu sirkulus Willisi.
EPIDEMIOLOGI
Migraine dapat terjadi pada 18% dari wanita dan 6% dari pria sepanjang
hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migraine timbul pada
11% masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang. 2 Prevalensi migraine ini
beranekaragam bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Migraine dapat tejadi
dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Migraine lebih sering terjadi pada anak lakilaki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum usia 12 tahun, tetapi lebih sering
ditemukan pada wanita setelah pubertas, yaitu paling sering pada kelompok umur 25-44
tahun. Onset migraine muncul pada usia di bawah 30 tahun pada 80% kasus. Migraine
jarang terjadi setelah usia 40 tahun. Wanita hamil pun tidak luput dari serangan
migraine yang biasanya menyeang pada trimester I kehamilan. Risiko mengalami
migraine semakin besar pada orang yang mempunyai riwayat keluarga penderita
migraine.
ETIOLOGI
Penyebab pasti migraine tidak diketahui, namun 70-80% penderita migraine
memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko terkena
migraine meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita migraine dengan
aura. Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan genetik yang
mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan hubungan antara riwayat migraine
dari pihak ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya pada orang-orang dengan
kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial myopathy, encephalopathy, lactic
acidosis, and strokelike episodes). Pada pasien dengan kelainan genetik CADASIL
(cerebral
autosomal
dominant
arteriopathy
with
subcortical
infarcts
and
Teori vaskular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya migren
dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai denyut
yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang mengalami konstriksi terutama
terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat.
Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial mengalami
vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini akan
menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian,
vasokonstriktor seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala, sedangkan
vasodilator seperti nitrogliserin akan memperburuk sakit kepala.
2.
Sistem vestibular (yang berhubungan dg mabuk darat dan mual karena penyakit
telinga tengah)
Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus
berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.
a.
Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan
distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.
b.
Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap
stimulus kimia.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks
muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema.
Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan
sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract,
mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral
dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus
solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga
merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah
otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang
CTZ
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan
dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman.
Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan
simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna
dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba
yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah.
Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat
dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada
enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini
mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga
dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus,
frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks
muntah.
Mekanisme faktor pencetus nyeri kepala
Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling
awal serangan migren diketemukan adanya penurunan cerebral blood flow(CBF) yang
dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan2 ke depan sebagai seperti suatu
gelombang ("spreading oligemia'; dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3
mm per menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses
hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif
hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi set saraf
menghasilkan gejala scintillating aura, kemudian aktifitas set safar menurun
menimbulkan gejala skotoma. Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical
spreading depression (CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam
duramater, edema neurogenik didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC
(trigeminal nucleus caudalis) ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren tersebut
mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan mencetuskan timbulnya nyeri
kepala. Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada sistem
trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti
peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti
misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzym NOS. Proses
tersebutlah sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada
penderita migren.
Mekanisme faktor pemicu sehingga dapat menimbulkan migren:
Stress : respon seseorang akan stressor dapat bertipe Canon (reaksi emosional,
stimulasi sistem saraf simpatik, stimulasi medula adrenal) atau tipe Seyle (depresi
emosional, stimulasi hipofisis anterior, stimulasi korteks adrenal). Akibat dua
reaksi tersebut dapat timbul perubahan- perubahan pada sistem cardiovaskuler
berupa kelainan irama jantung, perubahan tekanan darah, dilatasi dan konstriksi
pembuluh darah, perubahan korpuskular darah dan perubahan komposisi
biokimiawi dalam darah.
Monosodiun glutamat adalah pemicu migren yang sering dan penyebab dari
sindrom restoran cina yaitu nyeri kepala disertai kecemasan, pusing, parestesia
leher dan tangan, serta nyeri perut dan nyeri dada.
Hormonal : fluktuasi hormonal merupakan faktor pemucu pada 60% wanita, 40%
wanita hanya mendapat serangan haid. Nyeri kepala migren dipicu oleh turunnya
17- kadar estradiol plasma saat akan haid. Serangan migren berkurang selama
kehamilah karena kadar estrogen yang relatif tinggi dan konstan, sebaliknya
minggu pertama postpartum. Pemakaian pil kontrasepsi juga meningkatkan
serangan migren.
cuaca, musim, tekanan udara, ketinggian dari permukaan laut, dan terlambat
makan.
migraine. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan apakah ada penyakit
komorbid yang dapat memperparah sakit kepala dan mempersulit pengobatannya.
2. Pencitraan
CTscan dan MRI dapa dilakukan dengan indikasi tertentu, seperti: pasien baru
pertama kali mengalami sakit kepala, ada perubahan dalam frekuensi serta derajat
keparahan sakit kepala, pasien mengeluh sakit kepala hebat, sakit kepala persisten,
adanya pemeriksaan neurologis abnormal, pasien tidak merespon terhadap pengobatan,
sakit kepala unilateral selalu pada sisi yang sama disertai gejala neurologis kontralateral.
3. Pungsi Lumbal
Indikasinya adalah jika pasien baru pertama kali mengalami sakit kepala, sakit
kepala yang dirasakan adalah yang terburuk sepanjang hidupnya, sakit kepala rekuren,
onset cepat, progresif, kronik, dan sulit disembuhkan. Sebelum dilakukan LP seharusnya
dilakukan CT scan atau MRI terlebih dulu untuk menyingkirkan adanya massa lesi yang
dapat meningkatkan tekanan intracranial.
Tatalaksana
Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas mengurangi faktor resiko,
terapi farmaka dengan memakai obat dan terapi nonfarmaka. Terapi farmaka dibagi atas
dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi preventif (terapi pencegahan),
walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk abortif dan pencegahan.
Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang bertujuan untuk
meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan menghentikan progresivitas.
Pada terapi preventif atau profilaksis migrain terutama bertujuan untuk mengurangi
frekwensi, durasi dan beratnya nyeri kepala.
1.
Kelelahan
Diet
Menghindari makanan tertentu cukup membantu pada 25-30%
penderita migrain. Secara umum, makanan yang harus dihindari
adalah: MSG, beberapa minuman beralkohol (anggur merah, prot,
sherry, scotch, bourbon), keju (Colby, Roquefort, Brie, Gruyere,
cheddar, bleu, mozzarella, Parmesan, Boursault, Romano), coklat, dan
aspartame.
Diet dilakukan selama 1 bulan. Apabila setelah 1 bulan gejala tidak
membaik, berarti modifikasi diet tidak bermanfaat. Apabila makanan
menjadi pencetus gejala, maka jenis makanan tersebut harus
diidentifikasi dengan cara menambahkan satu jenis makanan sampai
gejala
muncul.
Sebaiknya
dibuat
diari
makanan
selama
Terapi Abortif
Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang
dapat diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia
spesifik yang hanya bekerja sebagai analgesia nyeri kepala. Secara umum dapat
dikatakan bahwa terapi memakai analgesia nonspesifik masih dapat menolong
pada migrain dengan intensitas nyeri ringan sampai sedang. Pada kasus sedang
sampai berat atau berespons buruk dengan OAINS pemberian analgesia spesifik
lebih bermanfaat.
Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat diberikan saat
serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal.
Fase prodromal migrain dihubungkan dengan gangguan pada hipotalamus melalui
neurotransmiter dopamin dan serotonin. Pemberian antiemetik akan membantu
Diklofenak.
Ketorolak.
Ketoprofen.
Indometasin.
Ibuprofen.
Naproksen.
Golongan fenamat.
Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang berat. Kombinasi
antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta penambahan kafein
dikatakan dapat menambah efek analgetik, dan dengan dosis masing-masing obat
yang lebih rendah diharapkan akan mengurangi efek samping obat. Mekanisme
kerja OAINS pada umumnya terutama menghambat enzim siklooksigenase
sehingga sintesa prostaglandin dihambat.
Pasien diminta meminum obatnya begitu serangan migrain terasa. Dosis obat
harus adekuat baik secara obat tunggal atau kombinasi. Apabila satu OAINS tidak
efektif dapat dicoba OAINS yang lain. Efek samping pemberian OAINS perlu
dipahami untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada wanita hamil
hindari pemberian OAINS setelah minggu ke 32 kehamilan. Pada migrain anak
dapat diberikan asetaminofen atau ibuprofen.
Analgesik spesifik
Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah ergotamin,
dihidroergotamin (DHE) dan golongan triptan yang merupakan agonis selektif
Sumatriptan 6 mg SC
Rizatriptan 10 mg oral
Eletriptan 80 mg oral
Zolmitriptan 5 mg oral
Eletriptan 40 mg oral
Sumatriptan 20 mg intranasal
Sumatriptan 100mg oral
Rizatriptan 2,5 mg oral
Zolmitriptan 2,5 mg oral
Sumatriptan 50 mg oral
Naratriptan 2,5 mg oral
Eletriptan 20 mg oral
b. Terapi preventif
Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak.
Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut)
atau jangka panjang (kronis). Terapi episodik diberikan apabila faktor pencetus nyeri
kepala dikenal dengan baik sehingga dapat diberikan analgesia sebelumnya. Terapi
preventif jangka pendek berguna apabila pasien akan terkena faktor risiko yang telah
dikenal dalam jangka waktu tertentu seperti pada migrain menstrual. Terapi preventif
kronis akan diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung respons
pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai tiga bulan.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
1. Migraine adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72
jam. Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,
bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea
dan/atau fotofobia dan fonofobia. Migraine secara umum dibagi menjadi 2 yaitu
migraine dengan aura dan tanpa aura.
2. Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas:
Mengurangi faktor resiko.
Terapi farmakologi.
Terapi nonfarmakologi.
Terapi farmako dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan
terapi preventif (terapi pencegahan). Walaupun terapi farmako merupakan terapi
utama migren, terapi nonfarmako tidak bisa dilupakan.
2. SARAN
1. Sebaiknya mahasiswa untuk memahami materi terlebih dahulu sebelum kegiatan
tutorial.
2. Sebaiknya tutor mendorong mahasiswa untuk lebih berfikir kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta :
Media Aesculapius FK UI.
Aru W. Sudoyo, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing.
Bendtsen L. Central sensitization in tension type headache-possible pathophysiological
mechanisms. Cephalalgia 2000;20:486-508
Edvinsson L. Sensory nerves in man and their role in primary headaches. Cephalalgia
2001;21:761-764
Glaser, John A. et all. 2001. Cervical Spinal Cord Compression and the Hoffman Sign. The
Lowa Orthopaedic Journal. 21 : 49-52.
http://www.healthcentral.com/multiple-sclerosis/c/19065/129802/reflex (14 Desember 2012)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29669/4/Chapter%20II.pdf (diakses 16
Desember 2012)
Mardjono, Mahar & Sidharta, Priguna. 1997. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.
Russel MB, Olesen J. 1995. Increased Familial Risk and Evidence of Genetic Factor in
Migraine. BMJ. 311: 541-544.
Sjahrir H, Nasution D, Rambe H. Prevalensi nyeri kepala paroksismal pada mahasiswa
FK.USU Medan. dibacakan di Biennieal Meeting PNPNCh, Surabaya 1978