Anda di halaman 1dari 15

BAB II

DISKUSI DAN PEMBAHASAN


ANATOMI DAN FISIOLOGI
Struktur kepala yang sensitif terhadap nyeri dalam kranium adalah sinus venosus
contohnya sinus sagitalis, arteri meningea media dan anterior, dura pada basal tengkorak,
trigeminal, nervus vagus dan glosofaringeal, arteri carotid interna proksimal dan cabangcabang dekat sirkulus willisi, periaqueductal gray matter batang otak, nukleus sensori
dari thalamus. Thalamus bertindak sebagai pusat sensori yang primitif dimana individu
dapat secara samar merasakan nyari, tekanan, raba, getar, dan suhu yang ekstrim, tetapi
tidak dapat ditentukan tempatnya. Sedangkan parenkim otak sendiri tidak sensitif
terhadap nyeri. Aliran darah yang menuju otak berasal dari dua buah arteri karotis dan
sebagian berasal dari arteri vertebralis.
1. Arteria Karotis
Arteria karotis komunis bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna.
Arteri karotis eksterna mendarahi wajah, tiroid, lidah, dan faring. Cabang dari arteri
karotis eksterna adalah arteri meningea media yang memperdarahi srtuktur-struktur
dalam di daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yang besar ke dura mater. Arteri
karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan menjadi arteri serebri anterior dan media.
Arteri karotis interna juga mempercabangkan arteri oftalmika yang masuk ke dalam
orbita dan mendarahi mata dan isi orbita lainnya, bagian-bagian hidung dan sinus-sinus
udara.
Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis, parietalis,
dan frontalis korteks serebri dan membentuk penyebaran pada permukaan lateral. Arteri
ini merupakan sumber darah utama girus pre-sentralis dan post-sentralis. Korteks
audiotorius, somestetik, motorik, dan pramotorik disuplai oleh arteri ini seperti juga
korteks asosiasi yang berkaitan dengan fungsi integrasi yang lebih tinggi pada lobus
sentralis tersebut.
Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti nukleus
kaudatus dan putamen ganglia basalis, bagian-bagian kapsula interna dan korpus
kalosum, dan bagian-bagian lobus frontalis dan perietalis serebri, termasuk korteks
somestetik dan korteks motorik.
2.Arteri vertebralis

Arteri vertebralis adalah cabang dari arteri subklavia yang masuk rongga
tengkorak melalui foremen magnum. Kedua arteri vertebralis kanan dan kiri nantinya
akan bersatu membentuk arteri basilaris yang terus berjalan sampai setinggi otak tengah
dan bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabangcabang sistem vertebrobasiliaris ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum,
midbrain, dan sebagian diensefalon. Arteri serebri posterior dan cabang-cabangnya
mendarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis, apparatus
koklearis, dan organ-organ vestibular. Arteri karotis interna setelah masuk rongga
tengkorak akan memberi cabang yaitu arteri serebri anterior, arteri serebri media, arteri
komunikans posterior, arteri khoroidea, arteri hipofise superior dan arteri hipofise
inferior. Kedua arteri vertebralis bergabung membentuk arteri basilaris otak belakang
dan arteri ini berhubungan dengan kedua arteri karotis interna yang juga berhubungan
satu dengan lainnya membentuk suatu sirkulus Willisi.
EPIDEMIOLOGI
Migraine dapat terjadi pada 18% dari wanita dan 6% dari pria sepanjang
hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migraine timbul pada
11% masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang. 2 Prevalensi migraine ini
beranekaragam bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Migraine dapat tejadi
dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Migraine lebih sering terjadi pada anak lakilaki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum usia 12 tahun, tetapi lebih sering
ditemukan pada wanita setelah pubertas, yaitu paling sering pada kelompok umur 25-44
tahun. Onset migraine muncul pada usia di bawah 30 tahun pada 80% kasus. Migraine
jarang terjadi setelah usia 40 tahun. Wanita hamil pun tidak luput dari serangan
migraine yang biasanya menyeang pada trimester I kehamilan. Risiko mengalami
migraine semakin besar pada orang yang mempunyai riwayat keluarga penderita
migraine.
ETIOLOGI
Penyebab pasti migraine tidak diketahui, namun 70-80% penderita migraine
memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko terkena
migraine meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita migraine dengan
aura. Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan genetik yang
mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan hubungan antara riwayat migraine

dari pihak ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya pada orang-orang dengan
kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial myopathy, encephalopathy, lactic
acidosis, and strokelike episodes). Pada pasien dengan kelainan genetik CADASIL
(cerebral

autosomal

dominant

arteriopathy

with

subcortical

infarcts

and

leukoencephalopathy) cenderung timbul migrane dengan aura.


KLASIFIKASI
Secara umum migraine dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Migraine dengan aura
Migraine dengan aura disebut juga sebagai migraine klasik. Diawali dengan adanya
gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti oleh nyeri kepala unilateral, mual,
dan kadang muntah, kejadian ini terjadi berurutan

dan manifestasi nyeri kepala

biasanya tidak lebih dari 60 menit yaitu sekitar 5-20 menit.


2. Migraine tanpa aura
Migraine tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit kepalanya hampir
sama dengan migraine dengan aura. Nyerinya pada salah satu bagian sisi kepala dan
bersifat pulsatil dengan disertai mual, fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala
berlangsung selama 4-72 jam.
PATOFISIOLOGI
1.

Teori vaskular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya migren
dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai denyut
yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang mengalami konstriksi terutama
terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat.
Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial mengalami
vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini akan
menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian,
vasokonstriktor seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala, sedangkan
vasodilator seperti nitrogliserin akan memperburuk sakit kepala.

2.

Teori Neurovaskular dan Neurokimia


Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang dianut oleh para
neurologist di dunia. Pada saat serangan migraine terjadi, nervus trigeminus
mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related Peptide) dalam jumlah besar. Hal

inilah yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga


menimbulkan nyeri kepala. CGRP adalah peptida yang tergolong dalam anggota
keluarga calcitonin yang terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin.
Seperti calcitonin, CGRP ada dalam jumlah besar di sel C dari kelenjar tiroid.
Namun CGRP juga terdistribusi luas di dalam sistem saraf sentral dan perifer,
sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, dan sistem urologenital. Ketika
CGRP diinjeksikan ke sistem saraf, CGRP dapat menimbulkan berbagai efek
seperti hipertensi dan penekanan pemberian nutrisi. Namun jika diinjeksikan ke
sirkulasi sistemik maka yang akan terjadi adalah hipotensi dan takikardia.
CGRP adalah peptida yang memiliki aksi kerja sebagai vasodilator poten. Aksi
keja CGRP dimediasi oleh 2 reseptor yaitu CGRP 1 dan CGRP 2. Pada
prinsipnya, penderita migraine yang sedang tidak mengalami serangan
mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral, terutama di korteks
oksipital, yang diketahui dari studi rekaman MRI dan stimulasi magnetik
transkranial.
Hipereksitabilitas ini menyebabkan penderita migraine menjadi rentan mendapat
serangan, sebuah keadaan yang sama dengan para pengidap epilepsi. Pendapat ini
diperkuat fakta bahwa pada saat serangan migraine, sering terjadi alodinia
(hipersensitif nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut tersensitisasi saat
episode migraine.
Mekanisme migraine berwujud sebagai refleks trigeminal vaskular yang tidak
stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat segmental ini yang
memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian akan terjadi dorongan pada
kortibular yang berlebihan. Dengan adanya rangsangan aferen pada pembuluh
darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut.
3.

Teori cortical spreading depression (CSD)


Patofisiologi migraine dengan aura dikenal dengan teori cortical spreading
depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron di substansia nigra
yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit. Penyebaran ini diikuti dengan
gelombang supresi neuron dengan pola yang sama sehingga membentuk irama
vasodilatasi yang diikuti dengan vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD ialah
pelepasan Kalium atau asam amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan neural
sehingga terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi.

Patofisiologi gejala pada kasus


1. Mual dan Muntah
Mual didefinisikan sebagai sensasi subjektif tidak nyaman untuk muntah. Muntah
adalah suatu refleks paksa untuk mengeluarkan isi lambung melalui esophagus dan
keluar dari mulut.
Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa
mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui.
Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf saraf yang berlokasi di
medulla oblongata. Saraf -saraf ini menerima input dari :

Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema

Sistem vestibular (yang berhubungan dg mabuk darat dan mual karena penyakit
telinga tengah)

Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)

Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera


fisik)

Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus
berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.
a.

Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan
distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.

b.

Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap
stimulus kimia.

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks
muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema.
Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan
sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract,
mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral
dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus
solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga
merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah
otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang
CTZ
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan
dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman.

Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan
simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna
dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba
yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah.
Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat
dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada
enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini
mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga
dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus,
frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks
muntah.
Mekanisme faktor pencetus nyeri kepala
Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling
awal serangan migren diketemukan adanya penurunan cerebral blood flow(CBF) yang
dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan2 ke depan sebagai seperti suatu
gelombang ("spreading oligemia'; dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3
mm per menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses
hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif
hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi set saraf
menghasilkan gejala scintillating aura, kemudian aktifitas set safar menurun
menimbulkan gejala skotoma. Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical
spreading depression (CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam
duramater, edema neurogenik didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC
(trigeminal nucleus caudalis) ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren tersebut
mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan mencetuskan timbulnya nyeri
kepala. Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada sistem
trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti
peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti
misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzym NOS. Proses
tersebutlah sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada
penderita migren.
Mekanisme faktor pemicu sehingga dapat menimbulkan migren:

Stress : respon seseorang akan stressor dapat bertipe Canon (reaksi emosional,
stimulasi sistem saraf simpatik, stimulasi medula adrenal) atau tipe Seyle (depresi
emosional, stimulasi hipofisis anterior, stimulasi korteks adrenal). Akibat dua
reaksi tersebut dapat timbul perubahan- perubahan pada sistem cardiovaskuler
berupa kelainan irama jantung, perubahan tekanan darah, dilatasi dan konstriksi
pembuluh darah, perubahan korpuskular darah dan perubahan komposisi
biokimiawi dalam darah.

Makanan : berbagai zat makanan dapat memicu timbulnya serangan migren.


Pemicu migren tersering adlah alkohol berdasarkan efek vasodilatasinya dimana
anggur merah dan bir merupakan pemicu terkuat. Makanan yang mengandung
tiramin, yang berasal dari asam amino tirosin, seperti keju, makanan yang
diawetkan atau diragi, hati, anggur merah, yagurt, dll. Makanan lain yang pernah
dilaporkan dapat mencetuskan migren adalah coklat (karena mengandung
feniletilamin), telur, kacang, bawang, piza, alpokat, pemanis buatan, buah jeruk,
pisang, daging babi,teh, kopi, dan coca- cola yang berlebihan.

Monosodiun glutamat adalah pemicu migren yang sering dan penyebab dari
sindrom restoran cina yaitu nyeri kepala disertai kecemasan, pusing, parestesia
leher dan tangan, serta nyeri perut dan nyeri dada.

Hormonal : fluktuasi hormonal merupakan faktor pemucu pada 60% wanita, 40%
wanita hanya mendapat serangan haid. Nyeri kepala migren dipicu oleh turunnya
17- kadar estradiol plasma saat akan haid. Serangan migren berkurang selama
kehamilah karena kadar estrogen yang relatif tinggi dan konstan, sebaliknya
minggu pertama postpartum. Pemakaian pil kontrasepsi juga meningkatkan
serangan migren.

Meenopause : umumnya nyeri kepala migren akan meningkat frekuensi dan


beratnya pada saat menjelang menopause. Tetapi, beberapa kasus membaik
setelahmenopause. Terapi hormonal dengan estrogen dosis rendah dapat diberikan
untuk mengatasi serangan migren pasca menopause.

Lingkungan : perubahan lingkungan dalam tubuh yang meliputi fluktuasi


hormonal pada siklus haid dan perubahan irama bangun- tidur dapat
menimbulkan serangan akut migren. Perubahan lingkungan eksternal meliputi

cuaca, musim, tekanan udara, ketinggian dari permukaan laut, dan terlambat
makan.

Obat- obatan : seperti nitrogliserin, nifepidin sublingual, isosorbid dinitrat,


tetrasiklin, vitamin A dosis tinggi, fluoksetin.

Aspartam : merupakan komponen utama pemanis buatan dapat menimbulkan


nyeri kepala pada orang tertentu.

Interpretasi Hoffman Tromer


Gerak otot reflektorik dapat ditimbulkan pada tiap orang yang sehat, dinamakan
refleks fisiologik. Pada kerusakan di lintasan piramidalis dapat dijumpai refleks-refleks
yang tidak dapat ditimbulkan pada orang-orang sehat. Maka dari itu, refleks tersebut
dinamakan refleks patologik. Hingga kini mekanismenya belum dapat diberikan. Pada
tangan gerak reflektorik yang patologik berupa fleksi dari jari-jari, terutama jari telunjuk
dan ibu jari, sebagai jawaban atas perangsangan (yang berupa goresan-goresan) terhadap
kuku jari tengah penderita. Refleks patologik tersebut dinamakan refleks dari TromnerHoffman (Mardjono & Sidharta, 1997).
Tes Hoffman-Tromner sedikit lebih spesifik untuk mengetahui ada tidaknya lesi
di atas nervus cervical V atau VI (Lisa Emrich, 2011). Oleh karena itu, pasien pada
skenario dilakukan tes tersebut, sebab ada kemungkinan migrain yang dideritanya
disebabkan akibat adanya lesi di nervus cervical II. Namun, hasil positif pada
pemeriksaan ini tidak selalu menunjukkan adanya kerusakan pada jaras piramidalisnya.
Pada orang sehat pun dapat dijumpai hasil positif (positif palsu). Sebagai kesimpulan,
pemeriksaan Hoffman-Tromner bukanlah alat skrining yang dapat diandalkan untuk
memprediksi adanya kompresi pada nervus cervical medulla spinalis. Namun, ada
kemungkinan bahwa, setidaknya pada beberapa pasien, tes Hoffmann lebih sensitif untuk
menemukan disfungsi sumsum tulang belakang lebih awal dibandingkan dengan studi
pencitraan (John A. Glaser. et all, 2001).
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan untuk menyingkirkan sakit kepala yang diakibatkan oleh penyakit
struktural, metabolik, dan kausa lainnya yang memiliki gejala hampir sama dengan

migraine. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan apakah ada penyakit
komorbid yang dapat memperparah sakit kepala dan mempersulit pengobatannya.
2. Pencitraan
CTscan dan MRI dapa dilakukan dengan indikasi tertentu, seperti: pasien baru
pertama kali mengalami sakit kepala, ada perubahan dalam frekuensi serta derajat
keparahan sakit kepala, pasien mengeluh sakit kepala hebat, sakit kepala persisten,
adanya pemeriksaan neurologis abnormal, pasien tidak merespon terhadap pengobatan,
sakit kepala unilateral selalu pada sisi yang sama disertai gejala neurologis kontralateral.
3. Pungsi Lumbal
Indikasinya adalah jika pasien baru pertama kali mengalami sakit kepala, sakit
kepala yang dirasakan adalah yang terburuk sepanjang hidupnya, sakit kepala rekuren,
onset cepat, progresif, kronik, dan sulit disembuhkan. Sebelum dilakukan LP seharusnya
dilakukan CT scan atau MRI terlebih dulu untuk menyingkirkan adanya massa lesi yang
dapat meningkatkan tekanan intracranial.
Tatalaksana
Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas mengurangi faktor resiko,
terapi farmaka dengan memakai obat dan terapi nonfarmaka. Terapi farmaka dibagi atas
dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi preventif (terapi pencegahan),
walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk abortif dan pencegahan.
Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang bertujuan untuk
meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan menghentikan progresivitas.
Pada terapi preventif atau profilaksis migrain terutama bertujuan untuk mengurangi
frekwensi, durasi dan beratnya nyeri kepala.
1.

Mengurangi faktor risiko/pencetus

Stres dan kecemasan

Kurang atau telalu banyak tidur, perubahan jadwal seperti jetlag.

Hipoglikemia (terlambat makan)

Kelelahan

Perubahan hormonal seperti haid, obat hormonal

Kadar estrogen yang berfluktuasi atau dapat dilakukan dengan


menghentikan pil KB atau obat-obat pengganti estrogen

Diet
Menghindari makanan tertentu cukup membantu pada 25-30%
penderita migrain. Secara umum, makanan yang harus dihindari
adalah: MSG, beberapa minuman beralkohol (anggur merah, prot,
sherry, scotch, bourbon), keju (Colby, Roquefort, Brie, Gruyere,
cheddar, bleu, mozzarella, Parmesan, Boursault, Romano), coklat, dan
aspartame.
Diet dilakukan selama 1 bulan. Apabila setelah 1 bulan gejala tidak
membaik, berarti modifikasi diet tidak bermanfaat. Apabila makanan
menjadi pencetus gejala, maka jenis makanan tersebut harus
diidentifikasi dengan cara menambahkan satu jenis makanan sampai
gejala

muncul.

Sebaiknya

dibuat

diari

makanan

selama

mengidentifikasi makanan apa yang menjadi pencetus migrain, karena


beberapa jenis makanan dapat langsung menimbulkan gejala (anggur
merah, MSG), sementara makanan lain baru menimbulkan gejala
setelah 1 hari (coklat, keju).
2. Terapi farmako migrain
a.

Terapi Abortif
Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang
dapat diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia
spesifik yang hanya bekerja sebagai analgesia nyeri kepala. Secara umum dapat
dikatakan bahwa terapi memakai analgesia nonspesifik masih dapat menolong
pada migrain dengan intensitas nyeri ringan sampai sedang. Pada kasus sedang
sampai berat atau berespons buruk dengan OAINS pemberian analgesia spesifik
lebih bermanfaat.
Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat diberikan saat
serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal.
Fase prodromal migrain dihubungkan dengan gangguan pada hipotalamus melalui
neurotransmiter dopamin dan serotonin. Pemberian antiemetik akan membantu

penyerapan lambung di samping meredakan gejala penyerta seperti mual dan


muntah. Kemungkinan timbulnya efek samping antiemetik seperti sedasi dan
parkinsonism pada orang tua patut diperhatikan.
Analgesik nonspesifik
Yang termasuk analgesia nonspesifik adalah asetaminofen (parasetamol), aspirin
dan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Pada umumnya pemberian analgesia
opioid dihindari. Beberapa obat OAINS yang telah diteliti diberikan pada migrain
antara lain adalah:

Diklofenak.
Ketorolak.
Ketoprofen.
Indometasin.
Ibuprofen.
Naproksen.
Golongan fenamat.

Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang berat. Kombinasi
antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta penambahan kafein
dikatakan dapat menambah efek analgetik, dan dengan dosis masing-masing obat
yang lebih rendah diharapkan akan mengurangi efek samping obat. Mekanisme
kerja OAINS pada umumnya terutama menghambat enzim siklooksigenase
sehingga sintesa prostaglandin dihambat.
Pasien diminta meminum obatnya begitu serangan migrain terasa. Dosis obat
harus adekuat baik secara obat tunggal atau kombinasi. Apabila satu OAINS tidak
efektif dapat dicoba OAINS yang lain. Efek samping pemberian OAINS perlu
dipahami untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada wanita hamil
hindari pemberian OAINS setelah minggu ke 32 kehamilan. Pada migrain anak
dapat diberikan asetaminofen atau ibuprofen.
Analgesik spesifik
Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah ergotamin,
dihidroergotamin (DHE) dan golongan triptan yang merupakan agonis selektif

reseptor serotonin pada 5-HT1, terutama mengaktivasi reseptor 5HT I B / 1 D. Di


samping itu ergotamin dan DHE juga berikatan dengan reseptor 5-HT2, 1dan
2- nonadrenergik dan dopamin.
Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri sedang sampai
berat. Pertimbangan harga kadang menjadi penghambat dipakainya analgesia
spesifik ini, walaupun golongan ini merupakan pilihan sebagai antimigren. Ergot
lebih murah dibanding golongan triptan tetapi efek sampingnya lebih besar.
Penyebab lain yang menjadi penghambat adalah preparat ini di Indonesia hanya
tersedia dalam bentuk oral dan dari golongan triptan hanya ada sumatriptan.
Ergotamin dan DHE diberikan pada migrain sedang sampai berat apabila
analgesia nonspesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Dosis
dan cara pemberian ergotamin dan DHE harus diperhatikan. Kombinasi
ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin selain
sebagai analgesik pula. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak terkendali,
penyakit serebrovaskuler, kardiovaskuler dan penyakit pembuluh perifer (hatihati pada pasien > 40 tahun) serta gagal ginjal, gagal hati dan sepsis. Efek
samping yang mungkin timbul antara lain mual, dizziness, parestesia, kramp
abdominal. Ergotamin biasanya diberikan pada episode serangan tunggal. Dosis
dibatasi tidak melebihi 10 mg/minggu.
Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotofobia dan fonofobia sehingga
memperbaiki disabilitas pasien. Diberikan pada migrain berat atau pasien yang
tidak memberikan respon dengan analgesia nonspesifik dengan atau tanpa
kombinasi. Dosis awal sumatriptan adalah 50 mg dengan dosis maksimal dalam
24 jam 200 mg. Kontra indikasi antara lain adalah pasien, yang berisiko penyakit
jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, hipertensi yang tidak terkontrol,
migrain tipe basiler. Efek samping berupa dizziness, heaviness, mengantuk, nyeri
dada non kardial, disforia.
Golongan triptan generasi kedua (zolmitriptan, eletriptan, naratriptan, rizatriptan)
yang tidak ada di Indonesia sebenarnya mempunyai respons yang lebih baik,
rekurensi nyeri kepala yang lebih rendah dan lebih dapat ditoleransi.
Nama obat CaraPemberian NNT (95% Cl) :

Sumatriptan 6 mg SC
Rizatriptan 10 mg oral
Eletriptan 80 mg oral
Zolmitriptan 5 mg oral
Eletriptan 40 mg oral
Sumatriptan 20 mg intranasal
Sumatriptan 100mg oral
Rizatriptan 2,5 mg oral
Zolmitriptan 2,5 mg oral
Sumatriptan 50 mg oral
Naratriptan 2,5 mg oral
Eletriptan 20 mg oral

b. Terapi preventif
Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak.
Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut)
atau jangka panjang (kronis). Terapi episodik diberikan apabila faktor pencetus nyeri
kepala dikenal dengan baik sehingga dapat diberikan analgesia sebelumnya. Terapi
preventif jangka pendek berguna apabila pasien akan terkena faktor risiko yang telah
dikenal dalam jangka waktu tertentu seperti pada migrain menstrual. Terapi preventif
kronis akan diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung respons
pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai tiga bulan.

BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
1. Migraine adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72
jam. Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat,
bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea
dan/atau fotofobia dan fonofobia. Migraine secara umum dibagi menjadi 2 yaitu
migraine dengan aura dan tanpa aura.
2. Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas:
Mengurangi faktor resiko.
Terapi farmakologi.
Terapi nonfarmakologi.
Terapi farmako dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan
terapi preventif (terapi pencegahan). Walaupun terapi farmako merupakan terapi
utama migren, terapi nonfarmako tidak bisa dilupakan.
2. SARAN
1. Sebaiknya mahasiswa untuk memahami materi terlebih dahulu sebelum kegiatan
tutorial.
2. Sebaiknya tutor mendorong mahasiswa untuk lebih berfikir kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta :
Media Aesculapius FK UI.

Aru W. Sudoyo, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing.
Bendtsen L. Central sensitization in tension type headache-possible pathophysiological
mechanisms. Cephalalgia 2000;20:486-508
Edvinsson L. Sensory nerves in man and their role in primary headaches. Cephalalgia
2001;21:761-764
Glaser, John A. et all. 2001. Cervical Spinal Cord Compression and the Hoffman Sign. The
Lowa Orthopaedic Journal. 21 : 49-52.
http://www.healthcentral.com/multiple-sclerosis/c/19065/129802/reflex (14 Desember 2012)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29669/4/Chapter%20II.pdf (diakses 16
Desember 2012)
Mardjono, Mahar & Sidharta, Priguna. 1997. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.
Russel MB, Olesen J. 1995. Increased Familial Risk and Evidence of Genetic Factor in
Migraine. BMJ. 311: 541-544.
Sjahrir H, Nasution D, Rambe H. Prevalensi nyeri kepala paroksismal pada mahasiswa
FK.USU Medan. dibacakan di Biennieal Meeting PNPNCh, Surabaya 1978

Anda mungkin juga menyukai