Anda di halaman 1dari 22

NANOENKAPSULASI ASAP CAIR DENGAN ENKAPSULAN KITOSAN DAN

MALTODEKSTRIN SERTA APLIKASINYAPADA PENGAWETAN IKAN


SEMINAR 1 SKS
(PIT 4085)
DISUSUN OLEH :
RESTU YULIA
11/318230/PN/12531
PROGRAM STUDI :
TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap
kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu atau dibuat dari campuran
senyawa murni (Maga, 1987). Asap diproduksi dengan cara pembakaran yang
tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi
senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang
meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard, 1992).Asap cair
tempurung kelapa mengandung komponen bioaktif seperti fenol, asam dan
karbonil. Menurut Tranggono et al. (1999), pirolisis tempurung kelapa
menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13 %,
karbonil 11,3% dan asam 10,2 %. Ketiga senyawa tersebut fenol, karbonil dan
asam secara simultan dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikrobia
serta memberikan pengaruh terhadap warna dan citarasa khas asap pada
produk pangan (Maga, 1987). Salah satu metode yang digunakan untuk
melindungi dan mengoptimalkan fungsi senyawa bioaktif yang terdapat dalam
asap cair adalah dengan metode nanoenkapsulasi.
Nanoenkapsulasi adalah teknologi untuk melindungi zat dalam ukuran kecil yang
mengacu pada kemasan bioaktif pada kisaran nano yakni 10-9nm (Ezhilarsiet al.,
2012). Peningkatan sifat-sifat fungsional asap cair perlu dikembangkan melalui
teknik nanoenkapsulasi. Keuntungan yang bisa didapatkan dengan teknologi

nanoenkapsulasi ini antara lain peningkatan rasa, warna, tekstur,flavor, dan


stabilitas komponen bioaktif di dalamnya (Greiner, 2009).
Pemilihan enkapsulan untuk mendapatkan ukuran nano sangat menentukan
keberhasilan nanoenkapsulasi. Kitosan dan maltodekstrin telah digunakan untuk
proses enkapsulasi berbagai jenis senyawa bioaktif. Kitosan memberikan
perlindungan yang baik terhadap inti dan dapat mengikat senyawa aktif seperti
fenol, sementara maltodekstrin memiliki kelarutan yang tinggi, tidak mempunyai
rasa dan aroma, serta baik untuk melindungi flavor dari oksidasi (Saloko et al.,
2012). Kombinasi maltodekstrin dan kitosan sebagai enkapsulan diharapkan
mampu menghasilkan enkapsulan berdimensi nano.
Penelitian tentang nanoenkapsulasi asap cair tempurung kelapa dengan
enkapsulan kombinasi maltodekstrin dan kitosan serta aplikasinya sebagai
pengawet produk pangan telah dilakukan. Teknologi nanoenkapsulasi diharapkan
mampu
menghasilkan produk nanokapsul asap cair yang baik sehingga mampu
memperpanjang umur simpan pada pengawetan ikan.
B. Tujuan
Mengetahui efektivitas penggunaan nanokapsul asap cair dengan enkapsulan
kitosan dan maltodekstrin serta aplikasinya pada pengawetan ikan.
C. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan
ilmu pengetahuan di bidang nanoenkapsulasi asap cair dari tempurung kelapa
dengan enkapsulan kitosan dan maltodekstrin pada proses pengawetan ikan.
II. PEMBAHASAN
A. Asap Cair
Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara distilasi
bahan baku pengasap seperti kayu, lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi
dalam kondensor berpendingin air. Asap cair berasal dari bahan alami, yaitu
pembakaran hemiselulosa, selulosa, dan lignin dari kayu-kayu keras sehingga
menghasilkan senyawa-senyawa yang memiliki efek antimikroba, antibakteri,
dan antioksidan seperti senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid,
karbonil, keton dan piridin (Luditama, 2006).
Metode yang digunakan dalam pembuatan asap cair yakni metode distilasi
kering. Distilasi kering adalah salah satu cara yang digunakan untuk membuat
produk-produk komersial dalam bentuk cair, padat maupun gas. Proses distilasi
kering dilakukan dengan cara memanaskan kayu secara langsung maupun tidak
langsung dengan udara terbatas ataupun tanpa udara. (Hendra, 1992).
Unit operasi distilasi merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan
komponen-komponen yang ada di dalam suatu larutan atau cairan, yang

tergantung pada distribusi komponen-komponen yang ada di dalam suatu


larutan atau cairan, yang tergantung pada distribusi komponen-komponen
tersebut antara fase uap dan fase cair. (Geankoplis, 1983). Distilasi asap cair
dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan
berbahaya, seperti poliaromatik hidrokarbon (PAH) dan tar, dengan cara
pengaturan suhu didih sehingga diharapkan didapat asap cair yang jernih, bebas
ter dan benzopiren (Darmadji, 2002).
Asap cair memiliki sifat antibakteri. Komponen antibakteri dalam asap cair
umumnya merupakan senyawa asam. Asam organik merupakan hasil pirolisis
dari selulosa dan hemiselulosa pada kayu. Komponen asam dari asap cair
menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Asap cair mengandung asam-asam
yang meliputi asam format, asetat, propionat, butirat, valerat dan isokaproat.
Sifat antibakteri ini berpotensi untuk meningkatkan umur simpan produk pangan
(Zuraida et al., 2011). Komposisi kimia asap cair dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Cair
Komposisi Kimia
Kandungan (%)
Air
11 92
Fenol
0,2 2,9
Asam
2,8 4,5
Karbonil
2,6 4,6
Tar
1 1,7
Sumber: Maga, 1987
B. Nanoenkapsulasi
Enkapsulasi adalah proses dimana satu atau lebih material dilapisi oleh material
lain, baik materi yang dilapisi maupun yang melapisi kebanyakan merupakan
cairan, tapi bisa juga merupakan beberapa partikel gas (Risch, 1995). Menurut
Ezhilarasi (2012) mikrokapsul adalah partikel dengan diameter antara 3 sampai
800m, sedangkan nanopartikel adalah partikel dengan ukuran diameter mulai
dari 10 sampai 1.000 nm.

Partikel dengan ukurannano memungkinkan terjadinya distribusi yang lebih baik


pada produk serta dapat memperluas permukaan kontak partikel dengan bahan.
Selain itu, nanoenkapsulasi memungkinkan bahan aktif untuk lepas secara
berkala melalui lapisan enkapsulan,sehingga hal ini dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan bahan aktif (Won et al., 2008).
Enkapsulasi komponen bioaktif dalam skala nano telah dikembangkan untuk
mengatasi masalah yang berhubungan dengan lambat dan rendahnya serapan
dan kestabilan komponen bioaktif pada teknik mikroenkapsulasi. Penelitian
nanoenkapsulasi menghasilkan sifat-sifat seperti yang diharapkan yaitu
penyimpanan akan lebih baik dan memberikan perlindungan terhadap komponen
bioaktif seperti vitamin, antioksidan, pigmen, protein dan lipid serta karbohidrat,
sehingga dapat meningkatkan sifat-sifat fungsional dan stabilitasnya (Carvajal et
al., 2010).
Pembuatan nanoenkapsulasi telah dilakukan dengan berbagai metode, yaitu
metode spray drying (Lianget al., 2012), freeze drying (Choi et al., 2010)dan
spray freeze drying (Ilyasoglu et al., 2013). Nanoteknologi dapat dikembangkan
untuk meningkatkan kualitas pangan dengan berbagai keunggulan yang dimiliki.
Beberapa penelitian yang sedang populer membahas mengenai potensi dari
teknologi nano yang diaplikasikan pada bahan pangan, termasuk didalamnya
suplemen, pengemasan makanan, peningkatan tekstur pangan, warna dan rasa
(Ezhilarasi et al., 2012).
C. Enkapsulan Kitosan dan Maltodekstrin
Berkembangnya teknologi mendorong ditemukannya berbagai cara baru dalam
sistem pengangkutan senyawa bioaktif dalam tubuh. Enkapsulasi merupakan
teknik untuk menyalut suatu senyawa (dapat berupa padatan, cairan, maupun
gas) dengan suatu polimer. Enkapsulasi dalam ukuran kecil memiliki beberapa
keuntungan, antara lain melindungi suatu senyawa dari penguraian dan
mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif. Proses enkapsulasi juga
memungkinkan pengubahan bentuk suatu senyawa dari cair menjadi padat dan
juga memisahkan senyawa-senyawa yang berbahaya jika berinteraksi satu sama
lain. Enkapsulasi menghasilkan partikel dengan diameter mikrometer sampai
nanometer (Zuidan dan Nedovic, 2010).
Persebaran senyawa aktif, baik yang berwujud padat maupun cair, dalam suatu
kapsul dapat bermacam-macam (Birnbaum & Brannon-Peppas 2003). Senyawa
aktif dapat terletak tepat di tengah-tengah kapsul dan bertindak sebagai intinya
(Gambar 1a), atau tersebar di seluruh kapsul atau tidak terpusat pada satu titik
saja (Gambar 1b)
Gambar 1. Persebaran senyawa aktif tepat ditengah kapsul (a) dan tersebar
diseluruh kapsul (b). (Wukirsari, 2006)
Berbagai macam polimer alami diketahui dapat digunakan untuk pembuatan
nanopartikel, misalnya digunakannya kitosan dan maltodekstrin sebagai
enkapsulan untuk asap cair.

1. Kitosan
Kitosan adalah jenis polimer alami yang dihasilkan dari proses deasetilasi kitin.
Kitosan merupakan jenis polimer alam yang mempunyai rantai tidak linier dan
mempunyai rumus (C6H11NO4)n. Kitosan larut dalam pelarut organik, HCl encer,
HNO3 encer, dan H3PO4 0,5%, tetapi tidak larut dalam basa kuat dan H2SO4.
Sifat kelarutan kitosan ini dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat
deasetilasi. Bobot molekul kitosan beragam, bergantung pada degradasi yang
terjadi selama proses deasetilasi (Sugita, 2010). Struktur kitosan dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kitosan (Mardliyati, 2010)
Senyawa kitosan dapat diperoleh dari kulit udang dengan cara mendeasetilasi
kitinnya (Wukirsari, 2006). Pemanfaatan kitosan telah diteliti di beberapa bidang,
diantaranya sebagai enkapsulan dan antioksidan. Kemampuan kitosan dalam
menekan pertumbuhan bakteri disebabkan karena kitosan memiliki polikation
bermuatan positif (El Ghaouth et al., 1994). Kitosan telah dikembangkan sebagai
pengawet alami menggantikan formalin karena mampu menginaktifkan bakteri
patogen, seperti Staphylococcus aureus (Darmadji et al., 1994), disamping itu
kitosan mempunyai sifat sebagai antioksidan (Feng et al., 2007) dan
memberikan perlindungan terhadap inti (Honarkar et al., 2009). Maka diharapkan
kitosan dapat menyalut nanopartikel asap cair dengan baik.
2. Maltodektrin
Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung -Dglukosa unit yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE
(Dextrose Equivalent) kurang dari 20. DE (Dextrose Equivalent) adalah
kandungan gula pereduksi yang menyatakan persentase dekstrosa dalam basis
kering. DE maltodekstrin biasanya antara 3 sampai 20. Gambar struktur
maltodekstrin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Maltodekstrin(Rasyid, 2010)
Menurut Schenk dan Hebbeda (2002), maltodekstrin tidak memiliki rasa
sehingga sangat cocok dijadikan filler dalam berbagai sistem makanan tanpa
mengganggu rasa dan aroma makanan tersebut bila makanan yang
mengandung maltodekstrin ditambah perisa. Maltodekstrin tidak mempunyai
sifat lipofilik. Semakin tinggi DE maltodekstrin makin tinggi konsentrasi produk
(bahan inti) yang dapat masuk ke dalam larutan, sehingga perlu ditambahkan
bahan pengisi yang lain agar diperoleh produk nanoenkapsulasi yang baik.
Maltodekstrin sering digunakan karena memiliki sifat sebagai penyalut yang baik
karena kemampuannya dalam membentuk emulsi dan viskositanya yang rendah
(Khrisnan et al., 2005 dan Laohasongkram et al., 2011). Maltodekstrin banyak
digunakan karena mudah ditemukan, mudah dalam penanganan proses (Moore
et al., 2005), dapat mengalami dispersi yang cepat, memiliki kelarutan yang
tinggi, mampu membentuk matriks, kemungkinan terjadinya pencoklatan

rendah, mampu menghambat kristalisasi, memiliki daya ikat kuat dan


viskositasnya rendah (Dickinson, 2003). Gharsallaoui et al. (2007) menambahkan
bahwa maltodekstrin mempunyai kemampuan yang baik dalam menghambat
reaksi oksidasi sehingga nanokapsul yang dihasilkan mempunyai umur simpan
yang lebih baik daripada menggunakan gum arab.
Penelitian yang dilakukan oleh Saloko et al (2012), menggunakan kitosan dan
maltodekstrin untuk mengenkapsulasi asap cair dan berhasil membuat produk
tepung asap berukuran nanometer (nm). Kitosan secara normal tidak larut dalam
air diatas pH 6 karena struktur kristalin yang kaku dan memerlukan asam
sebagai donor proton (Lee et al., 2007), sedangkan maltodekstrin merupakan
salah satu
bahan yang umum digunakan untuk enkapsulasi senyawa bioaktif karena
memiliki sifat yang larut air dan dapat melindungi senyawa yang dienkapsulasi
dari oksidasi, sehingga kombinasi antara maltodekstrin dan kitosan dapat
menyalut nanopartikel asap cair dengan baik.
D. Nanoenkapsulasi Asap Cair
Asap cair merupakan cairan dispersi uap asap dalam air, atau cairan hasil
kondensasi dari pirolisa kayu, tempurung kelapa, atau bahan sejenis. Aplikasi
asap cair dapat dilakukan dengan penyemprotan (air spray), penguapan
(vaporing), pengolesan, dan pencelupan atau pencampuran ke dalam bahan
pangan yang diproses (Girrard, 1992).
Sifat-sifat fungsional dalam asap cair perlu untuk dikembangkan lebih lanjut
melalui teknologi yang dapat melindungi senyawa bioaktif secara maksimal pada
asap cair yakni dengan cara mengenkapsulasi dalam enkapsulan berukuran
nano, yakni berkisar antara 0-1000 nm. Saloko et al. (2014) melakukan tahapan
nanoenkapsulasi asap cair sebagai berikut:
1. Pembuatan Redestilat Asap Cair
Pembuatan redestilat asap cair dilakukan menggunakan metode dalam
penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Saloko et al. (2012). Pembuatan
redestilat asap cair dari tempurung kelapa melalui proses pirolisis dengan suhu
400C, dan kondensasi hingga tidak terdapat lagi asap cair yang menetes.
Pemisahan asap cair dari tar dilakukan melalui pengendapan selama 24 jam.
Setelah itu, crude asap cair yang dihasilkan didistilasi menggunakan distilator
pada suhu 98C. Distilat asap cair yang dihasilkan dilakukan proses redistilasi
pada suhu 98C.
2. Analisis Komponen Kimiawi dan Komponen Volatil Redestilat Asap Cair
Redestilat asap cair yang diperoleh diidentifikasi profil senyawa penyusunnya.
Pengujian komponen kimiawi dan komponen volatil pada nanoenkapsulasi asap
cair meliputi kadar fenol (Senter et al., 1989), total asam, pH (AOAC, 2008), dan
karbonil (Lappin dan Clark, 1951), dan profil senyawa asap cair (GC-MS)

menggunakan metode Tonogai et al.cit Saloko et al. (2014) dengan beberapa


modifikasi.
Pengujian profil senyawa asap cair memiliki prinsip kerja yakni mengidentifikasi
komponen kimia dan komponen volatil dari redestilat asap cair yang sudah
diekstraksi dengan eter, kemudian dipisahkan fraksi atas dan bawah dengan
corong pisah dan dipekatkan dengan nitrogen kemudian dideteksi menggunakan
alat GC-MS. Hasil analisis komponen redestilat asap cair tempurung kelapa yang
digunakan dalam penelitian Saloko et al. (2012) disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Redestilat Asap Cair Tempurung Kelapa
Komponen
Kandungan
Benzopyrene (ppm)
Tidak terdeteksi
Fenol (%)
2,08
Karbonil (%)
10,83
Total Asam (%)
997
pH
2,54
Sumber : Saloko et al. (2012)
Tabel 2. menunjukkan bahwa redestilat asap cair yang digunakan komponen
benzopyrene tidak terdeteksi dalam kadar ppm yang mengindikasikan bahwa
redestilat asap cair tidak bersifat karsinogen.
Hasil identifikasi GC-MS senyawa volatil redestilat asap cair tempurung kelapa
pada penelitian Saloko et al. (2012) disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Identifikasi GC-MS Senyawa Volatil Redestilat Asap Cair Tempurung
Kelapa
No
Nama Senyawa
% Relatif Komponen

Berat Molekul
Rumus Molekul
Indeks Kemiripan
1.
Metil Asetat
5,00
74
C3H6O2
96
2.
Metanol
16,22
32
CH4O
98
3.
Nikel Karbonil
0,15
170
C\4Hi8O4
90
4.
2,3-Pentanol
0,47
86
C5H10O
85
5.

1,2-Hidroksi propan
1,80
74
C3H6O2
97
6.
1,2-Siklopentan
0,75
82
C5H6O2
91
7.
1,2-Hidroksi butan
1,82
88
C4H8O2
89
8.
Etil asetat
49,78
60
C2H4O2
99
9.
2-furan karboksil aldehid
1,47
96
C5H4O2

97
10.
1,2-Furanil etanon
0,21
110
C6H6O2
90
11.
Asam propanoat
1,44
74
C3H6O2
88
12.
2-Metoksi fenol
2,15
124
C7H8O2
94
13
1,4-Dimetoksi benzen
0,53
138
C8H10O2
89
14.
Fenol
17,11

94
C6H6O
95
15.
4-Etil-2-Metoksi fenol
0,16
152
C9H12O2
86
16.
4-Metil fenol
0,61
108
C7H8O
89
17.
2-Metil fenol
0,33
108
C7H8O
85
Sumber: Saloko et al., 2012
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penyusun komponen asap didominasi
oleh metil asetat, metanol, etil asetat, 2-metoksi fenol dan fenol.
3. Nanoenkapsulasi Asap Cair
Bahan-bahan yang digunakan dalam nanoenkapsulasi yang dilakukan Saloko et
al. (2014) diantaranya kitosan yakni yang memiliki derajat deasetilasi 91,5%,
kelembaban 10,43%, kadar abu 0,71%, maltodekstrin dengan DE 10,8%, Sodium
Tripolifosfat (STPP) dan asam asetat glasial (HOAC).

Campuran nanopartikel kitosan dan maltodekstrin disiapkan menggunakan


metode dari Grenha et al. cit Saloko et al. (2014) dengan beberapa modifikasi,
yang berdasarkan atas polielektrolit kompleks dari kitosan dan maltodekstrin
serta penambahan ion gelatin kitosan dengan anion dari sodium tripolifosfat
(TPP). Kitosan dan maltodekstrin dengan perbandingan yang berbeda, dilarutkan
pelarut redestilat asap cair dan asam asetat,berikut adalah formulasinya:
F1 = Asam asetat 1,0% : kitosan (0,5%) : maltodekstrin (9,5%)
F2 = Redestilat asap cair : kitosan (0%) : maltodekstrin (10%)
F3 = Redestilat asap cair : kitosan (0,5%) : maltodekstrin (9,5%)
F4 = Redestilat asap cair : kitosan (1,0%) : maltodekstrin (9,0%)
F5 = Redestilat asap cair : kitosan (1,5%) : maltodekstrin (8,5%)
STPP (1,0mg/mL) ditambahkan kedalam campuran tersebut dan homogenkan
menggunakan magnetik stirer dengan kecepatan 200 rpm selama 30 menit pada
suhu ruang. Tahap selanjutnya adalah dilakukan sentrifugasi untuk mengisolasi
nanopartikel dengan kecepatan 3000 rpm dalam 50mL konikel selama 30 menit
pada suhu ruang. Supernatan kemudian dipisahkan, dan dilakukan penyaringan
vakum nanopartikel dengan menggunakan Whatmann#2. Nanopartikel
selanjutnya dipanaskan dalam waterbath pada suhu 50C selama 15 menit, lalu
dihomogenkan dengan homogenizer dengan kecepatan 4000 rpm selama 2,5
menit. Tahap selanjutnya adalah tahap pengeringan dengan menggunakan spray
dryer (Flawil, Switzerland), dengan suhu inlet 150C (2C), sedangkan suhu
outlet berkisar antara 70-82C, dengan kapasitas pengeringan 5.1 mL/menit
(Saloko et al., 2014).
4. Kandungan Total Fenol, Karbonil, dan Asam pada Formulasi Bahan
Nanoenkapsulasi Asap Cair
Teknologi nanopartikel dengan penggunaan kitosan dan maltodekstrin sebagai
enkapsulan mempengaruhi kandungan senyawa volatil pada asap cair. Tabel 4.
menunjukkan perlakuan formulasi dengan penambahan kitosan memiliki
kecenderungan penurunan nilai fenol. Menurut Billmeyer (1994), kitosan
memiliki daya adsorber yang dapat menyerap komponen bioaktif seperti fenol
dan karbonil yang larut dalam air. Peningkatan senyawa fenol juga dipengaruhi
kandungan senyawa asam, semakin tinggi kandungan asam maka kelarutan
fenol semakin meningkat.
Tabel 4. Kandungan Total Fenol, Karbonil, dan Asam pada Formulasi Bahan
Formulasi Bahan
Fenol (%)
Karbonil (%)
Asam Asetat (%)

F1
0.00 a
0.00 a
1.71 0.09 a
F2
1.70 0.11 b
18.53 0.56 b
10.33 0.57 b
F3
1.67 0.11 c
16.50 0.49 c
10.11 0.53 b
F4
1.64 0.11 d
15.22 0.59 d
9.73 0.20 c
F5
1.63 0.11 d
13.87 0.29 e
9.29 0.33 d
Keterangan:
a,b,c,d,e = Menunjukkan nilai pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
(p<0.05)
Sumber: Saloko et al., 2012
5. Karakteristik Nanopartikel Asap Cair
Nanopartikel yang berasal dari bahan polimer digunakan sebagai sistem
pengantaran senyawa bioaktif yang potensial karena kemampuan
penyebarannya di dalam organ tubuh selama waktu tertentu, dan
kemampuannya untuk mengantarkan protein atau peptida (Mohanraj dan Chen,
2006). Tujuan utama dalam melakukan rancangan nanopartikel sebagai sistem
pengantar adalah untuk mengatur ukuran partikel, sifat-sifat permukaan, dan

pelepasan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh sebagai sasaran.
Karakteristik dan bentuk nanopartikel suatu bahan dapat dilihat dengan
menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM).
SEM adalah salah satu jenis mikroskop yang menggunakan elektron dan cahaya
tampak sebagai sumber cahayanya. Elektron menghasilkan gelombang yang
lebih pendek dibandingkan cahaya foton dengan ukuran 0,1 nm dan
menghasilkan gambar dengan resolusi yang lebih baik (Lee, 2010). Scanning
electron microscopy (SEM) menghasilkan gambar dari suatu permukaan
spesimen dengan kedalaman fokus 500 kali lebih besar dibandingkan mikroskop
cahaya. Gambar yang dihasilkan memiliki fokus yang baik pada kedalaman
spesimen, sehingga gambar yang dihasilkan berupa bentuk tiga dimensi
spesimen.
Gambar 3. Hasil SEM Nanopartikel Asap Cair (a) asam asetat 1,0% : kitosan
(0,5%) : maltodekstrin (9,5%), (b) redestilat asap cair : kitosan (0%) :
maltodekstrin (10%) dan (c) redestilat asap cair : kitosan (1,5%) : maltodekstrin
(8,5%) (Saloko et al., 2012).
Hasil SEM nanopartikel asap cair menunjukkan hasil yang berbeda setiap
perlakuannya. Perlakuan 1,5% kitosan : 8,5% maltodekstrin dalam redestilat
asap cair (Gambar 3c) menunjukkan hasil yang terbaik karena memiliki struktur
granula yang halus dan berbentuk bola. Hal ini didukung oleh Patel et al. (2009)
menyebutkan partikel semprot kering dalam bentuk bola memiliki rasio volume
permukaan yang tinggi, maka menunjukkan karakter yang tepat dari produk
semprot kering.
E. Aplikasi Redestilat dan Nanoenkapsulasi Asap Cair pada Pengawetan Ikan
1. Aktivitas Antibakteri
Antibakteri merupakan bahan atau senyawa yang khusus digunakan untuk
kelompok bakteri. Aktivitas antibakteri dibagi menjadi 2 macam yaitu aktivitas
bakteriostatik (menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh patogen) dan
aktivitas bakterisidal (dapat membunuh patogen dalam kisaran luas) (Brooks et
al., 2005).
Senyawa asam, khususnya asam asetat dalam asap cair mempunyai aktivitas
antibakteri dan pada konsentrasi 5% mempunyai efek bakterisidal. Uji aktivitas
antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran.
Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan dengan mengukur diameter zona
bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat
jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/mL
(Hermawanet al., 2007).
Penelitian Achmadi et al. (2013) menguji aktivitas antibakteri pada pengawetan
ikan bawal laut dengan redestilat asap cair menggunakan dua jenis bakteri,
yakni S. aureus (sebagai bakteri Gram positif) dan E. Coli (sebagai bakteri Gram

negatif). Aktivitas antibakteri pada penelitian Achmadi et al. (2013) dapat dilihat
pada Gambar4.
Gambar 4. Aktivitas Antibakteri dari Redestilat Asap Cair (a) S. aureus
(b) E. coli (Achmadi et al., 2013)
Gambar 4. menunjukkan zona bening pada bakteri S. aureus terlihat lebih jelas
dibanding bakteri E. coli. Hal ini menandakan adanya pengaruh dari perlakuan
asap cair terhadap pertumbuhan bakteri. Luas zona bening yang ada
menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri dari asap cair termasuk dalam kategori
kuat. Davis and Stout dalam Achmadi et al. (2013) menyatakan bahwa kekuatan
dari aktivitas antibakteri terlihat pada zona inhibisinya, jika zona inhibisi >20
mm maka kategori sangat kuat, 10-20 mm kuat, 5-10 mm cukup dan <5 mm
adalah kategori lemah. Gambar 4. dapat menunjukkan bahwa redestilat asap
cair lebih efektif melawan bakteri Gram positif dibandingkan bakteri Gram
negatif.
Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Saloko et al. (2014) yang menerapkan
teknologi nano pada pengawetan ikan tuna yakni dengan menggunakan
nanokapsul asap cair sebagai bahan pengawet. Hasil aktivitas antibakteri yang
dilakukan Saloko et al. (2014) dapat dilihat pada Gambar 5.
Keterangan:
(A) E. coli
(B) S. aureus
(a) Kitosan (0,5% b/v) dengan maltodekstrin (9,5% b/v) dalam larutan asam
asetat glasial
(b) Maltodekstrin (10%) dalam larutan asap cair tempurung kelapa
(c) Kitosan (1,5% b/v) dengan maltodekstrin (8,5% b/v) dalam larutan asap cair
tempurung kelapa.
Gambar 5. Aktivitas Antibakteri Nanokapsul Asap Cair (Saloko et al., 2014)
Gambar 5. menunjukkan adanya pengaruh nanoenkapsulasi asap cair terhadap
aktivitas antibakteri. Hal ini ditunjukkan pada sampel (c) yang menunjukkan hasil
yang paling efektif dalam melawan mikroorganisme yang diujikan. Kedua bakteri
menunjukkan adanya zona inhibisi. Zona inhibisi dari E. coli (sebagai bakteri
Gram negatif) terlihat luas, hal ini menunjukkan senyawa antibakteri pada
nanokapsul asap cair mampu menembus dinding sel bakteri Gram negatif.
Pellisari et al. dalam Saloko et al. (2014) menyatakan bahwa pengaruh yang
ditimbulkan dari nanoenkapsulasi asap cair terhadap mikroorganisme patogen
menunjukkan bahwa komponen fenolik pada asap cair sangat efektif dalam
menlawan bakteri Gram negatif. Berdasarkan diameter dari zona inhibisi yang
tertera pada hasil diatas, maka nanokapsul dari asap cair memiliki aktivitas

antibakteri dengan kategori kuat dengan zona inhibisi 10-20 mm (Davis et al.
dalam Saloko et al., 2014).
2. Nilai TVB-N
Uji Total Volatile Base adalah salah satu metode pengukuran untuk menentukan
kesegaran ikan yang didasarkan pada akumulasi senyawa-senyawa basa seperti
amoniak, trimetialamin, dan senyawa volatile lainnya yang menguap. Berbagai
macam senyawa tersebut akan terakumulasi pada daging sesaat setelah
ikan mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas
mikroba pada daging. Berbagai macam senyawa yang terakumulasi tersebut
dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesegaran ikan Semakin tinggi nilai
TVB-N menunjukkan mutu daging yang semakin menurun (Erlangga, 2009).
Peningkatan nilai TVB-N disebabkan oleh aktivitas bakteri dalam mendegradasi
jaringan-jaringan otot pada ikan yang memproduksi ammonia, trimeltilamin dan
dimetilamin. Pengamatan pada jam ke-8 menunjukkan bahwa pencelupan asap
cair dengan konsentrasi 10% memproduksi nilai TVB-N yang paling rendah, yakni
4 mg/100 g dari tiga perlakuan lainnya, begitu pula sampai jam ke-16 waktu
penyimpanan. Pengamatan pada jam ke-24 penyimpanan menunjukkan bahwa
nilai TVB-N pada perlakuan kontrol telah mencapai nilai maksimum ikan tersebut
dapat dikonsumsi, yakni 38 mg/ 100 g, sedangkan perlakuan lainnya masih
dalam nilai ambang batas atau threshold. Menurut Oehlenschlager dalam Saloko
et al. (2014) nilai TVB-N sudah mencapai 30 mg/100 g, maka ikan sudah tidak
layak untuk dikonsumsi. Seluruh perlakuan mencapai nilai TVB-N maksimum
yang diijinkan hingga pada jam ke-32 waktu penyimpanan. Hingga jam ke-24
waktu penyimpanan, ikan bawal laut dengan pengawetan asap cair
menunjukkan nilai TVB-N yang lebih rendah dibanding tanpa perlakuan
pencelupan asap cair, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pencelupan dengan
asap cair dapat memperpanjang umur simpan/mengawetkan ikan. Hasil TVB-N
penelitian Achmadi et al. (2013) dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Nilai Total Volatil Base Nitrogen (TVB-N) dari Pengawetan Ikan Bawal
Laut dengan Konsentrasi Asap Cair 8%, 9%, 10% dan Kontrol (Achmadi et al.,
2013)
Penelitian lebih lanjut mengenai pengawetan ikan dengan menggunakan
redestilat asap cair telah dilakukan oleh Saloko et al. (2014) yakni dengan
mengaplikasikan asap cair dalam teknologi nano. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, diperoleh hasil nilai TVB-N pada Gambar 7.
Keterangan:
(a) Kontrol
(b) Kitosan (0,5% b/v) dengan maltodekstrin (9,5% b/v) dalam larutan asam
asetat glasial
(c) Maltodekstrin (10%) dalam larutan asap cair tempurung kelapa

(d) Kitosan (1,5% b/v) dengan maltodekstrin (8,5% b/v) dalam larutan asap cair
tempurung kelapa.
Gambar 7. Nilai Total Volatil Base Nitrogen (TVB-N) dari Pengawetan Ikan Tuna
dengan Nanokapsul Asap Cair Selama Penyimpanan (Saloko et al., 2014)
Gambar 7. menjelaskan bahwa pada seluruh perlakuan terjadi peningkatan nilai
TVB-N pada 12 jam pertama waktu penyimpanan pada pengawetan ikan
tuna. Peningkatan nilai TVB-N disebabkan karena adanya aktivitas mikrobia yang
mendegradasi jaringan-jaringan otot ikan tuna tersebut. Semakin lama waktu
penyimpanan, semakin meningkat pula nilai TVB-N yang dihasilkan. Setelah 12
jam waktu penyimpanan, nilai TVB-N pada perlakuan kontrol yakni mencapai
nilai 33,41 mg/ 100 g. Konsentrasi lebih dari 5% pada sampel yang terlihat pada
Gambar 7b dan Gambar 7c memiliki nilai TVB-N kurang dari 30 mg/ 100 g,
sedangkan sampel yang terlihat pada Gambar 7d memiliki nilai TVB-N yang tidak
lebih dari 28 mg/ 100 g. Nilai TVB-N pada ketiga perlakuan pengawetan ikan tuna
dengan aplikasi nanokapsul masih dalam nilai ambang batas pada saat jam ke48 waktu penyimpanan pada suhu ruang (28C). Hal ini menunjukkanpenelitian
yang dilakukan Saloko et al. (2014) dapat membuktikan bahwa pengawetan ikan
dengan nanoenkapsulasi asap cair dapat meningkatkan waktu penyimpanan dari
penelitian sebelumnya yang dilakukan Achmadi et al. (2013).
3. Analisis Sensori
Karakteristik sensori dari ikan jelas sangat mempengaruhi konsumen dan
pengamatan sensori menjadi hal yang paling penting untuk mengetahui tingkat
kesegaran dari mutu ikan, karena sensori menunjukkan kualitas dari ikan
tersebut. Nanokapsul dari asap cair tempurung kelapa mengandung senyawasenyawa fenol, asam karboksil dan hidrokarbon yang memberikan pengaruh rasa
asap pada produk (Guillen et al., 1995). Tingkat kerusakan ikan yang diawetkan
dengan nanokapsul asap cair yang diujikan Saloko et al. (2014) dapat dilihat
pada Gambar 8.
Keterangan:
(a) Kitosan (0,5% b/v) dengan maltodekstrin (9,5% b/v) dalam larutan asam
asetat glasial
(b) Maltodekstrin (10%) dalam larutan asap cair tempurung kelapa
(c) Kitosan (1,5% b/v) dengan maltodekstrin (8,5% b/v) dalam larutan asap cair
tempurung kelapa.
Gambar 8. Tingkat Kerusakan Pengawetan Ikan dengan Nanokapsul Asap Cair
(Saloko et al., 2014)
Gambar 8 menunjukkan bahwa tingkat kerusakan ikan pada ketiga perlakuan
tidak berbeda signifikan. Perubahan yang paling kecil terlihat pada jam ke-48
waktu penyimpanan yang terlihat pada Gambar 8a dengan konsentrasi 2,5%

dengan rata-rata nilai hedonik 2,56. Sementara itu hasil nilai hedonik yang
paling tinggi adalah sampel yang terlihat pada Gambar 8b dengan konsentrasi
7,5% dengan rata-rata nilai hedonik 3,14. Berdasarkan hasil tersebut maka peran
nanokapsul asap cair pada pengawetan ikan memberikan pengaruh terhadap
sifat sensori dari ikan tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan Toth et al.
(1984) yang menyatakan bahwa perlakuan pengawetan ikan dengan asap cair
tidak hanya memberikan perubahan pada kandungan kimianya, namun juga
pada karakteristik sensorinya.
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Komponen fenolik yang terkandung pada nanokapsul asap cair mampu
menghambat aktivitas mikrobia.
2. Pengawetan ikan dengan nanoenkapsulasi asap cair dapat memperpanjang
waktu penyimpanan hingga 48 jam dibanding pengawetan ikan dengan
redestilat asap cair tanpa nanoenkapsulasi dengan batas maksimal waktu
penyimpanan yakni 32 jam.
3. Nanokapsul asap cair pada pengawetan ikan memberikan pengaruh terhadap
sifat sensori dari ikan tersebut.
B. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pH terhadap
nanoenkapsulasi asap cair dengan kombinasi enkapsulan kitosan dan
maltodekstrin pada aplikasi pengawetan ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S., N.R. Mubarik., R. Nursyamsi., and P. Septiaji. 2013. Characterization
of Redestilled Liquid Smoke of Oil-palm Shells and its Application as Fish
Preservatives. Journal of Applied Sciences. 13(3): 401-408
Billmeyer, Jr. F. W. 1994. Book of Polymer Science. John Willey and Sons Inc.
Singapore
Birnbaum, D.T., Brannon-Peppas. 2003. Microparticle Drug Delivery Systems in
Cancer Therapy. Humana Pr. Totowa.
Brooks, G. F., J. S. Butel dan S. A. Morse. 2005. Medical Microbiology. Mc Graw
Hill, New York.
Carvajal, M., B. Diaz., L. Torres., J. Perez., L. Beltran., A. Aparicio., and G. Lopez.
2010. Nanoencapsulation: A New Trend in Food Engineering Processing. Food
Engineering Review 2:1:39-50
Chin, S., S.A.H. Nazimah., S. Quek, and Y.B.C. Man. 2010. Effect of thermal
processing and storage condition on the flavour stability of spray-dried durian

powder. LWT-Food Science and Technology 43: 856-861


doi:10.1016/j.lwt.2010.01.001
Coronado, S. A., G. R. Trout., F. R. Dunshea., and N.P. Shah. 2002. Effect of
Dietary Vitamin E, Fishmeal and Word and Liquid Smoke on The Oxidative
Stability of Bacon During 16 Weeks Frozen Storage. J. Meat Science.62: 5160.
Darmadji, P. 1995 Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Fakultas
Teknologi Pangan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
_________. 2002. Optimasi Pemurnian Asap Cair dengan Metode Redistilasi. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan 8(3);267-171.
Dickinson, E. 2003. Hydrocolloids at Interfaces and The Influence on The
Properties of Dispersed Systems. Food Hydrocolloid 17: 25-39. DOIL
10.1016/S0268-005X(01)00120-5.
El Ghaouth, A., J.A. Grenier., N. Benhamoun., A. Asselin., and Belenger. 1994.
Effect Of Chitosan On Cucumber Plant Supression Of Phytium Aphan Denider
Matum And Induction Of Defence Reaction. Phytopathology 84:3.
Ezhilarsi, P.N., P. Kharthik., N. Channwal., and C. Anandharamakrishman. 2012.
Nanoencapsulation Techniques for Food Bioactive Components: A Review. Review
Paper Food Bioprocess Technology 6:628-647.
Fasikhatun, T. 2010. Pengaruh Konsentrasi Maltodekstrin dan Gum Arab Terhadap
Karakteristik Mikroenkapsulasi Minyak Sawit Merah dengan Metode Spray Drying.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Feng, T., Y. Du., J. Li., and Y. Wei. 2007. Antioxidant Activity Of Half N-Acetylated
Water-Soluble Chitosan In Vitro. Eur Food Res Technol 225:133-138
Geankoplis, C. J. 1983. Transport Processes and Unit Operations, 2nd ed. Allyn
and Bacon, Inc., Boston.
Gharsallaoui, A., G. Roudaut., O. Chambin., A. Voilley., and R. Saurel. 2007.
Applications of Spray Drying in Microencapsulation of Coffee Oil by Spray Drying.
Food Bioprod Process 90: 413-424
Girard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products, Ellis Horwood, New York
Greiner, R. 2009. Current and Projected Applications of Nanotechnology in the
Food Sector. Abstract. J. Brazilian Soc. Food Nutr. So Paulo.
Guillen, M. D., M.J. Manzanos., and L. Zabala. 1995. Study Of A Commercial
Liquid Smoke Flavoring By Means Of Gas Chromatography/Mass Spectrometry
And Fourier Transform Infrared Spectroscopy. Journal of Agriculture and Food
Chemistry, 43, 463468.
Hendra, D. 1992. Hasil Pirolisis dan Nilai Kalor dari 8 Jenis Kayu di Indonesioa
Bagian Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 10(4):122-124.

Hermawan, A., W. Hana., dan T. Wiwiek. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper
betle L.) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
dengan Metode Difusi Disk. Universitas Erlangga.
Ilyasoglu, H dan S. Nehir. 2013. Nanoencapsulation of EPA/DHA with Sodium
Caseinate-Gum Arabic Complec and Its Usage in the Enrichment of Fruit Juice.
Journal of Food Science and Technology. Ege University. Turkey.
Irsaluddin. 2010. Kajian Teknik Penyulingan Ulang (Redistilasi) Untuk
Meningkatkan Mutu Asap Cair. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Kennedy, J.F, C.J. Knill dan D.W. Taylor. 1995. Maltodekstrins. Dalam Kearsley,
M.W.J dan Dziedzic (eds.). Handbook of starch Hydrolysis Product and their
Derivatives. Blackie Academic & Professional.
Khrisnan, S., R. Bhosale., and R.S. Singha. 2005. Microencapsulatiom of
Cardamom Oleoresin: Evaluation of Blends of Guma Arabic, Maltodextrin and A
Modified Starch As Well Materials. Carbohyd Polym 61: 95-102. DOI: 10.1016/j.
Carbpol. 2005.02.020.
Komalasari. 2010. Aplikasi Asap Cair Dalam Pembuatan Fillet Belut Asap Dengan
Kombinasi Bumbu. Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Skripsi. IPB. Bogor.
Laohasongkram, K., T. Mahamaktudsanee., and S. Chaiwanichsiri. 2011.
Microencapsulation of Macadamia Oil by Spray Drying. Procedia Food Sci 1:
1660-1665. DOIL 10.1016/j. Profoo. 2011.09.245.
Lappin, G.R. and L.C. Clark, 1951. Colorimetric methods for Determination of
Trace Carbonyl Compound. Analytical Chemistry, 23: 541-542
Lee., X. Yongmei., and D. Yumin. 2003. Effect Of Moleculer Structure Of Chitosan
On Protein Delivery Properties Of Chitosan Nanoparticles. International Journal of
Pharmaceutics 250: 215-226.
Lee, S.E., K.H. Park., I.S. Park., and K. Na. 2007. Glycol Chitosan as A Stabilizer for
Protein Encapsulated Into Poly (Lavtide-co-glycolide) Microparticle. Int J Pharm
338:310-316. DOI:10.1016/j.ijpharm.2007.02.008.
Luditama,C. 2006. Isolasi Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan
sabut Kelapa secara Pirolisis dan Distilasi. Skripsi. Departemen Teknologi Industri
Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Maga, J.A. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press. Florida.
Moore, G.R.P., L.R. do Canto., E.R. Amante., and V. Soldi. 2005. Cassava and Corn
Starch in Maltodextrin Production. Quim Nova. 29:596-600. DOI: 10.1590/S010040422005000400008.

Mardliyati, E. 2010. Pengenalan Pemanfaatan Nanopartikel Kitosan sebagai


Matriks Enkapsulasi. Jakarta: Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi.
Mohanraj, U.J and Y. Chen. 2006. Nanoparticles - A Review. Tropical Journal of
Pharmaceutical Research 5(1): 561-573.
Ojeda, M., P. Barcenas., F.J. Perez-Elortondo, M. Albisu., and M.D. Guillen. 2002.
Chemical References in Sensory Analysis of Smoke Flavourings. J. Food Chemistry
78: 433-442.
Patel R.P., M.P.Patel., A.M. Suthar. 2009. Spray Drying Technology. An Overview.
Indian J. Science Tech 2 (10): 44-47
Prananta, J. 2008. Pemanfaatan Sabut dan Tempurung Kelapa serta Cangkang
Sawit untuk Pembuatan Asap Cair sebagai Pengawet Makanan Alami. http://wordto-pdf.abdio.com. [8 November 2014].
Rasyid, H.A. 2010. Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Bahan
Pengawet Ikan Teri Nasi (Stelophorus commersonii, Lac) Segar Untuk Tujuan
Transportasi.
Risch, S. J. 1995. Encapsulation: Overview of User and Techniques. In
Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients, G. A. Reineccius. ACC
Symposium Series 590 American Chemical Society.
Saloko, S., P. Darmadji., B. Setiaji., and Y. Pranoto. 2012. Inovasi Prototipe Produk
Nanoenkapsulasi Biopreservatif Asap Cair sebagai Pengawet Pangan Alami.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Saloko, S., P. Darmadji., B. Setiaji., and Y. Pranoto. 2014. Antioxidative and
Antimicrobial Activities of Liquid Smoke Nanocapsules using Chitosan and
Maltodextrin and its Application on Tuna Fish Preservation. Journal of Food
Bioscience. 7: 71-79
Senter, S.D.,J.A Robertson., and F.I. Meredith. 1989. Phenolic Compound of The
Mesocarp of Cresthauen Peaches During Storage and Ripening. J. Food Sci. 54:
1259-1268
Sugita. 2010. Isolasi Kitin dan Komposisi Senyawa Kimia Limbah Udang Windu
(Penaeus monodon). Tesis. Bandung: Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Toth, L., and K. Potthast. (1984). Chemical aspects of the smoking of meat and
meat products. In C. O. Chichester, E. M. Mark, & B. S. Schweigert (Eds.),
Advances in food research (pp. 87158). Orlando, FL: Academic Press.
Tranggono, S., B. Setiadji., P. Darmadji., Supranto., dan Sudarmanto, 1999.
Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. Abstrak.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan.

Won, J., M.H. Oh., J.M. Oh., M.S. Kang., J.H. Choy., and S. Oh. 2008. Stability
Analysis of Zinc Oxide-Nanoencapsulated Conjugated Linoleic Acid and
GammaLinolenic Acid DOI: 10.1111/j.1750-3841.2008.00924.x Journal of Food
Science. 73:8:N3943.
Wukirsari, T. 2006. Enkapsulasi Ibuprofen dengan Penyalut Alginat dan Kitosan.
Skripsi. Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zuidan, N.J., and V.A. Nedovic. 2010. Encapsulation Technologies for Food
Ingredients and Food Processing. Springer. New York.
Zuraida, I., I. Sukarno., and S. Budijanto. 2011. Antibacterial Activity of Coconut
Shell Liquid Smoke and Its Application on Fish Ball Preservation. International
Food Research Journal. 18:405-410

Anda mungkin juga menyukai