Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1 Histopatologi
Gambar 2 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and
Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).
Gambar 3 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai
and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).
Undifferentiated Carcinoma
Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma
nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma nasofaring
memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu,
dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma
biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan
berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel
dengan bentuk oval atau spindle. 19,20
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.12,21
kteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils
tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan
pertama.14,18,19
2.
Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan
ruang para faring ke arah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini
dengan KNF.14,19
3.
dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada
sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang
tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.12,14,18,19
4.
Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat
KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk
membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama
di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar
cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada
kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.12,14,19
5.
meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT
meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat
kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.
2.9.
: T1 N0 M0
Stadium II
: T2 N0 M0
Stadium III
: T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV
: T4 N0,N1 M0
Tiap T, N2,N3 M0
Tiap T, Tiap N, M12
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis
: Carcinoma in situ
T1
: Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat
dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2
T3
T4
: Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau
keduanya).12,13,14,16
2.10.
PROGNOSIS
Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi
karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara
keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa
faktor, seperti :
2.11.
KOMPLIKASI
Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang
selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang
bermanifestasi dalam bentuk :
1.
Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan
kelainan :
2.
Retroparidean sindrom
3.
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru.
Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain
ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paruparu dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4
%, dan tiroid 0.4 %. 11,12,17
2.12.
PENATALAKSANAAN
2.12.1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,
karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.
Radioterapi
dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan
akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan
ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul
ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam
kromosom, sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari
sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap
rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.
Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya
sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel
kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal
serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah
bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran
kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga
nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer
tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini
diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi
masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi
pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada
daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang
disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan
dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA Ribose
Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA terutama terdapat paa
khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme DNA dan menghentikan
aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi
granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya
yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas.
Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral
kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu
penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih
terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai
4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh
antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap
dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi
sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula.
Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik
dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan
dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan
penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan
supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah
leher tengah.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat
tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya.
Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi.
Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh
yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring
tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.22
10
Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran
supraklavikular dikeluarkan.22
2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi
untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan
lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.22
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang
diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai
4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan
penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan
penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x
200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak
didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan
supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.22
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara
bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB
leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan
menggunakan radioisotop Cobalt60.22
2.12.1.2 Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
2.12.1.3 Komplikasi radioterapi
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
11
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadangdiperparah
dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksia
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis yang
terkena radiasi)
- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan
sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien
mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi
keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya
bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis
diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi
local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea,
anorexia dan sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan tersebut.22
2.12.2 Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.14,15,18,23
2.12.2.1 Indikasi Kemoterapi
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
12
kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.
pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan
dan metastasis jauh). 15,18,23
neoadjuvant
atau
induction
chemotherapy
(yaitu
pemberian
kemoterapi
3.
post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi )14,16,23
13
b)
c)
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar
radiasi.20,22,23
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal
mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan
overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). 20,22,23
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat
memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi. 20,22,23
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi
14
dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.
Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,
membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel
kanker yang sublethal. 20,22,23
2.12.2.5 Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan
sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat
fatal. 22,23
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan
dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak
diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal
pemberian.22,23
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal
(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan
sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering
digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.22,23
2.12.3 Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal
dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi
paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring
yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
2.12.4 Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi, yaitu
dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu proses
imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke tubuh pasien di
15
mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas
baru terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga belum dapat
digunakan dalam terapi kanker nasofaring.
2.13.
PENCEGAHAN
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang
akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan
16
3.2
Faktor lingkungan
Genetik
Deteksi awal yang cermat terhadap gejala karsinoma nasofaring sangatlah diperlukan
walaupun sulit, karena seringkalai penderita KNF terdeteksi pada stadium lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
17
4. Kartikawati,
Henny.
Penatalaksanaan
karsinoma
nasofaring
menuju
terapi
kombinasi/kemoradioterapi.
5. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
6. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.
Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.
7. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan
pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.
8. Ahmad, A.. 2002. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan
Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif. Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.
9. Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal. 371-396
10. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.
Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI. Hal.146-50.
11. Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396
12. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans
P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head and
Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz. Hal. 473-81.
13. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi.
Jakarta: FKUI. Hal.151-152
14. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of
Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92.
15. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta
16. http://en.wikipedia.org/wiki/Epstein-Barr_virus"
17. http://www.pdgionline.com/web/index.php?
option=content&task=view&id=600&Itemid=0&limit=1&limitstart=1
18. 11. T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan radioterapi.
Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.XXVI No.1. Medan: FK
USU, 1996. h. 15-20.
18
19