Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAERAH RAWA


EKOSISTEM RAWA

Disusun Oleh :
Tri Wardani

(H1E113002)

Queen Alcitra P

(H1E113204)

Asmarika Wibawati

(H1E113230)

DOSEN PENGAJAR
NOVA ANNISA, S.Si.,MS
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
taufik dan hidayah-Nya maka usahausaha dalam menyelesaikan tugas mata
kuliah Pengelolaan Kualitas Air Daerah Rawa, penulis dapat terselesaikan sesuai
harapan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu

Nova annisa, S.Si.,MS selaku dosen mata kuliah Pengelolaan Kualitas Air Daerah
Rawa.
Saran dan kritik yang konstruktif tetap diharapkan serta akan dijadikan
sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan Tugas Ekosistem Rawa penulis
mohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyusunannya. Semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Banjarbaru, Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................2
BAB II ISI................................................................................................................3
2.1 Tipologi Ekosistem Rawa.............................................................................3
2.2 Keanegaragaman Hayati..............................................................................11
2.3 Fungsi Ekosistem.........................................................................................11
BAB III PENUTUP...............................................................................................13
3.1 Kesimpulan..................................................................................................13
3.2 Saran.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ekosistem lahan rawa memiliki sifat khusus yang berbeda dengan
ekosistem lainnya, terutama disebabkan oleh kondisi rejim airnya. Berdasarkan
rejim airnya lahan rawa dikelompokka menjdai lahan rawa pasang surut dan lahan
rawa non pasang surut (lebak) (Sudana, 2005)

Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi peralihan


di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara
daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands)
dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara system perairan dan
daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam
setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air
tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk lahan pertanian, lahan
rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis rumputan (reeds, sedges, dan
rushes), vegetasi semak maupun kayu-kayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau
mempunyai permukaan air tanah dangkal, atau bahkan tergenang dangkal. Hutan
rawa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya akan Jenis-jenis floranya
dan faunanya.
Rawa merupakan ekosistem yang khas dan memiliki fungsi yang sangat
penting dalam menunjang kehidupan dimana ekosistem rawa berfungsi sebagai
pengatur tata air dalam tanah, penampung kelebihan air dari air laut dan darat.
Lahan rawa juga berfungsi sebagai wilayah tangkapan air hujan yang dapat
mencegah banjir pada musim hujan. Selain itu, sebagai wilayah resapan untuk
mencegah

intrusi air laut pada musim kemarau. Lahan rawa juga berfungsi

sebagai spon kehidupan ekosistem sekitarnya. Dengan demikian fungsi ekosistem


rawa perlu dijaga kelestariannya meningat fungsinya yang sangat kompleks.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana topologi ekositem rawa?
2. Apa saja keanekaragaman hayati pada ekosistem rawa ?
3. Apa saja fungsi ekosistem rawa?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui topologi ekosistem rawa.
2. Mengetahui apa saja keanekaragaman hayati pada ekosistem rawa.
3. Mengetahui fungsi ekosistem rawa.
4.

BAB II
ISI

2.1 Tipologi Ekosistem Rawa


Ekosistem rawa digolongkan sebagai ekosistem yang berada diantara
ekosistem darat dan air (dalam istilah ekologi disebut ekoton). Menurut Hammer
dan Bastian (1989), untuk dapat disebut rawa, salah satu atau lebih dari tiga
kondisi ini harus terpenuhi, yaitu :
1. Tanah yang dapat mendukung tumbuhan hidrofita.
2. Wilayah yang didominasi oleh lahan basah yang tidak terdrainase untuk
waktu yang lama.
3. Wilayah yang terdiri dari substrat/media bukan tanah seperti pasir atau
kerikil.
Ekosistem rawa di bedakan oleh pengaruh air pasang surut, khususnya
sewaktu pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai
di bagian bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona.
Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al.
(1992), dan agak mendetail oleh Subagyo (1997). Ketiga zona wilayah rawa
tersebut adalah:

Gambar 2.1 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS)
bagian bawah dan tengah

1. Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau


Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang
bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-pulau
delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh
pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai tidal
wetlands, yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air
laut/salin.
Di bagian pantai yang terbuka ke laut lepas, apabila pesisir pantainya berpasir
halus, dan ombak langsung mencapai garis pantai, oleh pengaruh energi ombak
dan angin biasanya terbentuk beting pasir pantai (coastal dunes/ridges), yang di
belakangnya terdapat semacam danau-danau sempit yang disebut laguna
(lagoons). Wilayah di belakang laguna, merupakan jalur yang ditumbuhi hutan
bakau atau mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.), dan masih dipengaruhi
oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks). Di belakanghutan mangrove,
6

terdapat jalur wilayah yang dipengaruhi oleh air payau (brackish water), dan
ditumbuhi vegetasi nipah (Nipa fruticans). Di belakang hutan nipah, terdapat
landform rawa belakang (backswamp) yang dipengaruhi oleh air tawar (fresh
water).
Selanjutnya lebih jauh ke arah daratan, pada landform cekungan/depresi,
ditempati oleh hutan rawa dan gambut air tawar (fresh-water swamp and peat
forests). Di bagian estuari atau teluk yang terlindung dari hantaman ombak
langsung, atau di bagian pantai yang terlindung gosong pasir (sand spits), pada
bagian paling depan terdapat dataran lumpur tidak bervegetasi, yang terbenam di
bawah air laut sewaktu air pasang, tetapi terlihat muncul sebagai daratan sewaktu
air surut. Dataran berlumpur ini disebut tidal flats, atau mudflats. Pada bagian
daratan yang sedikit lebih tinggi letaknya, yang sebagian atau seluruhnya masih
digenangi air pasang, disebut tidal marsh (rawa pasang surut), atau "salt marsh
(rawa dipengaruhi air garam). Di bagian terluar yang masih dipengaruhi oleh
pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi rambai (Sonneratia sp.), api-api
(Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke arah
daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah butabuta (Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini
lebarnya beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat.
Wilayah di belakang hutan mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang
melalui sungai-sungai kecil, namun sudah ada pengaruh air tawar dari hutan rawa
pantai lebih ke darat. Bagian yang dipengaruhi oleh air payau ini, didominasi oleh
nipah bersama panggang (Araliceae) dan pedada (Sonneratia acida), membentuk
jalur hutan nipah yang lebarnya dapat mencapai 500 m. Di belakang jalur hutan
nipah terdapat landform rawa belakang yang sudah dipengaruhi oleh air tawar. Di
rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang ini, umumnya didominasi pohon
gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah daratan, pada sub-landform
cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut air tawar. Bagian wilayah
pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air payau ini, di pantai timur
pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau, umumnya masuk ke
dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar sejauh dari beberapa ratus
meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah ini, karena pengaruh air laut/salin

atau air payau, tanahnya mengandung garamgaram yang tinggi, dikatagorikan


sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai untuk lahan pertanian.
Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah hulu
dari muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu bagian muara sungai yang
melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan surut terjadi.
Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat mencapai sekitar
10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relatif sempit dan
sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai jarak 5-10 km dari muara
sungai. Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan Pulau Delta atau ke arah
wilayah pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat mencapai sekitar 4-5
km.

Gambar 2.2 Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/payau,
pantai pada bagian yang terlindung dalam estuari, atau teluk

2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar


Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah hulu
sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah, namun
posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungaI. Di wilayah ini
energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu dengan energi
pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi diurnal). Karena
wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang dominan adalah
pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai sendiri. Walaupun begitu, energi
pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh masih adanya gerakan air
pasang dan air surut di sungai. Di daerah tropika yang beriklim munson, yang
dicirikan oleh adanya musim hujan dan musim kemarau, di musim hujan ditandai
oleh volume air sungai yang meningkat, berakibat bertambah besarnya pengaruh

air pasang ke daratan kirikanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan
air pasang ke arah hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang
dibawa air pasang, mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai.
Pengendapan bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad
akhirnya membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas
terlihat ke arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang
surut, ke arah hilir dan di muara sungai besar.
Di antara dua sungai besar, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara
berangsur atau secara mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah yang
diisi tanah gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut semakin tebal/dalam dan
akhirnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang menurun tanahnya
di antara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut (sublandform) rawa
belakang (backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air sungai relatif
tetap atau malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang
sungai sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan terkering, Juli-September,
pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari
muara sungai.
Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air
sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu
berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada
gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai,
tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok
sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota
Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relatif
sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran
di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang
berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif masih agak
kuat.
Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau pada
tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S.Inderagiri: 146
dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di Kalimantan, S.
Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan S. Barito 158 dan

68 km dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8 km, S. Lorenz


(pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat Merauke) 272
dan 58 km dari muara sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec,1984).

Gambar 2.3 Penampang skematis sub-landform di antara dua sungai besar


pada zona II lahan rawa pasang surut air tawar
3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut
Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai di
wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, rawa
lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut.
Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada sungaisungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir (floodplains)
pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya, sampai dataran
banjir bermeander (meandering floodplains), termasuk bekas aliran sungai tua
(old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada sungai-sungai
besar yang lebih tua perkembangannya.
Pengaruh sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman,
yang menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan
debit sungai yang sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau
perbedaan penurunan tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai
melambat, ditambah tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air
sungai seakan-akan "berhenti" (stagnant), sehingga menimbulkan genangan banjir
yang meluas. Tergantung dari letak dan posisi lahan di landscape, genangan dapat
berlangsung dari sekitar satu bulan sampai lebih dari enam bulan. Sejalan dengan
perubahan musim yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan, genangan air

10

banjir secara berangsur-angsur akan surut sejalan dengan perubahan musim ke


musim kemarau berikutnya.

Gambar 2.4 Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, antara dua
sungai besar
Apabila lahan rawa lebak bersambungan dengan lahan rawa pasang surut.
Pada kondisi ini, bahan endapan sungai yang terbentuk lebih muda umur
(geologis)-nya, menutupi endapan laut/marin yang telah terbentuk terlebih dahulu.
Kondisi seperti ini terjadi pada wilayah peralihan antara zona II (lahan rawa
pasang surut air tawar) dan zona III (lahan rawa non-pasang surut, atau lahan rawa
lebak.

Gambar 2.5 Penampang skematis daerah lahan rawa lebak peralihan antara
lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut (marin)
Pada wilayah ini, tanah yang terbentuk mempunyai dua bahan induk, yaitu
di

bagian

atas

merupakan

endapan

sungai,

dan

bagian

bawah

berasal dari endapan marin yang mengandung bahan sulfidik (pirit). Kedalaman
bahan sulfidik di daerah peralihan ini bervariasi, antara 70-150 cm, atau antara
50-120 cm dari permukaan tanah.
Berdasarkan lamanya genangan dan tingginya genangan, lahan rawa lebak
umumnya dibagi menjadi tiga tipe (tipologi) lahan lebak yaitu ;
Berdasarkan topografi, dalam dan lama penggenangan, lahan rawa
lebak/pedalaman dibedakan ke dalam 3 kategori, yaitu :

11

1. Lebak pematang : terletak di sepanjang tanggul alam sungai, topografi


lebih tinggi dan genangan relatif dangkal dan singkat
2. Lebak tengahan : terletak antara lebak dalam dan pematang
3. Lebak dalam : lahan yang terletak di sebelah dalam, merupakan suatu
cekungan, relatif dalam dan tergenang terus menerus.

Gambar 2.6 Skematis tipologi lahan rawa lebak


Selain ketiga tipe lahan lebak tersebut, masih ada istilah renah dan talang
yang biasa digunakan untuk mendeskripsi keadaan wilayah lahan lebak di
Sumatera Selatan. Uraian secara ringkas dari semua istilah dan tipe lahan rawa
lebak adalah :
1. Renah, adalah bagian yang paling tinggi dari tanggul sungai. Biasanya
jarang kebanjiran, oleh karena itu umumnya dimanfaatkan untuk rumahrumah dan perkampungan penduduk.
2. Talang, adalah lahan darat atau lahan kering yang tidak pernah kebanjiran,
dan merupakan bagian dari wilayah berombak sampai bergelombang, terdiri
atas batuan sedimen, atau batuan volkan masam.
3. Lebak Pematang, adalah sawah di belakang perkampungan. dan merupakan
sebagian dari wilayah tanggul sungai dan sebagian wilayah dataran rawa
belakang. Lama genangan banjir umumnya kurang dari 3 bulan, atau
minimal satu bulan dalam setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50
cm. Oleh karena genangan air banjir selalu dangkal, maka bagian lebak ini
4.

sering juga disebut Lebak Dangkal.


Lebak Tengahan, adalah sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan.
Genangannya lebih dalam, antara 50 sampai 100 cm, selama kurang dari 3
bulan, atau antara 3-6 bulan. Masih termasuk wilayah Lebak Tengahan
apabila genangannya dalam, lebih dari 100 cm, tetapi jangka waktu
genangannya relatif pendek, yaitu kurang dari 3 bulan.

12

5.

Lebak Dalam, adalah bagian lebak yang dalam airnya, dan sukar mengering
kecuali pada musim kemarau panjang. Disebut juga lebak lebung, tempat
memelihara ikan yang tertangkap, waktu air banjir telah surut. Tinggi air
genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dar i 6
bulan. Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal
antara 50-100 cm, tetapi lama genangannya harus lebih dari enam bulan
secara berturut-turut dalam setahun (Subagyo, 2006)

2.2 Keanegaragaman Hayati


Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Jenis-jenis
floranya antara lain: Galam (melaleuca cajuputi), durian burung (Durio
carinatus), ramin (Gonystylus sp), terentang (Camnosperma sp.), kayu putih
(Melaleuca sp), sagu (Metroxylon sp), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai
jenis liana gaam Faunanya antara lain : harimau (Panthera tigris), Orang utan
(Pongo pygmaeus), rusa (Cervus unicolor), buaya (Crocodylus porosus), babi
hutan (Sus scrofa), badak, gajah, musang air dan berbagai jenis ikan seperti gabus
(Ophicephalus Stiatus), Papuyu (Anabas testuduneus ) dan lainya.
2.3 Fungsi Ekosistem
Rawa merupakan ekosistem yang khas dan memiliki fungsi yang sangat
penting dalam menunjang kehidupan adapun fungsi ekosistem rawa sebagai
berikut :
1. Sebagai pengatur tata air dalam tanah.
2. Sebagai Penampung kelebihan air dari air laut dan darat.
3. Lahan rawa berfungsi sebagai wilayah tangkapan air hujan yang dapat
mencegah banjir pada musim hujan.
4. Sebagai wilayah resapan untuk mencegah intrusi air laut pada musim
kemarau.
5. Lahan rawa juga berfungsi sebagai spon kehidupan ekosistem sekitarnya.

13

6. Rawa pasang surut bersama-sama dengan komponen estuaria dapat


berfungsi sebagai jebak hara dan jebak bahan pencemar (Nybaken, 1992).

14

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari makalh ini adalah :
1. Tipoogi ekosistem rawa menurut pasang surut air laut di bedakan menjadi
3 zona yaitu, Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau, Zona II:
Wilayah rawa pasang surut air tawar dan Zona III: Wilayah rawa lebak,
atau rawa non-pasang surut
2. Keanekaragaman hayati yang ada pada ekosistem rawa yang dimiliki
sangat kaya akan

jenis-jenis floranya baik sejenis rumputan (reeds,

sedges, dan rushes, vegetasi semak maupun kayu-kayuan/hutan dan fauna


air maupun darat.
3. Ekosistem rawa memiliki fungsi yang sangat penting dalam menunjang
kehidupan seperti ; sebagai pengatur tata air dalam tanah, penampung
kelebihan air dari air laut dan darat, wilayah tangkapan air hujan, resapan
banjir,

pencegah

intrusi air laut dan juga sebagai spon kehidupan

ekosistem sekitarnya.
3.2 Saran
Adapun saran untuk makalah ini untuk menjaga ekosistem rawa dengan
baik, agar tidak terjadi kerusakan dimana fungsi ekosistem rawa memiliki fungsi
penting dalam menunjang kehidupan.

15

DAFTAR PUSTAKA

Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984. Final Report. Nationwide Study of Coastal and


Near Coastal Swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya.
Volume 3 Maps. August 1984. Governm. of the Republic of Indonesia.
Ministry of Public Works. Direct. Gen. of Water Resources Development.
Nybaken JW. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. (Terjemahan dari
Marine Biology: An Ecological Approach. Alih Bahasa: Eidman M,
Koesoebiono, Bengen DG dan Hutomo M). Gramedia. Jakarta.
Sudana Wayan, 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi
pertanian. Balai pengkajian dan pembangunan teknologi pertanian Bogor.
Subagyo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk
pertanian. h. 17-55. Dalam A.S. Karama et al. (penyunting). Prosiding
Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta,
25-27 Juni 1996.
Subagyo, H. 2006. Karakteristik Dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar
Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

16

Anda mungkin juga menyukai