Disusun Oleh :
Tri Wardani
(H1E113002)
Queen Alcitra P
(H1E113204)
Asmarika Wibawati
(H1E113230)
DOSEN PENGAJAR
NOVA ANNISA, S.Si.,MS
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
taufik dan hidayah-Nya maka usahausaha dalam menyelesaikan tugas mata
kuliah Pengelolaan Kualitas Air Daerah Rawa, penulis dapat terselesaikan sesuai
harapan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Nova annisa, S.Si.,MS selaku dosen mata kuliah Pengelolaan Kualitas Air Daerah
Rawa.
Saran dan kritik yang konstruktif tetap diharapkan serta akan dijadikan
sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan Tugas Ekosistem Rawa penulis
mohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyusunannya. Semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................2
BAB II ISI................................................................................................................3
2.1 Tipologi Ekosistem Rawa.............................................................................3
2.2 Keanegaragaman Hayati..............................................................................11
2.3 Fungsi Ekosistem.........................................................................................11
BAB III PENUTUP...............................................................................................13
3.1 Kesimpulan..................................................................................................13
3.2 Saran.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
intrusi air laut pada musim kemarau. Lahan rawa juga berfungsi
BAB II
ISI
Gambar 2.1 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS)
bagian bawah dan tengah
terdapat jalur wilayah yang dipengaruhi oleh air payau (brackish water), dan
ditumbuhi vegetasi nipah (Nipa fruticans). Di belakang hutan nipah, terdapat
landform rawa belakang (backswamp) yang dipengaruhi oleh air tawar (fresh
water).
Selanjutnya lebih jauh ke arah daratan, pada landform cekungan/depresi,
ditempati oleh hutan rawa dan gambut air tawar (fresh-water swamp and peat
forests). Di bagian estuari atau teluk yang terlindung dari hantaman ombak
langsung, atau di bagian pantai yang terlindung gosong pasir (sand spits), pada
bagian paling depan terdapat dataran lumpur tidak bervegetasi, yang terbenam di
bawah air laut sewaktu air pasang, tetapi terlihat muncul sebagai daratan sewaktu
air surut. Dataran berlumpur ini disebut tidal flats, atau mudflats. Pada bagian
daratan yang sedikit lebih tinggi letaknya, yang sebagian atau seluruhnya masih
digenangi air pasang, disebut tidal marsh (rawa pasang surut), atau "salt marsh
(rawa dipengaruhi air garam). Di bagian terluar yang masih dipengaruhi oleh
pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi rambai (Sonneratia sp.), api-api
(Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke arah
daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah butabuta (Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini
lebarnya beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat.
Wilayah di belakang hutan mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang
melalui sungai-sungai kecil, namun sudah ada pengaruh air tawar dari hutan rawa
pantai lebih ke darat. Bagian yang dipengaruhi oleh air payau ini, didominasi oleh
nipah bersama panggang (Araliceae) dan pedada (Sonneratia acida), membentuk
jalur hutan nipah yang lebarnya dapat mencapai 500 m. Di belakang jalur hutan
nipah terdapat landform rawa belakang yang sudah dipengaruhi oleh air tawar. Di
rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang ini, umumnya didominasi pohon
gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah daratan, pada sub-landform
cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut air tawar. Bagian wilayah
pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air payau ini, di pantai timur
pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau, umumnya masuk ke
dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar sejauh dari beberapa ratus
meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah ini, karena pengaruh air laut/salin
Gambar 2.2 Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/payau,
pantai pada bagian yang terlindung dalam estuari, atau teluk
air pasang ke daratan kirikanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan
air pasang ke arah hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang
dibawa air pasang, mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai.
Pengendapan bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad
akhirnya membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas
terlihat ke arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang
surut, ke arah hilir dan di muara sungai besar.
Di antara dua sungai besar, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara
berangsur atau secara mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah yang
diisi tanah gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut semakin tebal/dalam dan
akhirnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang menurun tanahnya
di antara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut (sublandform) rawa
belakang (backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air sungai relatif
tetap atau malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang
sungai sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan terkering, Juli-September,
pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari
muara sungai.
Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air
sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu
berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada
gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai,
tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok
sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota
Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relatif
sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran
di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang
berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif masih agak
kuat.
Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau pada
tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S.Inderagiri: 146
dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di Kalimantan, S.
Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan S. Barito 158 dan
10
Gambar 2.4 Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, antara dua
sungai besar
Apabila lahan rawa lebak bersambungan dengan lahan rawa pasang surut.
Pada kondisi ini, bahan endapan sungai yang terbentuk lebih muda umur
(geologis)-nya, menutupi endapan laut/marin yang telah terbentuk terlebih dahulu.
Kondisi seperti ini terjadi pada wilayah peralihan antara zona II (lahan rawa
pasang surut air tawar) dan zona III (lahan rawa non-pasang surut, atau lahan rawa
lebak.
Gambar 2.5 Penampang skematis daerah lahan rawa lebak peralihan antara
lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut (marin)
Pada wilayah ini, tanah yang terbentuk mempunyai dua bahan induk, yaitu
di
bagian
atas
merupakan
endapan
sungai,
dan
bagian
bawah
berasal dari endapan marin yang mengandung bahan sulfidik (pirit). Kedalaman
bahan sulfidik di daerah peralihan ini bervariasi, antara 70-150 cm, atau antara
50-120 cm dari permukaan tanah.
Berdasarkan lamanya genangan dan tingginya genangan, lahan rawa lebak
umumnya dibagi menjadi tiga tipe (tipologi) lahan lebak yaitu ;
Berdasarkan topografi, dalam dan lama penggenangan, lahan rawa
lebak/pedalaman dibedakan ke dalam 3 kategori, yaitu :
11
12
5.
Lebak Dalam, adalah bagian lebak yang dalam airnya, dan sukar mengering
kecuali pada musim kemarau panjang. Disebut juga lebak lebung, tempat
memelihara ikan yang tertangkap, waktu air banjir telah surut. Tinggi air
genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dar i 6
bulan. Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal
antara 50-100 cm, tetapi lama genangannya harus lebih dari enam bulan
secara berturut-turut dalam setahun (Subagyo, 2006)
13
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari makalh ini adalah :
1. Tipoogi ekosistem rawa menurut pasang surut air laut di bedakan menjadi
3 zona yaitu, Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau, Zona II:
Wilayah rawa pasang surut air tawar dan Zona III: Wilayah rawa lebak,
atau rawa non-pasang surut
2. Keanekaragaman hayati yang ada pada ekosistem rawa yang dimiliki
sangat kaya akan
pencegah
ekosistem sekitarnya.
3.2 Saran
Adapun saran untuk makalah ini untuk menjaga ekosistem rawa dengan
baik, agar tidak terjadi kerusakan dimana fungsi ekosistem rawa memiliki fungsi
penting dalam menunjang kehidupan.
15
DAFTAR PUSTAKA
16