konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan
perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, melalui
pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang
yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah
(Bahl,2000:19).
Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi (Musgrave 1959). Kekuatan dan
mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Padahal,
distribusi pendapatan yang (relatif) merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat
secara umum. Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan
yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Dari sisi praktis, peranan pemerintah daerah di Indonesia dapat dianggap sangat dominan sejak
digulirkannya era otonomi daerah pada tahun 2001. Sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang
semakin luas kepada daerah, daerah dituntut untuk dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan,
baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Untuk
mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pada
dasarnya dilakukan dengan prinsip money follow function. Dalam implementasinya, seiring dengan
pelimpahan kewenangan Pusat kepada yang Daerah, kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan,
terutama melalui transfer yang jumlahnya cukup besar.
Selaras dengan esensi otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan untuk daerah tersebut
juga dibarengi dengan diskresi yang luas untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah.
Dengan demikian, diharapkan agar local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi
stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung
pada Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang berorientasi
pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan
mengurangi jumlah penduduk miskin.
Besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang didapat.
Baru 18 dari 492 daerah yang telah memungut PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)sebagai
pajak daerah pada tahun 2012, meskipun batas waktu pengalihan sampai dengan Januari 2014.
Sampai akhir 2012 50,2% Pemda siap untuk memungut PBB-P2, yang dari sisi potensi telah
mencakup 91,3%.
Beberapa daerah terkendala oleh kecilnya potensi PBB-P2, kesiapan SDM, sarana dan prasarana,
dan perangkat pendukung lainnya.
Penyaluran DBH didasarkan pada realisasi yang baru diketahui pada tahun berikutnya, sehingga
menimbulkan permasalahan kurang bayar.
Banyaknya usulan daerah untuk mendapatkan bagi hasil yang belum diatur dalam UU, misalnya
pajak ekspor, perkebunan, daerah pengolah migas.
Alokasi dasar yang dihitung berdasarkan gaji PNSD, menyebabkan inefisiensi dalam belanja
pegawai daerah.
Formulasi dan kebijakan DAU yang dialokasikan secara otomatis untuk daerah otonom baru
mendorong pemekaran daerah.
Alokasi DAU hasilnya baru dapat diinformasikan ke daerah pada bulan November (setelah
penetapan APBN akhir Oktober) menyulitkan daerah dalam penyusunan APBD.
Kerancuan fokus DAK, equalisasi, national priority, atau support untuk daerah dengan kapasitas
fiskal rendah.
Petunjuk teknis DAK yang rigid dan seringkali terlambat sehingga menyulitkan daerah dalam
melaksanakan kegiatan DAK.
Penetapan daerah penerima dan besarannya tidak dapat diprediksi dan baru dapat diinformasikan
ke daerah pada bulan November (setelah penetapan APBN akhir Oktober) menyulitkan daerah
dalam penyusunan APBD.
APBD seharusnya ditetapkan paling lambat 31 Desember sebelum tahun anggaran berjalan.
Namun, pada tahun 2012, 524 daerah, yang menetapkan APBD tepat waktu hanya sebanyak 274
daerah (52% daerah). Pada 2011 hanya 211 daerah (40%) dan 2010 sebanyak 214 daerah (41%).
Proporsi terbesar belanja daerah adalah belanja pegawai, dengan proporsi diatas 40% (untuk
provinsi di kisaran 25% dan untuk kabupaten/kota di kisaran 51%) dan terus meningkat hingga
tahun 2011. Baru tahun 2012 belanja pegawai mengalami penurunan secara proporsi terhadap
belanja total.
Proporsi belanja modal mengalami peningkatan di tahun 2011 dan 2012, dimana belanja modal
mempunyai proporsi diatas 20%.