Anda di halaman 1dari 13

Gangguan Mental pada Hipotiroid

BAB I
Pendahuluan

Saat ini gejala-gejala psikiatri pada penyakit endokrin sudah jarang


didapatkan dibanding dahulu karena adanya perbaikan diagnosis dan terapi
gangguan hormonal. Namun, prevalensi gangguan psikiatri pada berbagai kondisi
endokrin masih sering didapatkan, termasuk pada gangguan tiroid dan paratiroid.
Gejala klinis yang paling sering didapatkan berupa depresi dan anxietas yang
disertai dengan gangguan kognitif. (1) Prevalensi gangguan mood dan anxietas
lebih tinggi pada pasien yang menderita disfungsi tiroid. Beberapa penelitian juga
telah menunjukkan tingginya prevalensi disfungsi tiroid pada pasien yang
menderita skizofrenia. (2)
Hormon tiroid penting bagi perkembangan otak, sehingga tidak adanya
hormon tersebut dapat menyebabkan defek kognitif yang berat. Terdapat beberapa
bukti yang menunjukkan pentingnya hormon tiroid pada otak orang dewasa untuk
menjalankan fungsi neuronal normal. (3)
Hubungan antara hipotiroidisme dengan depresi sudah diketahui dengan
baik, dan hampir semua ahli psikiatri akan melalukan tes kadar hormon tiroid
pasien sebelum meresepkan obat antidepressan, karena bahkan pada kasus
gangguan fungsi tiroid ringan dapat menyebabkan depresi berat. (4)
Pasien hipotiroid memiliki morbiditas psikiatri yang tinggi, misalnya
depresi pada sekitar 28-50% pasien dan gangguan anxietas pada 30-40% pasien.
Penelitian lain menunjukkan bahwa 20.5% pasien penderita gagguan depresi berat
juga menderita hipotiroidisme. Pada 2% - 12% kasus, gejala psikiatri seringkali
menjadi tanda pertama hipotiroidisme, dimana yang tersering dilaporkan adalah
gangguan mental organik. Gangguan anxietas terjadi pada sekitar 30% - 40%
pasien yang menderita hipotiroidisme akut. (4)

BAB II
Pembahasan

2.1.

Epidemiologi
Lebih dari 13 juta orang Amerika mengalami gangguan tiroid, dan lebih

dari setengahnya tidak didiagnosis. Prevalensi dan insidens gangguan tiroid


utamanya dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia. Gangguan tiroid lebih umum
didapatkan pada wanita dibandingkan pria, dan pada orang dewasa dibandingkan
dengan kelompok usia muda. (5)
Berdasarkan beberapa penelitian epidemiologi, prevalensi hipotiroidisme
pada wanita sekitar 0.6% atau kurang. Usia juga merupakan faktor yang penting.
Prevalensi hipotiroidisme adalah sekitar 2% bagi wanita berusia 70 hingga 80
tahun, dan 1.4% bagi semua wanita yang berusia > 60 tahun. Sebagai
perbandingan, tingkat prevalensi hipotiroidisme pada laki-laki berusia > 60 tahun
adalah 0.8%. Estimasi insidens / kejadian hipotiroid pada wanita adalah 2.4 per
1000 wanita tiap tahunnya atau sekitar 3% dari populasi umum. Disfungsi tiroid
baik hiper atau hipotiroid jarang didapatkan pada wanita berusia < 40 tahun dan
pria < 60 tahun. (5) Sedangkan untuk hipotiroidisme subklinis, prevalensinya antara
9.0% - 15.0%. (6)

2.2.

Hormon Tiroid

Fisiologi
Hormon tiroid Tiroksin (T4) dan Triiodotironin (T3) merupakan
hormon penting bagi metabolisme selular, pertumbuhan, dan diferensiasi beberapa
organ, khususnya otak. Tiroksin (T4) yang merupakan produk utama yang
disekresikan oleh kelenjar tiroid, memerlukan asupan iodine agar dapat disintesis.
Sekresi hormon tiroid diregulasi / diatur oleh aksis hipotalamus hipofisis tiroid
(HPT). Tyroid-stimulating hormone (TSH) dan thyrotropin-releasing hormone
(TRH) merupakan bagian dari aksis yang meregulasi sekresi hormon tiroid.
Dalam sirkulasi, T4 berikatan utamanya dengan protein plasma, yaitu thyroxinebinding globulin, transthyretin (TTR), albumin, dan lipoprotein. Triiodotironin
2

(T3) merupakan hormon tiroid yang paling aktif secara biologis karena afinitas /
kemampuannya untuk berikatan dengan reseptor hormon tiroid (TH) 10 kali lipat
lebih tinggi dibanding T4. T3 berasal dari deionisasi T4. (3)
T3 dan T4 mempengaruhi sintesis protein dan DNA, berat badan, denyut
jantung, tekanan darah, laju respirasi, kekuatan otot, proses tidur, fungsi seksual,
dan fungsi mental seperti kemampuan kognitif, afektif, dan stabilitas mood. (7)

Gambar 1. Regulasi Hormon Tiroid. Abnormalitas pada bagian manapun dari


tahap diatas akan menyebabkan gangguan kadar tiroid. (7)

Tabel 1. Tanda dan Gejala Somatik Gangguan Tiroid (1)


Endokrinopati
Hipertiroidisme

Gejala
Diaforesis
Intoleransi panas
Oligomenore

Hipotiroidisme

Intoleransi dingin
Menoragi

Hiperparatiroidisme

Mual
Lemah otot (proksimal)
Nyeri abdomen

Tanda
Eksoftalmus
Takikardia
Aritmia (pada orang tua)
Tremor
Goiter
Refleks lambat
Miksedema
Hipertensi

Hipoparatiroidisme

Spasme otot
Paresthesia

Pergerakan choreiform
Tanda Chvostek
Tanda Trousseau

Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah keadaan dimana terdapat kadar TSH yang tinggi
dan fT4 yang rendah. (6, 8) Hipotiroidisme dapat digolongkan kedalam
hipotiroidisme primer atau sekunder. Hipotiroidisme primer terjadi karena : 1)
Defek pada biosintesis hormon akibat tiroiditis Hashimoto atau tiroiditis autoimun
(paling sering terjadi), bentuk tiroiditis lainnya (tiroiditis akut, tiroiditis subakut),
defisiensi iodine endemik, atau terapi obat antitiroid (hipotiroidisme goitrus); dan
2) defek kongenital atau hilangnya jaringan tiroid fungsional akibat terapi
hipertiroidisme, termasuk terapi iodine radioaktif atau operasi reseksi kelenjar
tiroid. Sedangkan hipotiroidisme sekunder disebabkan oleh : 1) Stimulasi tiroid
oleh hipotalamus yang tidak adekuat (penurunan sekresi TRH) atau oleh hipofisis
(penurunan sekresi TSH), atau 2) Resistensi perifer terhadap hormon tiroid.
Hampir semua kasus hipotiroidisme merupakan kasus primer akibat kurangnya
produksi hormon tiroid dan terapi penggantian hormon yang tidak adekuat. (5, 6)

Hipotiroidisme subklinis
Hipotiroidisme subklinis didefinisikan sebagai keadaan asimptomatik
dimana konsentrasi T3 dan T4 bebas dalam sirkulasi normal, namun serum TSH
sedikit meningkat. Keadaan ini merupakan jenis hipofungsi tiroid ringan. 20-50%
pasien penderita hipotiroid subklinis akan mengalami hipotiroid klinis dalam
waktu 4 hingga 8 tahun kemudian. (6, 8)

2.3.

Tes Fungsi Tiroid


Hipotiroidisme dan hipertiroidisme dapat menyerupai gejala-gejala

gangguan psikiatri. Hipertiroidisme dapat menyerupai gangguan anxietas,


psikosis, atau mania. Sedangkan hipotiroidisme dapat menyerupai dysthimia dan
depresi. Oleh karena itu tes fungsi tiroid diindikasikan pada kasus gangguan
mental berat onset baru. Selain itu, tes fungsi tiroid harus selalu dilakukan

sebelum memulai terapi lithium, karena lithium dapat menyebabkan


hipotiroidisme. (9)
Terdapat beberapa tes fungsi tiroid (TFT) yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi status tiroid. (5)

Thyroid stimulating hormone : Assay untuk mengukur TSH dilakukan dengan


menggunakan radioimmunoassay yang sangat sensitif. Penyebab
hipotiroidisme - apakah berasal dari kelenjar hipofisis, hipothalamus, atau
kelenjar tiroid dapat ditentukan dengan menggunakan tes TSH. Kadar TSH
digunakan untuk mendiagnosis atau screening hipotiroidisme dan untuk

mengevaluasi adekuatnya terapi.


Kadar T3 dan T4 : T3 dan T4 dapat diukur dengan menggunakan
radioimmunoassay. Tes yang ada dapat secara langsung atau tidak langsung
mengukur kadar hormon terikat dan tidak terikat. Tes uptake resin T3 dan T4
(RT3U dan RT4U) mengestimasikan kapasitas ikatan dengan TBG dan
digunakan untuk mengkalkulasi kadar T3 dan T4 bebas. Indeks T3 bebas
(FT3I) dan indeks T4 bebas (FT4I) digunakan untuk mengoreksi perubahan

pada TBG.
Antibodi : Autoantibodi yang berperan dalam penyakit tiroid termasuk
thyroid-stimulating antibodies (TSAb), TSH receptor-binding inhibitory
immunoglobulin (TBII), antithyroglobulin antibodies (Anti-Tg Ab) dan
antithyroid peroxidase antibody (Anti-TPO Ab). Peningkatan kadar Anti-TPO
A ditemukan pada hampir semua kasus tiroiditis Hashimoto dan pada sekitar

85% kasus Graves disease.


Radioactive Iodine Uptake (RAIU) : Tes RAIU mengindikasikan penggunaan
iodine oleh kelenjar tiroid, namun kapasitas atau aktifitas sintesis hormon. Tes
ini utamanya digunakan untuk diagnosis Graves disease.

Sensitifitas dan rentang nilai masing-masing assay tersebut adalah sebagai


berikut: T3 = 0.1 ng/ml (rentang 0.1-8 ng/ml); T4 = 0.5 g/dl (rentang 0.5-30
g/dl); TSH = 0.003 IU/ml (rentang 0.01-100 IU/ml); FT3 = 0.88 pg/ml
(rentang 0.88-30 pg/ml); FT4 = 0.25 ng/dl (rentang 0.25-6 ng/dl); dan anti-TPO =
0.25 IU/ml (rentang 0.25-1000 IU/ml). (2)

2.4.

Gejala Klinis

Gejala Umum
Gejala hipotiroid merupakan kebalikan dari gejala hipertiroid. Penderita
akan mengalami perlambatan laju metabolisme, merasa kelelahan, kekurangan
energi, mengalami pertambahan berat badan, dan anhedonia. Rambut mereka
menjadi kering, rapuh, dan tipis, suaranya menjadi kecil, bernada rendah, dan
serak. Respon emosional terhambat, konsentrasi memburuk, dan proses mental
melambat. Juga terjadi gangguan memori. Komplikasi hipotiroid termasuk
percepatan terjadinya penyakit jantung atherosklerotik, seperti angina pectoris,
infark myokard, dan gagal jantung kongestif. (8, 10, 11)

Gejala Psikiatri
Beberapa karakteristik awal progresi gejala hipotiroid termasuk anxietas
dan perlambatan mental progresif yang disertai dengan penurunan memori jangka
pendek, defisit bahasa, serta penurunan kemampuan belajar. (4) Pasien penderita
hipotiroid dapat mengalami gejala psikosis, disfungsi kognitif, dan depresi. Dalam
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Whybrow et al pada tahun 1969, dikatakan
bahwa pada hipotiroidisme yang telah berlangsung lama, gangguan fungsi
kognitifnya akan tetap ada bahkan setelah dilakukan terapi penggantian hormon
tiroid. (6) Pasien yang menderita hipotiroidisme berat juga dapat mengalami
psikosis yang disertai dengan paranoid dan delusi. (10)
Pasien dengan hipotiroidisme subklinis juga dilaporkan mengalami
peningkatan anxietas dan irritabilitas, penurunan kecepatan proses informasi,
penurunan efektifitas fungsi eksekusi, kemampuan belajar yang buruk, serta
penurunan vitalitas dan aktifitas jika dibandingkan dengan orang normal. (4)

Tabel 2. Manifestasi Psikiatri akibat Gangguan Tiroid (11)


Hipertiroid
Hipotiroid

Anxietas, delirium, depresi berat, mania, psikosis


Anxietas, delirium, demensia, depresi berat, mania, psikosis

Depresi dan anxietas merupakan gejala psikiatri yang paling sering


didapatkan pada gangguan tiroid. Gangguan tiroid klinis dan subklinis telah
dihubungkan dengan gangguan mood, dan dikatakan bahwa fungsi tiroid
abnormal dapat mempengaruhi mood dan kelainan afektif. (6)
Hipotiroidisme dan depresi nampaknya memiliki dasar fisiologis yang
sama. Secara spesifik, bagian sel darah merah yang berikatan dengan hormon
tiroid T3 juga berikatan dengan asam amino L-tryptophan yang penting dalam
patogenesis depresi. Kadar L-tryptophan yang rendah dihubungkan dengan
depresi, dan kadar T3 yang rendah merupakan tanda hipotiroid, sehingga kedua
hal tersebut memiliki dasar selular yang sama yang menjelaskan mengapa kedua
keadaan tersebut sering terjadi bersamaan, dan penambahan hormon tiroid
kedalam regimen terapi depresi dapat membantu meringankan depresi tersebut. (4)
Namun hubungan antara fungsi tiroid dengan depresi masih tidak
konsisten. Beberapa penelitian menemukan kadar fT4 yang tinggi pada pasien
depresi jika dibandingkan dengan pasien kontrol, sedangkan penelitian lainnya
tidak menemukan adanya perbedaan tersebut. (8)
Selain gejala-gejala diatas, juga dapat terjadi tumpang tindih dengan tanda
dan gejala hipertiroidisme (misalnya anxietas, irritabilitas, dan agitasi). Jika tidak
segera ditangani, maka dapat terjadi myxedema madness, yaitu munculnya
delusi dan halusinasi. Pada tahap akhir, dapat terjadi demensia. Delirium
merupakan konsekuensi yang jarang didapatkan, dan biasanya terjadi pada pasien
yang mengalami hipotiroidisme akut, misalnya setelah tiroidektomi. (11)
Hanya ada sedikit kasus mania atau hipomania akibat hipotiroidisme yang
dilaporkan dalam literatur. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas; dapat
terjadi karena disregulasi sensitifitas reseptor katekolamin CNS, dihubungkan
dengan tiroiditis atau tirotoksikosis, atau gangguan ritme circardian. Sebuah
penelitian retrospektif terhadap 18 pasien menunjukkan terjadinya gangguan
afektif organik tipe mania yang terjadi segera setelah dimulainya pemberian terapi
penggantian tiroid pada pasien hipotiroid. Pasien yang mengalami mania
umumnya wanita, seringkali memiliki gejala psikotik penyerta, sering memiliki

riwayat personal atau keluarga yang menderita gangguan psikiatri, dan telah
mendapatkan tiroksin lebih dari 150 mcg/hari. Selain itu, pasien yang dirawat inap
dengan hipotiroidisme memiliki resiko dirawat kembali karena depresi dan
gangguan bipolar yang lebih besar jika dibandingkan dengan pasien kontrol. (12)
Aktifitas kelenjar tiroid dan aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid (HPT)
penting dalam patofisiologi, perjalanan klinis, serta tarapi gangguan bipolar (BD).
Ciri disfungsi tiroid pada gangguan afektif telah diketahui sejak lama.
Abnormalitas yang paling umum didapatkan termasuk ciri hipotiroid klinis atau
subklinis (yaitu kadar tiroksin rendah), serta peningkatan kadar thyrotropin
(thyreotropic stimulating hormone TSH). Pada 25-30% pasien dengan gangguan
afektif unipolar dan bipolar selama periode akut, didapatkan adanya penurunan
respon terhadap pemberian thyreotropin releasing hormone (TRH) berupa
penurunan sekresi TSH. Larsen et al. menemukan adanya hubungan negatif antara
intensitas gejala mania dan depresi serta penurunan respon TSH terhadap TRH.
Gangguan sistem imun juga memiliki peranan penting dalam patogenesis BD. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan penemuan antibodi tiroid (anti-TPO)
pada pasien yang menderita gangguan bipolar jika dibandingkan dengan populasi
kontrol. (13)
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat insidens disfungsi
tiroid yang tinggi pada wanita dan pada pasien yang menderita gangguan bipolar
rapid cycling (RCBD). Pada RCBD, didapatkan kelainan aksis HPT,
hiporitoidisme, peningkatan kadar TSH, respon TSH abnormal terhadap TRH,
serta peningkatan kadar antibodi. Hipotiroidisme pada gangguan bipolar
merupakan faktor resiko terjadinya RCBD, dan defisiensi hormon tiroid relatif
pada pasien BD merupakan predisposisi terjadinya rapid cycling. Pada beberapa
kasus, abnormalitas tiroid akan terjadi segera setelah dimulainya terapi lithium. (13)

Hipotiroid Akibat Penggunaan Lithium


Sejak tahun 1963, lithium diketahui sebagai farmakoterapi jangka panjang
terbaik untuk gangguan bipolar (BD), baik untuk pencegahan episode depresi dan
manik, serta untuk mengurangi resiko bunuh diri. Dalam meta-analisis terbaru
8

mengenai potensi toksisitas jangka panjang penggunaan lithium, diketahui bahwa


lithium menyebabkan peningkatan resiko hipotiroid sebesar 5 kali lipat. (13)
Lithium dapat menginduksi tirotoksikosis melalui beberapa mekanisme,
yaitu: (12, 13)
1) Lithium akan terkonsentrasi pada kelenjar tiroid 3-4 kali lipat lebih tinggi
2)
3)
4)
5)

dibanding dalam plasma, dan menghambat uptake iodin tiroid


Menghambat coupling iodotirosin
Mengubah struktur thyroglobulin
Menghambat sekresi hormon tiroid
Mengganggu deionisasi T4 menjadi T3 dengan cara menghambat deiodinase

6)
7)
8)
9)

tipe II di otak
Memicu respon TSH berlebih terhadap TRH
Mengubah responsifitas selular terhadap tiroksin
Mempengaruhi ekspresi gen reseptor hormon tiroid
Memicu proses autoimun yang menyebabkan tiroiditis (khususnya jika
perubahan tersebut telah ada sebelum dimulainya terapi lithium), kinetik

iodine abnormal, fenomena Jod-Basedow-like, dan


10) Toksisitas langsung terhadap folikel tiroid yang menyebabkan pelepasan
thyroglobulin
Usia juga merupakan faktor resiko hipotiroidisme. Oleh karena itu pasien
usia lanjut yang mendapatkan lithium harus difollow-up secara hati-hati untuk
mengetahui adanya penurunan fungsi tiroid, walaupun hipotiroidisme bukan
merupakan indikasi penghentian terapi lithium melainkan hanya sebagai indikator
diperlukannya suplementasi hormon tiroid. (14)
Faktor resiko terjadinya hipotiroidisme pada pasien yang mendapatkan
lithium sama dengan pada populasi umum, dengan insidens yang lebih tinggi
didapatkan pada wanita dan pada pasien dengan antibodi tiroid positif. (13)

2.5.

Terapi
Secara umum, tujuan terapi hipotiroidisme adalah untuk mengoreksi

defisiensi hormon tiroid, yaitu dengan menggunakan terapi penggantian hormon.


Obat pilihan untuk terapi penggantian hormon adalah levotiroksin (Syntroid),
sebuah preparat steroid sintetik. Pasien penderita hipotiroid harus mendapatkan

pengobatan tersebut seumur hidupnya. Tampakan dan tingkat aktifitas fisik dan
mental biasanya akan membaik secara bertahap seiring dengan peningkatan kadar
hormon tiroid. (10, 11) Indikasi suplementasi levotiroksin termasuk: hipotiroidisme
klinis, pembesaran kelenjar signifikan, tanda-tanda jelas yang mengarah ke
hipotiroidisme subklinis, gangguan bipolar rapid cycling, serta efektifitas lithium
yang buruk. Disarankan untuk memulai suplementasi levotiroksin dosis rendah
(25-75 mg/hari) jika kadar TSH > 10 mu/l, namun juga dapat diberikan pada
kadar TSH yang lebih rendah. Selama pemberian levotiroksin, terapi lithium tidak
boleh dihentikan atau mengubah dosis lithium kecuali jika konsentrasi serum
lithium melebihi batas terapeutik. (13)
Pada kasus hipotiroidisme kongenital akibat defisiensi dari salah satu
enzim yang terlibat dalam sintesis tiroksin, akan terjadi retardasi perkembangan
umum yang disertai dengan lethargi dan puffy appearance. Gejala-gejala tersebut
dapat diringankan dengan pemberian terapi penggantian hormon tiroksin seumur
hidup. (15)
Pasien psikiatri yang menderita hipotiroid subklinis, khususnya dengan
respon inkomplit terhadap terapi psikotropik, harus diterapi dengan hormon tiroid
bahkan jika konsentrasi tiroksin dan TSH dalam batas normal. (4)
Status hormon tiroid memegang peranan penting dalam terapi gangguan
afektif. Pada depresi, konsentrasi tiroksin awal yang lebih tinggi dihubungkan
dengan efek obat antidepressan yang lebih baik. (13)
Pada kasus depresi resisten (penyakit unipolar atau bipolar) dimana pasien
menderita depresi berat yang tidak berespon atau hanya berespon parsial terhadap
terapi antidepressan standar, dapat dicoba terapi hormon tiroid bahkan jika pasien
tidak mengalami hipotiroid; misalnya dengan pemberian liothyronine. (13, 16)

2.6.

Prognosis
Kesempatan kembalinya fungsi sistem saraf normal akan berkurang

seiring dengan bertambahnya durasi gejala. Contohnya, pada pasien hipotiroid


yang mengalami delirium, ketika mereka mendapatkan diagnosis dan terapi yang
10

tepat, biasanya memiliki tingkat penyembuhan yang tinggi (80%) khususnya jika
diterapi secepat mungkin setelah onset hipotiroidisme. Sebaliknya, pasien
hipotiroid yang telah mengalami gejala selama 2 tahun jarang menunjukkan
perbaikan fungsi mental. (11)

11

BAB III
Kesimpulan

Hubungan antara penyakit endokrin dengan gejala psikiatri telah lama


diketahui, namun data-data yang ada masih belum mencukupi dan masih tidak
konsisten. Dari tinjauan pustaka diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
gangguan mental dengan hipotiroid dapat dibagi menjadi 2 garis besar, yaitu
gangguan mental langsung atau tidak langsung.
Pada gangguan mental langsung akibat hipotiroid, kelainan hipotiroid lah
yang mendasari gangguan mental tersebut, misalnya yang paling sering
didapatkan berupa depresi dan anxietas. Keadaan hipotiroid yang menyebabkan
gangguan mental tersebut hampir semuanya terjadi karena hipotiroidisme primer
(paling sering akibat tiroiditis Hashimoto).
Sedangkan pada gangguan mental tidak langsung akibat hipotiroid,
gangguan mental tersebut terjadi karena pengaruh keadaan lainnya, seperti yang
dicontohkan diatas adalah akibat terapi lithium. Pasien tersebut awalnya sudah
mengalami gangguan psikiatri (misalnya gangguan bipolar), sehingga diberikan
terapi lithium yang menyebabkan hipotiroidisme, yang pada akhirnya dapat
memperburuk gejala yang sudah ada atau memunculkan gejala gangguan mental
baru.
Dari pembahasan diatas juga diketahui bahwa terapi gangguan mental
pada hipotiroid adalah mengatasi penyebab primernya, yaitu hipotiroid. Semakin
cepat penegakan diagnosis dan pemberian terapi, maka prognosis penyakitnya
juga akan semakin bagus.

12

REFERENSI

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.

11.

12.
13.
14.

15.

16.

Lobo-Escolar A, et al. Thyroid and Parathyroid Diseases and Psychiatric


Disturbance. In: Ward L, editor. Thyroid and Parathyroid Diseases - New
Insights into Some Old and Some New Issues. Croatia: InTech; 2012.
Radhakrishnan R, et al. Thyroid dysfunction in major psychiatric disorders
in a hospital based sample. Indian J Med Res. 2013;138:888-93.
Liappas I, et al. Thyroid Hormone and Affective Disorders. Clinical
Neuropsychiatry. 2009;6(3):103-11.
Chaudhary R, et al. Psychiatric Morbidity Among Hypothyroid Patients - A
Hospital Based Study. Delhi Psychiatry Journal. 2014;17(1):35-38.
DeRuiter J. Thyroid Hormone Tutorial: Thyroid Pathology. Endocrine
Module - Thyroid Section. 2002.
Sapini Y, et al. Thyroid Disorders and Psychiatric Morbidities. MJP Online
Early. 2009:1-9.
Awas G. Thyroid Function in Health & Psychiatric Disorders. International
Society of CNS Clinical Trials Methodology2014.
Hindgren C. Thyroid function in Exhaustion Disorder: Higher prevalence of
subclinical hypothyroidism. Sweden: University of Gothenburg; 2012.
Clinical Evaluation and Treatment Planning: A Multimodal Approach. In:
Kay J, Tasman A, editors. Essentials of Psychiatry. West Sussex , England:
John Wiley & Sons, Ltd; 2006. p. 231.
Endocrine conditions. In: Falvo D, editor. Medical and Psychosocial
Aspects of Chronic Illness and Disability, Third Edition. Barb House,
London: Jones and Bartlett Publishers; 2005. p. 288.
Farber NB, Black KJ. Psychiatric Disorders Associated with General
Medical Conditions. In: Rubin EH, Zorumski CF, editors. Blackwell's
Neurology and Psychiatry Access Series - Adult Psychiatry Second Edition:
Blackwell Publishing; 2005. p. 414-15.
Chakrabarti S. Thyroid Functions and Bipolar Affective Disorder. Journal of
Thyroid Research. 2011:1-9.
Kraszewska A, et al. The effect of lithium on thyroid function in patients
with bipolar disorder. Psychiatr Pol. 2014;48(3):417-28.
Mood Disorders: Bipolar (Manic-Depressive) Disorders. In: Kay J, Tasman
A, editors. Essentials of Psychiatry. West Sussex , England: John Wiley &
Sons, Ltd; 2006. p. 575.
Learning disability. In: Gill D, editor. Hughes' Outline of Modern
Psychiatry, Fifth Edition. West Sussex, England: John Wiley & Sons, Ltd;
2007. p. 277.
Mood disorders: depressive illness and mania. In: Gill D, editor. Hughes'
Outline of Modern Psychiatry, Fifth Edition. West Sussex, England: John
Wiley & Sons, Ltd; 2007. p. 108-09.

13

Anda mungkin juga menyukai