Anda di halaman 1dari 165

Etnografi Papua

GAMBARAN UMUM ETNOGRAFI PAPUA


Oleh: J.R. Mansoben dan Djekky R. Djoht

A. PENDAHULUAN
1. Pengertian Etnografi
Ethnography disebut dengan banyak istilah seperti
Ethnology istilah yang sampai sekarang masih dipakai di
negara Inggris dan Amerika, Volkerkunde adalah istilah
yang dipakai terutama dinegara-negara Eropa Tengah, dan
Kulturkunde istilah yang pernah dipakai oleh seorang
antropolog dari Jerman, L. Frobenius. Semua istilah ini
menunjukan pada suatu pengertian yang sama.
Ethnography berarti pelukisan tentang bangsa-bangsa.
Istilah ini dipakai umum di Eropa Barat untuk menyebut
bahan keterangan yang termaktub dalam karangankarangan tentang masyarakat dan kebudayaan suku-suku
bangsa diluar eropa, serta segala metode untuk
mengumpulkan dan mengumumkan bahan itu. Sampai
sekarang istilah itu masih lasim dipakai untuk menyebut
bagian dari ilmu antropologi yang bersifat deskriptif
(Koentjaraningrat, 1986, 10).

Etnografi adalah ilmu yang mencoba mencapai pengertian


mengenai azas-azas manusia, dengan mempelajari
kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan masyarakat
dari sebanyak mungkin suku bangsa yang tersebar
diseluruh muka bumi pada masa sekarang ini. Akhir-akhir
ini telah berkembang dua golongan penelitian, yaitu
golongan yang satu menekankan kepada bidang diakronik
(berarti berturut-turut dalam berjalannya waktu),
sedangkan yang lain menekankan kepada bidang
sinkronik (berarti berdampingan dalam waktu yang sama)
dari kebudayaan umat manusia. Nama yang tetap untuk
kedua macam penelitian ini belum ada, tetapi sering dapat
kita lihat adanya nama-nama seperti Descriptive
Integration untuk penelitian-penelitian yang diakronik,
dan Generalizing Aproach untuk penelitian-penelitian
yang
sinkronik
(Koentjaraningrat,
1986,
14).
Descriptive Integration selalu mengenai suatu daerah
tertentu. Bahkan keterangan pokok yang diolah ke dalam
deskriptif integrasi dari daerah itu adalah terutama bahan
keterangan etnografi, sedangkan bahan seperti fosil, ciri
ras, artefak-artefak, bahasa lokal diolah menjadi satu dan
diintegrasikan menjadi satu dengan bahan etnografi tadi.
Descriptive Integration mempunyai tujuan untuk mencari
pengertian tentang sejarah perkembangan dari suatu
daerah, artinya mencoba memandang suatu daerah pada
bidang diakroniknya juga (Koentjaraningrat, 1986, 15).

Generalizing Aproach bertujuan mencari azas persamaan


dibelakang aneka warna dalam beribu-ribu masyarakat
dari kelompok-kelompok manusia dimuka bumi ini.
Pengertian tentang azas tersebut dapat dicapai dengan
metode-metode yang dimasukan kedalam dua golongan,
yaitu:
1. Golongan pertama terdiri dari metode sampel area
sebanyak paling sedikit tiga sampai lima masyarakat dan
kebudayaan, dengan penelitian mendalam dan bulat.
2. Golongan kedua terdiri dari metode komparatif dengan
mengambil unsur kebudayaan tertentu dan sebanyak
mungkin masyarakat yang diteliti (dua-tiga ratus
masyarakat
yang
diteliti
atau
lebih).
(Koentjaraningrat, 1986, 15)
2. Sejarah munculnya ilmu Etnografi.
Menurut Koentjaraningrat (1986), perkembangan ilmu
etnografi secara khusus terbagi kedalam 4 (empat) Fase
yaitu :
Fase pertama; ( Sebelum 1800 )
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, suku-suku
bangsa penduduk pribumi di berbagai daerah di muka
bumi ini mulai mendapat pengaruh dari negara-negara
Eropa Barat. Bersamaan dengan itu telah terbaca pelbagai
laporan dari para musafir, pelaut, pendeta, penerjemah
kitab injil dan pegawai pemerintah jajahan.

Dalam laporan mereka terungkap deskripsi suku-suku


bangsa, adat istiadat, sistem sosial dan ciri-ciri fisik yang
sangat berbeda dengan warga masyarakat Eropa. Orang di
luar Eropa dianggap aneh. Sebagai konsekuensi
pengamatan mereka maka muncul beberapa sikap,
sebagai
berikut
:
a. Orang yang dijumpai bukan manusia, melainkan
manusia liar, keturunan iblis. Sebagai akibat pandangan
ini muncul apa yang disebut savage primitive
b. Mereka merupakan contoh dari masyarakat yang
murni, yang belum mengenal kejahatan, sebagai mana
yang
terjadi
pada
masyarakat
Eropa.
c. Informasi kondisi yang aneh-aneh ini menjadi bahan
koleksi yang sangat populer dan menarik untuk di
pamerkan di Museum-Museum terkenal.
Fase Kedua; ( Pertengahan abad ke 19 )
Data-data yang telah terkumpul, laporan-laporan dianalisa
oleh sejumlah kelompok akademis. Dilingkungan
akademis juga berkembang paham evolusi, sehingga
analisa-analisa akademispun ikut membenarkan hipotesa
evolusionism. Seusai munculnya teori Darwin, juga
pandangan E.B Taylor, J Frazer dan L.H Morgan.
Kajian-kajian mereka menggugah banyak kelompok
akademis, terutama kelompok agamis/Teolog. Perbedaan
pemahaman ini terjadi seputar asal usul umat manusia.
Menurut para Teolog bahwa manusia adalah ciptaan

Tuhan yang maha kuasa. Menurut para evolusionis bahwa


manusia terjadi sebagai akibat proses alam yang sangat
panjang. Atau dengan kata lain bahwa ada tingkat-tingkat
perkembangan manusia dari masa ke masa. Kelompok
manusia yang diamati di luar Eropa merupakan contoh
dari peradaban manusia yang sangat sederhana dan
merupakan contoh manusia tahap pertama. Untuk
membuktikan pemahaman ini makja munculah suatu teori
yang disebut dengan istilah Infancy of social life .
Dipihak lain Masyarakat Eropa merupakan contoh suatu
manusia yang mengalami tingkat peradaban yang sangat
tinggi
Fase Ke-Tiga; ( awal abad ke-20 )
Orang Eropa mulai menancapkan kekuasaannya
dipelbagai tempat, di pelbagai suku bangsa. Ilmu
Antropologi dijadikan sebagai salah satu sarana yang
ampuh untuk menguasai hampir semua suku bangsa di
luar Eropa. Pelbagai informasi yang pernah didapati dari
para musafir, pelaut, penterjemah kitab suci dan pegawai
pemerintah jajahan, dipelajari secara seksama diatas meja.
Informasi seputar identitas suku bangsa, sistem sosial,
cara pengambilan keputusan secara tradisional dan
mekanisme pengaturan masyarakat dipelajari sebagai
bahan yang sangat ampuh untuk melumpuhkan warga
masyarakat diluar Eropa. Pada tahap ini orang Eropa
merasa semakin kuat posisi mereka dalam pelbagai

kehidupan sosial. Selain Belanda, Inggris, Spanyol ,


Portugis juga para Imigran Inggris, Perancis yang
bermigrasi ke Amnerikapun masih menggunakan paham
tersebut untuk menjajah orang pribumi Amerika, yaitu
orang Indian.
Fase Ke- Empat (1930 )
Dari pelbagai pengalaman memperlihatkan bahwa ilmu
Antropologi tidak lagi digunakan sesuai dengan misi, misi
dan tujuan yang benar sehingga para Antropolog
menyelenggarakan suatu konferensi yang bertujuan untuk
mengembalikan citra ilmu Antropologi. Pada tahap ini
Fungsi ilmu ini tidak lagi digunakan sebagai sarana yang
ampuh untuk menguasai warga masyarakat non Eropa
tetapi digunakan sebagai salah satu ilmu yang mengkaji
masyarakat secara utuh. Sebagai konsekuensi logisnya,
maka para antropolog telah kehilangan lapangan
pekerjaan. Mengapa demikian, karena masyarakat diluar
Eropa
sebagian
besar
teridentifikasi.
Para
Etnografer/Antropolog tidak pernah diam, pada tahap/fase
ini para ahli mulai memikirkan metode-metode, teoriteori, konsep-konsep yang sesuai dengan masyarakat.
Pandangan dan pendekatan yang digunakan oleh
Antropolog semakin membuat perubahan arah dan
orientasi bidang kajian yang lebih spesifik dan menarik.
Implikasi pemahaman demikian terhadap kehidupan umat
manusia adalah:

01. Orang Eropa tidak sadar bahwa perbedaan-perbedaan


ras, warna kulit tidak ada hubungannya dengan masalah
rohani/pengetahuan manusia. Masyarakat dimanapun ia
berada, kapanpun ia lahir bagaimanapun bentuknya
memiliki kemampuan rohani yang sama. Tidak ada
kebudayaan yang superior dan tidak ada kebudayaan yang
inferior. Persoalan yang sangat utama adalah bahwa
kesempatan yang tidak sama dan seimbang membuat
setiap umat manusia tidak menikmati perubahan secara
wajar
dan
manusiawi.
02. Paham evolusi yang berkembang pada saat itu sangat
merugikan dan telah mengancam kehidupan dan rasa
kemerdekaan setiap umat manusia. Beberapa tulisan
seperti : Essai sur IInegalite des races humaines (1855)
oleh J.A.Gubineau, pengarang bangsawan perancis yang
mengatakan dalam tulisannya bahwa ras caucasoid yang
mencapai mutu mental yang paling tinggi adalah orang
Arya dan orang Jerman serta penduduk Eropa Barat yang
merupakan keturunan dari ras Arya. Pandangan ini sangat
didewakan oleh orang Eropa. Tulisan ini telah
memberikan angin segar kepada A.Hitler, seorang
pemimpin dari Partai Nasional Sosialis yang pernah
membunuh orang Yahudi dalam peristiwa pembantaian
Enam ribu orang dan penjajajhan pelbagai bentuk dan
manifestasi.
3. Mengapa Etnografi Papua penting dipelajari
Sampai pada saat sekarang ini anggapananggapan

mengenai racisme masih dipraktekan dalam pelbagai


bentuk dan manifestasinya. Ada sejumlah warga
masyarakat menggunakan paham etnis yang superior
mengancam etnis yang inferior. Kondisi ini kembali
diperparah oleh kurang adanya informasi yang rinci
terhadap masyarakat dan kebudayaan orang Papua. Disatu
sisi kondisi kelemahan ini digunakan sebagai alasan yang
ampuh untuk menggeneralisir kemampuan rohani orang
papua. Disisi lain, kelemahan ini dijadikan sebagai peta
kelemahan untuk mengeksploitir pelbagai sumber daya
alam. Pelbagai macam tanggapan balik warga masyarakat
lokal biasanya di eliminasi dengan pressure politik, yaitu
dengan kata kunci PKI, OPM dan sederetan organisasi
pemberontakan lainnya. Kita tidak pernah jujur
mengatakan bahwa orang papua butuh waktu yang relatif
cukup untuk mengetahui segala informasi agar mereka
bisa menjadi tuan diatas tanahnya sendiri. Materi kuliah
ini bermaksud mengingatkan, mengajak para mahasiswa
dengan sadar melihat masyarakat papua secara objektif.
Apa persoalan yang mereka sedang hadapi dan bagaimana
mereka dapat diberdayakan sehingga suatu ketika ia dapat
membangun dirinya sendiri menurut konsep tataruang
budaya dengan model pembangunan yang pernah ia
nikmati.
2. Kerangka Etnografi
Bidang-bidang yang selalu dikaji dalam sebuah buku
etnografi, biasanya dibagi kedalam unsur-unsur

kebudayaan menurut suatu tata urut yang sudah baku,


yaitu (Koentjaraningrat, 1986;356):
1. Lokasi, lingkungan alam dan demografi
2. Asal mula dan sejarah suku bangsa
3. Bahasa
4. Sistem Teknologi
5. Sistem Mata Pencaharian
6. Organisasi Sosial
7. Sistem Pengetahuan
8. Kesenian
9. Sistem Religi
10. Perubahan Kebudayaan

Kesepuluh unsur ini yang akan diuraikan dalam bagian


pertama, secara garis besar. Karena kebudayaan Papua
sangat beraneka ragam maka akan sulit untuk membuat
generalisasi untuk setiap unsur-unsur dalam kerangka
etnografi ini, oleh karena itu uraian kebudayaan orang
Papua hanya bersifat umum atau bersifat dominan saja
dalam kebudayaan Papua yang diuraikan dalam buku
etnografi ini.
B.
GAMBARAN
UMUM
MASYARAKAT PAPUA

KEBUDAYAAN

1. ASAL MULA DAN SEJARAH ORANG PAPUA


Untuk mengetahui asal-usul orang Papua, kita bisa
melihatnya dari segi Temuan-temuan paleoantropologi;
Asal usul Orang Papua dikaji dari aspek Paleoantropologi
Cirri-ciri ras orang Papua termasuk dalam ras Australoid,
Weddoid, Negroid/Negritoid, Melanesoid dan sejumlah
kecil ciri-ciri ras Mongoloid. Kita bisa menelusuri asalusul orang Papua dari bahan-bahan fosil manusia yang
pernah di temukan di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan
dari manakah datangnya manusia Papua dengan unsureunsur ras tersebut di atas?
Teori yang dikembangkan untuk menjawab pertanyaan
ini, yaitu: Dengan melihat bahan-bahan Paleoantropologi
dari Asia Tenggara, Sumatra dan Jawa dapat memberi
sedikit keterangan kepada kita tantang asal-usul Manusia

Papua:
a. Bekas-bekas manusia yang ditemukan di Malaya oleh
Earl dinyatakan mempunyai cirri-ciri Australoid dan
Melanesoid;
b. Bekas-bekas manusia yang ditemukan oleh Van Stein
Callenfels dibukit-bukit kerang di Sumatera Timur, oleh
Miesberg dinyatakan sebagai cirri-ciri Paleo-Melanesoid;
c. Snell yang menyelidiki dua tengkorak dari Gol Bait,
Sungai Siput dan Malaya, menyatakan bahwa tengkoraktengkorak itu mempunyai cirri-ciri Melanesoid;
d. Collani yang menyelidiki Goa-goa dan bekas
peninggalan disuatu delta 120 km dari Tonkin,
menyatakan bahwa rangka-rangka manusia yang
ditemukan disitu dapat digolongkan kedalam ras
Austroloid,
Paleo-Melanesoid,
dan
Mongoloid.
e. Mijsberg yang menyelidiki bekas-bekas manusia dari
peninggalan pre-histori di Sampung, Ponorogo
menyatakan bahwa pada tengkorak itu terdapat cirri-ciri
Papua-Melanesoid dan Austroloid.
Disamping itu, penyelidikan-penyelidikan Antropologi
Fisik yang pernah dilakukan oleh pelbagai sarjana pada
beberapa suku bangsa penduduk Indonesia, telah dapat
memberikan
gambaran,
bahwa:
a. Nyessen dalam penyelidikannya pada penduduk
pegunungan di Priangan Selatan telah menunjukan buktibukti, bahwa pada penduduk itu masih kedapatan tipe-tipe
Austroloid dan menyatakan bahwa orang-orang dengan

cirri-ciri Dravido Australian pernah menduduki pulau


Jawa;
b. Bijlmer yang telah menyelidiki kepulauan timur dan
Flores juga telah menunjukan, bahwa individu-individu
pada suku bangsa Belu menunjukan cirri-ciri ras
Mongoloid dan Negroid. Juga pada orang Kroe terdapat
tipe-tipe Papuan. Sedangkan orang Adanore sebelah
Timur Flores, terdapat tipe-tipe Semitic, Negroid dan
Papuan.
Dengan demikian, teori ini mau menyatakan bahwa
Manusia Papua berasal dari daerah-daerah tersebut di
atas.
Teori lain yang dikembangkan oleh Teuku Yacob (1967)
tentang asal-usul Manusia Papua dalam disertasinya,
menyatakan bahwa di zaman es yang terakhir, kira-kira
800.000 tahun y.l., ketika Papua masih menyatu dengan
benua Australia, penduduknya yang merupakan nenek
moyang penduduk Papua dan Melanesia, tetapi juga
nenek moyang penduduk asli Australia memiliki cirri-ciri
fisik Paleo-Melanesoid.
Ketika zaman es berakhir dan permukaan laut menjadi
lebih tinggi, maka Australia terpisah dari Papua dan
pulau-pulau lain di Nusantara ini. Ciri-ciri fisik penduduk
Papua dan Melanesia berkembang menjadi cirri-ciri
Melanesoid yang kita kenal sekarang, sedangkan cirri-ciri

fisik penduduk Asli Australia berkembang menjadi cirriciri fisik ras Austroloid sekarang.
2. MENELUSURI ASAL USUL NAMA PAPUA
Nama Papua mula-mula dipakai oleh pelaut portugis
Antonio dArbreu yang mengunjungi pulau ini dalam
tahun 1551. Nama itu kemudian dipakai oleh Antonio
Pigafetta yang turut bertualang dengan Magalheins dalam
perjalanannya mengelilingi bumi. Pigafetta berada di laut
maluku sekitar tahun 1521. Kata Papua agaknya berasal
dari bahasa melayu pua-pua yang artinya keriting
(Striling, 1943).
Semasa masih menjadi kekuasaan Belanda, Pulau ini
disebut Nieuw Guinea. Tetapi sebenarnya nama Nieuw
Guinea ini mula-mula digunakan oleh seorang pelaut
Spanyol Ynigo Ortiz de Retes. Pada tahun 1545 Ynigo
Ortiz de Retes pernah mengunjungi pantai utara pulau ini
dan menamakan daerah yang ia kunjungi Nueva Guinea
(Guinea Baru). Kulit penduduk di pulau ini yang
berwarna hitam mengingatkannya kepada penduduk
pantai Guinea di benua Afrika. Sejak itu, sebutan tadi dan
atau variasinya , Nova Guinea tercantum pada peta-peta
abad ke 16. Dalam peta-peta Belanda digunakan sebutan
Nieuw Guinea atau Guinee (Naber 1915 dalam
Koentjaraningrat, 1994).

Mengenai asal nama Irian (Iryan) yang popular setelah


Irian Barat dibawah naungan Negara kesatuan Repoblik
Indonesia ada beberapa pendapat. Salah satu diantaranya
istilah iryan dan bukan irian diusulkan oleh F.
Kaisepo dalam konperensi Malino dalam tahun 1946.
Menurut Koentjaraningrat (1994) kata Iryan yang
dipakai F.Kaisepo ini berasal dari kata bahasa Biak yang
berarti Sinar matahari yang menghalau kabut dilaut,
sehingga ada Harapan bagi para nelayan Biak untuk
mencapai tanah daratan Irian di seberangnya.
3. PEMETAAN SUKU-SUKU BANGSA DI PAPUA
Dalam uraian ini, saya akan membahas Kategori-kategori
Kebudayaan Papua yang pernah di buat oleh ahli-ahli
Antropologi dan Linguistik. Menurut SIL (Sumer Institute
of Language) bahwa Kebudayaan Papua, jika dikategori
berdasarkan bahasa maka di Papua terdapat 251 bahasa
(Peter J.Zilzer & H.H Clouse, 1991).
Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua
menunjukkan corak yang beraneka ragam yang disebut
sebagai kebhinekaan masyarakat tardisioanal Papua.
Dalam kepustakaan Antropologi, Papua di kenal sebagai
masyarakat yang terdiri atas suku-suku bangsa dan sukusuku yang beraneka ragam kebudayaannya. Menurut Tim
Peneliti Uncen (1991) telah di identifikasi adanya 44 suku
bangsa yang masing-masing merupakan sebuah satuan
masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri.

Sebagian besar dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi


menjadi 177 suku. Menurut Held (1951,1953) dan Van
Bal (1954), ciri-ciri yang mencolok dari Papua adalah
keanekaragaman
kebudayaannya,
namun
dibalik
keanekaragaman tersebut terdapat kesamaan ciri-ciri
kebudayaan mereka. Perbedaan-perbedaan kebudayaan
yang terdapat dalam masyarakat Papua dapat dilihat
perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem komunikasi,
kehidupan ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan
kesenian, struktur pollitik dan struktur sosial, serta sistem
kekerabatan yang di punyai oleh masing-masing
masyarkat tersebut sebagimana terwujud dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Mientje De Roembiak (1993;1) membagi kebudayaan di
Papua dalam 11 kategori daerah kebudayaan berdasarkan
lingkungan
ekologisnya,
yaitu:
1. Kebudayaan Penduduk di daerah kepualauan Pesisir
Teluk
Cenderawasih;
2. Kebudayaan Penduduk Pesisir Pantai Utara;
3. Kebudayaan Penduduk Pulau-pulau Raja Ampat;
4. Kebudayaan Penduduk Kawasan Teluk Bintuni; Fakfak
dan
Kaimana;
5. Kebudayaan Penduduk di daerah Hutan Dataran
Rendah (disekitar danau Sentani sampai wilayah pesisir
pantai
menuju
ke
perbatasan
Negara
PNG)
6. Kebudayaan penduduk di daerah sungai-sungai dan
rawa-rawa
dibagian
selatan
Papua;

7. Kebudayaan Penduduk di daerah sabana di sekitas


Merauke
utara
dan
Nimboran);
8. Kebudayaan penduduk di daerah kaki Selatan
pegunungan
Jayawijaya;
9. Kebudayaan Penduduk di daerah punggung
pegunungan Jayawijaya, daerah Arfak dan kawasan
Danau
Ayamaru;
10. Kebudayaan Penduduk kawasan pedalaman sungaisungai didaerah Mamberamo Rouffaer Idenburg;
11. Kebudayaan Penduduk Papua yang telah bermigrasi
ke kota dan pesisir pantai.
Peter J. Silzer dan Heija Heikinen Clouse (1991)
membagi kebudayaan Papua berdasarkan bahasa menjadi
251 bahasa. Kebudayaan-kebudayaan ini kalau di petakan
berdasarkan administrasi pemerintahan Propinsi Papua
maka penyebaran kebudayaan Papua adalah sebagai
berikut:
1. Kabupaten Biak Numfor (1 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Biak
2. Kabupaten Fak-fak (21 Kebudayaan)
1. Kebudayaan Arguni

2. Kebudayaan Baham
3. Kebudayaan Bedoanas
4. Kebudayaan Buruwai
5. Kebudayaan Erokwanas
6. Kebudayaan Iha
7. Kebudayaan Irarutu
8. Kebudayaan Kamberau
9. Kebudayaan Kamoro
10. Kebudayaan Karas
11. Kebudayaan Kowiai
12. Kebudayaan Mairasi

13. Kebudayaan Mor1


14. Kebudayaan Mer
15. Kebudayaan Nabi
16. Kebudayaan Nduga
17. Kebudayaan Onin
18. Kebudayaan Sekar
19. Kebudayaan Semimi
20. Kebudayaan Sempan
21. Kebudayaan Uruangnirin
3. Kabupaten Jayapura (85 kebudayaan)
1. Kebudayaan Airoran

2. Kebudayaan Anus
3. Kebudayaan Awyi
4. Kebudayaan Baguasa
5. Kebudayaan Bapu
6. Kebudayaan Baso
7. Kebudayaan Bauzi
8. Kebudayaan Berik
9. Kebudayaan Betaf
10. Kebudayaan Biritai
11. Kebudayaan Bonerif
12. Kebudayaan Bonggo

13. Kebudayaan Burmeso


14. Kebudayaan Dabe
15. Kebudayaan Dabra
16. Kebudayaan Demta
17. Kebudayaan Dera
18. Kebudayaan Doutai
19. Kebudayaan Dubu
20. Kebudayaan Emumu
21. Kebudayaan Eritai
22. Kebudayaan Foau
23. Kebudayaan Foya

24. Kebudayaan Gresi


25. Kebudayaan Isirawa
26. Kebudayaan Itik
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.

Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kayu
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan

Kai
Kapitiauw
Kapori
Kaure
Kauwerawek
Pulau
Keder
Kemtuk
Kwansu
Kwerba
Kwerisa
Kwesten
Liki
Mander
Manem
Maremgi
Masimasi
Massep
Mawes

46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.

Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan

Mekwei
Molof
Morwap
Nafri
Narau
Nimboran
Nopuk
Obukuitai
Ormu
Orya
Papasena
Pauwi
Podena
Samarokena
Sangke
Sause
Senggi
Sentani
Sikaritai
Sko
Sobei
KebudayaanTabla
Taikat
Tarpia
Taworta
Tobati
Tofanma
Towei

74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Kebudayaan
Turu
Kebudayaan
Usku
Kebudayaan
Waina
Kebudayaan
Wakde
Kebudayaan
Warembori
Kebudayaan
Wares
Kebudayaan
Waris
Kebudayaan
Waritai
Kebudayaan
Yafi
Kebudayaan
Yamna
Kebudayaan
Yarsun
Kebudayaan
Yoki
Kabupaten
Jayawijaya
(27
Kebudayaan)
Kebudayaan
Biksi
Kebudayaan
Dani
(Grand
Valley)
Kebudayaan
Dani
(Western)
Kebudayaan
Eipomek
Kebudayaan
Hupla
Kebudayaan
Kembra
Kebudayaan
Ketengban
Kebudayaan
Kimki
Kebudayaan
Kimyal
Kebudayaan
Kopka
Kebudayaan
Kosare
Kebudayaan
Lepki
Kebudayaan
Momuna
Kebudayaan
Mukim
Kebudayaan
Narca

16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Kebudayaan
Nduga
Kebudayaan
Ngalum
Kebudayaan
Nggem
Kebudayaan
Nipsan
Kebudayaan
Pyu
Kebudayaan
Silimo
Kebudayaan
Tofanma
Kebudayaan
Una
Kebudayaan
Walak
Kebudayaan
Yale
Kebudayaan
Yali
Kebudayaan
Yetfa
Kabupaten
Manokwari
(19
Kebudayaan)
Kebudayaan
Arandai
Kebudayaan
Dusner
Kebudayaan
Hatam
KebudayaanIrarutu
Kebudayaan
Kaburi
Kebudayaan
Kemberano
Kebudayaan
Maibrat
Kebudayaan
Mantion
Kebudayaan
Meoswar
Kebudayaan
Mer
Kebudayaan
Meyakh
Kebudayaan
Moskona
Kebudayaan
Mpur
Kebudayaan
Nabi
Kebudayaan
Ron

16.
17.
18.
19.
6.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Kebudayaan
Tanah
Merah
Kebudayaan
Tandia
Kebudayaan
Wandamen
Kebudayaan
Yeretuar
Kabupaten
Merauke
(42
Kebudayaan)
Kebudayaan
Aghu
Kebudayaan
Asmat
(Causarian
Coast)
Kebudayaan
Asmat
(Central)
Kebudayaan
Asmat
(North)
Kebudayaan
Asmat
(Yaosakor)
Kebudayaan
Atohwaim
Kebudayaan
Awyu
Kebudayaan
Bian
Marind
Kebudayaan
Citak
Kebudayaan
Iwur
Kebudayaan
Kanum
Kebudayaan
Kauwol
Kebudayaan
Kayagar
Kebudayaan
Kimaghama
Kebudayaan
Kombai
Kebudayaan
Koneraw
Kebudayaan
Korowai
Kebudayaan
Makleu
Kebudayaan
Mandobo
Kebudayaan
Marind
Kebudayaan
Mombun
Kebudayaan
Momuna
Kebudayaan
Moraori

24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
7.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kebudayaan
Muyu
(North)
Kebudayaan
Muyu
(South)
Kebudayaan
Ndom
Kebudayaan
Nduga
Kebudayaan
Ninggerum
Kebudayaan
Pisa
Kebudayaan
Riantana
Kebudayaan
Sawi
Kebudayaan
Siagha-Yenimu
Kebudayaan
Tamagario
Kebudayaan
Tamnim
Kebudayaan
Tsak
Wambo
Kebudayaan
Wambon
Kebudayaan
Warkay-Bipim
Kebudayaan
Yair
Kebudayaan
Yaqhay
Kebudayaan
Yelmek
Kebudayaan
Yei
Kebudayaan
Yonggom
Kabupaten
Paniai
(21
Kebudayaan)
Kebudayaan
Auye
Kebudayaan
Damal
Kebudayaan
Dani
(Western)
Kebudayaan
Dao
Kebudayaan
Dem
Kebudayaan
Duvle
Kebudayaan
Edopi
Kebudayaan
Ekari

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
8.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Kebudayaan
Fayu
Kebudayaan
Iresim
Kebudayaan
Kirikiri
Kebudayaan
Moni
Kebudayaan
Mor2
Kebudayaan
Nduga
Kebudayaan
Tarunggare
Kebudayaan
Tause
Kebudayaan
Turu
Kebudayaan
Wano
Kebudayaan
Waropen
Kebudayaan
Wolani
Kebudayaan
Yaur
Kabupaten
Sorong
(22
Kebudayaan)
Kebudayaan
Abun
Kebudayaan
As
Kebudayaan
Amber
Kebudayaan
Duriankere
Kebudayaan
Gebe
Kebudayaan
Kais
Kebudayaan
Kalabra
Kebudayaan
Karon
Dori
Kebudayaan
Kokoda
Kebudayaan
Kawe
Kebudayaan
Konda
Kebudayaan
Legenyem
Kebudayaan
Maybrat
Kebudayaan
Matbat

15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
9. Kabupaten
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Yapen Waropen
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan
Kebudayaan

(28

Moi
Morait
Puragi
Salawati
Seget
Suabo
Tehit
Yahadian
Kebudayaan)
Ambai
Ansus
Awera
Barapase
Bauzi
Burate
Busami
Demisa
Kufei
Kurudu
Marau
Munggumi
Nisa
Papama
Pom
Rasawa
Saponi
Sauri
Saweru

20.
Kebudayaan
21.
Kebudayaan
22.
Kebudayaan
23.
Kebudayaan
24.
Kebudayaan
25.
Kebudayaan
26.
Kebudayaan
27.
Kebudayaan
28. Kebudayaan Yawa

Serui

laut
Tause
Tefaro
Warembori
Waropen
Woi
Woria
Woriasi

Dengan demikian di Papua, kalau kita memetakan


kebudayaan berdasarkan bahasa dengan pendekatan
administrasi
pemerintahan,
maka
ada
sekitar:
Kabupaten
Jumlah
Kebudayaan
Biak
Numfor
1
Kebudayaan
Fakfak
21
Kebudayaan
Jayapura
85
Kebudayaan
Jayawijaya
27
Kebudayaan
Manokwari
19
Kebudayaan
Merauke
42
Kebudayaan
Paniai
21
Kebudayaan
Sorong
22
Kebudayaan
Yapen
Waropen
28
Kebudayaan
Jumlah
Kebudayaan
266
Kebudayaan*
* Jumlah kebudayaan bukan 251 karena suatu
kebudayaan
secara
administrasi pemerintahan, ia bisa terletak di dua, bahkan
sampai tiga kabupaten.

C.
KEANEKARAGAMAN
SOSIO-BUDAYA
PENDUDUK
PAPUA
Propinsi Papua pada waktu sekarang merupakan propinsi
dengan luas wilayah yang tersebar diseluruh repoblik
Indonesia (luas propinsi Papua adalah 416.000 kilometer
persegi atau sama dengan tiga kali luas pulau Jawa). Di
Propinsi yang amat luas ini berdiam hanya sekitar
2.013.620 juta orang dengan tingkat kepadatan penduduk
terjarang di Indonesia, yaitu kurang lebih 4 jiwa per
kilometer persegi (Sensus 1995). Angka-angka ini
menunjukan betapa sedikitnya jumlah penduduk di Papua.
Meskipun penduduk Papua tergolong sangat sedikit
jumlahnya namun dari segi kesukubangsaan dan budaya,
mereka memperlihatkan suatu kebinekaan yang amat
besardibandingkan dengan penduduk pulau atau propinsi
manapun dinegara kepulauan nusantara ini. Kebhinekaan
suku bangsa di Papua itu tercermin dalam berbagai unsur
budaya seperti bahasa, struktur organisasi sosial, sistemsistem kepemimpinan, agama dan sistem mata
pencaharian hidup berdasarkan mintakad ekologi daerah
tersebut.
1. Bahasa
Secara umum penduduk Papua dibagi dalam dua
kelompok besar menurut pembagian bahasa yang
digunakannya. Adapun dua bahasa itu ialah bahasa
Austronesia dan bahasa Non-austronesia. Bahasa-bahasa

yang termasuk dalam kelompok bahasa yang disebut


pertama seringkali disebut juga dengan nama bahsabahasa Papua. Dua bahasa ini merupakan bahasa induk
yang kedalamnya tergolong bahasa-bahasa lokal yang
terdapat di Papua. Jumlah bahasa-bahasa lokal yang ada
di papua seperti yang dilaporkan oleh ahli-ahli bahasa
yang bekerja di Papua dibawah organisasi Summer
Institute for Linguistics (SIL), adalah berjumlah kurang
lebih 251 buah bahasa (Silzer 1986). Oleh karena bahasa
digunakan sebagai wahana untuk berkomunikasi antara
warga kelompok dan sekaligus dipakai sebagai simbol
untuk menyatakan identitas diri kelompok, maka tiap
kelompok atau etnik pengujar bahasa tertentu selalu
membedakan diri mereka dari kelompok pengujar bahasa
lain. Dengan demikian dari segi kebahasaan terdapat
kurang lebih 251 kelompok etnik yang masing-masing
merasakan dirinya berbeda dari kelompok-kelompok
lainnya.
Pembagian bahasa berdasarkan klasifikasi bahasa-bahasa
di Papua berdasarkan familinya, maka di Papua dapat di
kategori menjadi 12 kategori familinya, yaitu:
1.
Trans
New
Guinea
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
Iwur, Muyu, Ninggerum, Yonggom, Kauwol, Ngalum,
Awyu, Aghu, Pisa, Tsakwambo, Siagha-yenimu,
Mandobo, Wambon, Sawi, Korowai, Kombai, Asmat,

Mombun, Koneraw, Momuna, Ekari, Wolani, Moni,


Auye, Dao, Damal, Dani, Yali, KwerbaSaberi,
Samarokena, Massep, Mairasi, Sentani, Tabla, Nafri,
Demta, Yei, Kanum, Maraori, Yelmek, Makleu, Kimam,
Kayagar, Marind, Yaghay, Iha, Baham, Mor, Kemberano,
Arandai, Kaburi, Puragi, Kais, Kokoda, Inawatan, Konda,
Tor, Turu, Mawes, Uria, Sause, Keder, Awyi, Taikat,
Waris, Manem, Senggi, Waina, Nimboran, Kemtuk, Gresi,
Kwansu, Dera, Dubu, Towei, Emumu, Yafi, Yali, Nipsan,
Nalca, Kimyal, Eipomek, Ketengban, Morwab, Molof,
Usku, Tofamna, Dem.
2.
West
Papuan
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
Tehit, Kalabra, Moi, Moraid, Seget, Abun (Karon),
Maibrat, Mpur, Hattam.
3.
Geelvink
Bay
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
Bauzi, Tarunggare, Barapasi, Kofei, Sauri, Bapu, Nisa,
Tefaro, Demisa, Woria, Burate, Awera, Rasawa, Saponi
dan Yawa.
4.
East
Birds
Head
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
Meyakh, Moskona, Mation.

5.
Sko
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
Skow dan Sangke.
6.
Kwomtari
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
Phyu
7.
Sepik-Ramu
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
Bhiksy
8.
Warembori
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
Warembori
9.
Taurap
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
bahasa Burumeso
10.
Pauwi
Phylum
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
bahasa Pauwi
11. Klasifikasi bahasa Papua yang tidak diketahui
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
bahasa Duvle, Fayu, Kirikiri, Tause, Baso, Betaf, Foya,
Yoki, Yair, Kimki, Murkim, Yepki, Kembra, Yetfa, dan
Saweru

12.
Austronesian
Languages
Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kategori ini adalah
Arguni, Bedoanas, Erokwanas, Kowiai, onin, sekar,
Uruangnirin, Anus, Bonggo, Kayu Pulau, Lik, Masi-masi,
Ormu, Podena, Sobei, Tarpia, Tobati, Wakde, Yamna,
Yarsun, Dusner, Irarutu, Meswar, Nabi, Ron, Tandia,
Wandamen, Yeretuar, Biak, Ambai, Ansus, Busami,
Kurudu, Marau, Munggui, Papuma, Pom, Serui Laut,
Waropen, Woi, Woriasi, Mor2, Iresim, Yaur, Amber,
Kawe, Legenyem, Matbat, Salawi, Gebe, dan As.
2.
Struktur
Sosial
Struktur sosial disini mengcu pada bentuk-bentuk
hubungan sosial yang menata kehidupan bermasyarakat
suatu kesatuan sosial tertentu. Bentuk-bentuk hubungan
yang mengatur relasi atara para warga itu bersumber pada
hubungan kekerabatan dan diwujudkan dalam sistem
istilah kekerabatan maupun prinsip pewarisan keturunan.
Pemahaman terhadap sistem istilah kekerabatan suatu
kelompok etnis tertentu penting sebab istilah-istilah itu
mensyaratkan hak dan kewajiban yang harus diperankan
oleh masing-masing anggota kerabat terhadap anggota
kerabat lain. Hak dan kewajiban itu merupakan unsur
pengikat yang menyatukan para warga kedalam suatu
kesatuan sosial. Unsur-unsur pengikat tadi tidak selalu
sama pada kelompok-kelompok etnis yang berbeda.

Atas dasar studi-studi antropologi yang telah dilakukan di


Papua,
Power
(1966)
menunjukan
didalam
pengelompokannyabahwa orang Papua paling sedikit
dapat dibagi dalam empat golongan berdasarkan sistem
istilah
kekerabatan
yang
dianutnya:
1. Tipe Irequois; termasuk kedalam golongan ini orang
Biak, orang Iha, orang Waropen, orang Senggi, orang
Marind-Anim, orang Teluk Humboldt dan orang
Mee/Ekari.
Masyarakat
penganut
tipe
ini
mengklasifikasikan anggota kerabat saudara sepupu
pararel dengan istilah yang sama dengan saudara
kandung, berbeda dengan istilah yang digunakan untuk
saudara sepupu silang. Ciri lain yang biasa dipakai juga
untuk menunjukan sistem ini ialah penggunaan istilah
yang sama untuk menyebut ayah maupun untuk semua
saudara laki-laki ayah dan semua saudara laki-laki ibu.
2. Tipe Hawaian;adalah suatu sistem pengelompokan
yang menggunakan istilah yang sama untuk menyebut
saudara-saudara sekandung dan semua saudara sepupu
silang dan pararel. Golongan-golongan etnik yang
tergolong kedalam sistem ini adalah orang Mairasi, orang
Mimika, Orang Hatam-Manikion, orang Asmat, Orang
Kimam
dan
Orang
Pantai
Timur
Sarmi.
3. Tipe Omaha; adalah suatu sistem yang
mengklasifikasikan saudara-saudara sepupu silang
matrilateral dan patrilateral dengan istilah-istilah yang
berbeda dan istilah-istilah untuk saudara sepupu silang itu
dipengaruhi oleh tingkatan generasi dan bersifat tidak

simetris, sehingga istilah untuk anak laki-laki saudara


laki-laki ibu (MBS) adalah sama dengan saudara laki-laki
ibu (MB) dan istilah untuk anak laki-laki saudara
perempuan ayah (FZS) adalah sama untuk anak laki-laki
saudara perempuan (ZS). Termasuk dalam golongan ini
adalah orang Awyu, orang Dani, orang Meybrat, orang
Mek dipegunungan Bintang dan orang Muyu.
4. Tipe Iroquois-Hawaian; Termasuk golongan ini adalah
Bintuni, orang Tor, dan orang Pantai Barat Sarmi
(Pouwer, 1966)
Kecuali penggolongan penduduk Papua menurut sistem
istilah kekerabatan di atas, mereka juga dapat dibedakan
berdasarkan prinsip-prinsip pewarisan keturunan yang
orang Papua anut atau kenal. Ada tiga prinsip pewarisan
keturunan yang dikenal diantara orang Papua:
1. Prinsip Patrilinial; Prinsip ini dikenal dan dianut oleh
orang Meybrat, Me, Dani, Biak, Waropen, Wandamen,
Sentani,
Marind-Anim
dan
Orang
Nimboran.
2. Prinsip Bilateral; Prinsip ini dikenal dan dianut oleh
masyarakat
pedalaman
Sarmi
3. Prinsip Ambilateral atau Ambilineal; Prinsip ini
terdapat pada orang Mimika, orang Mapi dan orang
Manikion (De Bruijin 1959:11;cf. Van der Leeden 1954;
Pouwer 1966)
Selain sifat-sifat tersebut diatas sifat lain yang dapat
dijadikan unsur pembeda adalah dikenal atau tidak

dikenalnya prinsip pembagian masyarakat kedalam phatry


atau moety. Diantara orang Papua terdapat kelompokkelompok masyarakat yang membagi masyarakatnya
kedalam kelompok-kelompok moety, misalnya pada
orang asmat (aipmu dan aipem), orang Dani (waita dan
waya), dan orang waropen (buriworaydan buriferai) tetapi
ada juga yang tidak mengenal prinsip seperti itu, misalnya
pada orang Muyu dan orang Biak (Heider 1979, 1980;
Mansoben 1974; Held 1947; Kamma 1972; Schoorl
1957).
3.
Hak
Ulayat
Tanah
Sifak kemajemukan penduduk Papua itu dapat dilihat juga
pada prinsip-prinsip hak ulayat tanah yang mereka kenal.
Diantara penduduk Papua bisa diklasifikasi atas dua
kategori
pemilikan
tanah,
yaitu:
1. Terdapat kolektif-kolektif etnik yang disamping
mengatur sistem hak ulayat tanahnya melalui clan, jadi
merupakan komunal; Termasuk dalam kategori ini adalah
orang Dani, orang Biak, orang Auwyu, orang Yawa dan
orang
Waropen.
2. Terdapat pula kolektif-kolektif lain yang mengatur hak
ulayat melalui keluarga inti atau hak individual; termasuk
dalam kategori ini adalah orang Me (Pouwer 1970; Galis
1970; Schoorl 1970; Verschueren 1970; De Bruijn 1970;
Ploeg 1970; cf. Lavalin International Inc. dan PT Hasfarm
Dian Konsultant 1988).

4.
Sistem
Politik
Ciri kemajemukan lain yang sangat penting ialah tipe-tipe
sistem politi atau sistem kepemimpinan politik yang ada
pada orang Papua. Untuk mengetahui sistem-sistem
politik tradisional yang dikenal oleh orang Papua,
Mansoben (1985) mengaplikasikan model kontinum yang
diajukan oleh sahlins (1963) terhadap data etnografi yang
ada dan yang telah mencatat adanya empat sistem atau
tipe politik. Ke empat sistem atau tipe politik yang
dimaksud
adalah:
1. Sistem Big man atau Pria Berwibawa;
2.
Sistem
Kerjaan;
3.
Sistem
Ondoafi
4. Sistem Campuran
Model analisis yang diajukan oleh Sahlins (1963) itu
menggunakan garis kontinum. Pada salah satu ujung
kutub garis kontinum tersebut kita jumpai suatu sistem
politik yang ditandai ciri ascription, atau pewarisan, dan
pada ujung kutub yang lain terdapat sistem politik yang
bercirikan achievment, pencapaian. Pada ujung garis
kontinum yang berdirikan pewarisan itu adalah sistem
kepemimpinan yang disebut chief (kepala suku),
sedangkan ujung kutub lain dari garis kontinum yang
bercirikan pencapaian itu adalah sistem kepemimpinan
yang disebut Big man (pria berwibawa).

Menggunakan
dikhotomi
tersebut
untuk
mengklasifikasikan sistem-sistem politik yang ada di
Papua, Mansoben (1985) mencatat bahwa selain sistem
yang berada pada kedua ekstrem tersebut, terdapat juga
suatu sistem lain yang menampakan ciri-ciri pencapaian
maupun pewarisan, sehingga tidak dapat digolongkan
secara mutlak kedalam salah satu ekstrem. Oleh karena
sifat demikian maka sistem itu disebut sistem
percampuran. Selain itu didalam sistem kepemimpinan
yang bercirikan pewarisan dan yang disebut Sahlins
sebagai cief itu dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu sistem
kerajaan dan sistem ondoafi. Perbedaan pokok antara dua
sistem terletak pada unsur luas jangkauan kekuasaan dan
orientasi politiknya. Uraian singkat dibawah ini
memperlihatkan ciri-ciri utama serta perbedaan-perbedaan
pokok diantara sistem-sistem tersebut.
Sistem politik tradisional pertama yang akan dibicarakan
disini adalah sistem politik pria berwibawa. Ciri utama
dari sistem ini ialah kedudkan pemimpin diperoleh
melalui pencapaian. Sumber kekuasaan dari tipe politik
ini terletak pada kemampuan individual yang diwujudkan
dalam bentuk-bentuk nyata seperti keberhasilan
mengalokasi dan mendistribusikan kekayaan (kekayaan
material), kepandaian berdiplomasi dan berpidato,
keberanian memimpin perang, memiliki fisik tubuh yang
berukuran besar dan tegap dibandingkan dengan anggotaanggota lain didalam masyarakatnya dan memiliki sifat

bermurah hati (Sahlins 1963; Koentjaraningrat 1970,


1984). Ciri kedua dari sistem politik ini ialah pelaksanaan
kekuasaan dijalankan oleh hanya satu orang saja, yaitu
pemimpin itu sendiri, jadi secara tunggal, autonomous.
Contoh masyarakat pendukung ini adalah orang Dani,
orang Asmat, orang Me, orang Meybrat dan orang Muyu.
Sistem kedua adalah sistem politik kerajaan. Ciri utama
dari sistem ini ialah pewarisan kedudukan pemimpin,
ascribed status. Pewarisan kedudukan disini bersifat
senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran maupun klen.
Ciri lain dari sistem ini adalah pelaksanaan kekuasaan
pada masyarakat tradisional seperti ini disebut oleh Weber
(1972:126) sebagai birokrasi patrimonial atau birokrasi
tradisional, peranannya adalah sebagai mesin politik,
yaitu alat untuk menjalankan perintah-perintah dari
penguasa. Didalam birokrasi itu terdapat pembagian tugas
dan wewenang yang jelas antara pemimpin dan para
pembantu yang berperan sebagai pegawai. Seperti halnya
dengan kedudukan pemimpin yang diwariskan, disinipun
kedudukan para pembantu diwariskan, Jika tidak kepada
anak yang sulung, maka kedudukan tersebut dapat dijabat
oleh salah seorang kerabat didalam klan sendiri yang
memenuhi persyaratan yang dituntut. Masyarakat sistem
ini terdapat bagian barat daya Papua, meliputi kepulauan
Raja Ampat, Semenanjung Onim, Teluk MacCluer dan
daerah Kaimana.

Tipe ketiga adalah sistem politik Ondoafi. Ciri-ciri utama


sistem politik ondoafi adalah pewarisan kedudukan dan
birokrasi tradisional, jadi sama dengan sistem politik
kerajaan seperti yang sudah dibicarakan di atas. Namun
demikian sistem ondoafi berbeda dari sistem kerajaan
disebbabkan oleh faktor-fator teritorial dan orientasi
politik. Wilayah atau teritorial kekuasaan seorang
pemimpin pada sistem politik ondoafi meliputi atau hanya
terbatas pada satu Yo atau kampung saja dan kesatuan
sosialnya hanya terdiri dari satu golongan atau sub
golongan saja. Sebaliknya wilayah atau teritorial yang
dikuasai oleh seorang pemimpin pada sistem kerajaan
tidak terbatas pada satu kampung saja, melainkan meliputi
suatu wilayah gegrafis yang lebih luas dan didalamnya
terdapat kesatuan-kesatuan sosial berupa golongangolongan etnik yang berbeda satu sama lain. Perbedaan
lain adalah jika pada sistem po;itik kerajaan pusat
orientasi kekuasaannya adalah perdagangan, maka pada
sistem politik ondoafi pusat orientasi kekuasaan adalah
religi. Sistem politik ondoafi terdapat dibagian timur laut
Papua, dengan masyarakat pendukungnya masing-masing
orang Sentani, orang Genyem, Penduduk Teluk Humbolt,
orang Tabla, orang Yaona, orang Yakari-Skouw dan orang
Arso-Waris.
Sistem
kermpat
adalah
sistem
kepemimpinan
percampuran. Ciri-ciri sistem percampuran adalah
kedudukan pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan

pencapaian. Atau dengan kata lain, didalam sistem ini


seseorang dapat menjadi pemimpin masyarakat
berdasarkan kemampuan individualnya, jadi berdasarkan
prestasi dan juga berdasarkan keturunan.
Para pemimpin yang tergolong pada golongan pertama
(berdasarkan prestasi) itu biasanya muncul pada saat-saat
tertentu, misalnya pada saat adanya peperangan anatara
kampung atau wilayah, atau pada saat terjadi bencana
alam seperti pada musim kelaparan, wabah penyakit atau
pada saat terjadi dekadensi kebudayaan. Mereka yang
tergolong dalam kategori ini disebut sebagai pemimpin
situasional, karena mereka berperan sebagai pemimpin
pada situasi-situasi tertentu yang menuntut penampilan
seorang
pemimpindengan
kemampuan-kemampuan
khusus untuk menjawab tantangan yang terjadi pada
situasi tertentu.
Kedudukan pemimpin yang didasarkan atas sifat
pewarisan yang terdapat di dalam sistem percampuran
biasanya terjadi apabila masyarakat tidak mengalami
berbagai macam gangguan baik yang bersifat bencana
alam maupun bukan bencana alam, misalnya peperangan.
Dalam keadaan aman muncul pemimpin-pemimpin
yang berasal dari keturunan pendiri kampung. Seperti
yang sudah dikemukakan di atas bahwa kedudukan ini
diwariskan dalam klen pendiri kampung, tetapi berbeda
dengan sistem pewarisan kedudukan baik pada sistem

kerajaan maupun sistem ondoafi karena pada sistem


percampuran tidak dikenal birokrasi. Masyarakat
pendukung sistem percampuran terdapat terutama pada
penduduk Teluk Cenderawasih, seperti orang Biak, orang
Wandamen, orang Waropen, orang Yawa dan orang Maya.
5.
Sistem
Kepercayaan
dan
Agama
Sebelum agama-agama besar seperti Islam dan Kristen
masuk Papua, tiap golongan etnik mempunyai sistem
kepercayaan tertentu yang kita sebut saja dengan nama
sistem kepercayaan tradisi untuk membedakannya dengan
agama-agama besar dari luar yang disebut tadi. Masingmasing golongan etnik mempunyai sistem kepercayaan
tradisi masing-masing tetapi pada umumnya mereka
percaya akan adanya satu dewa.atau Tuhan yang lebih
berkuasa di atas dewa-dewa yang lain. Tuhan atau dewa
tertinggi itu disebut dengan nama yang berbeda-beda,
misalnya:
Dearah
Kebudayaan
Nama
Dewa
Tertinggi
Biak-Numfor
Mansren
Nanggi
Orang
Moi
Fun
Nah
Orang
Seget
Fun
Naha
Orang
Waropen
Naninggi
Orang
Wandamen
Syen
Allah
Marind
Anim
Dema
Orang
Asmat
Mbiwiripitsy
Orang Me Ugatame

Berbagai keterangan etnografi tentang sistem kepercayaan


orang Papua menunjukan bahwa dewa atau tuhan
tertinggi itu diakui dan dihormati karena dianggap sebagai
dewa penciptayang mempunyai kekuasaan mutlak atas
nasib kehidupan manusia, namun ada juga kesan kuat
bahwa kekuasaan dewa itu telah dikuasakan pada
mahkluk-mahkluk yang tidak nampak tetapi terdapat
didalam unsur alam tertentu seperti misalnya angin,
hujan, dan petir atau berdiam dalam benda tertentu
disekitar alam tempat tinggal manusia seperti dalam
pohon-pohon besar, dalam sungai, pusaran air sungai,
dasar laut atau tanjung tertentu. Oleh karena mahklukmahkluk halus ini memiliki kekuatan yang mengontrol
kehidupan manusia, maka merekapun harus ditakuti dan
dihormati. Demikianlah orang papua selalu melakukan
berbagai cara untuk menyatakan rasa takut dan hormatnya
kepada mahkluk-mahkluk halus itu melalui pemberian
sesaji atau pelaksanaan ritus tertentu. Tindakan seperti ini
menyatakan pengakuan manusia terhadap kehadiran dan
kekuasaan roh-roh halus. Orang Papua mengharapkan
perbuatan seperti ini menyebabkan kekuatan-kekuatan
alam berbaik hati terhadap kehidupannya. Atau dengan
perkataan lain kekuatan-kekuatan alam itu dibujuk untuk
melindungi manusia melalui upacara ritus atau pemberian
sesaji. Juga menurut kepercayaan tradisi itu, orang Papua
percaya bahwa roh-roh dari orang yang telah mati
mendapat kekuatan dari dewa pencipta untuk menguasai
manusia yang hidup. Itulah sebabnya orang yang masih

hidup harus menjalin hubungan baik dengan orang yang


telah mati agar mereka terlindung dari bermacam-macam
malapetaka yang dapat diakibatkan oleh roh-roh orang
mati. Di sinilah letaknya kepercayaan atau pemujaan
patung korwar dan upacara mon di daerah kebudayaan
Biak-Numfor, ritus pembayaran tengkorak pada orang
Meybrat atau upacara mbis pada orang Asmat. Sistemsistem kepercayaan tradisi ini sudah tidak dilaksanakan
secara intensif lagi sejak penduduk memeluk agama Islam
atau Kristen, namun dalam menghadapi persoalanpersoalan mendasar yang menimpa kehidupan manusia
seperti tertimpa kecelakaan, sakit dan mati, masih banyak
orang Irian mencoba mencari jawabannya melalui sistem
kepercayaan tradisi.
Agama-agama besar seperti Islam dan Kristen masuk di
daerah Irian Jaya pada periode waktu yang berbeda-beda.
Agama besar pertama yang masuk di Irian Jaya adalah
Agama Islam. Agama Islam yang masuk di Irian Jaya,
yaitu di daerah kepulauan Raja Ampat dan daerah Fak-fak
berasal dari Kepulauan Maluku dan disebarkan melalui
hubungan perdagangan yang terjadi antara kedua daerah
tersebut. Menurut Van der Leeden (1980:22), agama Islam
masuk di kepulauan Raja Ampat ketika daerah tersebut
mendapat pengaruh dari Kesultanan Tidore tidak lama
sesudah agama tersebut masuk di Maluku pada abad ke
13. Walaupun agama Islam lebih lama masuk di daerahdaerah tersebut di atas, namun tidak disebarkan secara

luas kepada penduduk, melainkan hanya dipeluk oleh


golongan-golongan tertentu saja dalam masyarakat ialah
golongan penguasa terutama di kalangan keluarga rajaraja dan pembantunya. Sejak masuknya agama Islam di
daerah Irian Jaya hingga sekarang tidak ada usaha
penyebaran ajaran agama tersebut kepada penduduk Irian
sehingga pemeluknya tetap terbatas pada lingkungan
pemeluk agama tersebut speerti pada saat permulaan.
Pada tahun-tahun terakhir ini baru ada usaha penyebaran
agama Islam di luar daerah-daerah tersebut tadi, seperti
misalnya upaya yang dilakukan oleh Yayasan Pendidikan
Islam (YAPIS) untuk mendirikan persekolahan umum dan
pengajian bagi orang-orang Dani di daerah Walesi,
Lembah Baliem sejak tahun 1990-an. Menurut Sensus
Penduduk 1990, penduduk di Irian Jaya (penduduk asli
dan penduduk yang berasal dari daerah lainnuya di
Indonesia) yang memeluk agama Islam berjumlah
405.725 jiwa atau 20,5% dari total penduduk Irian Jaya.
Agama besar lain yang datang dari luar adalah agama
Kristen, Agama Kristen masuk di Irian Jaya pada
pertengahan abad ke 19, jadi kurang lebih enam abad
sesudah agama Islan dikenal oleh sebagian besar
penduduk Papua. Meskipun agama Nasrani masuk di
Papua hampir setengah abad lalu, namun penyebaran dan
penerimaannya berbeda antara satu golongan etnik
lainnya, sebab ada golongan etnik yang menerima pada
masa awal penyebarannya, misalnya penduduk di Teluk

Doreri, Manokwari, penduduk di sepanjang Teluk


Wandamen dan pulau-pulau yang terletak di Teluk
Cenderawasih (Kamma 1953), tetapi ada juga yang baru
menerimanya tidak lebih beberapa belas tahun yang lalu,
terutama di antara di antara penduduk yang berdiam di
pegunungan Tengah, misalnya orang Mek di Lembah
Selah yang baru mengenal dan menerima agama Nasrani
pada tahun 1980 (Godschalk 1993:23). Para pekabar injil
Nasrani pertama yang membawa masuk agama Kristen di
daerah Papua adalah Ottow dan Geisler. Dua orang
penginjil ini diutus oleh Pdt Gossner dari Berlin, Jerman
atas inisiatif Pdt. Heldring untuk pekabaran Injil di New
Guinea (Kamma 1953:96). Para pekabar injil, Ottow dan
Geisler, tiba di Pulau Mansinam, Teluk Doreri di Papua
pada tanggal 5 Februari 1855. Penginjil Ottow bekerja
kurang lebih tujuh tahun lamanya (1855-1962),
meninggal dunia dan dikubur di Kwawi, Manokwari,
sedangkan penginjil Geisler bekerja lebih 14 tahun (1855
1870), kemudian kembali dan meninggal di negeri
asalnya, Jerman. Usaha pengkristenan yang dilakukan
oleh Ottow dan Geisler, yang pada mulanya kurang
berkembang itu, kemudian dilanjutkan oleh pendetapendeta Belanda yang diutus oleh badan pekabaran injil
bernama Utrechtsche Zendings Vereniging (UZV) yang
tiba di Mansinam pada tahun 1862.
Meskipun upaya pengkristenan pada limapuluh tahun
pertama kurang berhasil, hal ini dapat dilihat pada jumlah

orang yang dibaptis hanya berjumlah 260 orang saja


(Kamma 1953:101), namun limapuluh tahun berikutnya
terjadi perubahan besar sebab banyak orang Papua
menerima agama Kristen. Pada tahun 1956 orang Papua
mendirikan suatu gereja yang berdiri sendiri Gereja
Kristen Injili (GKI) dan waktu sekarang Gereja Kristen
Injili di Papua merupakan Gereja yang paling besar
jumlah anggotanya dibanding engan gereja-gereja
Protestan lainnya. Kegiatan Gereja Kristen Injil di Papua
pada waktu sekarang meliputi delapan wilayah pelayanan
dan 24 klasis.
Pekabaran agama Nasrani di Papua yang diawali oleh
badan Zending Utrechtsche Zendingsvereniging pada
pertengahan abad lalu itu kemudian disusul oleh berbagai
aliran gereja Protestan lainnya seperti Unevangelized
Field Mission (UFM) yang mulai pekabarannya di daerah
belakang Jayapura pada tahun 1951, aliran Gereja
Pantekostan Bethel di Sorong pada pertengahan tahun
1930 an, Christian and Missionary Alliance (CMA) di
Enarotali (Danau-Danau Paniai) pada tahun 1939, Gereja
Baptis di daerah Inanwatan dan Ayamaru pada tahun
1940-an, Regions Beyond Missionary Union (RBMU)
pada tahun 1952 dan Gereja Protestan Maluku di Fak-fak
pada tahun 1930 (Kamma 1953:112-130).
Pada waktu sekarang, selain badan gereja-gereja tersebut
di atas, bermacam-macam aliran gereja protestan lainnya

seperti gereja Advent, Gereja Pantekosta Indonesia,


Jahova, Gereja Alkitab Indonesia dan Gereja Kemah Injil
Masehi Indonesia juga bekerja di Papua.
Hasil pengkristenan yang dimulai kurang lebih satu
setengah abad laludi Papua oleh bermacam-macam aliran
gereja protestan, menurut sensus penduduk tahun 1995,
jumlah penduduk papua beragama kristen adalah
1.130.021 orang atau 57% dari total penduduk Papua
yang menjadi dari anggota gereja-gereja protestan
tersebut (Sensus Penduduk 1980, Seri I, BPS, Jakarta).
Berbeda dengan agam kristen protestan yang melalui
pekabaran injilnyadibagian utara Papua, maka agama
Roma Khatolik melakukan misi pekabaran injilnya di
bagian selatan Papua. Kegiatan misi Roma khatolik di
bagian selatan Papua ditandai oleh kedatangan Pastor Le
Cocq dArmandville S.J. di Kapaur dekat Fak-Fak pada
tahun 1894. Le Cocq dArmandville S.J. adalah Pastor
Yesuit pertama yang diutus oleh ordo Yesuit yang sudah
bekerja satu abad sebelumnya di daerah lain dikepulauan
Indonesia untuk membuka lapangan pekabaran injil di
Nieuw Guinea, Ia tidak bekerja lama di daerah tersebut
sebab satu tahun kemudian tenggelam di daerah Mimika
dalam satu perjalanan orientasinya, menyebabkan
berhenti untuk sementara waktu.(Verschueren 1953;183).
Meskipun ada beberapa kunjungan yang dilakukan oleh
para misionaris Yesuit di daerah Merauke antara 1892 dan

1902, namun kegiatan resmi misi Roma Khatolik di


daerah ini dimulai pada tahun 1902 ketika ordo Misi Hati
Kudus (Missionarissen van het Heilige Hart) dari negeri
Belanda yang perwakilannya berkedudukan di Langgur,
Kepulauan Kei, mendapat hak untuk melakukan kegiatan
misi di daerah tersebut. Sungguhpun demikian kegiatan
misi baru dilakukan secara nyata setelah dua orang pastor
bersama dua orang broeder tiba di Merauke pada tanggal
14 Agustus 1905 (Verschueren 1953: 183).
Kegiatan misi yang dimulai di daeran Merauke itu relatig
lebih cepat berkembang dengan kegiatan zending
dibagian utara Papua, karena dalam kurun waktu lebih 50
tahun, telah menjadi vikariat sendiri pada tahun 1920,
kemudian berkembang menjadi dua vikariat, masingmasing vikariat merauke pada tahun 1950 dan vikariat
Holandia (Jayapura) pada tahun 1954. Perkembangan
lebih lanjut adalah pembagian daerah Irian Jaya menjadi
tiga wilayah administrasi keuskupan pada tahun 1966,
masing-masing Keuskupan Agung Merauke (meliputi
daerah Merauke), Keuskupan Jayapura (meliputi daerah
Jayapura, Wamena, Mimika dan Paniai) dan Keuskupan
Menokwari (meliputi daerah Manokwari, Sorong dan
Fak-Fak). Selain itu terbentuk juga keuskupan Agats pada
tahun 1969. Pembagian keuskupan seperti tersebut diatas
didasarkan atas ordo yang melakukan kegiatan misi di
daerah tertenut. Dengan demikiandaerah keusukupan
Agung Merauke merupakan daerah kerja Ordo Hati

kUdus (MSC), Keuskupan Jayapura merupakan daerah


kerja Ordo Fransiskan, Ordo Fransiscanen Missionaries
(OFM), daerah Keuskupan Manokwari merupakan daerah
kerja Ordo Agustinus (OSA) dan Keuskupan Agats
merupakan daerah kerja Ordo Salib Suci, Ordo Sacred
Cross (OSC).
Hasil upaya pengkristenan yang dilakukan oleh misi
Roma Katolik di daerah Irian Jaya selama hampir satu
abad lamanya dapat dilihat pada jumlah pemeluk agama
Roma Katolik yang ada. Menurut Sensus Pendudukan
1995 jumlah orang Irian yang memeluk agama Kristen
Roma Katolik adalah sebanyak 430.011 jiwa tau 21,80%
daro total penduduk Irian Jaya.
Sejak tahun 1960-an agama Hindu dan agama Budha
masuk juga di Irian Jaya, tetapi para pendukungnya
berasal dari suku-suku bangsa di luar Irian Jaya yang
datang bekerja sebagai pegawai pemerintah atau swasta.
Jumlah pemeluk agama Budha pada tahun 1995 adalah
2.702 orang atau 0.13% dari pemeluk agam Hindu
sebanyak 3.644 orang atau 0.18% dari pemeluk agama di
Irian Jaya.
Uraian diatas tadi menunjukkan kepada kita bahwa aspek
agama menambah dimensi kemajemukan (diversitas)
orang Irian yang terdiri dari berbagai etnis atau suku-suku
bangsa itu. Di satu pihak aspek agama tertentu (misalnya
Islam atau Kristen Protestan) menyatukan para

anggotanya yang berasal dari berbagai golongan etnis ke


dalam satu kesatuan umat agama, tetapi pada pihak yang
lain justru agama memecahkan anggota-anggota datu satu
golongan etnis ke dalam umat yang berbeda-beda
berdasarkan agama yang dipeluknya.
6.
Pemerintahan
dan
Ketenagakerjaan
Selain keanekaragaman penduduk Irian Jaya menurut ciriciri yang telahdisebutkan diatas, jika kita memperhatikan
penduduk Irian Jaya berdasarkan tempat tinggal menurut
wilayah pemerintahan, persebaran penduduk dan pencari
kerja maka keadaannya adalah seperti berikut di bawah
ini.
Pemerintah daerah Propinsi Irian Jaya yang merupakan
tempat tinggal orang Irian terdiri dari 10 daerah tingkat II,
ditambah satu kota administrasi (Sorong) dan tiga
kabupaten administrasi (Timika, Paniai dan Puncak Jaya)
yang selanjutnya terbagi ke dalam 170 kecamatan dan
2232 desa/kelurahan.
Selanjutnya jika kita melihat persebaran penduduk
menurut tempat tinggal di kota dan di desa, maka jumlah
penduduk Irian Jaya pada tahun 1995 yang berjumlah
2.031.620 orang itu tersebar menjadi 562.500 orang
(27%) bertempat tinggal di daerah perkotaan, sedangkan
1.494.450 orang (73%) bertempat tinggal di pedesaan.
Angka-angka di atas ini menunjukkan bahwa sebagian
besar penduduk Irian Jaya tinggal di desa.

Lebih lanjut jika kita memperhatikan jumlah angkatan


tenaga kerja penduduk berumur diantara 10-65 tahun di
Papua, menurut Biro Statistik Propinsi Papua adalah
Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan tahun 1999
sebanyak 81.232 orang, dan jumlah yang mendaftarkan
pada tahun 1999 sebanyak 7.319 orang.
Jumlah pencari kerja berdasarkan registrasi pencari kerja
yang terdapat di Kanwil Tenaga Kerja dan pencari kerja
tersebut belum ditempatkan sebagai berikut:
No
Pendidikan
Jumlah
Persen
1.
SLTP
ke
bawah
12.214
15,04
2.
SLTA
Umum
22.865
28,15
3.
SLTA
Kejuruan
37.092
45,67
4.
Sajana
Muda
2.622
3,23
5
Sarjana
6.439
7,93
Jumlah
81.232
100
Sumber: Perencanaan Tenaga Kerja Daerah Propinsi Irian
Jaya 2000/2001
Dari pencari kerja yang mendaftarkan tahun 1999 baru
barhasil ditempatkan 2.753 orang.
7.
Pandangan
Hidup
Nilai budaya yang bermanifestasi dalam bentuk etika,
moral, peraturan, hukum dan aturan-aturan khusus yang
menjadi pedoman bai manusia itu berbeda dari satu
masyarakat kebudayaan dengan masyarakat kebudayaan

lainnya. Apa yang dianggap bernilai tinggi oleh


masyarakat kebudayaan A belum tentu dianggap baik oleh
masyarakat kebudayaan B. Apa yang dianggap patut
dipatuhi oleh masyarakat kebudayaan C belum tentu
dianggap penting untuk dipatuhi oleh masyarakat
kebudayaan Dv demikian seterusnya. Bermacam-macam
pandangan dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda
terhadap apa yang dinilai baik dan apa yang dinilai tidak
baik, menurut model analisis yang diajukan oleh
Kluckhohn dan Stodbeck (1961), secara universal,
bersumber dari konsepsi yang berbeda terhadap lima hal
atau prinsip dasar. Kelima prinsip dasar itu adalah:
1. Konsepsi terhadap hakekat hidup. Semua kebudayaan
di dunia ini, niscaya memiliki konsep tentang apa yang
disebut hidup. Apa arti hidup ini, apa tujuannya dan
bagaimana menjalaninya. Biasanya agama-agama
memberikan tuntunan terhadap seseorang sehingga
terbentuk persepsinya terhadap hakekat hidup itu.
Terhadap hakekat hidup, terdapat bermacam-macam
tanggapan, ada memandang dan menanggapi hidup ini
sebagai kesengsaraan yang harus diterima sebagai
ketentuan yang tak dapat dihindari: sebagai hidup untuk
menebus suatu dosa; sebagai kesempatan untuk
menggembirakan diri; menerima sebagaimana adanya;
dan
berbagai
tanggapan
lainnya.
2. Konsepsi terhadap karya manusia. Tanggapan tentang
arti karya terdapat banyak variasi yang ditampilkan oleh

berbagai kebudayaan. Ada yang memandang karya atau


bekerja itu sebagai sesuatu yang memberikan suatu
kedudukan yang terhormat dalam masyarakat atau
mempunyai arti bagi kehidupan; bekerja itu adalah
pernyataan
tentang
kehidupan;
bekerja
adalah
intensifikasi dari kehidupan untuk menghasilkan lebih
banyak kerja lagi; dan berbagai macam konsepsi lainnya
yang menunjukkan bagaimana manusia hidup dalam
kebudayaan tertentu memandang dan menghargai karya
itu.
3. Konsepsi terhadap alam. Bagaimana manusia harus
menghadapi alam, juga terdapat persepsi yang berbedabeda menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada yang
memandang alam ini sebagai sesuatu yang potensial dapat
memberikan kehidupan yang bahagia bagimanusia
dengan mengolahnya; ada yang memandang alam ini
sebagai suatu yang harus dipelihara keseimbangannya
sehingga harus diikuti saja hukum-hukumnya; ada yang
memandang alam ini sebagai sesuatu yang sakral dan
maha dahsyat sehingga manusia itu pada hakekatnya
hanya bisa bersifat menyerah saja dan orang harus
menerima sebagaimana adanya tanpa berbuat banyak
untuk mengolah alam; dan berbagai tanggapan lainnya.
4. Tanggapan terhadap waktu. Ada berbagai tanggapan
tentang soal waktu menurut masing-masing kebudayaan.
Ada tanggapan bahwa yang sebaik-baiknya adalah masa
lalu yang memberikan pedoman kebijaksanaan dalam
hidupnya; ada yang beranggapan bahwa orientasi ke masa

depan itulah yang terbaik untuk kehidupan ini. Dalam


kebudayaan serupa itu perencanaan hidup menjadi suatu
hal yang amat penting. Sebaliknya adapula kebudayaankebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan
waktu yang sempit, mereka memandang waktu sekarang
adalah waktu yang terpenting. Warga dari kebudayaan
serupa itu tidak akan memusingkan diri dengan
memikirkan zaman yang lampau maupun masa yang akan
datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada
masa
sekarang
ini.
5. Tanggapan terhadap sesama manusia. Ada kebudayaankebudayaan
yang
menanamkan
pada
warga
masyarakatnya pandangan-pandangan terhadap sesama
manusia bahwa hubungan vertikal antara manusia dengan
sesamanya adalah amat penting. Dalam pola kelakuannya,
manusia yang hidup dalam kebudayaan serupa itu akan
berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin dan orangorang senior, sehingga orang atasan selalu dijadikan
panutan bagi warganya. Ada yang menanamkan
pandangan bahwa hubungan horizontal antara manusia
dengan sesamanya sebagai yang terbaik. Orang dalam
suatu kebudayaan serupa itu akan merasa tergantung
kepada sesamanya, dan usaha untuk memelihara
hubungan baik dengan tetangganya dan sesama kaum
kerabat dianggap amat penting dalam hidup. Sebaliknya
ada
kebudayaan
yang
berorientasi
bahwa
menggantungkan diri pada orang lain adalah bukan hal
yang baik. Dalam kebudayaan serupa itu individualisme

amat dipentingkan dan sangat menghargai orang yang


mencapai banyak tujuan dalam hidupnya dengan hanya
sedikit bantuan dari orang lain.
Kelima prinsip diatas dijadikan alat untuk memeriksa dan
mengukur sikap seseorang atau masyarakat tertentu dalam
menghadapi kehidupan di dunia ini, dalam dunia yang
sedang mengalami perubahan dari yang lama kepada yang
baru dan dari kehidupan yang sederhana kepada
kehidupan yang kompleks, pendeknya kehidupan dalam
suatu dunia yang sedang membangun.
Bertalian dengan lima prinsip yang menjadi dasar
orientasi seperti yang sudah dibicarakan diatas,
Koentjaraningrat mencatat bahwa nilai-nilai budaya yang
dianggap penting karena merupakan aset budaya yang
dapat dipakai untuk menunjang pembangunan adalah: (1)
nilai budaya yang berorientasi ke masa depan; (2) nilai
budaya yang berhasrat untuk mengexplorasi lingkungan
alam; (3) nilai budaya yang menilai tinggi hasil dari karya
manusia; (4) nilai budaya yang menghargai usaha orang
untuk mencapai hasil atas usaha sendiri (Koentjaraningrat
1974: 38-42)
7.
Nilai
Budaya
Orang
Papua
Sekarang marilah kita melihat secara umum orientasi nilai
budaya yang manakah baik dan yang manakah kurang
dalam kebudayaa-kebudayaan orang Irian untuk
kepentingan pembangunan berdasarkan kerangka tersebut

diatas. Tentu saja dalam makalah ini tidak akan diberikan


suatu uraian yang lengkap dan mendetail sebab di satu
pihak akan menjadi sangat panjang dan akan menyita
waktu yan memang tidak tersedia dalam kegiatan seperti
yang kita hadapi bersama sekarang di tempat ini, dan pada
pihak yang lain hal itu tidak mungkin dilakukan
mengingat amat besarnya diversitas kebudayaan di Irian
Jaya. Oleh karena itu beberapa contoh yang akan
dikemukakan di sini amat bersifat umum. Namun
demikian diharapkan sifat keumuman itu dapat
memberikan suatu gambaran kepada kitan tentang nilainilai budaya apa yang ada dan relevan bagi pembangunan
pada masa sekarang sehingga harus dilestarikan dan nilainilai budaya manakah yang memang cocok dengan
pembangunan tetapi belum dimiliki sehingga diupayakan
agar dimiliki serta nilai-nilai budaya manakah yang ada
tetapi tidak cocok dengan pembangunan sekarang
sehingga harus dihindari.
Nilai budaya yang berorientasi ke masa depan adalah
suatu nilai budaya yang mendorong manusia untuk
melihat dan merencanalan masa depannya dengan lebih
seksama dan teliti, dan oleh karena itu akan memaksa
manusia untuk hidup berhati-hati dan untuk berhemat.
Kita semua tahu bahwa sifat hemat yang meluas amat
perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan
sebagian dari pendapatannya untuk mengakumulasi
modal. Jika kita mempelajari berbagai keterangan

etnografi yang telah ada tentang kebudayaan-kebudayaan


di Irian Jaya, kita akan sampai pada suatu kesimpulan
bahwa orientasi serupa itu tidak dijumpai pada
kebudayaan-kebudayaan di Irian Jaya. Memang ada
beberapa suku bangsa di Irian Jaya yang mengenal prinsip
akumulasi modal, seperti misalnya orang Meybrat, orang
Mee dan orang Muyu, namun modal yang telah
diakumulasi itu dipakai habis untuk penyelenggaraan
upacara-upacara adat seperti upacara inisiasi (pada orang
Mee), upacara pemakaman kembali (pada orang Muyu)
dan upacara pembayaran tengkorak (pada orang
Meybrat). Adanya kecenderungan umum untuk selalu
menyelenggarakan upacara-upacara baik yang bersifat
ritus maupun pesta biasa dalam suasana meriah yang
berlebihan sehingga menghabiskan tenaga dan biaya besar
pada orang Irian, guna mendapat nama baik dikalangan
kaum kerabat sendiri ataupun diantara kenalan-kenalan,
menunjukkan tidak adanya orientasi ke masa depan.
Mental dan sikap untuk menghabiskan tenaga dan modal
seperti tersebut di atas tidak cocok untuk pembangunan di
masa sekarang. Sebaliknya upacara-upacara meriah yang
tentu menelan biaya besar itu dihindari dan dengan
demikian ada kemungkinan untuk menabung guna masa
depan.
Selanjutnya orientasu nilai budaya yang berhasrat
mengeksplorasikan lingkungan alam dan kekuatankekuatan alam yang akan menambah inovasi, terutama

inovasi teknologi. Pembangunan yang memerlukan usaha


mengintensifkan produksi tentu tak bisa tidak harus
memanfaatkan teknologi yang makin lama main
disempurnakan. Penggunaan teknologi asing tidak bisa
begitu saja kita pakai, tetapi memerlukan suatu adaptasi
yang seksama. Usaha mengadaptasi teknologi juga
memerlukan suatu mentalitas yang selain menilai tinggi
hasrat bereksplorasi, juga menilai tinggi mutu dan
ketelitian.
Berbagai kajian tentang kebudayaan-kebudayaan di Papua
menunjukkan bahwa orientasi nilai budaya yang berhasrat
untuk mengeksplorasi lingkungan alam guna berinovasi
kurang menonjol. Hal ini bersumber pada kepercayaan
tradisional yang sampai sekarang belum hilang sama
sekali dalam banyak kebudayaan di Irian Jaya bahwa di
alam sekitar tempat hidup manusia terdapat kekuatankekuatan gaib yang harus ditakuti dan dihormati karena
mengontrol kehidupan manusia, menyebabkan suatu nilai
budaya yang tidak aktif terhadap lingkungan alam. Di
satu pihak pandangan untuk harus hidup harmonis dengan
lingkungan alam adalah baik karena searah denga
pandangan globalisasi sekarang yang berwawasan
lingkungan, namum dipihak lain pandangan tersebut
mematikan daya cipta orang untuk berinovasi. Walaupun
ada pengetahuan tentang produk-produk alam tertentu
misalnya jenis-jenis tanaman atau tumbuhan tertentu yang
dapat digunakan untuk pengobatan tradidional, namun

pengetahuan serupa itu biasanya terbatas dalam


lingkungan keluarga sendiri atau dalam kelompok tertentu
daja dan tidak dikembangkan dan disempurnakan sebagai
pengetahuain umum yang berguna bagi kepentingan
bersama. Walaupun ada hasrat untuk memanfaatkan
sumber-sumber alam dalam berbagai aktivitas ekonomi,
namun kegiatan-kegiatan itu terbatas hanya pada tingkat
kepentingan keluarga inti, kalau lebih tinggi hanya sampai
pada tingkat keluarga luas saja, tetapi tidak ada upaya ke
arah peningkatan yang lebih tinggi yangmencakup
masyarakat secara keseluruhan. Meskipun pada umumnya
kebudayaan-kebudayaan di Papua menunjukkan apa yang
diuraikan di atas, tetapi toh ada beberapa kebudayaan,
terutama kebudayaan-kebudayaan di Teluk Cenderawasih,
menunjukkan adanya orientasi nilai budaya yang
berhasrat mengeksplorasi lingkungan alam. Orientasi
seperti ini dapat dilihat misalnya pada penjelajahan
pelayaran dilakukan ke berbagai tempat yang jauh
letaknya, baik di kawasan pesisir pantai di Papua sendiri
maupun ke tempat-tempat yang letaknya di kepulauan
Maluku dan Sulawesi. Nilai orientasi demikian
menyebabkan dikembangkannya tekonologi pembuatan
perahu yang baik sehingga mampu digunakan untuk
mengarungi lautan yang luas dan dikembangkannya
sistem pengetahuan navigasi yang tinggi memungkinkan
mereka untuk melakukan pelayaran-pelayaran yang jauh.

Menilai tinggi usaha atau karya orang yang dapat


mencapai hasil, sedapat mungkin atau usahanya sendiri
adalah sautu manisfestasi dari orientasi nilai budaya
menghargai karya manusia. Sikap untuk menilai tinggia
usaha seseorang dalam masyarakat mendorong orang
untuk mengintensifkan usahanya sedapat mungkin untuk
memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini disatu pihak
menumbuhkan rasa percaya diri untuk berdiri sendiri dan
berkarya sendiri dan pada pihak lain menimbulkan
tumbuhnya
rasa
tanggung
jawab.
Menurut catatan kita diatas orientasi seperti ini penting
sebab berguna bagi pembanguna. Apabila kita
menggunakan unsur budaya sistem kepemimpinan
tradisional di Papua sebagai pintu masuk untuk
memahami kebudayaan-kebudayaan orang Irian, kita akan
menjumpai bahwa orientasi nilai budaya menilai tinggi
upaya orang terapdat pada banyak kebudayaan di Irian
Jaya. Misalnya pada orang Meybrat, orang Mee, orang
Muyu, orang Dani dan orang Asmat yang mengenal
kepemimpinan tradisional yang dalam kajian-kajian
antropologi dan sosiologi dikenal dengan sebutan sistem
big man atau pria berwibawa. Dalam kebudayaankebudayaan itu kita jumpai bahwa kedudukan pemipin
didasarkan atas usaha perorangan. Dalam kebudayaan
orang Meybrat, seorang yang berhasil dalan upayanya
untuk melaksanakan dan mengintensifkan sistem
pertukaran kain timur berupacara sangat dihargai oleh
masyarakatnya. Wujud nyata dari penghargaan itu adalah

pengakuan terhadap orang yang berhasil sebagai


pemimpin masyarakat, disebut bobot. Jadi kedudukan
pimpinan dalam masyarakat ditentukan berdasarkan
kemampuan usaha seseorang, keduduk seperti ini disebut
kedudukan upaya pencapaian (achieved status). Demikian
pula halnya dalam kebudayaan orang Mee, disamping
pandai berdiplomasi, bermurah hati dan jujur seseorang
yang berhasil terutama dalam bidang ekonomi
(mempunyai banyak kebun yang luas, banyak uang
yang terdiri dari kulit kerang atau courie sheel ,
memelihara banyak babi dan mempunyai banyak isteri
sangat dihargai dan diakui sebagai pemimpin dalam
masyarakat. Orang seperti itu disebut tonowi dan sonowi,
yang bearti pemimpin dan orang kaya. Orientasi menilai
tinggi usaha prang terdapat juga pada orang Muyu. Hal ni
dapt dilihat pada penghargaan yang diberikan kepada
seseorang untuk menduduki posisi pemimpin, kayepak,
dalam masyarakat karena keberhasilan usahanya untuk
menyelenggarakan upacara pesta babi yang menjadi fokus
kebudayaan orang Muyu.
Juga orientasi nilai budaya menghargai usaha orang
terdapat pada kebudayaan orang Dani dan orang Asmat.
Pada orang Dani maupun pada orang Asmat upaya
seseorang untuk menampilkan dan mengukuhkan diri
sebagai seorang pemimpin perang sangat dihargai dan
dinilai tinggi sebab perang merupakan sarana untuk
memperlancara berbagai aktivitas kehidupan manusia,

baik yang bersifat kegiatan ekonomi maupun upacaraupacara ritus. Penghargaan terhadap orang-orang yang
berhasil menjadikan dirinya pemimpin perang adalah
pengakuan masyarakat terhadap mereka bukan saja
sebagai pemimpin perang tetapi juga pemimpin
masyarakat.
Orientasi nilai budaya serupa terdapat juga pada berbagai
suku bangsa yang terdapat di kawasan Teluk
Cenderawasih, seperti orang Biak, orang Waropen,
penduduk pulau Yapen, dan orang Wandamen, yang
menurut pembagian tipe sistem kepemimpinan di Irian
Jaya mengenal suatu sistem kepemimpinan yang disebut
tipe pecampuran, mixed type (Mansoben, 1994).
Disamping kedudukan pemimpin yang didasarkan atas
pewarisan, ascribement, tolok ukur untuk menempatkan
seseorang sebagai pemimpin dalam masyarakat adalah
kemampuan berupaya dalam bentuk nyata seperti
keberhasilan dalam bidang ekonomi, keberanian
memimpin
perang,
memiliki
pengalaman
dan
pengetahuan yang lebih luas dari warga masyarakat lain.
Keberhasilan seseorang untuk memiliki kualitas-kualitas
tersebut diatas menyebabkan penilaian tinggi yang
bermanifestasi dalam bentuk pengakuan terhadap orang
yang bersangkutan untuk menjadi pemimpin dalam
masyarakat.

Dalam kebudayaan-kebudayaan ini berkembang suatu


sikap bersaing untuk merebut suatu kedudukan atau untuk
mencapai hal tertentu, menyebabkan bahwa orientasi nilai
budaya menghargai upaya atau karya manusia sangat
cocok untuk pembangunan.
Selanjutnya
kajian-kajian
antropologi
tentang
kebudayaan-kebudayaan di Papua menunjukan bahwa ada
dua macam persepsi tentang hubungan manusia dengan
manusia menurut kerangka Kluckhohn. Pertama adalah
kebudayaan-kebudayaan yang sangat kuat berorientasi
vertikal. Hal ini terutama terdapat pada kebudayaankebudayaan yang mengenal system kepemimpinan
berbentuk kerajaan, seperti misalnya kebudayaankebudayaan yang terdapat di semenanjung Onin dan
daerah Kowiai serta Kepulauan Raja Ampat dan
kebudyaan-kebudayaan
yang
mengenal
system
Kepemimpinan Kepala Klan atau kepemimpinan Ondoafi
yang didukung oleh suku-suku bangsa yang berdiam di
bagian timur laut Papua, misalnya orang Tabla, Orang
Skow, Orang Nimboran, orang Sentani dan penduduk
Teluk Yos Sudarso.
Menurut Tradisi seorang pemimpin dalam kebudayaankebudayaan tersebut di atas adalah turuunan moyang
mitos yang berperan sebagai mediator untuk menjaga
hubungan antara duunia nyata dengan dunia gaib,
menyebabkan sang pemimpin dianggap sakti dan oleh

karena itu kekuasaannya bersifat Magis. Kedudukan


demikian menyebabkan adalanya nilai yang terlampau
berorientasi vertical kea rah sang pemimpin, atasan, orang
yang senior dan yang selalu dimintai restu terlebih dahulu
sebelum berbuat sesuatu.
Nilai yang berorientasi vertical kea rah atasan, menurut
Koentjaraningrat, akan mematikan jiwa yang ingin berdiri
sendiri dan akan menyebabkan timbulnya sikap tak
percaya pada diri sendiri. Nilai seperti tiu juga akan
menghambat tumbuhnya rasa disiplin pribaaadi yang
murni, karena orang hanya taat kalau ada dpengawasan
dari atas, tetapi akan merasa tak terikat lagi kalau
pengawasan tadi menjadi kendor atau pergi. Akhirnya
nilai yang terlampau berorientasi ke arah atasan akan juga
mematikan rasa tanggungjawab sendiri, tetapi akan
menimbulkan rasa condong untuk selalu melemparkan
tanggungjawab ke atas, kalau tidak bisa untuk selalu
membagi tanggungjawab itu dengan orang lain sehingga
rasa tanggungjawab itu menjadi sekecil mungkin
(Koentjaraningrat; 1974;41). Sungguhpun orientasi nilai
budaya itu menyebabkan timbulnya mentalitas tidak
disiplin, tidak berinovasi, tidak percaya diri dan tidak
bertanggungjawab, kurang cocok untuk pembangunan,
namun disisi lain ada sisi positif , yaitu para pemimpin
dan para senior dalam masyarakat akan mempermudah
partisipasi rakyatnya dalam pembangunan asal saja di satu
pihak mereka bersedia dan pada pihak yang lain ada

kesediaan dari pelaksana program untuk melibatkan


mereka berperan aktif dalam program-program
pembangunan.
Kedua, bahwa ada kebudayaan-kebudayaan di Papua
yang sangat kuat berorientasi horizontal. Dalam
kebudayaan-kebudayaan seperti ini, misalnya pada orang
Biak hubungan antara warga dalam kelompok
kekerabatan amat kuat menyababkan kepentingan
kelompok kekerabatan lebih diutamakan dari kepentingan
individu. Diantara para warga kelompok kekerabatan
terdapat perasaan solidaritas yang amat tinggi yang
didasarkan pada pandangan pars-prototo artinya
sebagian
berarti
keseluruhan.
Pada
demikian
menimbulkan rasa aman pada diri warga kelompok
kekerabatan karena akan selalu dibantu pada waktu
mengalami kesulitan. Sebaliknya pandangan ini
menimbulkan kewajiban untuk terus menerus berusah
memelihara hubungan baik sesamanya dan sedapat
mungkin membagi keuntungan-keuntungan dengan
sesamanya. Prinsip membagi keuntungan dengan sesame
para anggota kerabt ini tentu saja tidak memberi peluang
bagi orang untuk mengakumulasi modal guna
kepentingan dihari depan. Dengan demikian orientasi
Horisontal yang amat kuat tidak cocok untuk
pembangunan.

Suatu masyarakat bisa menerima berbagai program


pembangunan yang diterapkan pemerintah pada mereka
apabila terdapat keselarasan pikiran, pandangan dan
saling menghargai antara pemerintah dan masyarakat.
Memahami dan memanfaatkan alam pikiran suatu
masyarakat yang menjadi acuan mereka dalam
berperilaku, merupakan kunci untuk menciptakan keadaan
adil dan makmur bagi penduduk asli Papua.
Dalam tulisan J. Boelars (1987 ; 75-80), mengungkapkan
bahwa system nilai budaya orang Papua dalam kaitannya
dengan pembangunan dapat disebutkan sebagai berikuti
(terutama ia hanya melihat nilai tertinggi dalam
kepribadian masing-masing suku di Papua):
Identitas itu di lihat dari partisipasi kedalam kehidupan
alam semesta yang dihayati dan dicapai melalui berbagai
jalan.
SUKU
BANGSA
IDENTITAS
Marind Menghayati partisipasi itu dalam kehidupan
seksual
melalui
jalan
kesuburan.
Yahray Menghayatinya dalam proses pembauran courageto-be
melalui
jalan
keberanian.
Asmat Menghayatinya dalam hubungan timbal-balik
antara orang-orang hidup dan mati melalui jalan keadilan.
Muyu Menghayatinya dalam sikap pantang mundur dan
dapat disebut sebagai jalan menggunakan kemungkinankemungkinan
yang
masih
diberi.

Dani Menghayatinya dalam mempertahankan pola hidup


nenek moyang mereka melalui jalan gengsi yang
diperoleh
dari
kaidah-kaidah
tradisional.
Ayfat Menghayatinya dengan menegaskan unsur-unsur
kejantanan dan kewanitaan dalam kosmos ini jalan
seluruh permainan kehidupan sosial dan komersial.
Ekari Menghayatinya dalam memanipulasi kekuatankekuatan jasmani rohani dengan sepragmatis mungkin
8.
Etos
Kerja
Konsep etos kerja mengandug pengertian tentang nilai
yang melandasi norma-norma social tentang kerja. Dalam
pengertian umum etos kerja dapat diartikan sebagai
semangat kerja ysng menjadi cirri khas dan keyakinan
seseorang atau kelompok. Dengan demikian konsep ini
mengacu pada watak dasar suatu masyarakat yang
diwujudkan dalam norma social berupa penilaian tinggi
terhadap kerja. Dengan perkataan lain pengertian ini
mengacu pada kegiatan-kegiatan produktif yang dapat
menghasilakan sesuatu untuk dinikmati. Penilaian
demikian menyebabkan bahwa orang tidak melakukan
suatu kegiatan produktif untuk dinikmati hasilnya dinilai
mempunyai status social yang rendah.
Oleh karena konsep tersebut mempunyai pemahaman
yang berkaitan dengan kegiatan yang menghasilkan
sesuatu untuk dinikmati hasilnya, terutama dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar manusia agar tetap

mempertahankan hidupnya, maka pemahaman kita


tentang etos kerja suatu kelompok tertentu dapat dicapai
melalui pengertian kita tentang kegiatan-kegiatan
produktif apa yang dilakukan oleh setiap orang atau
kelompok dalam rangka mempertahankan dan
melanjutkan hidupnya.
Bertolak dari dasar pemikiran di atas, etos kerja orang
Papua dapat kita pahami melalui kegiatan-kegiatan apa
yang dilakukan oleh mereka untuk mempertahankan
hidupnya.
Pada bagian yang membicarakan diversitas kebudayaan
orang Papua dalam makalah ini, seperti yang telah
diuraikan di atas, dijelaskan bahwa kegiatan yang
menyangkut system ekonomi orang Papua sangat
ditentukan oleh lingkungan atau mintakad ekologi yang
ada di daerah ini. Misalnya penduduk yang bertempat
tinggal di daerah berawa menjadikan meramu sagu
sebagai kegiatan atau usaha ekonomi utama mereka.
Berbeda dengan penduduk yang hidup di daerah
pegunungan tinggi dan dataran kaki-kaki bukit yang
menjadikan bercocok tanam sebagai usaha ekonomi
utama mereka. Perbedaan jenis usaha ekonomi ini sangat
mempengaruhi bentuk etos kerja masing-masing
kelompok
Pada kelompok-kelompok masyarakat yang tergolong
dalam masyarakat peramu seperti misalnya orang Asmat,

orang Komoro, orang Waropen, orang Bauzi, orang


Inawatan yang hidup di dataran rawa-rawa dan yang
sangat menggantungkan hidupnya pada usaha ekonomi
berbentuk meramu sagu, mempunyai etos kerja yang
berbeda dengan penduduk Papua lainnya yang
menggantungkan hidupnya pada usaha ekonomi
berladang.
Etos kerja pada kelompok peramu orang bekerja hanya
untuk memenuhi kebutuhan dasar sesaat saja. Atau lebih
jelas lagi dapat dikatakan orang bekerja untuk
menghasilakan makanan yang cukup untuk kebutuhan
saat itu juga atau cukup untuk makan satu hari saja.
Etos kerja seperti ini dilandasi oleh pemikiran dasar
bahwa tujuan hidup ini adalah untuk dinikmati. Dengan
demikian menurut pandangan mereka, untuk apa harus
bersusah payah untuk mengumpulkan berlebihan jika
yang telah dikumpulkan memang sudah cukup untuk
dinikamati. Pandangan demikian cukup beralasan sebab
tiap keluarga yang berfungsi sebagai kelompok produksi
dalam masyarakat peramu melakukan hal yang sama,
tidak terdapat diverensiasi kerja, sehingga masing-masing
keluarga itu secara ekonomi berddiri sendiri, tidak
tergantung dari keluarga atau kelompok produksi lain.
Penekanan kerja pada kelompok peramu adalah
mengumpulkan hasil yang telah tersedia di alam, belum

pada tingkat usah untuk memproduksi dan memelihara


produksi yang telah dihasilakan.
Etos kerja seperti ini dapat dirubah jika diciptakan
diferensiasi kerja diantara mereka dengan memanfaatkan
potensi-potensi yang tersidia dilingkungan alam setempat.
Disamping itu perlu diberikan bantuan bantuan yang
dapat memudahkan mereka terlibat dalam ekonomi pasar
seperti misalnya memberdayakan mereka untuk dapat
beralih dari usaha mengumpulkan hasil yang telah
tersedia di alam kepada tingkat usaha untuk memproduksi
dan memudahkan terjualnya hasil-hasil yang telah
diproduksi di pusat-pusat pasar.
Memberdayakan penduduk untuk memanfaatkan potensi
alam yang tersedia guna ekonomi pasar disini berarti
memperkenalkan sekaligus mendidik penduduk untuk
menggunakan teknologi tepat guna dalam mengolah
sumberdaya alam yang tersedia guna ekonomi pasar.
Berbeda dari etos kerja yang terdapat pada penduduk
peramu, maka etos kerja pada penduduk yang
menggantungkan hidupnya adalah orang bekerja bukan
untuk memenuhi kebutuhan saat ini tetapi orang bekerja
untuk memenuhi kebutuhan diwaktu mendatang.
Kegiatan membuka sebidang lahan menjadi lading,
memerlukan suatu proses yang lama mulai dari
membersihkan/menebang pohon, menanam, merawat,

menyiangi, sampai pada saat memanen hasil. Keseluruhan


proses ini memerlukan waktu bervariasi antara enam
sampai sepuluh bulan, kadang-kadang lebih dari sepuluh
bulan, tergantung dari jenis tanaman yang diusahakan.
Fase kerja melalui proses yang panjang mulai dari saat
membuka suatu lahan baru sampai pada saat memanen
hasilnya membutuhkan ketekunan dan kerajinan kerja
seseorang. Hal ini menunjukan bahwa etos kerja pada
penduduk peladang di Papua dapat dikategori sebagai etos
kerja keras. Hal ini dibenarkan oleh berbagai kajian
antropologi dan sosiologi tentang etos kerja pada
penduduk peladang di Papua.
Meskipun dikatakan bahwa pada penduduk berladang
terdapat etos kerja yang keras, namun harus dicatat bahwa
ukuran etos kerja keras itu hanya pada batas pemenuhan
kebutuhan ekonomi rumah tangga sendiri, bukan untuk
kebutuhan ekonomi pasar.
Penekanan terhadap kerja untuk masa depan seperti yang
terdapat pada masyarakat peladang ini sesungguhnya
merupakan modal positif. Persoalannya sekarang ialah
bagaimana memberikan stimulasi yang dapat memacu
tingkat etos kerja yang sudah ada menjadi lebih tinggi
lagi, untuk mengakumulasi hasil, yang lebih banyak lagi
untuk keperluan pasar yang pada gilirannya akan
menghasilkan modal yang dapat digunakan untuk
pengembangan lebih lanjut.

Kecuali bentuk-bentuk etos kerja penduduk Papua, seperti


yang terungkap di atas, satu hal yang perlu pula
dikemukakan disini karena mempunyai keterkaitan
dengan etos kerja adalah tentang sifat bersaing yang
terdapat pada orang Papua.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian lain dalam
makalah ini bahwa sebagian besar kelompok-kelompok
etnik papua seperti misalnya orang Meybrat, Orang Me,
orang Muyu, orang Biak, dan penduduk Waropen dan
Serui di teluk cenderawasih serta orang Dani, memiliki
sifat bersaing yang amat kuat di antara mereka.
Mereka bersaing untuk menjadi orang yang terpandang
dalam kalangan mereka sendiri seperti menjadi orang
terkaya, orang yang paling pandai berdiplomasi, orang
yang paling pandai menyusun strategi perang, menjadi
orang yang paling tahu tentang masalah-masalah adapt,
paling pandai berorganisasi atau paling kuat dalam ilmu
sihir.
Penjelasan di atas menunjukan bahwa sifat bersaing, suatu
sifat yang memang dinilai amat baik dalam kehidupan
modern,
dimiliki
oleh
orang
lain.
Seperti sudah disebutkan diatas bahwa etos kerja
merupakan nilai yang mendorong semangat kerja
seseorang atau kelompok orang. Selaing mengungkapkan
etos kerja orang Papua berikut ini kami juga menyajikan

etos kerja antara orang Papua dengan orang Pendatang


yang tinggal di Papua.
9. Kepribadian Orang Papua dan Orang Pendatang
Dalam memahami kepribadian orang Papua, perlu juga
kita bandingkan dengan kepribadian orang Pendatang,
agar bisa memahami kepribadian itu dari segi keuntungan
dan kerugian dalam berpartisipasi dalam pembangunan.
Kepribadian itu bisa dikaji dari aspek sikap terhadap alam
semesta dan sikap terhadap sesame.
1. Sikap terhadap alam semesta (Aspek ekonomis)
Masyarakat
Papua
Masyarakat
Pendatang
Gaya hidup konsumtif artinya memenuhi kebutuhan
secepat mungkin yaitu pada hari yang sama. Ini artinya
dunia yang sesaat dan setempat itulah yang mereka
nikmati. Hidupnya bersifat produktif dalam suatu dunia
yang mereka ciptakan sendiri lebih dahulu. Dengan
memakai perencanaan jangka panjang, mereka menikmati
penghasilan dengan sangat prihatin. Jadi mereka
mencapai
pemuasan
yang
tidak
langsung.
Memecahkan masalah dalam situasi gawat dengan
berpindah tempat.Mereka tertarik pada suatu cara hidup
yang tak terjamin dan penuh sensasi. Memecahkan
masalah dalam situasi gawat dengan sikap bertahan dan
tetap tinggal ditempat yang semula. Ini berarti membuat
mereka berkembang dalam memelihara dan memperbaiki
nasib dengan tabah dan tekun, dengan disiplin dan

bertahan
dalam
kerja
rutin.
Dalam merebut rezeki sehari-hari, ia berdiri sendiri tidak
menggantungkan diri pada bantuan orang lain (kecuali
dalam keadaan darurat). Individualis. Bersandar pada
kolektivitas atau kebersamaan dalam hal produksi dan
konsumsi bahan resekinya. Jadi dalam hidup
berkelompok ia merasa diri terjamin dan aman sentosa.
2.
Sikap
terhadap
lingkungan
sesama
Penduduk
Asli
Penduduk
Pendatang
Menilai sesama berdasarkan prinsip bermanfaat atau
tidak. Ikatan akan sesama tidak didasarkan akan
kebutuhan akan kebersamaan, melainkan kebutuhan akan
keadaan darurat. Mengharapkan bantuan teman berupa
materi atau tenaga, akan tetapi hal ini didasarkan atas
kebutuhan
akan
hubungan.
Pergaulan horisontal dengan kawan dan vertikal dengan
atasan berjalan sesuai dengan kebutuhan yang sewaktu
dan setempat. Orang tidak merasa terikat oleh siapapun.
Hanya demi survival suatu ikatan diperlukan. Atasan
hanya diakui selama ia memperlihatkan kemahirannya,
tetapi jika ia berlagak otoriter atau bertindak dengan
sewenang-wenang akan dibunuh atau disingkirkan. Rela
berkorban untuk kepentingan sendiri. Menjunjung tinggi
kebersamaan, kekeluargaan dan keramahtamahan,
mengakui atasan sebagai faktor pemersatu yang mutlak.
Rela berkorban untuk kepentingan umum.

D.
PEMBANGUNAN
DAN
MASYARAKAT DI TANAH PAPUA

PERUBAHAN

1.
DEMOGRAFI:
URBANISASI
DAN
MARGINALISASI
Pertumbuhan penduduk di Papua sebenarnya sangat pesat.
Ini terlihat pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun.
Penduduk tahun 1980 adalah 1.173.875 orang sampai
tahun 1994 jumlah penduduk Papua 1.892.200. Hanya
dalam waktu 14 tahun, penduduk Irian bertambah 61.2%
dari seluruh jumlah penduduk ini. Pertumbuhan yang
sangat pesat ini disebabkan oleh beraneka ragam faktor,
antara
lain
sebagai
berikut:
1. Faktor pertumbuhan alami, yakni hasil perbedaan
angka kematian dan angka kelahiran. Untuk propinsi
Papua, angka ini besarnya sekitar 2,8% pertahun.
2. Faktor perpindahan penduduk dari daerah lain ke
Papua. Pemindahan ini sengaja dilakukan pemerintah
melalui program transmigrasi. Dewasa ini jumlah
transmigrasi ke Papua rata-rata sekitar 6000 KK per
tahun. Setiap KK beranggotakan rata-rata 3,9 jiwa.
3. Faktor perpindahan penduduk secara spontan dari
pulau-pulau lainnya ke tanah Papua. Dalam hal ini
mereka bisa disebut para in-migran. Jumlahnya sekitar
10.000
orang
per
tahun.
4. Pertumbuhan penduduk juga bisa terjadi karena faktor
administratif, yakni perbaikan metode registrasi
penduduk. Dalam hal ini , secara administrasi terjadi

perbaikan metode pencatatan sehingga jumlah penduduk


yang tidak terhitung dalam metode lama bisa masuk
dalam hitungan.
TRANSMIGRASI
Sekitar 20% pertambahan penduduk adalah hasil
kedatangan orang-orang dari luar tanah Papua. Angka ini
menurut perkiraan saya masih rendah, angka sebenarnya
jauh lebih tinggi. Dari tahun 1964 sampai 31 Maret 1996
jumlah transmigran yang datang ke Papua sebanyak
240.722. Berarti ada 12,66% dari jumlah penduduk di
Papua.Pelaksanaan program transmigrasi tahun 1964
sampai 1980 orientasinya hanya mempatkan orang-orang
dari daerah padat ke daerah yang kurang penduduk. Hal
ini mendapat kritikan cukup keras baik dari dalam
maupun luar negri terutama terhadap dampak politis dan
kultural yang dibawa oleh program transmigrasi seperti
Jawanisasi dan manfaat program ini untuk penduduk
setempat. Sejak tahun 1980 an orientasi program
transmigrasi diarahkan kepada apa yang dinamakan
Second stage development. Artinya, program yang
dilakukan adalh memperbaiki atau mengambangkan lebih
lanjut pemukiman-pemukiman yang telah ada. Namun
pola second stage Development ini juga sudah mulai di
tinggalkan. Akjir-akhir ini program transmigrasi bentuk
lama yang pernah diterapkan dijalankan lagi dengan full
speed.

INMIGRAN
Jumlah inmigran spontan cukup tinggi (lebih kurang
sekitar 80%), mereka menetap di daerah perkotaan.
Mereka bergerak disektor ekonomi
nonformal
(perdagangan), disektor birokarasi dan administrasi
pemerintah serta disektor formal seperti konstruksi dan
pemborong bangunan.
Jumlah inmigran makin hari makin bertambah.
Pertambahan paling pesat terjadi dalam tahun-tahun
terakhir ini. Ini dimungkinkan karena kemudahan
transportasi.
Disamping itu ada beberapa hal yang sangat menarik
untuk diperhatikan dalam soal kedatangan para inmigran.
Sebagian besar inmigran yang datang di Papua adalah
mereka yang berpendidikan rendah. Kenyataan ini
memiliki konsekuaensi yang sangat serius bagi
perimbangan ekonomi dan tenaga kerja yang dimiliki
penduduk pribumi. Sebagian besar lahan ekonomi dan
lapangan kerja yang seharusnya dimiliki penduduk
pribumi akhirnya direbut oleh para inmigran ini.
Kenyataan inilah yang pada akhirnya menciptakan iklim
sosial yang konfliktif dan mempertebal kepekaan
primordial masyarakat pribumi.
Kelompok inmigran cenderung untuk menetap didaerah
daerah dimana terdapat peluang ekonomi secara nyata.
Pada tahun 1980 jumlah penduduk di kota yang tidak

lahir di Papua telah mencapai angka 30% dari seluruh


jumah penduduk perkotaan. Namun, pada tahun 1987
jumlah penduduk perkotaan yang tidak lahir di Irian Jaya
telah mencapai sekitar 65% dari seluruh jumlah penduduk
yang menghuni daerah perkotaan. Angka ini diperkuat
kembali oleh Intercensal Survey yang dilakukan pada
tahun 1987. Dua per tiga dari seluruh jumlah penduduk
yang tidak lahir di Papua.
KEMAJEMUKAN
ETNIS
Dari gambaran di atas terlihat jelas bahwa masyarakat
Papua semakin majemuk warnanya. Ini terjadi khususnya
di daerah-daerah perkotaan, dimana berbagai kelompok
etnis harus hidup berdampingan..
Kemajemukan etnis ini menuntut perubahan sikap
masing-masing orang dan golongan. Perjumpaan antar
kelompok etnis sering kali memunculkan masalah.
Keunikan kebudayaan yang dimiliki etnis tertentu
seringkali ditafsirkan secara berbeda oleh kelompok etnis
lain. Bahkan adakalanya keunikan budaya tersebut
dirasakan mengganggu dan mengancam eksistensi
kelompok lain. Kadangkala, masing-masing kelompok
menganggap kebudayaannya sendirilah yang paling
baik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan yang positif
hanya dapat diharapkan jika terdapat keseimbangan antara
beragam kebudayaan etnis tersebut. Ini dapat tercapai jika

terdapat penghargaan
kelompok.

atas

identitas

masing-masing

KESENJANGAN
KOTA
DESA
Perkembangan pembangunan diwilayah perkotaan sangat
berbeda dengan perkembangan pembangunan diwilayah
pedesaan.
Homogenitas
etnis

kemajemukan
etnis
Fasiltas
umum
Urbanisasi (wilayah pedesaan kehilangan penduduk
potensial seperti yang muda dan aktif)
MARJINALISASI
SEJUMLAH
KELOMPOK
Perkembangan pesat sejumlah kota terutama jayapura dan
sorong menuntut adanya public service yang memadai
menyangkut perumahan, air minum, sarana angkutan,
sarana
persekolahaan
dan
pembinaan
pastoral
(keagamaan), penyediaan lapangan kerja, kebutuhan
untuk berpartisipasi dalam struktur pemerintahan, dan
laon sebagainya.
Ternyata kebutuhan yang digambarkan secara singkat
diatas tidak dapat dipenuhi dengan baik. Akibatnya,
keadaan dikota-kota yang sedang tumbuh semakin lama
semakin ditandai dengan terjadinya persaingan sengit
untuk memperebutkan peluang-peluang ekonomi yang
jumlahnya terbatas. Dalam proses persaingan ini akan ada
pihak yang kalah dan menang. Dari pihak yang kalah ini

akan
muncul
kelompok-kelompok
masyarakat
termarjinalkan oleh kompetisi yang sengit itu.
Persaingan demikian ini hanya dapat dimenangkan oleh
mereka yang telah cukup dibekali dengan pendidikan,
ketrampilan, dan keterbukaan budaya untuk mampu
bersaing.
Karena tidak dapat bertahan dalam suasana persaingan
yang sengit tersebut, sejumlah orang makin hari makin
pindah ke pinggiran kota. Malah ada kemungkinan
mereka ini akan digeser ke luar kota. Dengan demikian
mereka akan kehilangan segala peluang untuk
berkembang dan untuk turut berpartisipasi dalam proses
pembangunan. Tidaklah mengherankan jika justru
kelompok pribumi yang dari dulu sudah mendiami daerah
kota atau yang menjadi migran dari daerah pedalaman
paling terwakili dalam kelompok-kelompok yang sedang
menjadi kelompok pinggiran/marginal tersebut.
2. KEBUDAYAAN: PELUANG ATAU ANCAMAN
a.
Keadaan
Sosial-budaya
Secara
Umum
Sekitar 55% seluruh penduduk Papua digolongkan orang
Pribumi. Mereka memiliki variasi kebudayaan yang
sangat menonjol, yaitu adanya 252 ragam bahasa yang
dipakai oleh berbagai suku. Selain perbedaan bahasa,
perbedaan antar suku juga meliputi perbedaan dalam
organisasi sosial, pola kepemimpinan, pola pemukiman
dan sistem ekonominya.

Sering terdengar bahwa masyarakat irian jaya masih


sangat terbelakang. Sesungguhnya ungkjapan demikian
memiliki konotasi yang tidak terlalu positif karena tidak
jelas apa tolok ukur yang dipakai untuk menentukan
keterbelakangan tersebut. Penilaian demikian itu
seringkali hasil dari sikap etnosentris orang-orang yang
datang dari luar. Sudah barang tentu pemakaian cap yang
demikian itu tidak membantu tumbuhnya pengertian yang
baik dan konstruktif terhadap kondisi sosial budaya
masyarakat Papua.
b.
Sejumlah
Nilai
Budaya
Yang
Ditantang
Pengertian
akan
Pekerjaan
Dalam masyarakat Papua adalah menjalankan suatu
pekerjaan hanya dinilai dalam suatu kerangka fungsional.
Artinya pekerjaan dijalankan sejauh dinilai perlu untuk
mencapai sesuatu. Pekerjaan tidak mempunyai arti dalam
diri sendiri. Oleh karena itu konsep kerja dalam
kebudayaan masyarakat Papua sangat berbeda dengan
konsep kerja yang dimiliki oleh orang barat modern. Bagi
orang Barat, kerja adalah eksistensi manusia. Dengan kata
lain orang harus tetap sibuk, harus tetap mengerjakan
sesuatu, karena jika tidak berbuat apa-apa, akibatnya akan
tidak baik bagi manusia. Konsep kerja seperti itu tentu
saja kurang masuk akal bagi penduduk pribumi Papua.
Orang-orang Papua umumnya senang bersantai, mengisi
waktu luang dengan bercerita satu sama lain. Sehingga
konsep kerja yang dimiliki oleh kebudayaan Papua tidak

bisa dikaitkan dengan efisiensi.Orang papua amat mudah


meninggalkan pekerjaannya bila merasa disekitarnya ada
sesuatu yang menarik perhatiannya. Tentulah pemaknaan
masyarakat pribumi teerhadap kerja seperti itu sangat
memusingkan banyak pengusaha atau tenaga kerja dari
kebudayaan lain, terutama yang ingin menjalankan suatu
proyek. Keputusan untuk melibatkan masyarakat pribumi
kedalam usaha-usaha atau proyek-proyek sepenuhnya
didasarkan atas pertimbangan efisiensi. Karena itu, ada
kesenjangan antara nilai kerja orang papua dengan nilai
efisiensi. Yang dipakai sebagai ukuran dalam pengerjaan
suatu proyek.
Pengertian
akan
waktu
Oleh kebanyakan masyarakat Papua waktu tidak dinilai
sebagai sesuatu yang berharga . Jumlah waktu dinilai
sebagai sesuatu yang tak terbatas sehingga tidak menjadi
soal penting jika waktu diboroskan. Secara tradisional,
orang Papua umumnya tidak mengenal pembagian waktu.
Misalnya satu hari bisa dibagi kedalam tiga periode
waktu: waktu kerja waktu istirahat dan waktu rekreasi.
Pendeknya tidak ada waktu untuk bekerja secara intensif,
untuk bersantai, dan waktu untuk bercerita panjang lebar
atau istirahat. Bagi orang Papua suatu pekerjaan lasimnya
tidak dijalankan secara perorangan namun merupakan
peristiwa sosial. Karena itu sulit diharapkan masyarkat
pribumi akan mudah menempatkan diri dalam suatu irama
pembagian waktu yang tajam. Sikap ini juga terkait

dengan lama bekerja, sikap untuk menepati janji, dan lainlain. Pendeknya orang kurang menghargai waktu.
Pengertian
akan
Tanah.
Tanah merupakan dasar hidup setiap orang, baik untuk
tempat tinggal maupun diolah untuk menghasilkan
sesuatu yang berarti secara ekonomis. Bagi masyarakat
tradisional tanah memiliki makna yang sangat berbeda
dibandingkan dengan masyarakat yang hidup dalam tata
ekonomi modern.
Dalam pengertian masyarakat pribumi di Papua tanah
adalah milik kelompok. Akan tetapi dalam hal ini
kelompokpun harus dilihat secara luas. Konsep kelompok
tidak meliputi mereka yang hidup sekarang saja,
melainkan termasuk juga mereka yang saat ini belum
lahir. Oleh karena itulah tanah juga memiliki fungsi
sebagai jaminan kelangsungan hidup kelompok. Tanah
adalah milik abadi suatu kelompok yang tidak dapat
dialihtangankan. Tanah hanya dapat dipinjamkan untuk
sementara waktu kepada pihak ke tiga untuk dipakai.
Dalam konsep ini, tanah dihayati sebagai bagian integral
dari kepribadian seseorang. Nilai terhadap tanah adalah
tanpa tanah saya tidak ada. Dalam masyarakat Papua
ikatan batin terhadap tanah sangat kuat namun tanah tidak
dipandang sebagai sesuatu yang suci. Kesucian itu justru
terletak pada hubungan batin antara orang dengan
tanahnya.

Pengertian atas tanah seperti diungkapkan di atas, pastilah


akan bertabrakan dengan pengertian atas tanah sebagai
barang ekonomis belaka. Tidak terlalu mengherankan
jika sangat banyak perkara tanah yang dihadapi dewasa
ini di Papua. Memang ada banyak transaksi jual-beli atau
pengalihan kepemilikan tanah. Namun ada perbedaan
persepsi yang sangat tajam antara konsep transaksi
dipihak pembeli dan penduduk pribumi.
Pengertian
akan
Jaminan
sosial
Terdapat mekanisme sosial untuk menjamin hidup para
anggotanya, termasuk yang kurang mampu. Sikap
kesetiakawanan sosial macam ini sudah menjadi darah
daging setiap warga masyarakat dan akan dibawah
kemana-mana sekalipun mereka pindah jauh dari
kampung asalnya. Kesetiakawanan sosial muncul jika
salah satu anggota mengalami kesulitan, biasanya bersifat
primordial.
Mental seperti ini tidak membuat orang menjadi mandiri
karena sekalipun kekurangan toh ada yang menjamin
hidupnya.
Pengertian
akan
perencanaan
Jangka
panjang.
Dalam masyarakat Papua perencanaan jangka panjang
dalam pengertian masyarakat modern, bukan merupakan
suatu mental yang hidup dalam masyarakat tradisional
Papua. Orientasinya adalah subsistens artinya apa yang

diperoleh dipergunakan untuk hari ini hari esok akan


dicari lagi.
3. KEBUDAYAAN SUATU KEKAYAAN ATAU
HAMBATAN
Berhadapan dengan dunia dan kebudayaan modern,
membuat orang selalu bertanya-tanya apakah kebudayaan
yang dimiliki penduduk pribumi merupakan suatu
kekayaan atau justru hambatan? Persoalan ini sangat
substansial untuk dikaji. Selain itu juga penting untuk
menghindari penilaian yang terlalu memudahkan
persoalan (simplistis), bahkan etnosentris, terhadap
masyarakat yang masih secara ketat memelihara
tradisinya.
Sejumlah hal yang menjadi kekayaan budaya milik
orang Papua di atas sering dianggap sebagai penghambat
dalam proses transformasi sosial. Namun, secara jujur
perlu diajukan pertanyaan sejauh manakah sebagian dari
nilai-nilai tradisional tadi perlu dihilangkan? Sejauh
manakah pengertian tentang kemajuan, pembangunan,
modernisasi juga dapat dipersoalkan sehubungan dengan
nilai-nilai yang hedak dipromosikan untuk mengganti
nilai-nilai tradisional tersebut? Tidak mustahil bahwa
pengertian yang lazim mengenai kemajuan dan
pembangunan secara tidak langsung akan melenyapkan
berbagai macam kekayaan yang masih dimiliki
masyarakat tradisional. Sementara itu masyarakat modern

sesungguhnya sudah tidak lagi mengenal kekayaan


tersebut. Seluruh pengertian yang biasa mengenai
kemajuan pada gilirannya juga diwarnai nilai-nilai yang
berat sebelah dan patut dipersoalkan secara kritis,
sebelum dijadikan tolok ukur terhadap nilai-nilai
masyarakat tradisional.
Cap bahwa masyarakat Papua adalah masyarakat yang
terbelakang yang serba miskin, yang serba tidak tahu,
sering didengungkan baik dimedia masa, pemerintah
maupun swasta. Cap ini senantiasa diucapkan berulangulang dalam berbagai kesempatan sampai-sampai setiap
orang mulai menerima seakan-akan kenyataannya
memang demikian sehingga kepunahan nanti diterima
sebagai sesuatu hal yang agak pasti.
Jika penilaian seperti di atas keluar dari mulut seseorang
yang berasal dari luar (entah dari luar negri atau
seseorang yang berasal dari luar Papua) mungkin masih
bisa dimengerti. Namun, makin lama makin tampak kesan
bahwa masyarakat Papua sendiri sudah mulai memasang
istilah-istilah penilaian tadi pada dirinya sendiri dan mulai
menganggap diri terbelakang, miskin, bodoh dan
sebagainya. Hal demikian sangat membahayakan harga
diri masyarakat Papua serta akan sangat menghalangi
segala daya kreatifitas dan partisipasi mereka dalam
pembangunan.

Bahaya tersebut akan semakin bertambah karena sikap ini


tidak jarang dikawinkan dengan sikap minta tolong dan
masyarakat sudah terlalu lama dididik (termasuk oleh
gereja) untuk hanya minta bantuan saja. Semakin lama
sikap masyarakat semakin dibentuk oleh keyakinan
bahwa segala macam bantuan tersebut adalah hak mereka.
Sikap demikian akan mematikan seluruh daya kreasi
mereka.
Jika masyarakat hendak maju, hal pertama yang perlu
dihilangkan adalah kecenderungan masyarakat menilai
diri mereka sendiri sebagai bodoh, miskin dan
terbelakang. Jika penilaian tersebut masih saja ada dan
malahan makin diperkuat, semua pihak yang membantu
akan tetap bertindak sebagai pihak yang lebih kuat, lebih
tahu, lebih superior. Sementara itu pihak yang dibantu
akan tetap menghayati diri sebagai orang minder dan
tidak berdaya. Untuk itu kiranya bahasa yang hanya yang
hanya merendahkan diri tersebut diubah sehingga mampu
menunjukan bahwa masyarakat pribumi sebenarnya
mampu dan berdaya untuk mengelolah kekayaan yang
mereka miliki. Menurut saya memberi pengakuan dan
menerima seseorang sebagai orang dewasa adalah dasar
utama
dari
pembangunan.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Beanal, Lydya. N., (1999). Arti Tanah Menurut Suku
Amungme. Forum Lorentz, Timika.

Boelaars, Jan. (1992) Manusia Irian: Dahulu, Sekarang,


Masa Depan. Gramedia. Jakarta.
,(1984) Kepribadian Indonesia Modern:
Suatu Penelitian Antropologi Budaya. Gramedia Jakarta.
Duivenvoorde, J. MSC. (1999). Sejarah Gereja Katolik di
Irian Jaya. Keuskupan Agung Merauke. Merauke.
Flassy, Don A.L. (1997). Toro: A Name Beyond
Languange And Culture Fusion Doberai Peninsula New
Guinea (Irian Jaya). Pemda Tingkat I. Irian Jaya. Jayapura
Griapon, Alexander, dkk., (1986). Nimboran
Sekitarnya Dalam Relegi: Antara Dongeng
Kebenaran. LITBANG GKI. Jayapura.

dan
dan

Godschalk, Jan. A., (1993)., Sela Valley: An Ethnography


of a Mek Society in the Eastern Highlands, Irian Jaya,
Indonesia. CIP-Gegevens Koninklijke Bibliotheek, Den
Haag.
Haenen, Paul (1991). Weefsels van Wederkerigheid:
Sociale Structuur Bij De Moi van Irian Jaya. Sekolah
Menengah Teknologi Grafika Desa Putera. Jakarta.
, dkk., (1993). Vrienden en Verwanten.
DSALCUL/IRIS. Leiden Jakarta.
Haviland, Wiliam A., (1988) Antropologi (terjemahan).
Erlangga. Jakarta.

Iskandar, Anwas. (1964). Irian Barat: Pembangunan Suku


Mukoko. Universitas Tjenderawasih-KODAM XVII
Tjenderawasih. Jayapura.
Keesing, Roger M. (1992) Antropologi Budaya: Suatu
Perspektif Kontemporer. Edisi 1,2. (terjemahan).
Erlangga. Jakarta.
Koentjaraningrat, (1993) Irian Jaya:
Masyarakat Majemuk. Djambatan. Jakarta.

Membangun

-, dkk. ,(1993). Masyarakat Terasing di


Indonesia. Gramedia. Jakarta.
-,dkk. (1963). Penduduk Irian Barat. PT.
Penerbit Universitas. Jakarta.
, (1980). Pengantar Ilmu Antropologi.
Aksara Baru, Jakarta.
Mansoben, J.R. (1995), Sistem Politik Tradisional di Irian
Jaya. Jakarta. LIPI. Jakarta, dan Leiden University,
Netherlands.
, (1998). Membangun Manusia Irian Jaya
Yang Majemuk (Suatu Tinjauan Antropologi). LEMLITUNCEN. Jayapura.
Mansinambow, EKM., (`1995), Masyarakat Indonesia:
Kebudayaan Lain-lain dalam Masyarakat Indonesia.
LIPI., Jakarta.

-, (1984). Maluku dan Irian Jaya. LIPI.


Jakarta.
-, (1980). Halmahera dan Raja Ampat
Konsep dan Strategi Penelitian. LEKNAS-LIPI. Jakarta.
-dkk.,
(1994).
Kebudayaan
dan
Pembangunan di Irian Jaya. LIPI Jakarta, Leiden
University. Netherlands.
May, R.J., dkk., (1982). Melanesia: Beyond Diversity.
Vol. I, II. Australian National University, Canberra.
Mampioper, A. (1972) Jayapura Ketika Perang Pasifik.
Pemda Propinsi Irian Barat.
-, (2000). Amungme: Manusia Utama Dari
Nemangkawi Pegunungan Carstensz. PT Freeport Inc.
Timika.
Miedema, Jelle, (1986). Pre-Capitalism and Cosmology:
Description and Analysis of the Meybrat Fihery and Kain
Timur-Complex.
Foris
Pubh.
DordrechtHolland/Riverton-USA.
Overweel, J.A. (1993). The Marind In A Changing
Environment. A Study on social-economic change in
Marind society to assist in the formulation of a long term
strategy for the Foundation for Social, Ekconomic and
Environmental Development., YAPSEL. Merauke.

Pusat Penelitian UNCEN, (1997). Pemetaan Sosial


Budaya di Kabupaten Daerah Tingkat II Merauke, Fakfak,
dan Jayawijaya. PUSLIT-UNCEN.
Ramandei, Jan.H. (1998). Dari Samudranta Ke Iriyan
Jaya. CV. Bulan Bintang. Abepura, Jayapura.
-.(1997). Negeri Puyakha. CV. Satya Jaya
Jayapura. Jayapura.
Raharjo, Yufita. (1995), Proseding Seminar: Membangun
Masyarakat Irian Jaya. LIPI, PPT-LIPI, Jakarta.
Samaduda, M. dkk., (2000). Profil Kawasan Teluk Berau
dan Teluk Bintuni. UNCEN-YPMD, Jayapura.
Sefa, E.D. (1989). Mengenal Suku Armati : di Pedalaman
Sarmi Irian Jaya Bagian Utara. Penerbit Aurora. Jakarta.
Schoorl, J.W., (1997). Kebudayaan dan Perubahan Suku
Muyu Dalam Arus Modernisasi Irian Jaya. Gramedia.
Jakarta.,
Silzer Peter. J., dkk. (1986) Peta Lokasi Bahasa-Bahasa
Daerah di Propinsi Irian Jaya. Percetakan UNCEN.
Jayapura.
Van Baal. J. (1987). Sejarah dan Pertumbuhan Teori
Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970). Volume I,
II., PT. Gramedia. Jakarta.

Widjojo, Muridan. S., (1997). Orang Kamoro dan


Perubahan: Lingkungan Sosial Budaya di Timika Irian
Jaya. LIPI Jakarta.
Walker, Malcoln., dkk. (1987). Regional Development
Planning for Irian Jaya. Anthropology Sector Report.
Lavalin International Inc. PT. Hasfarm Dian Konsultan.
Jayapura.
KEBUDAYAAN
ORANG
HATTAM
Enos
Rumansara
Teddy
Wanane
Agust Yarona
Aspek-aspek kebudayaan yang akan dibahas dalam
kaitannya dengan pemetaan budaya adalah berpijak pada
kerangka etnografi yang dikemukakan oleh antropolog
terkemuka Indonesia, Profesor Koentjaraningrat, yaitu
tujuh unsur kebudayaan universal dan dua unsur
tambahan lainnya.
3.1. Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan.
Sub-sub unsur dari Organisasi Sosial dan Sistem
Kekerabatan yang akan dikaji disini, antara lain: Sejarah
asal-usul kelompok keturunan, Sistem istilah kekerabatan,
Stratifikasi Sosial dan Sistem kepemimpinan tradisional,
serta Sistem perkawinan dan Pola pewarisan.
3.1.3. Sistem Istilah Kekerabatan.

No Simbol Arti Bahasa Hattam No Simbol Arti Bahasa


Hattam
1
FF
Adyona
27
MZS
Dikinjoi
2
FM
Adrot
28
MZSW
Disen
3
MF
Adnyona
29
MZDH
Didehoi
4
MM
Adrot
30
MZD
Dikwoba
5
FZH
Abmuma
31
MBS
Detom
6
FZ
Ameya
32
MBSW
Disen
7
FB
Acimiena
33
MBDH
Didehoi
8
FBW
Apmemiena
34
MBD
Dekwok
9
F
Aria
35
FZSS
Dinggwo
10
M
Ameya
36
FZSD
Dinggwo
11
MZH
Acimiena
37
FZDS
Dinggwo
12
MZ
Apmemiena
38
FZDD
Dinggwo
13
MB
Abmuma
39
FBSS
Dinggwo
14
MBW
Ameya
40
FBSD
Dinggwo
15
FZS
Detom
41
FBDS
Dinggwo
16
FZSW
Disen
42
FBDD
Dinggwo
17
FZDH
Didohoi
43
S
Nefnai
18
FZD
Detom
44
D
Mesoba
19
FBS
Dikinjoi
45
ZS
Dinggwo
20 FZDFBSW Dekuop 46 MZSS Dinggwo
21
FBDH
Dideboi
47
MZSD
Dinggwo
22 FBD Dikindi sop 48 MZDS Dinggwo
23
Ego
Dani
49
MBSS
Dinggwo
24 W Adnema /Ditnema 50 MBSD Dinggwo
25
ZH
Didehoi
51
MBDS
Dinggwo
26 Z Akwoba / Dikwoba 52 MBDD Dinggwo

Bagan
Sistem Kekerabatan Orang Hattam

Istilah

3.1.2. Kelompok-kelompok Keturunan.


Sejarah asal-usul kelompok keturunan (kelompok klen)
yang dimiliki masyarakat setempat merupakan
pengetahuan yang secara tidak langsung dapat
mempersatukan kelompok Orang Hattam (suku besar
Arfak) dalam berinteraksi untuk menghadapi orang luar.
Atau sebagai dasar yang dapat membedakan klen-klen
kecil Orang Hattam menurut hak dan kewajiban masingmasing.
Kelompok-kelompok klen ini dibentuk berdasarkan garis
keturunan laki-laki yang dalam istilah lokalnya disebut
anveia yang berfungsi mengatur perkawinan dan
kegiatan sosial lain pada tingkat klen (membuka kebun
baru, membangun rumah). Sedangkan keluarga-keluarga
inti yang disebut nimien anveia selalu bergabung dan
hidup dalam satu rumah atau membentuk keluarga luas.
Berdasarkan ceritera (mite) yang diturunkan dari generasi
terdahulu, bahwa sejarah / ceritera asal-usul Orang
Hattam tidak beda jauh dengan sejarah asal-usul
persebaran ras kulit hitam (negroid) diatas muka bumi
pada umumnya. Penduduk dengan ras kulit hitam yang
tersebar ke penjuru dunia, ada sebagian yang sampai ke
Irian Jaya lewat PNG dan kepulauan Mapia, akhirnya tiba
didaerah Bintuni (Kepala Burung). Secara khusus, nenek

moyang Orang Hattam berasal dari sebuah pohon jambu


hutan di daerah Bintuni yang dalam persebarannya terjadi
pertengkaran antara dua moyang mereka yang
mengakibatkan perpecahan antara kedua kelompok
tersebut.
Kelompok yang bergerak menuju kedaerah Anggi yang
menurunkan orang Orang Sough, sedangkan kelompok
yang satu bergerak menuju kedaerah orang Hattam
sekarang. Kedua kelompok klen ini sebenarnya
merupakan satu moeity atau paroh dengan kelompok
jambu hutan sebagai simbol mereka. klen-klen yang
termasuk kelompok Orang Hattam-Moile, adalah klen
Dowansiba, Indow, Mandacan, saroy, Muid, Wonggor,
Saiba, Sayori, Ullo, Ayok, Tibiyai, Ingkeni dan
Guehwemering. Yang mendiami desa Hingk adalah klenklen Dowansiba, Indow, Macandan, Saroy dan Muid.
Sedangkan yang termasuk dalam kelompok Orang Soug,
adalah klen Saiba, Iba, Induek, Inyomusi, Ahoren, dss.
Kelompok suku besar Arfak (sub etnis Meyah, HattamMoile, Soug dan Karon) yang mendiami kawasan
pegunungan Arfak atau Umjen, kalau digambarkan
akan nampak sebagai berikut :
Khusus Orang Hattam dan Sough memiliki pengetahuan
tentang lingkungan alam pegunungan Arfak secara baik,
terutama klasifikasi / katergori mereka tentang tumbuhtumbuhan, hewan, air, pegunungan dan lain sebagainya.

3.1.1 Asal usul Orang Hattam.


Orang Hattam mengenal asal usul mereka dengan ceritera
turun temurun sebagai berikut :
1.
Asal
Usul
Klen
Tebiai
dan
Inap.
Asal usul klen Tebiai menurut ceritera nenek moyangnya
berasal dari anjing. Adapun ceriteranya bahwa pada waktu
dahulu kala tepatnya dikepala sungai Wariori orang
menemukan di bawah batu seekor anak anjing dan
seorang bayi perempuan kecil. Orang yang sedang
berjalan mencari buah merah (sejenis buah berwarna
merah bulat panjang berasal dari jenis pohon pandan yang
dijadikan sayuran), mendengar tangisan anak anjing dan
ketika mereka menengok kebawah batu tersebut, melihat
seekor anak anjing dan seorang bayi manusia. Pencari
buah merah tersebut mengambil kedua anak anjing dan
bayi perempuan ini pulang kerumah mereka. kemudian
pulangnya si induknya anak anjing dan manusia ketempat
pembaringan anak-anaknya dan menemukan kedua
anaknya sudah tidak ada lagi. Dengan menggunakan
hidung anjing ini kemudian mencium jejak kaki pencari
buah merah ini dan mengejar hingga tiba ditempat mereka
dan menemukan anak-anaknya. Induk anjing dan anakanaknya diperlukan secara baik oleh pencari buah merah
ini dan akhirnya mereka tinggal bersama-sama. Adapun
Induk anjing ini diberi nama Sece dan bayi perempuan
diberi nama Tibiai. Sedangkan anak anjing diberi nama

Inap. Dengan demikian kedua klen yang terdapat pda


suku Hattam yakni Tibiai dan Inap dipercaya berasal dari
anjing.
2. Asal-usul Klen Wonggor (Ungora), Fungwam dan
Tembesarai.
Orang Hattam meyakini bahwa klen Wonggor (Unggora),
Fungwam dan Tembesarai mempunyai asal-usul yang
sama. Ceritera tentang terjadinya ketiga klen ini terdapat
pada sebuah pulau kecil yang bernama Tembesarai di
wilayah Supiori (Biak Utara). Pulau tembesarai ini
terdapat banyak sekali buaya dan suatu ketika buayabuaya yang terdapat di pulau ini suatu ketika
memuntahkan seorang anak perempuan. Anak perempuan
yang dimuntahkan oleh buaya ini kemudian diberi nama
Wonggor. Mengenai munculnya klen fungwam yakni ibu
wonggor itu suatu ketika melahirkan anak beberapa anak
sekaligus dan kemudian ia hanya melahirkan seorang
anak perempuan. Karena hanya seorang diri yang
dilahirkan sehingga ia diberi nama fungwam.
Ceritera selanjutnya mengenai keturunan wonggor ini
bahwa semula manusia yang dilahirkan dari perempuan
ini hanya memakan makanan mentah (tampa terlebih
dahulu dimasak) seperti daging mentah dan lain lainnya.
Suatu ketika setelah mereka eksodus ke wilayah pesisir
pantai Manokwari tepatnya diwilayah Mupi, salah
seorang laki-laki dari keturunan Wonggor ini bertemu

dengan seorang dari keturunan Sayori yang berasal dari


wilayah Warkapi. Ketika itu laki-laki Sayori ini sedang
berburu dan mendapat seekor binatang. Laki-laki sayori
ini dibantu oleh laki-laki Wonggor untuk mengambil hasil
buruan ini dan kemudian mereka dua berniat memakan
sebagian dan membawa pulang sebagian kepada keluarga
mereka masing-masing. Untuk daging yang akan disantap
oleh kedua orang ini akhirnya terjadi perdebatan karena
laki-laki Sayori menginginkan daging tersebut sebaiknya
dibakar terlebih dahulu sebelum disantap, namun laki-laki
wonggor tidak setuju karena ia terbiasa makan daging
mentah. Perdebatan terjadi diantara kedua orang tersebut
dan akhirnya laki-laki Sayori bersikeras untuk membakar
daging sebelum disantap. Ketika membuat asap dan
dicium oleh laki-laki wonggor, ia menjadi muntah-muntah
dan pingsan. Namun ketika laki-laki wonggor ini sadar
dari pingsannya dan mencium daging lezat akhirnya ia
menyantap dengan lezatnya. Kejadian ini membuat lakilaki wonggor pulang dan mengajarkan kepada
keluarganya untuk belajar makan daging yang telah
dibakar terlebih dahulu. Memang awalnya mereka yang
mencium bau asap ini juga mengalami hal yang sama
yakni muntah-muntah dan pingsan, namun kemudian
mereka menikmati makanan ini lebih lezat dibandingkan
dengan makanan yang belum dimasak. Ceritera ini
mengisahkan bahwa dari laki-laki sayorilah, orang
Wonggor mengenal api dan makanan yang dimasak.

3. Asal usul Klen Warpandu.


Asal usul klen Warpandu Warpandu diyakini berasal dari
landak (memibati). Ceritanya bahwa dahulu kala ada dua
orang wanita yang pergi menanam bete (degut) di wilayah
Warkapi. Kedua wanita tersebut mendengar tangisan
seorang bayi di bawah pohon beringin, namun pada hari
itu mereka tidak sempat mendekat ke tempat tersebut.
Keesokan harinya mereka berdua berniat untuk pergi
mencari sayur bambu disekitar wilayah dimana anak itu
kemarin menangis melihat bahwa anak ini dijaga oleh
seekor landak (mebibati). Jika landak ini pergi menjauh
dari bayi ini maka bayi ini akan menangis dan jika landak
ini mendekat, maka bayi ini kembali tenang. Kedua
wanita ini kemudian mengambil kesimpulan bahwa bayi
ini berasal dari binatang tersebut. Mereka berdua akhirnya
memutuskan untuk mengambil bayi tersebut setelah
melihat binatang itu menjauh dari anaknya.
Ketika anak ini dibawa pulang terjadi guntur, kilat dan
hujang sehingga salah satu dari wanita ini menyampaikan
agar bayi tersebut dibuang saja. Namun wanita lainnya
yang sedang menggendong bayi tersebut berusaha dengan
sekuat tenaga melarikan bayi ini hingga tiba dirumahnya.
Bayi ini ternyata adalah seorang bayi perempuan dan
kemudian diberi nama warpandu.
4.
Asal
usul
Klen
Saiba.
Asal usul klen saiba diyakini berasal dari burung taon-

taon (akicewa). Ceritanya pada dahulu kala di kepala


sungai Wariori, orang menemukan seorang bayi
perempuan yang menangis dalam sebuah lobang batang
kayu yang adalah sarang burung taon-taon (akicewa).
Orang yang lewat disitu kemudian mengambil bayi
tersebut dan memberi nama Saiba.
5.
Asal
Usul
Klen
Ullo
Di sungai Warior terdapat sebuah anak sungai yang
disebut Ullo. Ditempat ini diyakini orang pertama dari
klen Ullo yakni seorang bayi perempuan ditemukan
hanyut di sungai ini dan diberi nama Ullo.
6.
Asal
Usul
Klen
Mandacan
Klen Mandacan diyakini berasal dari tempat yang
bernama Bukuati sebelah Utara Minyambou, berasal dari
pohon jambu merah (Betua).
Klen-Klen Yang Ada Pada Orang Hattam
Adapun klen-klen yang terdapat pada orang Hattam
adalah sebagai berikut : Klen Muid, Indou, Mandacan,
Nuham, Insent, Sayori, Tembeserai, Inap, Tebaiai, Saibai,
Mansim,
Kwan.
Daerah-Daerah Persebaran Orang Hattam Dewasa ini
Daerah-daerah persebaran orang hattam adalah sebagai
berikut
:
1. Kecamatan menyambou dengan desa-desanya
meliputi : desa Indah, Iguhek, Demaisi, deweibi, Hing.
2. Kecamatan Warmare dengan desa-desanya meliputi :

desa Indisei, subsai, Madrad, Meni, Umbui, Wasegi


(Aimasi dan Wasegi Indah), Bokor, Hing (Warmare).
3.1.4.
Stratifikasi
Sosial
Tradisional
Setiap klen dalam masyarakat Arak dikepalai oleh
seorang kepala suku yang disebut Nibou Nimpung. Ada
seorang kepala suku besar orang Afrika, yang menjadi
pemimpin dari ke empat sub suku/ etnis, yaitu : Hattam,
Sough, Meyah, Moile. Masing-masing nibou nimpung
menguasai suatu wilayah atau Mnu, yang artinya dusun
atau kampung dengan sejumlah orang yang dipimpinnya
atau ilmuanya/ tungwatunya, yang artinya masyarakat
biasa.
Gejala seperti tertuang di atas menunjukkan adanya
pelampisan/.stratifikasi sosial tradisional yang dikenal
oleh orang Hattam, yaitu lapisan atas yang diduduki oleh
para nibou nimpung dan lapisan bawah yang diduduki
oleh ilmuanya/ rungwatunya. Stratifikasi sosial tersebut
secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
3.1.5.
Sistem
Pewarisan
Obyek yang biasanya diwariskan secara turun temurun
pada orang Hattam adalah benda-benda yang biasanyta
digunakan sebagai maskawin, antara lain : kain timur,
kain toba, dan paseda, disamping tanah, bangunan rumah,
dan hewan piaraan (babi dan anjing). Harta warisan itu
dibagi untuk semua anak dan pihak keluarga yang pernah
membantu sipemilik harta semasa hidupnya (terutama

saat
perkawinan).
Serang yang akan meninggal dapat mewariskan harta
memilikinya kekpada anak laki-lakinya (biasanya yang
paling sulung). Anak laki-laki ini yang kemudian akan
mengatur pembagian warisan tersebut kepada saudarasaudaranya, sehingga semua anak mendapat bagian dalam
warisan tersebut menurut apa yang dipandang baik. Anak
perempuan mempunyai milik atas tanah/ dusun atas asas
manfaat.
Anak perempuan dalam kebudayaan orang Hattam
(Arfak) memiliki hak atas harta warisan orangtua, karena
menurut adat-istiadat mereka perempuanlah yang selalu
mendatangkan harta. Sehingga tidaklah mengherankan
kalau dalam setiap perkawinan Orang Hattam sangat
didambakan kehadiran/ kelahiran anak perempuan
(sebagai sumber pengganti atau mendatangkan harta).
Bukalah hal yang mustail kalau suatu perkawinan yang
tanpa seorang anak perempuan sering menjadi alasan bagi
suatu perceraian keluarga atau terjai perkawinan poligini.
Walaupun orang Hattam menganut prinsip kekerabatan
partrilineal, tetapi prinsip tersebut tidak sepenuhnya
dipraktekkan dalam beberapa lapangan kehidupan (seperti
terurai di atas dalam pola pewarisan). Hal ini dapat
dipahami karena wanita dalam kebudayaan orang Hattam
diibaratkan/ dinilai sebagai harata (maskawin) yang selalu
mendominasi semua segi kehidupan masyarakatnya, di
samping kepercayaan akan suanggi. Kedua aspek
(wanita/harta
dan
Suanggi)
menjadi
fokus

kebudayaannya Orang Hattam khusunya dan bagi orang


Afrika pada umumnya.
3.1.6.
Sistem
Perkawinan
atau
Iwakyam
Pada waktu yang lampau seorang laki-laki Hattam bisa
kawin lebih dari satu orang isteri (poligini), asalkan ia
harus mampu membayar maskawin untuk semua istrinya.
Tetapi dengan masuknya dan diterimanya agama kristen,
maka praktek-praktek poligini seperti tersebut di atas
sudah tidak dilakukan lagi, namun adakalanya masih
ditemuakan
juda
dalam
masyarakat.
Kalau dikaji dari sistem kekerabatan orang Hattam,
mereka sering melaksanakan sistem perkawinan
endogami klen, misalnya : anggota klen indow/ Muid
dapat kawin dengan anggota klen indow/.Muid lainnya
asalkan bukan kerabat sedarah, artinya sudah agak jauh
hubungan kekerabatannya. Tetapi yang dominan
dilakukan
adalah
eksogami
klen.
Siapa saja boleh kawin dengan anak kepala suku atau
nibou nimpung asalkan laki-laki tersebut memiliki harta
yang cukup. Tidak ada perbedaan dalam jumlah
pembayaran
harta.
Dalam setiap perkawinan. Pembayaran maskawin atau
nimbrona merupakan suatu keharusan, karena wanita
yang akan dikawinkan dianggap sebagai nilai pengganti
saat ibunya dikawinkan. Dengan kata lain, pihak kerabat
ayah maupun ibu yang pernah membantu pada saat
ayahnya dikawinkan berhak atas anak perempuan

tersebut. Maskawin dari anak pertama biasanya diterima


oleh kerabat pihak ayah (saudara-saudara kampung ayah)
dan pihak saudara laki-laki ibu, kecuali maskawin dari
anak perempuan kedua yang diterima oleh ayah dan ibu
kandung. Seorang laki-laki berkewajiban membayar harta
maskawin selama isterinya masih hidup (apalagi memberi
keturunan anak perempuan), tetapi dilarang untuk
memperlakukan secara kasar terhadap isteri kalau belum
melunasi
harta
maskawin.
Seorang laki-laki Hattam diwajibkan untuk membayar
maskawin kepada kerabat istrinya berupa : babi (naba)
6 ekor / sapi 2-3 ekor, kain Timur asli (bancuna) 10
lembar, 1-2 lembar kain Toba (banduricut, sejumlah
manik-manik (sbana) sebanyak 10-15 buah, kulit
kerang, uang 2-3 juta, adapula yang harus membayar 5-10
juta
diluar
benda-benda
tersebut
di
atas.
Pemabyar mas kawin ini berlangsung seumur hidup,
karena setiap kelahiran anak perempuan dilakukan
pembayaran maskawin (mempunyai nilai pengganti).
Pada saat penyerahan maskawin, seorang pria anggota
keluarga dari pihak laki-laki yang akan membawa
maskawin tersebut untuk menjemput calon pengantin
perempuan, dengan tujuan apabila dikemudian hari suami
dari wanita ini meninggal, maka orang yang menyerahkan
maskawin tersebut, berhak mengawini wanita tadi. Kalau
orang lain yang mengawini wanita itu, bisa terjadi
pembayaran maskawin yang lebih mahal bahkan bisa
terjadi pembunuhan. Disini praktek perkawinan levirat /

sororat
diwujudkan.
Adanya adat pembayaran maskawin ini, konsekwensinya
bagi wanita adalah dia harus bekerja dengan baik untuk
melayani suami dan seluruh keluarga, disamping ia masih
dibebani pekerjaan di kebun, pengasuh anak, dan lainnya.
Kadang-kadang. Perkawinandengan adat pembayaran
maskawin seperti ini sering, melecehkan hak dan
kedudukan
wanita.
Dari setiap perkawinan Orang Hattam, diharapkan lahir
anak perempuan. Anak perempuan memiliki nilai yang
tinggi karena merupakan sumber mas kawin. Anak
perempuan yang pertama dan kedua adalah sepenuhnya
hak dari ayah dan kerabatnya, maksudnya adalah jika
sudah besar dan ayahnya akan mengawinkan anak ini, dia
( ayah) akan memperoleh mas kawin kembali sebagai
pengganti mas kawin yang dibayar pada saat ibunya
dikawinkan.
Sistem seperti ini membuat Orang Hattam cenderung
untuk mepunyai anak, kalau dalam perkawinan itu belum
lahir anak perempuan. Adanya prinsip seperti ini
mengakibatkan kecenderungan banyak orang tua yang
mengawinkan anak perempuan dalam usia muda. Atau
anak-anak perempuan usia sekolah telah diikat secara adat
untuk dikawinkan (rendahnya anak-anak wanita usia
sekolah).
Pola menetap sesudah kawin yang dianut Orang Hattam
adalah
pola
menetap
Kegiatan bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat

Hattam di daerah lereng gunung dan tepian sungai


biasanya hanya dipakai untuk tanaman padi ladang dan
setelah panen hasil diganti dengan tanaman lain seperti
petatas, keladi, jagung, dan jenis tanaman campuran
lainnya, hal ini dilakukan terus-menerus dan jika sudah
tidak subur maka kebun tersebut diistirahatkan lagi
selama kurang lebih 3 4 tahun supaya tanah tersebut
dapat subur kembali. yang dalam bahasa lokal Masa Bera
ini disebut Susti.
3.2.2.
Berburu
dan
Meramu
Aktivitas berburu seluruhnya dilakukan oleh kaum pria
(laki-laki) saja disaat ada waktu luang setelah
mengerjakan kebun atau kalau ada acara tertentu yang
membutuhkan hasil buruan (daging/protein). Kegiatan
meramu juga dilakukan pada saat berburu atau oleh para
ibu disaat pergi atau pulang dari kebun. Bahan yang
diramu adalah buah-buahan dan sayuran (genemo, jamur,
daun
pakis).
Kegiatan berburu dilakukan secara kelompok oleh
beberapa orang (sekitar 5 7 orang) yang mempunyai
hubungan kerabat dengan menggunakan perangkap dan
busur panah atau ampiaba serta anjing sebagai alat
bantu. Perangkap biasa dipasang di daerah dimana hewan
buruan lewat atau hidup. Hewan yang diburu, antara lain :
babi atau baba, tikus tanah atau mninsena, rusa, dan
beberapa jenis burung serta ular. Hasil buruan tersebut
dikonsumsi oleh keluarga dan selebihnya dibagikan

kepada
kerabat
dekat.
Aktivitas tambahan yang bersifat ekonomis adalah
berdagang/berjualan hasil kebun yang kelebihan
(terutama pisang). Untuk menjual hasil kebun mereka
membawanya ke pasar (di kota Manokwari) dan dijual
langsung kepada konsumen. Beternak ayam, babi, sapi,
dan kambing juga dilakukan tetapi secara profesional.
3.2.3.
Petani
Kelapa
Sawit
Masyarakat Hattam juga mengenal pertanian moderen
yang dibawa masuk kedalam kehidupan mereka, salah
satunya adalah pertanian kelapa sawit. Pertanian kelapa
sawit ini dikenal oleh masyarakat sekitar tahun 1983
dengan masuknya PT. PIR di daerah Prafi. Sehingga
banyak diantara masyarakat Hattam yang terlibat sebagai
petani kelapa sawit dan memiliki lahan kelapa sawit.
Dengan masuknya sawit ini membuat masyarakat
mengalami suatu perubahan dalam kehidupan ekonomi
mereka. Sebab dengan kelapa sawit ini masyarakat dapat
memenuhi segala kebutuhan mereka seperti membuat
rumah dari tembok, memiliki perangkat rumah tangga
yang lebih baik, mempunyai benda-benda lain seperti
mobil,
motor
dan
lain
sebagainya.
Kegiatan pertanian kelapa sawit ini diperoleh masyarakat
dari PT. PIR yang mana perusahaan tersebut sebagai mitra
yang membuat perkebunan tersebut dan masyarakat yang
mempunyai hak atas pertanian tersebut namun hasilnya
nantinya dijual kembali kepada perusahaan tersebut.

3.4. Sistem Religi


3.3.1.
Upacara-Upacara
Ritual
Dalam kehidupan Orang Hattam sekarang ini sudah tidak
ada praktek-praktek upacara ritual keagamaan, karena
mereka telah menganut Agama Kristen. Ada salah satu
upacara, yaitu inisiasi terhadap seorang anak perempuan
yang
memasuki
masa
akil-balik.
Pada saat anak perempuan pertama kali mengalami
menstruasi, ia diharuskan tinggal sendiri di rumah kecil
yang berjarak berapa meter dari rumahnya. Di rumah itu
ia hanya bisa tidur dan tidak melakukan aktivitas apapun
selama
3

4
hari.
Setelah itu ia di bolehkan untuk kembali ke rumahnya,
dan masih harus menjalani beberapa tantangan, yaitu
tidak boleh makan sayur gedi, buah merah, nenas dan
pisang kapok, tidak boleh minum air dingin, kecuali air
tebuh, dan ini berlangsung selama 1 bulan. Setelah
melalui masa ini, seorang anak perempuan dianggap siap
untuk
dikawinkan.
Selain itu ada upacara atau pesta massal yang sering
dilakukan masyarakat yang disebut cintakwek (pesta
pora) yang biasanya diselenggarakan dengan tujuan
memberi makan orang-orang dari kampung lain yang
mempunyai hubungan kerabat dalam jumlah yang banyak
(semacam adat pottlach). Rencana pesta ini diawali
dengan mengiapkan/mengerjakan kebun yang besar,
karena dalam acara tersebut peserta hanya diberi makan

hasil kebun dan sayuran saja (seperti : labu, kacangkacangan, jagung, keladi, ubi-ubian, pisang, dll). Yang
diolah dengan cara bakar batu atau indigciema.
Makanan yang dimasak dengan cara tersebut diletakkan
dalam kurungan kulit kayu atau hamija diatas tanah
yang dialas dengan daun. Tumpukan makanan yang ada di
dalam kurungan tersebut dinamakan isorcinta. Setelah
tiba waktunya dan semua yang diundang hadir sesuai
tanggal/kalender perjanjian atau ngona yang telah
disepakati, makanan mulai dibagi-bagikan pada semua
peserta untuk dimakan secara berlebihan sambil
membawakan tarian igbihimtia yang berlangsung
semalam suntuk. Pesta ini sering digunakan masyarakat
sebagai arena untuk menunjukkan kemampuan memberi
makan banyak orang, sebagai arena mencari jodoh, dan
untuk
memupuk
rasa
solidaritas
kelompok.
Walaupun kedua upacara ini jarang dilakukan tetapi nilai
sakral/budaya dari upacara akil-balik/inisiasi dan nilai
sosial dari upacara massal atau cintakwek tetap
mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat.
3.1.2. Sistem Kepercayaan Tradisional Orang Hattam
3.1.2.1.
Kepercayaan
SEI
Orang Hattam percaya bahwa sejenis tumbuhan yang
tergolong tumbuhan perdu yang mereka sebut Sei dapat
menyelamatkan mereka terutama dari ancaman musuh.
Untuk mengetahui kapan waktu musuh menyerang
mereka akan menggunakan air pohon tersdan mereka

akan mengucapkan waktu-waktu yang menurut dugaan


mereka kapan musuh akan menyerang, misalnya
menyebut besok siang musuh akan menyerang. Jika
sebutan mereka itu benar maka air yang ada dalam bambu
sebagai wadah itu benar akan terjadi serangan musuh.
Namun jika tidak terjadi goncangan air maka waktu tidak
akan
terjadi
serangan.
Cara lain yang biasanya digunakan adalah dengan
menggunakan sebatang kayu pohon tersebut digantung
pada leher seseorang. Maksudnya agar mereka dapat
terhindar dari ancaman musuh yakni, musuh akan
mengalami kesulitan untuk membunuh orang yang
memakai kayu tersebut. Sebagai contoh sekalipun panahpanah sudah diarahkan kepadanya namun anak panah
tidak akan sanggup mengenai sasaran secara tepat.
Dilain pihak kayu ini juga dapat dipakai sebagai alat
mantra untuk menyusahkan musuh, dimana orang yang
hendak membunuh lawannya ini memegang kayu tersebut
dan menyebut nama orang yang menjadi sasaran dan
ketika itu juga meludah ke tanah. Orang yang telah
disebutkan namanya itu akan mati.
3.1.2.2.
Kepercayaan
Mpriet/Suanggi
Orang Hattam mengenal cara menyusahkan orang dengan
menggunakan orang yang memiliki black magic yang
mereka sebut dengan nama MPRIET. Dalam kalangan
orang Hatan mereka mengenal ada 9 jenis obat racun
yang tersusun sebagai berikut :

3.1.2.3.
Obat
Racun
Jenis
Numueb
Jenis obat racun ini tergolong paling kuat daya bunuhnya
di antara semua jenis yang lainnya. Menurut mereka obat
ini berasal dari gunung Syor di kepala sungai Wariori
(sebelah barat daya Kabupaten Manokwari). Obat ini
orang Hattam peroleh dari orang Manikion/Sough.
Obat racun numueb ini berasal dari yang mereka sebut
juga
numueb.
Adapun ciri-ciri pohon ini adalah sebagai berikut : Tinggi
pohon diperkirakan 1 meter dan 2 jenis yang satu berdaun
putih dan yang lainnya berdaun merah, diperkirakan
panjang daun 20 cm dan lebarnya 10 cm. Pohon ini
biasanya di tanam pada aderah yang tidak mudah
dijangkau orang. Biasanya digunung yang sangat jauh dan
tidak mudah dijangkau orang. Alasanya jika karena ada
orang yang sempat melewati dekat lokasi tanaman
tersebut berada akan terkena racun tersebut dan
meninggal dunia. Selain bibit pohon ini sebelum ditanam
di lokasi sekitar tempat akan ditanam pohon tersebut
benar-benar bersih. Hal ini dikarenakan jika ada tali yang
kebetulan melingkar dipohon tersebut dan berhubungan
dengan pohon lain dan jika manusia atau hewan lewat
disitu akan mati. Bahkan menurut kepercayaan burung
sekalipun jika terbang tepat diatas pohon tersebut dapat
langsung
mati.
Cara mengambil obat ini pada waktu dahulu mereka
menggunakan mata tombak yang diasa tajam sehingga
bisa memotong daun pohon tersebut dan sekaligus

disiapkan wadah yakni bambu yang akan menampung


langsung daun-daun tersebut. Daun ini tidak boleh kena
tanah karena nanti guntur. Kilat dan hujan. Dewasa ini
mereka yang hendak mengambil daun pohon tersebut
menggunakan sarung tangan dan mereka yang pegang
daun ini dengan sarung tangan tidak boleh misalnya
kencing dengan memegang kemaluan karena bisa
menyebabkan kematian. Oleh karena itu mereka yang
hendak mengambil daun ini biasanya menggunakan rok
tanpa menggunakan celana dalam sehingga bila mereka
hendak kencing, langsung saja kencing tanpa memegang
kemaluan (biasanya obat ini diambil oleh laki-laki).
Mereka akan memisahkan daun ini yakni bagian sisi
kanan daun akan dipisahkan dibagian tangan kanan dan
bagian sisi kiri daun akan dipisahkan ke tangan kiri
manusia tersebut. Sedangkan tulang daun akan dipakai
untuk membuat bibit baru lagi. Daun sisi sebelah kanan
yang dipisahkan ke sebelah tangan kanan akan digunakan
untuk membunuh laki-laki dewasa sedangkan yang
dipisahkan di sebelah kiri akan digunakan untuk
membunuh anak-anak dan wanita. Karena daun ini
dianggap berbahaya sehingga orang yang mengambil
daun ini selama seminggu tidak boleh dekat dengan
keluarga.
Cara menggunakan daun numueb ini untuk membunuh
orang adalah dengan cara mencelupkan mata anak pada
daun racun tersebut, dan jika orang yang menjadi
sasarannya sudah ada maka anak panah tersebut akan

diarahkan kepada sasarannya dan hanya sekedar


mengenai tubuh korban (panah tidak ditarik sekeras
mungkin) dan seketika itu orang yang terkena panah
tersebut akan jatuh pingsan. Dalam hal pekerjaan
membunuh orang ini juga biasanya diorganisasikan oleh
empat orang masing-masing seseorang yang bertugas
untuk panah, seseorang lagi bertugas untuk mengangkat
tubuh korban dan buang ke semak-semak sedangkan dua
orang lainnya bertugas memasukkan obat racun ini
kedalam mulut si korban. Sebelum memasukan obat racun
ini ke mulut si korban mereka akan menusuk-nusuk
mulutnya hingga luka. Kemudian daun numueb ini akan
dimasukkan dengan cara memberikannya bersama-sama
dengan air tali rotan, sehingga orang ini dapat menelan
daun tersebut. Orang yang mengerjakan pembunuhan ini
akan berkata dengan menentukan waktu ajal kepada
korban, misalnya anda akan meninggal minggu depan
dengan cara digigit ular, atau meninggal dengan cara
sakit, ataupun meninggal karena jatuh dari pohon, dll.
Lazimnya waktu yang diberikan bisa antara satu hari
hingga dua bulan. Namun secara khusus untuk korban
wanita biasanya waktu lebih dipersingkat antara 1 7
hari, karena mereka kuatir jika wanita tersebut datang
bulan/mentruasi dapat menyebabkan pembunuh terkena
penyakit
hosa.
Khusus untuk mereka yang melakukan pembunuhan,
setelah mereka memasukkan obat racun (numueb) ke
dalam mulut dan ditelan oleh korban bersama dengan air

tali rotan, maka beberapa saat kemudian si korban akan


bangun dari tempat pembarngannya, untuk itu bagi
mereka yang membunuh jika melihat mata orang tersebut
mulai bergerak tanda bahwa ia akan sadar, mereka harus
segera menghindar dan tidak boleh dilihat oleh si korban.
bila mereka dilihat, maka si korban tersebut akan mati
sesungguhnya dan tidak akan bangun-bangun lagi.
Dengan demikian akan ternyata bahwa benar-benar ia
dibunuh oleh orang-orang yang mempunyai dendam
kepadanya.
Beberapa cara untuk mengetahui bahwa kematian ini
disebabkan oleh obat racun (numueb) antara lain :
Dibagian dalam mulut si korban masih sakit/sudah
meninggal akan tampak banyak luka-luka dan melihat itu
adalah dukun kampung (ndakan); perut si korban yang
sudah meninggal akan cepat membengkak; juga bisa
dilihat berdasarkan luka-luka yang terdapat pada tubuh
korban (orang yang sudah meninggal) mialnya, bekasbekas dipukul, luka-luka karena di tembak, atau dipanah
dan lain-lain.
3.1.2.4.
Negrib
Jenis obat racun ini juga berasal dari pohon numued, yaitu
daun numued yang dimakan oleh sejenis kadal. Kemudian
pemilik pohon telah melihat bahwa daun-daun pohon itu
telah terluka akibat kadal tersebut, ia akan membawa
betatas yang diletakkan diatas daun gatal dan ketiga ulat
itu memakan betatas hingga habis kemudian akan berubah

menjadi semacam telur puyuh. Kadal yang teah berubah


menjadi telur puyuh itu kemudian dbungkus didalam
dengan daun gatal da diisi di noken dan bawa pulang.
Nengrib yang berupa seperti telur puyuh ini ada 4 jenis
yaitu : Nengrib yang mempunyai warna belang-belng
hitam putih; nengrib yang mempunyai warna hitam saja
dan nengrib yang mempunyai warna putih polos dan
merah saja. Kedua jenis nengrib yang tersebut terakhir
yaitu yang putih polos dan yang merah saja tidak boleh
diambil, karena jenis tersebut jika ada orang yang
mengambilnya tidak bisa tinggal tenang, karena nengrib
jenis ini akan senantiasa memaksa tuannya (pemilik
nengrib tersebut) untuk segera mungkin dapat membunuh
orang. Dan jika tuannya tidak melaksanakan maka
nengrib ini akan berubah menjadi seperti kadal kayu dan
berjalan kian kemari di rumah tuannya sehingga dapat
diketahui oleh orang lain bahwa orang tersebut memiliki
nengrib.
Nengrib biasanya diberi makan dengan betatas dan jika
akan makan biasanya ia berubah menjadi seperti ulat
kayu. Daun gatal yang selalu dipakai membungkus
nengrib ini harus selalu masih segar kalau tidak nengrib
ini akan berubah menjadi ular kayu seperti asalnya semula
dan berjalan-jalan kian kemari di tiang-tiang dan atap
rumah
pemiliknya.
Cara membunuh dengan menggunakan nengrib adalah
jika sudah menemukan korban baik melalui pemukulan,
atau dipanah, dipotong, hingga korban pingsan ataupun

meninggal sekalipun nengrib yang masih berbentuk telur


puyuh ini akan diletakkan pada daun bete yang berisi air
supaya nengrib ini bisa berubah menjadi ular. Kemudian
nengrib yang sudah berubah menjadi ular ini akan masuk
ke mulut korban dan keluar di duburnya bahkan semua
bekas luka atau pukul yang dialami oleh korban setelah
dijilat oleh nengrib (yang berbentuk ular ini) akan
menjadi sembuh total seperti semula. Bahkan sekalipun
mayat korban sudah tinggal hingga membengkak dan
membusuk, namun jika nengrib ini masuk ke mulut dan
keluar didubur, maka semua tubuh yang mengalami
bekas-bekas tersebut akan kembali normal kembali.
3.1.2.5.
But
nti
Butnti berasal dari Ayamaru, yaitu dari tanaman berupa
tali. Tali tersebut dipotong kemudian potongan-potongan
tersebut diambil guna melakukan magic bagi orang yang
hendak menjadi sasarannya. Adapun caranya dengan
meletakkan potongan kayu tersebut pada jalan dimana si
korban lewat. Jika si korban melangkah melewati
potongan kayu tersebut, maka diyakini ia akan menjadi
sakit hingga kurus sekali. Adapun jenis penyakitnya
seperti, sakit perut dan berak darah. penyakit ini
menyerang si korban bisa mencapai 10 bulan 1 tahun.
Cara lainnya dengan mengikis potongan kayu tersebut,
dan mencampur dengan minuman atau makanan yang
hendak diberikan kepada orang yang diincar.
Nilai sepotong kayu But nti dihargai dengan sebuah

senjata laras panjang atau beberapa kain timor atau


sekarang ini dapat dibeli dengan harga Rp. 5 sampai 6
juta.
3.1.2.6.
Ngeyapu
Ngeyapu berasal dari kebar (sebelah barat daya)
Kabupaten Manokwari. obat racun ini seperti umbi jahe,
yang mana jika hendak menggunakannya, dikutik dengan
pipa susu kasuari. Mereka meyakini jika umbi ini
mengenai kepala atau kemaluan manusia, maka akan
mati. Namun jika hanya mengenai tubuh manusia, orang
yang terkena bisa mati tetapi kemungkinan juga bisa
bertahan hidup. Untuk mengkuti ngeyapu, harus sesuai
dengan arah angin, dimana arah angin tidak boleh menuju
ke arah diri orang yang akan mengkuti, karena jika
demikian maka orang yang mengkutik itulah yang akan
mati. Jadi untuk mengetahui arah angin apakah angin
sedang menuju ke arah sasaran korban, biasanya orang
yang mengkutik itu mengisap rokok guna mengetahui
arah angin lewat asap rokok. Jarak yang dipakai untuk
mengkuti ini juga relatif dekat kira-kira 100 meter.
3.1.2.7.
Bekoungkek
Obat racun ini juga berasal dari Ayamaru dan cara
menggunakannya sama dengan menggunakan obat racun
ngeyapu.
3.1.2.8.
Nengriboi
Obat racun ini dari kotoran binatang (sejenis ular) yang

sebut nengrib (lihat obat racun 2.2). adapun cara


menggunakan obat racun ini sama dengan praktek pada
obat racun bekoungkek dan obat racun ngeyapu.
3.1.2.9.
Inatbungkek
Obat racun ini berasal dari daerah Ayamaru dari kulit
pohon kayu yang disebut Inatbou. Kulit pohon kayu ini
disebut inatbungkek. Caranya juga dengan mengkutik
sasaran orang yang ditujui (sama dengan ngeyapu,
bekoungkek dan nengriboi). Mereka meyakini kalau
korban yang terkena obat racun jenis ini maka akan
timbul luka pada diri korban yang tersu membesar.
3.1.2.10.
Krisyeut
Obat racun ini berasal dari daerah Ayamaru, yakni dari
pohon akar bore (krisyeu), batang pohon ini disebut
kriseyewut. Obat racun ini tidak boleh dipegang
sembarangan harus dimasukkan dalam anyaman bambu
seperti kotak yang bisa ditutup dan dibuka. Obat ini
digunakan untuk melakukan magic terhadap seseorang
dengan cara jika mendengar suara orang yang menjadi
sasaran, penutup kotak dimaksud akan dibuka kemudian
penutup kotak itu ditutup kembali, dan ini bagi mereka
menjadi simbol bahwa suara orang tersebut telah
ditangkap dan tinggal dalam kotak tersebut. Untuk
mengetahui bahwa korban sasaran mereka telah
meninggal, waktu kotak itu dibuka salah satu bambu yang

terdapat dalam kitak itu akan patah dan lalat biru akan
keluar dari kotak dimaksud.
3.1.2.11.
Nggei
ntitek
Nggei ntitek sejenis obat yang dipakai sebagai kontrol
keluarga, terutama buat suami atau isteri yang
berzinah/berselingkuh diluar dan tidak mengaku. Menurut
kepercayaan orang Hattam bahwa mereka yang
memegangnya untuk mengontrol suami dan suami
memegangnya untuk mengontrol istri. Untuk itu segala
penyelewengan seks diluar nikah di antara pasangan
suami istri tidak boleh disembunyikan. Sebagai contoh
jika seorang suami yang berhubungan seks di luar,
sebelum masuk rumah ia sudah harus mengaku kepada
isteri dan semua anggota rumah tangga bahwa ia telah
melakukan hubungan seks diluar. Jika suami tersebut
tidak mengaku maka panggulnya akan terlepas.
3.3. Sistem Pengetahuan Dan Teknologi
3.41. Pengetahuan Tentang Pengobatan Tradisional
3.4.1.1.
Penyakit
dan
Cara
Pengobatannya
Jenis-jenis penyakit dan cara pengobatannya yang umum
dikenal
antara
lain
:
Malaria, biasanya diobati dengan air rebusan akar
pepaya atau daun pepaya, daun jeruk, daun jambu, daun
nenas, dan daun geawas yang direbus, ditumbuk, atau
diperas
airnya
lalu
diminum

Diare, diobati dengan minum atau isap air tebu


Limpa, diobati dengan menempelkan daun gatal atau
tunas pisang Ambon diperut (tempat yang sakit)
Kudis/Kaskado, diobati dengan daun labu yang
dicampur
dengan
minyak
tanah
Hamil dengan perdarahan, diobati dengan meminum
getah kayu susu yang dicampur air mendidih
Kena racun pada waktu hamil, diobati dengan sejenis
daun yang tumbuh di pinggir kali, dengan cara ditumbuk,
dicampur air panas, lalu diminum.
3.4.1.2. Pantangan-pantangan pada Waktu Haid, Hamil,
Melahirkan,
dan
Menyusui
Seorang wanita hamil atau menyusui tidak boleh makan
daging Rusa, kasuari, babi yang kena jerat akan
mengakibatkan banyak darah beku di perut.
Wanita hamil/menyusui tidak boleh makan sayur bayam,
daun singkong karena akan mengakibatkan anaknya tidak
kuat jalan. Seorang wanita hamil tidak boleh berjalan
malam
hari
karena
bisa
kena
suanggi.
Orang Hattam mempunyai pantangan terhadap
perempuan yang melahirkan/baru melahirkan dan
perempuan yang sedang haid. Bagi mereka jika mereka
terkena darah orang yang melahirkan baik secara
langsung maupun tidak langsung seperti kena uapnya saja
dapat menyebabkan penyakit seperti penyakit hosa bagi

laki-laki dan nenek-nenek serta sial dalam mencari nafkah


seperti hasil kebun akan dimakan oleh babi atau alat yang
dipakai untuk berburu seperti panah tidak dapat
berfungsi/mengenai
sasaran
secara
tepat.
Berkenaan dengan pantangan sebagaimana tersebut
diatas, maka orang Hattam jika ada seorang wanita yang
hendak melahirkan atau hendak haid, ia harus
ditempatkan pada sebuah rumah kecil yang sebut semug,
dibelakang rumah besar (imbini). Dalam semug ini
seorang wanita yang henda melahirkan tinggal untuk
melahirkan (biasanya melahirkan tanpa bantuan orang
lain). Namun jika ia dibantu oleh seorang wanita, maka
orang yang membantu tersebut tidak boleh keluar
bersama-sama dengan wanita yang melahirkan itu selama
dua belas hari lamanya. Sedangkan untuk wanita yang
sedang haid biasanya harus tinggal di rumah semug
selama
dua
hari.
Seorang wanita yang hendak berpindah dari rumah kecil
semug kerumah besar untuk bergabung dengan kerabat
lainnya haruslah dimandikan oleh anggota kerabat wanita
lainnya (terutama untuk kasus wanita setelah melahirkan).
Jika wanita itu hendak masuk rumah besar semua laki-laki
besar dan kecil harus keluar dari rumah dengan membawa
alat berburu yakni, panah dan tombak. Mereka tingga di
luar rumah selama kira-kira 2 jjam lamanya. Pada hari itu
tidak ada orang dari rumah (imbini) tersebut yang pergi
berburu atau ke kebun. Jadi untuk mengantisipasi situasi
saat itu, biasanya bahan makanan untuk hari itu telah

disediakan hari-hari sebelumnya. Alasan mengapa mereka


tidak boleh pergi ke kebun atau berburu karena jika pergi
ke kebun atau berburu akan membawa sial seperti yang
telah
tersebut
diatas.
Dewasa ini kenyataan seperti tersebut diatas ada sebagian
orang Hattam yang masih memegang teguh, terutama
mereka yang hidup di daerah-daerah yang belum begitu
dijamah lewat pembangunan.
3.4.1.3.
Jenis-jenis
Praktek
Pendukunan
Praktek pedukunan yang ada pada masyarakat Hattam,
antara lain dukun beranak/dukun bayi yang membantu
proses persalinan dengan alat dan bahan-bahan
tradisional. Dan dukun suanggi biasa di sewa untuk
membunuh
orang
lain.
Hal positif dri praktek suanggi, yaitu jika tidak memakai
racun, bisa untuk mengobati penyakit (semacam white
magic). Faktor negatif dari kepercayaan terhadap suanggi
atau impriet adalah menyebabkan banyak anak usia
sekolah yang tinggal agak jauh dari lokasi gedung sekolah
takut ke dan pulang sekolah.
3.4.1.4.
Penanganan
Kelahiran
Anak
Orang Hattam menganggap bahwa darah adalah sesuatu
yang kotor dan kotoran itu tidak boleh ada di dalam
rumah, sehingga proses persalinan bagi wanita hamil
biasanya, dilakukan di luar rumah, baik itu disamping
rumah maupun di hutan-hutan sekitar desa (beberaba

meter dari desa). Ada beberapa orang yang sudah


melahirkan
di
dalam
rumah.
Orang yang menolong pada waktu proses persalinan
adalah dukun beranak/dukun bayi dan sekarang di tambah
dengan
bidan
desa.
Cara mengatasi kesulitan pada waktu persalinan.
Pada waktu belum ada bidan desa, apabila mendapat
kesulitan, seringkali dibiarkan dan akibatnya tidak
tertolong. Setelah ada bidan desa, apabila terjadi kesulitan
dukun bayi tradisional ini akan meminta bantuan bidan,
bila perlu langsung dirujuk ke Puskesmas/RSUD. Setelah
bayi lahir, tali pusatnya dipotong, membuang lendir bayi,
dimandikan. Semua kotoran, kain yang kotor dikubur
bersama plasenta bayi di tempat persalinan.
3.4.1.5.
Pola
Makanan
Ibu
dan
Anak
Jenis makanan yang biasa dikonsumsikan oleh ibu dan
anak adalah pisang, ubi-ubian, dengan frekwensi tiga kali
sehari.
Makanan khas ibu hamil adalah pisang, ubi-ubian, tetapi
tidak boleh makan daging rusa, kasuari juga sayur, daun
singkong
atau
bayam.
Penyusunan bayi dilakukan sampai bayi berumur 1
11/2
tahun.
Makanan tambahan untuk bayi adalah petatas, bubur
yang dihancurkan dan frekwensi makannya adalah 3
(tiga)
kali
sehari.
Bagi ibu Hattam yang sedang hamil atau baru saja
melahirkan terdapat pantangan-pantangan makanan

sebagai berikut : Tidak boleh makan pisang tanduk


(pembiya), pisang kapok (witaona), kura-kura (temoba),
semua ikan baik di sungai maupun di laut (kecuali sogili
dan udang), tidak boleh makan daging rusa.
Mereka percaya bahwa bahwa kalau perempuan tersebut
memakan makanan yang menjadi pantangan maka akan
menyebabkan anak punya perut besar karena darah dalam
perut
banyak.
Ada juga pantangan tidak boleh terima makanan dari
kerabat lainnya karena ibu dan anak nanti sakit.
Semua pantangan ini berlangsung sejak ibu hamil,
melahirkan anak hingga anak tersebut telah menceraikan
susu dari ibunya.
3.4.1.6.
Perawatan
Terhadap
Anak
Perawatan terhadap anak dalam keluarga merupakan salah
satu tugas yang harus dilakukan oleh ibu rumah tangga
pada orang Hattam ini. Dalam hal ini apabila anak mereka
sakit (sekarang ini) mereka akan membawanya ke
Puskesmas atau Puskesmas Pembantu (PUSTU) untuk
mendapat
pelayanan
kesehatan
di
sana.
Di Puskesmas/PUSTU mereka bisa langsung memperoleh
obat, tetapi kalau mereka tidak bisa membeli obat. Anak
yang sakit akan dirawat dan diobati dengan ramuanramuan
tradisional
yang
mereka
ketahui.
Orang Hattam menyakini bahwa seorang ibu yang akan
melahirkan akan mengeluarkan darah kotor dan darah
kotor itu tidak boleh ada di dalam rumah, sehingga

seorang wanita Hattam yang hendak melahirkan harus


pergi ke luar rumah, yang disediakan atau yang disebut
dengan Smuk yaitu di samping rumah untuk melahirkan
atau sedang haid.
3.4.1.6. Pengetahuan Tentang Obat Tradisional (mahaya)
a.
Akuai
Ambi kayunya untuk dikikis kemudian direbus atau
dimasukkan dalam air panas. Minum airnya secukupnya
kira-kira setengah gelas. Rasanya pahit dan pedis.
Khasiatnya adalah untuk menambah energi dan semangat,
mencegah penyakit seperti kepala sakit, bahkan
menguatkan syawat.
b.
Bahau
Ambil air dari batang/cabang pohon dan tetes di mata
yang sakit/merah.
c.
Bekong
Tanaman ini adalah Tergolong jenis tali yang dapat
diambil airnya untuk anak yang sakit perut/mencret.
Caranya ambil air tali tersebut sebanyak 1 2 gelas dan
berikan pada anak yang sakit minum.
d.
Bekuomngoi
Tanaman ini berguna untuk menyembuhkan penyakit
batu-batu atau berak darah. Caranya ambil daun
secukupnya dan tumbuh, campur air sedikit kemudian

ramas airnya dalam gelas. Untuk orang dewasa 1 gelas


sedangkan untuk anak kecil setengah gelas.
e.
Bengop
Untuk gigi sakit/berlubang. Caranya ambil batang yang
seperti tali, bakar di api hingga mendidih dan taru di gigi
yang sakit/berlubang.
f.
Bimsot
Untuk sakit perut, luka dalam, mata kuning tangan
kuning, badan kurus. Tanaman jenis tali ini akan diambil
airnya yang seperti air susu diisi di gelas dan diminum
setiap hari segelas.
g.
Buu
(daun
gatal)
Untuk badan yang letih, lelah ataupun kepala sakit. Ambil
daun gatal beberapa lembar dan gosok ditempat yang
diperlukan.
h.
Yengum
Untuk anak kecil yang baru tumbuh gigi, supaya giginya
cepat tumbuh dan tidak membuatnya panas dan demam.
Ambil pucuk daun pohon ini, kemudian dibungkus
dengan daun lainnya dan dibakar di api. Daun yang masih
panas itu diletakkan pada gigi yang baru tumbuh itu
sambil secara perlahan-lahan menekan pada gusinya.
i.
Mmop
Untuk menyembuhkan luka dalam seperti, jatuh, atau
tertumbuk benda tumpul lainnya yang menyebabkan luka

dalam. Ambil kulit pohon ini dan tumbuk serta ramas


hingga airnya keluar. Sedangkan ampas dari ramasan itu
ditempel pada bagian yang sakit.
3.4.2. Pengetahuan Tentang Bilangan Dan Waktu
3.4.2.1.
Pengetahuan
Tentang
Bilangan
Orang Hattam mengenal sistem bilangan yang mereka
gambarkan baik lewat jumlah lidi maupun lewat jumlah
jari tangan manusia. Adapun bilangan-bilangan tersebut
hingga mencapai 9000 (sembilan ribu) yang dapat
dihitung sebagai berikut :
1.
Bilangan
Satuan
Satu (gom), dua (can), tiga (ningai), empat (bitai), lima
(muhwi), enam (muhwi nda gom), tujuh (muhwi nda can),
delapan (muhwi nda ningai), sembilan muhwi nda
bitai/tai), sepuluh (simnai).
2.
Bilangan
Belasan
Sebelas (simnai brimig gom), dua belas (semnai brimig
can), tiga belas (simnai brimig ningai), empat belas
(simnai brimig betai-tai), lima belas (simnai muhwi dip),
enam belas (semnai brimig gom), tujuh belas (simnai
muhwi dip brimig gom), delapan belas (simnai muhwi dip
brimig ningai), sembilan belas (simnai muhwi dip brimig
bitai/tai), dua puluh (nyatungwagom).
3.
Bilangan
Dua
Puluhan
Dua puluh (nyatung wagom), dua puluh satu (nyatung

wagom gom), dua puluh dua (nyatung wagom can), dua


puluh tiga (nyatung wagom ningai), dua puluh empat
(nyatum wagom bitai), dua puluh lima (nyatung wagum
muhwi), dua puluh enam (nyatung wagom muhwi nda
can), dua puluh tujuh (nyatung wagom muhwi nda can),
dua puluh delapan (nyatung wagom muhwi nda ningai),
dua puluh sembilan (nyatung wagom muhwi nda bitai),
tiga
puluh
(ningot
ningai).
4.
Bilangan
Tiga
Puluhan
Tiga puluh satu (ningot ningai gom), tiga puluh dua
(ningot ningai can), tiga puluh tiga (ningot ningai ningai),
tiga puluh empat (ningot ningai bitai), tiga puluh lima
(ningot ningai muhwi), tiga puluh enam (ningot ningai
muhwi nda gom), tiga puluh tujuh (ningot ningai muhwi
nda can), tiga puluh delapan (ningot ningai muhwi nda
ningai), tiga puluh sembilan (ningot ningai muhwi nda
bitai).
5.
Bilangan
Empat
Puluhan
Empat puluh (ningot bitai), empat puluh satu (ningot bitai
gom), empat puluh dua (ningot bitai can), empat puluh
tiga (ningot bitai ningai), empat puluh empat (ningot bitai
bitai), empat puluh lima (ningot bitai muhwi), empat
puluh enam (ningot bitai muhwi nda gom), empat puluh
tujuh (ningot bitai muhwi nda can , empat puluh delapan
(ningot bitai muhwi nda ningai), empat puluh sembilan
(ningot bitai muhwi nda bitai).

6.
Bilangan
Lima
Puluhan
Lima puluh (ningot muhwi), lima puluh satu (ningot
muhwi nda gom), lima puluh dua (ningot muhwi nda
can), lima puluh tiga (ningot muhwi nda ningai), lima
puluh empat (ningot muhwi bitai), lima puluh lima
(ningot muhwi muhwi), lima puluh enam (ningot muhwi
muhwi nda gom), lima puluh tujuh (ningot muhwi nda
muhwi can), lima puluh delapan (ningot muhwi muhwi
nda ningai), lima puluh sembilan (ningot muhwi muhwi
nda bitai).
7.
Bilangan
Enam
Puluhan
Enam puluh (ningot muhwi nda gom), enam puluh satu
(ningot muhw nda gom gom), enam puluh dua (ningot
muhwi nda gom can), enam puluh tiga (ningot muhwi nda
gom ningai), enam puluh empat (ningot muhwi nda bitai),
enam puluh lima (ningot muhw nda gom muhwi), enam
puluh enam (ningot muhwi nda gom muhwi nda gom),
enam puluh tujuh (ningot muhwi nda gom muhwi nda
can), enam puluh delapan (ningot muhwi nda gom muhwi
nda ningai) , enam puluh sembilan (ningot muhwi nda
gom muhwi nda bitai).
8.
Bilangan
Tujuh
Puluhan
Tujuh puluh (ningot muhwi nda can), tujuh puluh satu
(ningot muhwi nda can gom), tujuh puluh dua (ningot
muhwi nda can can), tujuh puluh tiga (ningot muhwi nda
can ningai), tujuh puluh empat (ningot muhwi nda can

bitai), tujuh puluh lima (ningot muhwi nda gom), tujuh


puluh enam (ningot muhwi nda can muhwi nda gom),
tujuh puluh tujuh (ningot muhwi nda can muhwi nda can),
tujuh puluh delapan (ningot muhwi nda can muhwi nda
ningai), tujuh puluh sembilan (ningot muhwi nda can
muhwi nda bitai).
9.
Bilangan
Delapan
Puluhan
Delapan puluh (ningot muhwi nda ningai), delapan puluh
satu (ningot muhwi nda ningai gom), delapan puluh dua
(ningot muhwi nda ningai can), delapan puluh tiga (ningot
muhwi nda ningai ningai), delapan puluh empat (ningot
muhwi nda ningai bitai), delapan puluh lima (ningot
muhwi nda ningai muhwi), delapan puluh enam (ningot
muhwi nda ningai muhwi nda gom), delapan puluh tujuh
(ningot muhwi nda ningai muhwi nda can), delapan puluh
delapan (ningot muhwi nda ningai muhwi nda nengai),
delapan puluh sembilan (ningot muhwi nda ningai muhwi
nda bitai).
10.
Bilangan
Sembilan
Puluhan
Sembilan puluh (ningot muhwi nda tai), sembilan puluh
satu (ningot muhwi nda tai gom), sembilan puluh dua
(ningot muhwi nda bitai can), sembilan puluh tiga (ningot
muhwi nda bitai nengai), sembilan puluh empat (ningot
muhwi nda bitai bitai), sembilan puluh lima (ningot
muhwi nda bitai muhwi), sembilan puluh enam (ningot
muhwi nda bitai muhwi nda gom), sembilan puluh tujuh

(ningot muhwi nda bitai muhwi nda can), sembilan puluh


delapan (ningot muhwi nda bitai muhwi nda bitai),
sembilan puluh sembilan (ningot muhwi nda bitai nda
bitai).
11.
Bilangan
Ratusan
Seratus (untin gom), dua ratus (untin can), tiga ratus
(untin nengai), empat ratus (untin bitai), lima ratus (untin
muhwi), enam ratus (untin muhwi nda gom), tujuh ratus
(untin muhwi nda can), delapan ratus (untin nda nengai),
sembilan ratus (untin nda bitai).
12.
Bilangan
Ribuan
Seribu (untin semnai), dua ribu (untin nyatum wagom),
tiga ribu (untin nyatum wagom), empat ribu (untin
nyatum wagom betai ), lima ribu (untin nyatum wagom
muhwi), enam ribu (untin nyatum wagom muhwi nda
gom), tujuh ribu (untin nyatum wagom), delapan ribu
(untin nyatum wagom muhwi nda nengai), sembilan ribu
(untin nyatum wagom muhwi nda bitai).
3.4.2.2. Pengetahuan Tentang Arah Mata Angin
Orang Hattam mengenal empat arah mata angin yang
disebut
sebagai
berikut
:
1. Bianebriti (bia/matahari dan nebriti/timur) artinya
matahari
disebelah
timur
2. Bianicuti (bia/matahari dan nicuti/barat) artinya
matahari
disebelah
barat
3. Bianibio (bia/matahari dan nibio/utara) artinya

matahari
disebelah
utara
4. Bianicai (bia/matahari dan nicai/selatan) artinya
matahari disebelah selatan.
3.2.3.
Penyebutan
hari
dalam
seminggu
Orang Hattam mengenal penyebutan dalam seminggu
yang mereka sebut dengan menggunakan perhitungan
berdasarkan
bilangan
sebagai
contoh
:
1. Hari senin disebut ncapnigom artinya hari pertama
2. Hari selasa disebut ncapnacan artinya hari kedua
3. Hari rabu disebut ncapnenengai artinya hari ketiga
4. Hari kamis disebut ncapnebetai artinya hari keempat
5. Hari jumat disebut ncapnemuhwi artinya hari kelima
6.
Hari
sabtu
disebut
ncapnemundagon
7. Hari minggu disebut ariti artinya (hari istirahat).
Penggunaan hari pertama hingga hari ketujuh dalam
seminggu ini kemungkinan disebabkan oleh hasil kontak
dengan orang Belanda atau setelah masuknya pemerintah
Indonesia dan berbagai lembaganya termasuk lembaga
gereja.
3.2.4. Penyebutan waktu yang telah lewat, sekarang dan
yang
akan
datang
Dalam bahasa orang Hattam juga mengenal penggunaan
waktu sekarang, yang telah lalu dan yang akan datang,
sebagaimana
tercantum
berikut
ini
:
1.
Hari
ini
:
Amani
Adapun waktu yang telah lewat berkenaan dengan

penyebutan
hari
sebagai
berikut
:
2.
Kemarin
:
Anani
3.
Kemarin
dulu
:
Acana
4.
Tiga
hari
lalu
:
Anengaiya
5.
Empat
hari
lalu
:
Atai
6.
Lima
hari
lalu
:
Amuiya
7.
Enam
hari
lalu
:
Amuhwindagom
8.
Tujuh
hari
lalu
:
Amuhwindacan.
Sedangkan mengenai hari yang akan datang
penyebutannya
sebagai
berikut:
9.
Besok
:
jabe
10.
Lusa
:
cane
11.
Besok
2
kali
:
ningaie
12.
Besok
3
kali
:
betaie
13.
Besok
4
kali
:
muhwie
14.
Besok
5
kali
:
muhwindagome
15. Besok 6 kali : muhwindacane.
Mengenai penyebutan nama bulan seperti Januari sampai
Desember seperti yang dikenal dalam masyarakat dunia
selama ini, pada masyarakat Hattam belum dikenal istilah
penyebutan bulan seperti demikian. Demikian juga
mereka tidak mengenal perhitungan bulan yang terhitung
sebulan
berjumlah
30
atau
31
hari.
Mengenai tahunan masyarakat Hitma juga tidak
mengenal, namun demikian mereka mengenal musim
tanam kacang hijau yang diperhitungkan selama 1 tahun
(nijamegom). Musim tanam kacang hijau ini biasanya

dilakukan kalau diperhitungkan berdasarkan penanggalan


yang ada biasanya jatuh pada bulan Mei. Untuk
mengetahui bahwa mereka telah melewati satu tahun
biasanya ketika musim tanam kacang hijau pada waktu itu
juga mereka menanam pohon pepaya untuk memberikan
tanda bahwa jika pohon pepaya ini hingga besar dan
buahnya sudah masak, menunjukkan bahwa sudah
setahun lamanya dan siap untuk melakukan tanaman
kacang hijau lagi.
3.4.2. Pengetahuan Tentang Kain Timur
3.4.3.1. Asal Usul Kain Timor (minyas) menurut orang
Hattam
Kain timor (minyas) menurut orang Hattam dan juga
suku-suku lainnya (Moile, Meyakh, Sough) yang berada
di wilayah pegunungan Arfak, bahwa benda tersebut
berasal dari Bintuni, sebuah wilayah di sebelah selatan
Kabupaten Manokwari. dalam versi ceriteranya bahwa
ada seorang laki-laki bernama Bomiyow yang penuh
dengan borok dan hidupnya di dalam gua. Orang inilah
yang membuat kain timor tersebut. Mengenai tersebarnya
kain ini hingga berada pada suku-suku di wilayah
pegunungan Arfak, bahwa dahulu kala orang tua pergi ke
Bintuni untuk menukar tembakau dengan kain timor
(minyas) tersebut. Cara pertukaran ini modelnya silent
trade perdagangan bisu yang bagi orang Hattam lebih
dikenal dengan istilah iriweiyam (baku tukar). Mereka

yang datang membawa daun tembakau akan


meletakkannya pada tempat tertentu yang telah diketahui
bersama oleh pihak yang akan datang mengambil dan
menukar dengan kain timor. Adapun mengenai
beredarnya kain timor ini hingga menjadi alat tukar dan
mas kawin yang mempunyai nilai yang tinggi sekali
dalam masyarakat ini karena masyarakat ini sering
menukar kain timor dengan babi untuk mengadakan pesta
jika mereka pulang dari kegiatan baku tukar (iriweiyam).
Orang Hattam mengaku bahwa mereka juga menerima
kain ini dari suku Sough dan Meyakh.
3.4.3.2. Asal-Usul Kain Timur Menurut Tulisan Ilmiah
Menurut J.C. van Leur (1955:1-40) yang berbicara
tentang perdagangan dan masyarakat Indonesia dalam
Sekarah Ekonomi di Asia, dan M.A.P. Mellink-Roelofsz
(1962:1-47) tertarik sistem perdagangan diantara orang
Asia sendiri serta pengaruh orang Europa di Indonesia
antara abad XV XVI. Kedua penulis itu menyebutkan
bahwa pada masa itu kain-kain sebagai medium utama
dan Asia bagian Barat (India, China, Berigali-Bangla
Desh, Burma) dan rempah-rempah serta kayu cendana
sebagai medium utama dan Asia bagian Timur (Indonesia)
dimana di dalam pertemuannya sebagai obyek
komunikasi dalam kegiatari dagang tukar-menukar.
Ketika itu tidak ada pasar di bagian India Tenggara
(Southern
India).
Tulisan Toos van Dijk dan Nico de Yong ( 1985:4), bahwa

pada masa abad XVI Indonesia terkenal sebagai daerah


yang kaya akan produksi rempah-rempah dan kayu
cendana, sehingga terjadilah intern-Asian commercial
relation till. Pelabuhari Malakka sebagai badar pusat
perdagangan antara kedua belah pihak. Komoditi utama
dan arus lalu lintas perdagangan dan kedua belah tersebut,
adalah
sebagai
berikut
:
Main
commodities
:
1. Peper/spices to China porcelin to Malacca
2. Spices/sandalwood to Berigal-cloth/foodstruffs to
Malacca
3. Sandalwood to Coromandel-cloth to Malacca
4. Spices to Gujarat-cloth/wester comodities to Malacca
5. Spices/sandalwood/paper/nce to Malacca-cloth to Jawa
6. Rice to Sumatra-peper to Jawanese cloth trading
7. Cloves to Jawa-cloth & porcelin to the Moluccas
8. Sandalwood to Jawa-cloth, porcelai to Timor
9. Paper to Bali, excharige for se fabncs to Banda spices
to
Jawa
10.
Fine
cloth
to
Seram-Spices
to
Jawa
11.
Cloth
to
Seram-Sago
to
Band
12. Cloth to Kai, Aru, Irian Jaya, Tariimbar-sago to Banda
13.
Cloth
to
Moluccas-cloves
to
Banda
14.
Cloth
to
Moluccas-cloves
to
Jawa.
(Sumber
:
Dijk
de
Yong,
1985:11).
Di dalain konteks kepentingan-kepentingan hubungan
perdagangan itulah, terjadi prose penyebaran kain-kain
dapat merembes masuk ke daerah orang Meybrat di

Kepala
Burung-Irian
Jaya
melalui
Fak-Fak.
Arah arus perjalanan sejarah lalu lintasperdagangan,
khususnya asal-usul kain-kain yang digunakan di daerah
Kepala Burung Irian Jaya sebagai fokus (pusat)
kebudayaan Meybrat (termasuk suku-suku Mooi, Tehit,
Klabra, Madik, Kebar, Hatam, Mey-ach, Souh/Manikion,
Moskona, seperti terlihat pada gambar berikut, adalah
berasal dan pelbagai daerah produksi di Asia dan Timur
Tengah. Proses penyebaran itu terjadi ketika hubungan
dagang antar para saudagar-saudagar kaya dan Asia
sebelah timur (termasuk Indonesia) yang berpusat di
Malakka. Gambar Perjalan sejarah Asal-Usul Kain Timur
yang menjadi pusat Kebudayaan Meybrat di daerah
Kepala
Burung
Irian
Jaya.
Dan gambar diatas, dapat terlihat bahwa kain-kain yang
dapat diadopsi sebagai bagian dan kebudayaan di daerah
Kepala Burung Irian Jaya, khususnya pada masyarakat
Heybrat fokus kebudayaan mereka, adalah menyebar dan
Malak Jawa Banda melalui daerah Onim Fak-Fak
Kokas (Teluk Patipi) Teluk Bintuni Kepala Btirung.
Dalam konteks ini, Toos van Dnk dan Nico de Yoting
(1986:7) menyembut bahwa pada masa itu orang Banda
secara ekonomi tergantung pada kain-kain dan Porcelin
melalui saudagar-saudagar Jawa, kemudian mereka
dagangan ke Aru, Kai, Tariimbar, Seram dan Bura, dan
Irian Jaya untuk mengimpor kayu cendana, rempah, dan
sagu-sagu da irian. Dikatakan, karena pada waktu itu sagu
juga merupakan alat pembayaran maskawin dalam

kebudayaan Banda. Pelayaran Saudagar Jawa dan Melayu


ke Banda dikatakan secara ekslusif dan reguler, karena
Banda sangat tertarik dan tergantung kepada kain-kain
import yang masuk melalui Bandar Malakka.
Situasi dan proses sejarah tersebut di atas, menurut J.M.
Schoorl (1979:166) terjadi pada abad ke XVII melalui
saudagar-saudagar (rajkraja) di Onim Fak-Fak,
selanjutnya memasuki Teluk Bintuni melalui penduduk di
muarkmuara pesisir pantai Teluk dalam kontak hubungan
tukar-menukar barang dan pembelian budak-budak
dengan penduduk daerah pedalaman Kepala Burung.
Beridkberida tukaran yang sangat menarik, indah, dan
dianggap hampir sama dengan bo (kain kulit kayu) yang
dimiliki oleh orang di pedalaman adalah kain-kain
tenunan & tekstil. Kain-kain itu dipandang berharga dan
bernilai tinggi sekali, sehingga akhirnya oleh pemerintah
yang berkuasa ketika disebut kain timur, karena berasal
dan berbagai daerah produksi di Asia (timur) yang
dibedakan dan daerah barat (Europa).
3.4.3.3. Motif-motif Kain Timor
1.
Kain
Toba
(kebiserai)
Kain timor jenis ini tergolong kain tmor kelas satu,
dengan jenis motif yang mana ditentukan oleh warna mata
kain yang berada di tengah kain timor tersebut yang
biasanya warna yang menunjukkan mata kain lebih terang
dari lainnya. Bagi mereka jika bagian warna ini lebih

besar maka harganyapun lebih mahal. Nilai dari kain


timor jenis ini bila dikoversikan ke nilai uang rupiah atau
binatang lain yang dianggap berharga bagi mereka seperti
babi
maka
bernilai.
Kain toba (kebiserai) yang mempunyai empat mata
dihargai dengan Rp. 10 juta atau 20 ekor babi; tiga mata
dihargai dengan Rp. 6 juta atau 15 ekor babi; 2 mata
dihargai dengan Rp. 2 juta atau 10 ekor babi; 1 mata
dihargai dengan uang Rp. 1,5 juta atau babi 5 ekor.
2.
Kain
Timor
Panjang
(Bancunjei)
Kain timor jenis ini terbagi lagi menjadi 2 bagian yakni 2
mata yang bentuknya besar (nentij) yang bila dihargai
dengan uang Rp. 10 juta atau babi 10 ekor. Kemudian
yang hanya satu mata bentuknya kecil (Nemien) yang bila
dihargai dengan uang Rp. 5 juta atau babi 5 ekor.
3.
Kain
Timor
(Ntip)
Kain timor golongan ini terdiri dari dua jenis mata yakni,
kain timor yang memiliki satu mata dan kain timor yang
memiliki 2 mata dan masing-masing dari kedua jenis ini
kalau dihargai dengan uang 1 mata dua juta rupiah dan 2
mata dua juta rupiah.
4.
Kain
Timor
Biasa
(Bancun)
Kain timor jenis ini adalah kain timor yang dibuat oleh
transmigran asal Nusa Tenggara Timur di wilayah
kecamatan Prafi Manokwari. kain timor ini mempunyai
motif yang sama dengan kain timor mula-mula (seperti

kebeserai). Kain timor hasil modifikasi orang NTT ini


terdiri dari dua jenis yakni : yang memiliki mata satu dan
mata dua. Dengan nilai yang bila dikonversikan dengan
uang rupiah masing-masing 1 juta dan 2 juta.
Beberapa jenis kain timor bancun ini juga adalah sebagai
berikut
:
1. Brenap (terdapat rumbai-rumbai pada kain bagian atas
dan
bawah)
2.
Gianho
Nti
3.
Gianho
Mien
4.
Brenyuak
5. Nuawiem (kain timor yang berwarnanya hitam)
6. Menghasmum (kain timor yang sisi bagian atas hitam
dan
juga
sisi
bagian
bawahnya
hitam)
7. Menghei (kain tmor yang sisi atasnya merah dn juga
sisi bawahnya merah.
5.
Paseda
(siban)
Paseda (siban) merupakan salah satu alat tukar dan
termasuk sebagai benda maskawin. Vaseda atau dalam
istilah orang Hattam disebut siban, diperoleh melalui
kontak dengan orang Biak dahulu kala. Dahulu kala ada
kontak antara yang terjadi antara orang Biak dan orang
Hattam khususnya dan juga suku-suku di pegunungan
Arfak (Moile, Meyakh, Sough) pada umumnya. Kontak
ini akibat dari suku-suku di pegunungan ini datang ke
pesisir pantai seperti, Pantai Andai, Maruni, dll, untuk
mengambil air garam yang akan dimasak menjadi garam.

Kontak dengan orang Biak ini menghasilkan tukar


menukar diantara mereka dimana mereka yang datang
dari pegunungan Arfak membawa hasil buruan seperti,
daging babi, burung kuning dll. Sedangkan orang Biak
menukar dengan Paseda yang merupakan gelang tangan
yang terbuat dari kulit kerang. Selain itu ada juga orang
Biak yang membarter dengan menggunakan parang besi
hasil
tempaan
mereka
sendiri.
3.4.2.
Teknologi
Tradisional
Pada masyarakat Hattam ada di kenal beberapa alat yang
digunakan untuk menunjang pekerjaan baik pekerjaan
yang dilakukan di dalam rumah tangga maupun yang ada
di luar, seperti di kebun, dan lain-lain.
3.4.2.1.
Alat-alat
Rumah
Tangga
Alat-alat rumah tangga dan peralatan tradisional tersebut
adalah
sebagai
berikut
:
1. Tugal (Hema) yaitu : alat yang digunakan untuk
membuat lubang pada tanah (ce) yang digunakan oleh
laki-laki pada waktu menanam, misalnya menanam padi,
jagung, kacang-kacangan dan lain sebagainya.
2. Penumbuk (munga) yaitu : alat yang digunakan untuk
menumbuk bahan makanan seperti ubi-ubian atau buah
merah (hiba) penumbuk ini terbuat dari kayu.
3. Parang (ambouja) yaitu : digunakan untuk menebang
pohon atau membersihkan kebun dan untuk membantu
pekerjaan rumah tangga lainnya alat ini terbuat dari
logam.

4. Kapak (oikemoma) yaitu : alat yang digunakan untuk


membelah kayu dan membantu pekerjaan rumah tangga.
5. Tulang kasuari (hanegada) yaitu : alat yang digunkan
untuk menikam alat ini terbuat dari tulang dan ditajami.
3.4.2.2.
Senjata
Senjata yang digunakan oleh masyarakat Hattam adalah
Panah yang dibuat dari bambu dan logam, senjata ini
digunakan untuk berburu dan berperang. Senjata pada
masyarakat Hattam tidak banyak hanya panah yang
digunakan untuk melakukan kegiatan berburu dan
berperang disamping itu mereka juga menggunakan
parang, sebagai senjata. Para ini terbuat dar logam dan
diperoleh dengan cara barter dengan masyarakat Doreri
dan Numfor pada masa yang lalu namun pada saat ini
parang diperoleh dengan cara membeli.
3.4.2.2.
Wadah
Wadah yang paling sering digunakan oleh masyarakat
Hattam adalah Kantong anyaman yang terbuat dari serkat
kulit kayu (minaya) kantong ini digunakan untuk
mengangkut hasil kebun dan lain sebagainya. Namun
sekarang kantong sudah banyak terbuat dari tali nilon
yang diperoleh dengan cara membeli, yang membuat
kantong ini adalah wanita.
3.4.2.3.
Pakaian
Pakaian yang digunakan oleh masyarakat Hattam pada
masa yang silam adalah pakaian yang disebut Cawat

pakaian ini digunakan oleh pria dan wanita, namun


sekarang ini sudah banyak pakaian yang dibeli dari toko
dan
lain
sebagainya.
Pakaian yang digunakan pada masa lalu dibuat dari kulit
kayu yang ditumbuk dan dijemur hingga kering dan
dipakai sebagai alat untuk menutup diri mereka.
3.4.2.4.
Bentuk
Rumah
Adat
Masyarakat Arfak pada umumnya memiliki bentuk rumah
panggung yang disebut rumah kaki seribu atau dalam
bahasa Hattam disebut Imam yaitu sebuah rumah yang
ditempati oleh beberapa kepala keluarga dalam satu
rumah dan satu rumah tersebut merupakan satu kampung
atau
disebut
Mnuwati.
Bahan-bahan yang digunakan untuk rumah adat adalah :
Buma) yang dipakai untuk membuat rangka tiang
rumah
dan
rangka
atap
Dinding rumah digunakan kulit kayu atau disebut
(honga)
Sedangkan atap yang digunakan dari daun tikar atau
daun
pandan
hutan
atau
serabut
(cawa)
Alas atau dasar lantai dibuat dari kulit kayu atau bambu
hutan yang dibuat berlapis-lapis (kibiketa) atau juga
terbuat
dari
nibun
(sumura).
Beberapa Jenis Kayu Utama yang dipakai untuk
Bangunan
Rumah
Kayu-kayu khusus yang dianggap cocok untuk

membangun
rumah,
yakni
:
1. Kayu-kayu yang digunakan sebagai penyangga utama
rumah adalah kayu berpuang, mema, aruok, brap, bempas,
mbeya,
betay,
bendang,
hao,
ngiyoi.
2. Kayu-kayu yang cocok untuk rangkap atap adalah kayu
bijen, besuwei, bengkok, amnai, bendang, ngensang,
nggok.
3. Pohon-pohon yang digunakan untuk membuat dinding
rumah, dengan cara mengambil kulit pohon tersebut.
Pohon dimaksud adalah, pohon moona, bengona,
cekuawa,
nenga.
4. Pohon kayu yang cocok untuk membuat kap rumah
yaitu pohon ceijemas, ceikukuaw, ceimboi, that.
3.5. Konsepsi Masyarakat Hattam Tentang Tanah
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa tanah merupakan
salah satu unsur yang harus ada di dalam ekosistem,
lingkungan hidup mereka. Oleh sebab itu, tanah bagi
suku-suku Peg. Arfak ini mempunyai arti sebagai berikut.
3.5.1.
Tanah
Tempat
Berkebun
Suku pegunungan ini tahu dengan keyakinan yang
sungguh baha tanah sangat, penting dalam arti untuk
berkebun. Mereka juga tahu secara alami di dalam
pengalaman mereka mengerjakan tanah di daerah
pegunungan, bahwa tanah di daerah itu jika dikerjakan
dalam beberapa kali mempunyai beberapa kekurangan,
yaitu (1). Tidak subur lagi, (2). Kurang luas; (3). Banyak

tanah
kritis
yang
sukar
ditanami.
Cara bercocok tanam yang berpindah-pindah seringkali
dilihat sebagai tindakan yang tidak efisien dan efektif.
Namun, tindakan ini berkenaan, dengan tiga kekurangan
tersebut di atas. Hal ini menyebabkan dibutuhkannya
daerah yang luas untuk dapat ditanami setelah mencukupi
kebutuhannya. Dengan luasnya tanah, masyarakat
pegunungan ini dadat meninggalkan tanah bekas kebun
mereka hingga kurang lebih 7 (tujuh) tahun untuk
mengembalikan kesuburan tanah bagi tanaman pangan
mereka. Dari pengalaman dapat diketahui bahwa untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, setiap keluarga paling
tidak membutuhkan 2 ha. Untuk sekali tanam.
Selanjutnya, dibutuhkan 7 (tujuh) sampai 14 (empat
belas) ha dalam 7 tahun sebelum kembali mengerjakan
bekas lahan yang pertama.
3.5.2.
Tanah
tempat
kampung
Jika tanah disekeliling sudah dikerjakan dan menjadi
bekas kebun maka mereka kemudian mengerjakan lahan
baru yang sedikit jauh dari rumah mereka. Bila kebun itu
cukup jauh dari rumah maka rumah baru dapat didirikan
atau sebagai tempat bermalam jika tidak sempat pulang ke
rumah (misalnya mendapat hasil buruan yang sukar di
bawah
pulang,
hujan
dan
sudah
malam).
Rumah yang demikian, dapat dirubah menjadi rumah
tempat tinggal maksudnya, agar tidak terlalu jauh dari
tempat dan berkebun.

3.5.3.
Tanah
tempat
berburu
Tanah juga mempunyai arti penting dalam kehidupan
masyarakat Hattam sebagai tempat berburu mereka.
Daerah perburuan mereka cukup luas oleh sebab itu
mereka mencoba untuk menjangkau luasan yang dapat
menghasilkan binatang buruan bagi mereka dalam sekali
berburu. Terkadang mereka menempuh jarak kurang lebih
7 10 km. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa
dibutuhkan areal yang sangat luas untuk berburu.
Jika terjadi mereka berburu dilahan milik orang lain maka
dapat melakukan itu sepanjang tidak ada hal yang
mencurigakan yang dapat menimbulkan konflik.
3.5.4. Tanah untuk menguburkan Orang mati
Untuk menguburkan orang mati biasanya berada dekat
kampung mereka. Ada kepercayaan bahwa orang mati
akan menyatu dengan tanah mereka. Oleh sebab itu bila
seseorang dikuburkan pada tanah tertentu maka tanah itu
adalah milik keluarga atau sanak saudara dari orang telah
meninggal. Itulah sebabnya pula suatu areal tanah dimana
nenek moyang mereka dikuburkan sulit sekali dilepaskan
bagi pihak lain, karena itu berarti melepaskan nenek
moyang bagi orang lain, disamping itu bila yang
meninggal mempunyai hutang, maka keluarganya yang
menyelesaikan. Oleh sebab itu keluarga orang yang
dikuburkan akan merasa rugi jika tanah pekuburan itu
berpinah tangan.

3.5.5.
Tanah
Tidak
dapat
dijual
belikan
Dengan adanya konsepsi tersebut yang telah dibuat pada
bahasan diatas maka secara otomatis tanah tidak dapat
dijual belikan kepada orang lain. Menurut konsepsi
mereka bahwa kami tidak menjual tanah sebab tanah
bukan suatu benda yang bergerak sehingga bisa dibawa
kemana-mana sebab tanah merupakan warisan leluhur
yang tidak mungkin berpindah tangan kepada orang lain.
Lain halnya dengan sewa tanah jika sewa tanah hendak
dilakukan maka masyarakat memberikan tanah mereka
untuk disewa tapi tidak untuk dijual belikan.
3.6.
KESENIAN
3.6.1.
Seni
Tari
Masyarakat Hattam juga mempunyai seni tari yang
disebut Bihima atau dansa Adat atau sering dikenal orang
dengan nama Dansa Tumbu Tanah. Dansa ini dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan yang pada waktu lalu
dilakukan di dalam rumah adat namun sekarang ini sudah
banyak dilakukan di luar rumah atau di lapangan terbuka.
Tarian ini mempunyai maksud sebagai perayaan pada saat
kemenangan
perang,
dan
lain
sebagainya.
Dalam dansa ini sering kali mereka menggunakan
berbagai ornamen seperti hias kepala, paseda, gelang
ayam, (ria) manik-manik (seinkwai), bibi babi atau gigi
anjing dan sering juga badan mereka diolesi dengan
arang.
Dalam dansa adat mereka mempunyai pemimpin yang

bertugas untuk memimpin sebuah tarian tersebut,


pemimpin ini disebut dop. Dan bentuk dari formasi
tariannya adalah melingkar dan saling bergandengan
tangan
dan
berbalik
belakang.
Biasanya dalam masyarakat Hattam, sebelum melakukan
suatu acara dansa adat dibuat suatu acara makan bersama
yang disebut cintakuek.
3.6.2.
Seni
Musik
Pada masyarakat Hattam juga dikenal seni musik seperti
nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan dalam atau untuk
mengiringi dansa adat tetapi ada juga nyanyian yang
dinyanyikan sebagai tanda kemenangan dalam perang
atau menyanyikan lagu yang temanya untuk
meanagungkan seorang wanita dan lagu tentang
kehidupan alam yang di syairkan dalam bahasa Hattam
dan mempunyai makna tersendiri bagi mereka.
Disamping nyanyian masyarakat Hattam juga memiliki
bentuk alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi
atau memanggil semua kaum kerabat. Alat musik tersebut
dibuat dari bambu dan dilubangi salah satu sisinya,
bentuknya seperti suling namun bambu yang
dipergunakan besar dan hanya mempunyai satu lubang
saja alat ini disebut keucoawa, disamping musik tiup
bambu masyarakat Hattam juga mempunyai alat musik
dari kulit bia (kerang laut) atau sering disebut Triton alat
musik ini di peroleh dari masyarakat disekitar daerah
teluk Doreh cara meniupnya sama dengan meniup alat

musik bambu dan tujuannya untuk mengumpulkan kerbat


atau mengiringi suatu pesta dansa. Kedua alat musik ini
disebut Funa.
3.6.3.
Seni
Ukir
dan
Ragam
Hias
Masyarakat Hattam juga mengenal adanya sistem ukir
dan ragam hias yang dibuat pada alat-alat rumah tangga
mereka seperti pada rang, kapak, panah-panah atau busur
yang dibuat dalam bentuk ukiran yang diberi ragam hias
yang
disebut
Kelis.
Ragam hias ini pada umumnya dibuat pada alat-alat
teknologi mereka, disamping itu juga mereka mempunyai
bentuk ragam hias yang dibuat pada tubuh mereka pada
saat akan melakukan upacara-upacara keagamaan atau
dalam acara tarian adat atau goyang adat.
SARMI
DAN
PANTAI
TIMUR
Djekky R. Djoht
DEMOGRAFIS
Jumlah penduduk yang bermukim di Desa Holmafen,
menurut data terakhir pada bulan Juli 1998 berjumlah 809
orang dan terdiri dari 489 orang laki-laki dan 320 orang
perempuan,
yang
tercakup
dalam
163
KK.
Penduduk Desa Holmafen bersifat heterogen karena
penduduknya berasal dari berbagai kelompok etnis,
namun dilihat dari perimbangannya, jumlah penduduk asli
masih lebih banyak daripada penduduk pendatang.
Kebanyakan penduduk pendatang yang berada di desa ini

bekerja sebagai aparat pemerintah, pedagang dan


karyawan PT Bina Balantak Utama.
Sedangkan di Desa Nengke, jumlah penduduknya
menurut data tahun 1998 berjumlah 1174 orang, yang
terdiri dari 643 laki-laki dan 531 perempuan.
Seperti halnya di Desa Holmafen, penduduk Desa Nengke
juga bersifat heterogen karena adanya kaum pendatang.
Kaum pendatang ini juga bekerja sebagai aparat
pemerintah, pedagang, dan karyawan PT Sumalindo
Lestari Jaya III.
MIGRASI
Daerah Sarmi merupakan daerah pinggiran pantai utara
yang telah terbuka sejak dahulu karena banyak disinggahi
oleh armada kapal-kapal niaga dan kapal penumpang
sejak jaman pemerintahan Belanda dahulu, maupun pada
saat kini (PT PELNI). Di samping itu daerah Sarmi juga
merupakan tempat persinggahan bagi kapal-kapal armada
penangkapan ikan, kapal layar motor milik pedagang
Buton, Bugis dan Makasar, serta kapal pengangkut kayu
dan pesawat udara.
Pada tahun 1984 di daerah ini pernah beroperasi suatu
perusahaan kontraktor eksplorasi minyak bumi
(Mamberamo Shell BV) beserta sub kontraktornya.
Sedangkan pada saat ini terdapat perusahaan HPH yang
mengusahakan penebangan kayu. Selain itu, dalam

beberapa waktu belakangan ini usaha pencarian dan


pengusahaan kayu gaharu semakin marak dan diorganisir
oleh pedagang, para oknum aparat pemerintahan dan
keamanan.
Kondisi seperti ini sangat memungkinkan banyak orang
yang bermigrasi ke daerah ini, baik yang berasal dari
daerah lain di Irian Jaya maupun dari luar Irian Jaya. Ini
berarti tingkat mobilitas orang, barang dan jasa semakin
besar, yang masuk dan keluar dari daerah Sarmi dan
Pantai Timur.
PENDIDIKAN
Fasilitas pendidikan yang tersedia di desa Holmafen
adalah sebuah gedung SD. Selain itu di Ebram juga
terdapat satu buah gedung SD yang dibangun oleh PT
Bina Balantak Utama dan merupakan filial dari SD yang
berada di lokasi pemukiman penduduk di Desa Holmafen.
Sebagian guru-guru dari sekolah dasar induk di Holmafen
ini juga yang mengajar pada sekolah dasar filial di Ebram.
Jumlah masyarakat Holmafen yang berpendidikan SD ke
bawah sebanyak 97,1% sedangkan yang berpendidikan
SLTP sebanyak 2,9%. Sedangkan karyawan dan keluarga
karyawan PT Bina Balantak rata-rata mempunyai tingkat
pendidikan
yang
lebih
tinggi.
Jika dibandingkan dengan penduduk di Holmafen, tingkat
pendidikan penduduk Nengke cenderung lebih baik,

meskipun keadaan fasilitas pendidikan sebenarnya belum


terlampau baik. Di Desa Nengke hanya terdapat satu SD
dan pada desa tetangganya yang berdempetan juga
terdapat satu buah SD. Sedangkan SLTP hanya terdapat di
ibu kota kecamatan.
Bagi penduduk lokal di daerah Sarmi, anak laki-laki
umumnya mendapat prioritas untuk memperoleh
pendidikan setinggi mungkin, sedangkan anak perempuan
dianggap cukup sampai bisa membaca dan menulis
karena mereka kelak akan ikut suaminya dan bekerja di
rumah
saja.
AKTIVITAS SEHARI-HARI.
Aktivitas sehari-hari yang paling menonjol dalam
kehidupan penduduk lokal di Sarmi adalah kegiatan
pengumpulan bahan makanan. Kegiatan pengumpulan
bahan makanan ini bervariasi di mana ada penduduk yang
menangkap ikan di laut, ada pula yang mencari kerang di
sungai, menokok sagu, berkebun dan berburu serta
memelihara ternak. Kegiatan lain juga dilakukan untuk
menambah penghasilan rumah tangga, misalnya :
berjualan di lokasi pemukiman karyawan perusahaan,
baik di Holmafen maupun di Nengke. Setiap hari, mulai
dari pagi sampai sore, kebanyakan penduduk melakukan
usaha pengumpulan bahan makanan. Berikut ini akan
diuraikan mengenai kegiatan yang menonjol dalam
aktivitas sehari-hari masyarakat Sarmi.

1.
Perladangan
Kegiatan perladangan masyarakat Sarmi biasanya
dilakukan secara berpindah-pindah. Pada umumnya
tempat yang akan dijadikan kebun adalah daerah yang
menjadi hak ulayat marga. Jenis tanaman yang biasa
ditanam adalah singkong, ubi jalar, pisang, sayur-sayuran
seperti gedi. Ganemo (melinjo) dan paku-pakuan banyak
tumbuh
di
daerah
sekitarnya.
Pembagian kerja di ladang dibedakan berdasarkan jenis
kelamin. Laki-laki biasanya mengerjakan pembersihan
semak, penebangan pohon, pembakaran dan pembersihan
kebun. Sedangkan wanita menggemburkan tanah,
menanami, memelihara dan memanen sampai membawa
hasil panen ke rumah.
2.
Menokok
sagu
Sagu merupakan makanan pokok penduduk Holmafen
dan Nengke. Di belakang desa banyak terdapat areal
pohon sagu yang sangat luas. Penduduk masih mudah
mendapatkan sagu dan tidak perlu berjalan jauh untuk
menokok sagu. Hak kepemilikan areal sagu tersebut
dibagi berdasarkan marga dan biasanya diwariskan
kepada
keturunan
laki-laki.
Dalam mengolah sagu biasanya laki-laki bertugas
menebang, membersihkan kulit dan duri sagu, serta
membuat alat untuk mengolah sagu menjadi tepung sagu.
Sedangkan wanita biasanya memangkur batang pohon

sagu menjadi serat-serat dan mengolah sagu menjadi


tepung sagu.
Umumnya menokok sagu dilakukan bersama-sama dalam
satu keluarga. Dalam menokok sagu, penduduk Nengke
dan Holmafen tidak tinggal di dusun sagu seperti
masyarakat Irian Jaya lainnya. Masyarakat di kedua desa
itu bekerja dari pagi sampai sore di dusun sagu, kemudian
kembali ke desa. Hal ini disebabkan karena letak antara
desa
dan
dusun
sagu
tergolong
dekat.
3.
Berburu
Berburu merupakan pekerjaan laki-laki. Kegiatan ini
dilakukan sebagai mata pencaharian di waktu senggang,
setelah pembukaan dan penanaman di kebun selesai
dilakukan. Kegiatan berburu biasanya dilakukan
bersamaan dengan mengambil buah-buahan atau
tumbuhan lain yang dijumpai di hutan pada waktu
berburu. Tempat berburu ini biasanya jauh dari desa.
Alat yang digunakan untuk berburu biasanya adalah jerat
tali, jerat lubang, perangkap burung, tombak, parang dan
busur. Sedangkan binatang yang biasa diburu adalah babi
hutan, kasuari, lau-lau, kangguru pohon, mambruk, maleo
dan berbagai jenis burung yang lain. Hasil dari binatang
buruan pada umumnya dibagikan di antara kerabat
pemburu dan sebagian lagi dijual di lingkungan desa.
4.
Menangkap
ikan
Menangkap ikan adalah mata pencaharian yang penting

bagi orang Holmafen dan Nengke, karena mereka tinggal


di tepi pantai. Alat yang digunakan untuk menangkap ikan
adalah jaring. Biasanya mereka menangkap ikan di muara
Sungai Tor, yang berjarak 1 km dari desa Holmafen atau
di muara Sungai Bier bagi orang Nengke. Penangkapan
ikan biasanya dilakukan pada pagi sampai sore hari.
Selain itu ada juga yang menggunakan alat pancing
dengan menggunakan perahu dayung. Cara pancing ini
biasanya dilakukan di laut dalam. Selain teknik
menangkap ikan seperti tersebut di atas, penduduk juga
mengenal teknik menangkap ikan dengan menggunakan
cahaya lampu petromaks dan menggunakan harpun.
Teknik ini disebut Balobe dan dilakukan pada malam hari.
5.
Perkebunan
Penduduk Holmafen dan Nengke pada saat ini
menjadikan tanaman coklat sebagai tanaman utama dalam
pola perkebunan mereka, karena lebih bernilai ekonomis.
Hampir setiap keluarga mempunyai kebun coklat.
Distribusi hasil panen coklat penduduk diterima oleh
pengusaha-pengusaha makasar yang sedang berdagang di
Sarmi, tetapi ada juga yang datang dari jayapura membeli
hasil coklat tersebut.
SISTEM KEKERABATAN
Keluarga inti pada masyarakat Sarmi terdiri dari suami,
istri dan anak, yang merupakan suatu kesatuan rumah

tangga yang mengurus kehidupan ekonomi tiap-tiap


anggotanya. Bentuk keluarga inti di sini berdasarkan
monogami.
Selain keluarga inti, orang Sarmi juga mengenal extended
family yaitu sebuah rumah tangga yang bisa terdiri dari
suami, istri dan anak-anaknya yang belum kawin, istri
anaknya, anak-anak dari anaknya dan saudara laki-laki
atau perempuan serta orang tuanya. Kelompok ini
biasanya mempunyai satu kepala keluarga, yaitu orang
yang bertanggung-jawab terhadap kehidupan ekonomi,
sosial dan politik dalam kelompok tersebut. Pada
umumnya bentuk extended family di daerah Sarmi adalah
virilocal, yaitu terdiri dari suatu keluarga inti senior
dengan keluarga inti dari anak laki-laki.
Garis keturunan masyarakat Sarmi berdasarkan prinsip
patrilineal di mana garis keturunan diperhitungkan
berdasarkan keturunan laki-laki. Hal ini menyebabkan
laki-laki mendapat porsi lebih besar dalam pengambilan
keputusan dan juga mendapat hak yang paling besar
daripada perempuan dalam pewarisan, hak ulayat sumber
daya alam, pendidikan, kepemimpinan dan masih banyak
lagi aspek kehidupan yang didominasi oleh laki-laki
karena mengikuti prinsip patrilineal.
SISTEM KEPEMIMPINAN

Sistem kepemimpinan di daerah Sarmi terdiri dari dua


kategori, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan
informal.
Sistem kepemimpinan formal adalah kepemimpinan yang
ditentukan oleh pemerintah, seperti camat, lurah dan
seterusnya. Bentuk kepemimpinan ini mengangkat
seorang yang ditunjuk pemerintah kecamatan daerah
setempat atau dipilih oleh masyarakat desa tersebut. Pada
umumnya di daerah pemukiman penduduk asli biasanya
menggunakan cara yang pertama yaitu pemimpin yang
ditunjuk oleh camat. Pemimpin seperti ini biasanya
disebut Kepala Desa atau Lurah. Kepala Desa atau lurah
mempunyai staf-staf yang membidangi berbagai macam
bidang untuk menunjang pekerjaan pemerintahan di
tingkat desa.
Sedangkan kepemimpinan informal adalah sistem
kepemimpinan yang tumbuh dari masyarakat sejak
berabad-abad yang lalu. Sistem kepemimpinan di daerah
ini dikenal dengan sistem kepemimpinan Ondoafi, yang
didasarkan pada keturunan di mana seseorang yang
menjadi kepala pemeritahan akan digantikan oleh
anaknya yang sulung apabila ia meninggal. Fungsi dari
kepemimpinan Ondoafi adalah fungsi hukum yaitu
menyelesaikan masalah yang terjadi di kampung, seperti
pertengkaran karena berbagai hal, mengerahkan tenaga
untuk pembangunan desa, melaksanakan upacara-upacara

adat. Ketika belum ada sistem pemerintahan formal


seperti sekarang ini, Ondoafi mempunyai wewenang dan
kekuasaan yang besar terhadap masyarakatnya. Tetapi
setelah masuknya sistem pemerintahan formal maka
wewenang dan kekuasaan Ondoafi mulai berkurang
karena hampir seluruh fungsinya sudah ditangani oleh
kepala
desa,
kecuali
dalam
acara
adat.
Selain kedua sistem kepemimpinan tersebut, di desa
Holmafen juga terdapat sistem kepemimpinan yang
berorientasi pada gereja. Sistem kepemimpinan yang
berorientasi pada gereja ini lebih kuat dari dua sistem
kepemimpinan tersebut di atas. Pada umumnya suara dari
seorang tokoh gereja seperti pendeta, guru, jemaat atau
guru agama lebih dipatuhi daripada yang lain.
STRATA SOSIAL
Pada masyarakat desa Holmafen, pembedaan kedudukan
dan derajat sosial adalah minimal, karena warganya
berjumlah 163 kk dan individu-individu yang dianggap
tinggi tidak banyak macam dan jumlahnya.
Jika dilihat dari pekerjaan pelapisan sosial pada
masyarakat Sarmi dibagi dalam dua lapisan yaitu
kelompok elit dan non elit. Kelompok elit adalah pegawai
pemerintah, ABRI, guru, petugas gereja, karyawan
perusahaan dan pedagang. Sedangkan kelompok non elit
adalah masyarakat umum seperti peladang, nelayan dan
kelompok masyarakat lainnya. Kelompok elit adalah

kelompok yang terpandang


kedudukan mereka yang baik
dalam masyarakat. Sedangkan
kelompok kelas dua karena
dianggap biasa.

dan dihormati karena


dalam arti sosio-ekonomi
kelompok non elit adalah
kedudukan mereka yang

Sedangkan pelapisan sosial yang dibagi berdasarkan etnis


yang ada di daerah Sarmi terbagi atas dua golongan yaitu:
pendatang, yang terdiri dari orang-orang yang bukan
penduduk pribumi dan berasal dari luar Sarmi. Kelompok
ini terdiri dari orang Buton, Maluku dan lain-lain.
Sedangkan pelapisan kedua adalah kelompok pribumi
yaitu orang-orang yang berasal dari daerah setempat dan
orang-orang Irian dari daerah-daerah Irian lainnya.
Kelompok-kelompok sosial berdasarkan etnis ini
merupakan lapisan sosial yang berbentuk tidak nyata
kalau dilihat dari norma-norma yang dianut kedua
kelompok tersebut. Namun kalau dilihat dari interaksi
(komunikasi, dan hubungan sosial seperti tolong
menolong) maka lapisan sosial sangat nampak karena ada
perbedaan kedua kelompok tersebut. Seperti rasa
solidaritas dalam kelompok lebih kuat daripada dengan
kelompok lain dalam kelompok tersebut.
Memuat...
Blog yang Saya Ikuti
PELAJARAN KABAR PENGANTEN

OSCAR

GOOGLE TRANSLATE

MUSIK DAN LAGU TRADISIONAL ROTE


1. BATU MATIA (Iringan musik Sasando Rote)
http://www.4shared.com/embed/782265568/5fe28e83 2.
TE'O RENDA (Iringan Musik Sasando Rote)
http://www.4shared.com/embed/782305125/62ab9e3
LAGU ROHANI KRISTEN
12 syair LAGU ROHANI" Cipt./Vocal: Notje Linna T.
http://www.4shared.com/embed/787099116/27643b5a
Tete
Manis
(Koleksi
Sinar
Kasih)
http://www.4shared.com/embed/793786854/e234892e
Video Okultisme Kesaksian Dukun Tony Daud vs
Pendeta. Klik link dibawah ini
https://www.youtube.com/v/k9mz39x0gdI?version=3
November 2016
S
S
R
K
J
S
M
Feb
1
2
3
4
5
6

November 2016
S
S
R
7
8
9
14
15
16
21
22
23
28
29
30

K
10
17
24

J
11
18
25

S
12
19
26

M
13
20
27

DAFTAR HALAMAN
AD YSK
Alkitab ONLINE
Audio Khotbah
BANK
SOAL-SOAL
SEKOLAH DASAR

AGAMA

KRISTEN

BEASISWA SINAR KASIH


BELAJAR BAHASA IBRANI
Belajar Percakapan Bahasa Jawa
Cek Tagihan Online
DAFTAR NAMA ANAK BEASISWA 2013
Etnografi Papua
FOTO KEGIATAN

HUBUNGI KAMI
Kalender Jawa Online
KAMUS BAHASA IBRANI
KITAB HENOKH
Lagu Rohani Rote
LAHIRNYA ALKITAB
Mujizat dibalik Tragedi Bom Solo
Outline Khotbah
PELAJARAN KITAB RUTH
PELAJARAN
PARA RASUL

PEMBASUHAN

PENGUNGKAPAN RAHASIA 70 SABAT


SODOM DAN GOMORA
STUDI PERBANDINGAN
VIDEO LAGU ROHANI
http://sms-online.web.id/widget
Blog di WordPress.com.

KAKI

https://skministry1202.wordpress.com/etnografi-papua/

Anda mungkin juga menyukai